SINOPSIS Married as Job 02 part 1

12.34.00 10 Comments

SINOPSIS dorama Married as Job episode 02 part 1. Moriyama Mikuri, 25 tahun. Lulusan S2 jurusan psikologi klinis, tetapi selalu gagal mencari pekerjaan. Ia akhirnya bekerja menjadi pekerja rumah tangga. Tidak ingin ikut keluarganya pindah, Mikuri pun akhirnya setuju untuk melakukan kawin kontrak dengan bosnya, Tsuzaki Hiramasa.



Gagal dalam pencarian kerja, Mikuri akhirnya bekerja paruh waktu sebagai pekerja rumah tangga di apartemen Tsuzaki Hiramasa. Karena tidak mau ikut keluarganya pindah, Mikuri mengajukan diri menjadi pekerja inap. Tapi akhirnya, berakhir menjadi pernikahan kontrak. Bos Mikuri, Hiramasa setuju dengan ide itu karena menganggap mempekerjakan Mikuri sebagai istri kontrak menguntungkan baginya.


Dan sekarang aku resmi bekerja sebagai ibu rumah tangga.


Pernikahan de facto yang disebutkan sebelumnya, terjadi saat surat pernikahan tidak didaftarkan, Keduanya tinggal bersama dan hidup dari mata pencaharian yang sama. Jumlah pernikahan de facto meningkat, karena untuk alasan tertentu tidak mendaftarkan surat pernikahan, atau tidak ingin terkekang oleh peraturan.


Hal ini ternyata populer di Prancis. Tetapi masih sulit diterima di Jepang. Akhirnya, Mikuri dan Hiramasa sepakat untuk memperlihatkannya seperti pernikahan normal ke orang lain. Mereka sepakat kalau kontrak pernikahan itu hanya akan jadi rahasia berdua saja.



Mikuri akan bekerja tujuh jam sehari dengan jam kerja fleksibel. Bekerja dari Senin hingga Jumat, dan libur pada akhir pekan dan hari libur nasional. Permintaan penggantian hari libur diperbolehkan. Biaya hidup ditanggung berdua, dan akan dipotong dari gaji bulanan. Gaji akan diberikan tunai di akhir bulan. Hiramasa menyerahkan berkas-berkas kesepakatan pernikahan kontraknya dengan Mikuri dan memintanya mempelajarinya di rumah.


Obrolan bergeser tentang resepsi pernikahan. Baik orang tua Hiramasa maupun Mikuri (yang tidak tahu soal kontrak pernikahan), berpikir kalau mereka akan melakukan resepsi pernikahan.


“Aku sebisa mungkin ingin menghindari upacara pernikahan atau resepsi. Aku tidak bisa menerima ucapan selamat mereka. Bahkan di kantor mereka terus saja bertanya apa aku akan mengadakan resepsi,” cerita Hiramasa.



Di kantor, pembicaraan soal resepsi ini juga dilakukan. Hino-san (40 tahun dan menikah), berpikir kalau resepsi itu adalah hal penting. Karena pada saat resepsi, pengantin akan jadi bintang dalam sehari.


Pendapat kedua dari Kazami-san (32 tahun dan belum menikah). Sejak awal, ia berpikir kalau menikah adalah hal yang sia-sia. “Resepsi pernikahan hanya untuk kepuasan pribadi. Mereka hanya ingin memamerkan kebahagiaan mereka. Lakukan jika kalian memang menginginkannya.”


Pendapat ketiga dari Numata-san. Pria berumur yang diisukan gay dan kadang agak ekstrem. “Menurutku resepsi pernikahan adalah suatu "pengumuman," dengan menunjukkan wajah langsung ke masyarakat dan mengucapkan "kami akan menikah." Karena saat mereka sudah mengumumkannya, mereka tidak bisa menariknya kembali dengan mudah dan menciptakan resolusi.”



Meminta pendapat pada ketiga orang tadi, tidak menyelesaikan masalah.


“Sebaliknya jika kita tidak mengadakan resepsi pernikahan, kita perlu menunjukkan kesungguhan niat kita,” ujar Mikuri.


“Saat makan siang, aku akan bertindak sebagai pemimpin dan mengalirkan pembicaraan,” Hiramasa memberikan saran.


“Jika tidak, kupikir Ayah tidak akan merestuinya,” Mikuri ragu.


Hiramasa dan Mikuri sepakat untuk mencari cara, meyakinkan orang tua mereka kalau mereka tidak akan mengadakan resepsi. Tapi, masih ada satu hal lagi yang akan sulit, Yuri, tantenya Mikuri.



Hari pertemuan kedua keluarga.


Mikuri dan Hiramasa menunggu tamu mereka di lorong. Saat itu Yuri yang datang lebih dulu. Yuri minta maaf pada Hiramasa soal pertemuan pertama mereka. Saat itu Yuri nyaris mencekek Hiramasa saking kagetnya oleh keputusan pernikahan Mikuri dan Hiramasa.


“Itu tidak masalah. Yuri ... “ Hiramasa ragu. Tapi kemudian Mikuri memintanya untuk memanggil dengan menambahkan kata –san.


“Maaf, aku benar-benar tante yang merepotkan,” ujar Yuri.


“Wajar jika Anda dan orangtuanya ingin melindunginya, Yuri-san,” Hiramasa mengerti.


Tapi Yuri dibuat heran karena ternyata Mikuri dan Hiramasa saling memanggil dengan nama keluarga, bukan nama diri. (di Jepang, memanggil dengan nama keluarga artinya tidak terlalu dekat. Orang dekat biasanya saling memanggil dengan nama diri)


Mikuri dan Hiramasa kaget dan baru menyadarinya, “Kami menggunakan nama diri saat kami berduaan,” ujar Mikuri menyelamatkan keadaan.


Yuri bertanya soal Chigaya. Mikuri mengatakan kalau Chigaya akan datang juga hari itu. Tahu demikian, Yuri pun pamit pergi berniat memperbaiki dandanannya lagi.



Hiramasa heran soal Chigaya. Mikuri lalu menjelaskan kalau Chigaya adalah kakak laki-lakinya. Dulu, saat masih kelas 1SD, Chigaya pernah berkata kalau Yuri tidak akan bisa menikah. Makannya sekarang pun, Yuri tidak mau kalah dengan keponakannya itu.


“Ada yang lebih penting, nama panggilan! Kita kecolongan. Ayo latihan. Mulai sekarang kita akan memanggil dengan nama depan kita,” usul Mikuri. Ia pun meminta Hiramasa memanggil ‘Mikuri’.


Hiramasa canggung menyebut kata itu. Akhirnya ia minta izin pada Mikuri untuk memanggilnya Mikuri-san, Mikuri setuju saja. Sebaliknya, Mikuri juga belajar memanggil Hiramasa dengan nama dirinya, juga lengkap dengan akhiran –san di belakangnya.



Tidak lama setelahnya keluarga Mikuri dan juga keluarga kakak laki-lakinya datang. Menyusul kemudian keluarga Hiramasa. Mikuri memperkenalkan diri pada keluarga Hiramasa.


Pertemuan kedua keluarga akhirnya dimulai. Kerja sama pertama kami. Kami akan melewatinya, bagaimanapun caranya!


Acara selanjutnya adalah obrolan antar orang tua.


“Apa yang kau suka dari Hiramasa, Mikuri?” tanya ibu Hiramasa.


Mikuri berpikir sebentar. Ia mengingat momennya bersama Hiramasa selama ini, “Arahannya sangat jelas dan spesifik. Tidak ada detail yang tidak perlu. Lalu....Bahkan terhadap gagasan gila sekalipun, dia akan mencari solusi realistisnya. Dia benar-benar mudah disukai.”


“Kau seperti memuji atasanmu,” sela kakak Mikuri, Chigaya.


Mikuri merasa tidak enak dengan jawabannya, “Aku merasa dia sangat terpercaya dan bisa diandalkan,” tambahnya lagi.


Sekarang giliran Hiramasa yang mendapat pertanyaan. Dia pun ditanyai hal yang sama.


“Mikuri bisa melakukan apa pun,” ujar Hiramasa, singkat dan padat.


Obrolan berikutnya masih seputar orang tua. Soal kebanggaan akan anak-anak masing-masing.



Obrolan pun bergeser soal pesta pernikahan. Mereka bertanya, jika Mikuri akan memilih baju pengantin atau memakai kimono ala pernikahan tradisional Jepang. Kedua keluarga juga bersemangat, karena acara pesta bisa dilakukan dua kali. Satu di tempat orang tua Mikuri dan yang satu lagi di kediaman orang tua Hiramasa.


Hiramasa dan Mikuri belum mengatakan apapun. Tapi justru orang lain yang sudah lebih dulu ribut. Yuri ikutan ribut, pun Chigaya, Kakak Mikuri.



“Kami tidak akan mengadakan pesta pernikahan,” ujar Hiramasa kemudian.


“Kami berdua memutuskannya demikian,” sambung Mikuri.


Keputusan itu akhirnya disebutkan juga.


“Bagi kami yang terpenting adalah tinggal dan hidup bersama. Hanya itu. Acara formal seperti upacara dan resepsi pernikahan dan tidak diperlukan,” lanjut Hiramasa.


“Kami berdua memutuskannya demikian,” ujar Mikuri pula.


Tapi para orang tua protes. Karena itu adalah pernikahan pertama bagi keduanya. Pun soal Mikuri, yang tentu saja ingin mengenakan baju pengantin.


Tapi lagi-lagi Hiramasa mencoba memberikan penjelasan logis, “Daripada menghabiskan uang untuk upacara dan resepsi pernikahan, lebih baik uangnya ditabung.”


“Jika ini tentang uang... aku bisa membantumu sedikit,” bisik ayah Mikuri.


“Ayah menggunakan uang pensiun Ayah untuk membayar rumah, 'kan?” elak Mikuri.


“Sebagai awal kehidupan baru kami sebagai pasangan, kami tidak ada niat untuk bergantung pada uang orangtua kami,” ujar Hiramasa lagi.


Keduanya masih saja berusaha meyakinkan kedua keluarga soal tidak perlu ada pesta pernikahan. Bahkan saat dikatakan, kalau pesta diadakan untuk mengundang kenalan dan teman. Tapi Mikuri dan Hiramasa tetap mengatakan kalau mereka tidak masalah dengan itu, dan itu gaya hidup mereka.


Situasi berubah benar-benar canggung. Tapi karena tidak bisa memaksa Mikuri atau Hiramasa, kedua ibu mereka pun menyerah. Mereka akhirnya sepakat untuk tidak memaksakan pesta pernikahan.



Acara makan bersama pun selesai. Mikuri mengantarkan Yuri di luar. “Terima kasih karena telah menyetujuinya.”


Yuri meremas kepala Mikuri, “Aku akan sangat kesepian. Kita tak bisa lagi bertemu setiap saat.”


“Kenapa tidak? Seperti biasanya,” Mikuri heran.


Tapi Yuri justru menasehatinya, “Tidak bisa begitu saat kau sudah menikah. Mikuri, pernikahan adalah awal hidup barumu, oke? Semangat!”



Setelah Yuri pergi, giliran ibu Mikuri yang memeluk putrinya itu, “Ayahmu kecewa.” Ibu Mikuri menunjuk ayahnya yang tengah duduk membelakangi mereka. “Dia pikir dia akan menuntunmu ke altar. Bahkan dia sudah berlatih di koridor rumah baru kami. Aku tidak pernah berpikir kau akan menikah secepat ini.”


“Ibu melahirkanku saat berumur 23 tahun, 'kan? Dua tahun lebih muda dari umurku sekarang,” elak Mikuri.


“Itu benar, tetapi....Kau selalu menjadi anak yangingin bekerja dengan giat daripada menikah, benar 'kan?”


“Menurutku bekerja juga suatu bentuk kebahagiaan,” sambung Mikuri.


“Namun aku bahagia saat kau berkata kau akan menikah. Berbahagialah, oke?” ibu Mikuri pun memeluk putrinya. Kemudian ayah Mikuri yang bergabung memeluk putri bungsu mereka itu. (Mikuri dikelilingi orang-orang yang menyayanginya ya)



Hiramasa juga mengantar kedua orang tuanya keluar. Ibu Hiramasa pamit ke toilet sebentar, dan meninggalkan Hiramasa bicara berdua dengan ayahnya.


“Maaf mengganggu waktu kerja Ayah,” ujar Hiramasa.


“Dia muda, tetapi bisa diandalkan, ya? Hampir terlalu muda,” komentar ayah Hiramasa.


“Jiwanya dewasa. Dia mengatakannya sendiri,” balas Hiramasa.


“Buat seorang laki-laki, berumah tangga itu adalah untuk memikul semua beban dan tanggung jawab. Kupikir kau bisa melakukannya.”


Hiramasa dibuat tertegun dengan ucapan ayahnya itu. Sepertinya hubungan ayah dan anak ini tidak benar-benar dekat. Hingga Hiramasa tidak menyangka ayahnya akan bicara seperti itu.



Mikuri berjalan pulang bersama Hiramasa setelah acara makan bersama itu. Keduanya mengungkapkan kelegaan masing-masing karena hari itu bisa mereka lalui dengan baik. Bahkan meski pernikahan itu hanya pura-pura, tapi bisa membuat keluarga bahagia itu yang utama.


“Aku tak tahu apa yang akan kulakukan jika kau menyesalinya. Dan berbohong itu tidak benar, kupikir aku membuatmu melakukan sesuatu yang tak baik. Karena aku tidak percaya diri untuk meyakinkan orang di sekitarku, bahwa pernikahan kita pernikahan normal,” ujar Mikuri. “Kalau aku bisa bilang, ini pelarian.”


“Tak apa-apa 'kan jika ini pelarian? Di Hungaria, ada pepatah yang artinya seperti ini: "Melarikan diri itu memalukan, tetapi membantu." Mengambil pilihan pesimis tidak apa-apa, 'kan? Bahkan jika melarikan diri itu memalukan, bisa bertahan itu penting. Aku tak akan menerima tanggapan atau bantahan tentang hal itu,” garis bibir Hiramasa tertarik sedikit.


Mikuri mengerti, “Anda benar. Meskipun ini pelarian, mari bertahan. Kita tidak dalam posisi bisa mengajukan keberatan.” Keduanya tersenyum bersama.



Kau juga seperti ayahmu, Hiramasa. Aku tak jadi mengatakannya. Aku tak seharusnya ikut campur sejauh itu. Kami bukan suami-istri ataupun kekasih, bahkan bukan teman. Hubungan kami adalah hubungan majikan dan pekerja.


Mikuri dan Hiramasa tiba kembali di apartemen. Setelah mengucapkan selamat malam, Hiramasa masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan Mikuri tertegun di ruang tengah.



Hiramasa tidur di kamar sebelah. Apa aku merasa tegang? Atau tidak? Kenapa tidak? Kami tinggal seatap, tetapi aku merasa aman. Ah! Apa karena dia tipe herbivor? Tidak. Orang itu...Dia bukan tipe yang menentang permintaan orang lain, karena itu aku bisa berpikir demikian.


Mikuri telah berganti pakaian, menggelar futon-nya dan seger menyusup di balik selimut. Tapi ia belum langsung tertidur. Mikuri masih memikirkan soal kehidupan barunya sebagai pekerja rumah tangga. Dan juga soal ucapan Hiramasa tadi.



Di kamar sebelah, Moriyama--Mikuri tidur. Dia orang yang aneh. Apa dia tidak merasa bahaya meski kami tinggal bersama? Apa dia pikir aku bukanlah ancaman? Memang bukan, sih. Pada dasarnya aku tak suka ada orang lain di rumahku atau terikat denganku. Namun dia memahami bagaimana cara menjaga jarak.


Di kamarnya, Hiramasa juga masih belum bisa tertidur. Ia memikirkan ucapan Mikuri saat perjalanan tadi. Hiramasa juga memikirkan fakta bahwa sekarang ia tinggal satu atap bersama seorang wanita.


BERSAMBUNG


Pictures and written by Kelana


Kelana’s note :


Hai, hai ... bagaimana episode 1-nya? Seru ya. #ehe. Iya, karena ternyata ceritanya seru dan banyak yang suka serta baca, jadi Na memutuskan untuk lanjut menulisnya. Ya meski harus cari-cari waktu sambil mengerjakan naskah yang lain. Semoga semuanya beres deh.


Oh ya, sebenarnya kan Na ngerjain naskah ini dengan Jimi ni Sugoi, dan diposting gantian. Tapi berhubung Jimi ni Sugoi agak lambat subtitle-nya, jadi Na mendahulukan yang ini. Semoga nggak pada kecewa ya. Selamat membaca.

SINOPSIS Married as Job 01 part 2

13.03.00 6 Comments

SINOPSIS dorama Married as Job episode 01 part 2. Akibat kesalahan sistem, tim programmer harus menulis ulang program yang biasanya dilakukan selama satu bulan, hanya dalam waktu beberapa hari saja. Setelah membuat list hal-hal yang harus dikerjakan, semua orang mulai mengerjakan bagian masing-masing.



Hari pertama. Semua orang masih bekerja keras. Bahkan Kazami-san masih sempat membelikan makan siang untuk semuanya. Hiramasa masih fokus di mejanya untuk bekerja.


Hari kedua. Keadaan mulai kacau. Wajah-wajah kusut mulai muncul. Tapi Hiramasa masih serius dan fokus di mejanya. Hino-san mulai kacau. Ia bahkan membuat kesalahan yang akhirnya berhasil diperbaiki oleh Hiramasa.


“Hino, tolong pulang ke rumah dan tidur sebentar,” saran Hiramasa kemudian.



Hari dateline pekerjaan. Nyaris seluruh tim sudah terkapar. Sebagian tertidur di meja masing-masing, yang lain bahkan tertidur di lantai. Tapi Hiramasa masih fokus di mejanya. Bahkan saat Kazami-san membawakan sarapan, hanya tinggal Hiramasa yang membalas sapaannya.


Satu per satu list pekerjaan akhirnya selesai. Kini akhirnya bagian terakhir, uji coba program yang telah mereka susun ulang. Dan ... kali ini pekerjaan mereka berhasil dengan baik. Semua orang puas dengan hasilnya. Setelah berhari-hari fokus pada pekerjaan, akhirnya Hiramasa mulai tampak kacau.



Hari Jumat. Mikuri datang ke apartemen Hiramasa seperti biasa. Setelah memencet bel beberapa kali, ternyata Hiramasa tidak keluar. Mikuri tidak langsung pulang. Ia justru melamun sambil bergumam sendirian di teras.


“Yah, sepertinya karena gagasan anehku minggu lalu, aku dipecat. Aku ingin menyelesaikan pekerjaanku dengan baik dua kali lagi, dan menciptakan mahakarya terakhir. Aku tidak pernah berpikir akan berakhir seperti ini. Namun, aku belajar banyak dari pengalaman ini. Sejak saat ini pun...”


Tapi terdengar suara pintu terbuka. Hiramasa membukakan pintu, masih dalam piyama-nya. “Maaf, aku sedang sakit.”


“Anda baik-baik saja? Demam, ya?” Mikuri khawatir.


“Aku terlalu memaksakan diri. Aku tidak bekerja hari ini.”


“Aku bisa membantumu,” tawar Mikuri.


Tapi Hiramasa menolak. Ia pun memberikan gaji Mikuri. Tadinya Mikuri menolaknya, tapi Hiramasa memaksa. Mikuri akhirnya mengalah. Ia pun pulang lagi karena Hiramasa ingin istirahat saja hari itu.



Mikuri pulang ke rumahnya. Kedua orangtuanya masih beres-beres sebelum pindah. Yuri heran karena Mikuri pulang cepat. Tapi Mikuri mengatakan kalau hari itu ia tidak bekerja.


Kedua orang tua Mikuri asyik beres-beres. Mereka benar-benar menikmati waktu berdua. Sementara itu Mikuri dan Yuri hanya menyaksikan keduanya sambil minum teh di meja makan. Orang tua Mikuri seperti pasangan yang baru saja menikah.


“Apa mereka melupakanmu?” sindir Yuri.


“Aku hanya tambahan,” ujar Mikuri. “Bahwa hanya ada satu orang untuk mereka berdua. Bukankah itu lebih menyenangkan daripada hidup tanpa seorang pun yang memilihmu?”



Yuri mengangkut sebagian barang-barangnya ke dalam mobil. Mikuri pun mengekor untuk membantu.


“Ibu selalu iri padamu, kau tahu, Yuri? Yuri yang sukses, memiliki pekerjaan impiannya dan cantik.”


“Aku tahu. Dia meminta terlalu banyak. Bagaimana dengan kerjaanmu?” Yuri sengaja mengalihkan pembicaraan.


“Dia sedang sakit, jadi hari ini libur,” ujar Mikuri.


“Kau meninggalkannya sendirian?” Yuri heran.


“Yah, kalau majikanku memintaku pulang, kupikir aku harus mematuhinya sebagai anak buah.”


“Kau penurut untuk hal yang salah. Kenapa tidak coba meng-SMS-nya? Tidak mudah saat sakit jika kau sendiri. Kau tidak bisa berbelanja dan lain-lain,” saran Yuri. Ia pun menyusup ke balik kemudi dan beranjak pergi.



Baru saja Mikuri mengeluarkan ponsel, sudah ada pesan masuk dari Hiramasa. Ia minta tolong untuk dibelikan obat demam dan juga es krim. Tanpa pikir panjang, Mikuri pun langsung menyanggupinya. Ia berkali-kali memencet bel apartemen Hiramasa, tapi tidak ada jawaban. Mikuri pun akhirnya masuk karena pintu ternyata tidak dikunci.


Mikuri menemukan Hiramasa tengkurap di lantai masih memagang ponselnya. Ia basah kuyup oleh keringat. Mikuri pun segera membantu Hiramasa bangun lalu memberikan minuman elektrolit pada Hiramasa. Ia kemudian menyiapkan baju ganti dan meminta Hiramasa ganti baju terlebih dahulu.


Dibantu Mikuri, Hiramasa minum obat demam lalu makan eskrim. Ia pun kemudian tidur di ranjangnya. Hiramasa mempersilahkan Mikuri untuk mengambil uang pengganti belanjaannya. Mikuri mengiyakan saja, dan membiarkan Hiramasa istirahat.


Mikuri menutup pintu kamar Hiramasa, “Melihat laki-laki yang biasanya tenang ada dalam kesusahan. Aku suka.” Mikuri lalu beranjak ke dapur dan mulai mempersiapkan makanan.


Setelah selesai memasak, Mikuri membangunkan Hiramasa dan membiarkannya makan.



Hari sudah gelap saat Mikuri memeriksa suhu tubuh Hiramasa, yang ternyata sudah turun. Setelah memastikan Hiramasa sudah baikan, Mikuri pamit untuk pulang.


“Bagaimana dengan uang lembur?”


“Aku tidak memerlukannya. Aku hanya memasak makan malam,” tolak Mikuri.


Tapi Hiramasa menghentikan Mikuri, “Menurutku kau bisa menikah. Kau pintar bersih-bersih, dan masakanmu enak. Dan kupikir kau orang yang benar-benar bisa mengurus seseorang.”


“Aku merasa baru mendapatkan pujian untuk seumur hidup.”


“Bahkan jika saat ini kau tidak punya pacar...” Hiramasa ragu sebentar. “Maaf jika kau punya Kau masih muda. Hal-hal seperti pesta percomblangan atau perjodohan. Hal-hal seperti itu, yang mereka sebut "perburuan nikah"? Jika kau melakukan hal-hal itu, Bukankah kau bisa menikah jika kau menginginkannya?”


Mikuri batal pergi. Ia justru duduk di depan Hiramasa, “Anda salah sangka. Bukannya aku ingin menikah.” Mikuri mencoba menjelaskan. “Begini, Aku benar-benar gagal dalam pencarian kerja. Saat aku menjadi sarjana, dan saat aku meraih gelar magister, di kedua waktu itu, bahkan ketika aku bekerja sebagai pekerja sementara, saat mereka harus memilih antara aku dan orang lain, sekali lagi aku tidak dipilih. Bahkan saat tidak ada seorang pun yang mengakuiku, aku harus terus melakukan yang terbaik. Makanya, saat Anda sadar kawat nyamuk itu dibersihkan, dan berkata Anda bersyukur telah mempekerjakanku, Saat Anda berkata Anda berharap aku bisa bekerja lebih lama di sini. Aku pikir "Wah, ini dia!" Aku benar-benar bahagia dengan sesuatu seperti itu. Maaf sudah mengucapkan sesuatu yang tidak masuk akal. Ini keturunan. Turunan ayahku. Tolong lupakan hal itu.” pinta Mikuri. Aku mau seseorang. Aku mau seseorang memilihku. Berkata "Syukurlah ada kau di sini." Aku mau diterima. Apakah itu suatu kemewahan?


Mikuri lalu pamit pergi.



Numata-san seperti biasa nongkrong di bar.


“Kau lagi-lagi menunggu?” tanya si bartender.


“Aku dicampakkan lagi,” curhat Numata-san.


 


Selamat tinggal... pengalaman yang menyenangkan. Setiap orang ingin diinginkan oleh seseorang. Namun, tidak berjalan lancar. Sedikit demi sedikit menyerah pada berbagai emosi. Tertawa saat mau menangis. Mungkin begitulah, kehidupanku.


Jumat berikutnya, Mikuri kembali datang ke apartemen Hiramasa. Tapi kali ini ia tidak membawa alat kebesihan apapun. Ia justru membawakan bungkusan untuk Hiramasa, yang dikatakan dari ayahnya. “Dia berkata "Meski aku memaksamu mempekerjakan putriku," kami sekarang malah pindah. Aku benar-benar minta maaf." Terima kasih banyak untuk satu setengah bulan ini.”


Alih-alih menerima pemberikan Mikuri, Hiramasa justru meminta Mikuri untuk duduk. “Ini gajimu untuk hari ini.” Hiramasa kemudian menunjukkan sejumlah berkas. “Aku membuat simulasi hitungan. Ini besarnya jika kita membagi dua biaya sewa, air, listrik, dan biaya hidup lainnya. Perbandingan jika memasak dan makan di luar. Perbandingan jika menyewa pekerja rumah tangga atau tidak. Lalu, berdasarkan metode OC, jumlah waktu tak berbayar ibu rumah tangga adalah 2.199 jam per tahun. Jika dikonversikan ke gaji tahunan...”


“Jadi 3.041.000 yen,” sambung Mikuri.


“Betul. Dari itu, aku menghitung gaji per jam. Jika diasumsikan dalam sehari bekerja tujuh jam, ini gaji bulanannya. Dikurangi biaya hidup, gaji bersihnya sebesar ini. Aku juga membuat simulasi hitungan jika asuransi kesehatan dan bonus diberikan. Ini proposal saya untuk pernikahan de facto. (Jika pencatatan pernikahan tidak didaftarkan. Jika hidup bersama dan memiliki pekerjaan yang sama. Hanya sertifikat tempat tinggal yang berubah (istri tak terdaftar)).


“Pernikahan de facto?” Mikuri meyakinkan.


“Kartu keluarga tidak akan berubah. Dengan kata lain, kita hanya mengubah alamatmu, tanpa memasukkanmu ke kartu keluargaku. Tentu saja, kita perlu membahas syarat dan ketentuannya. Namun berdasarkan simulasi hitunganku, membiarkanmu tinggal di sini dalam bentuk pernikahan de facto, membayar gaji dan menyewamu sebagai istri, juga menguntungkan untukku. Tentu saja, ini semua tergantung padamu, Moriyama...”


“Aku bersedia! Tolong pekerjakan saya!” Mikuri langsung memberikan jawaban tanpa banyak pertimbangan lagi.


Tapi, Mikuri teringat sesuatu.



Hari itu, hari kepindahan keluarga Mikuri. Jadi, barang-barang Mikuri sudah di packing dan siap diangkut. Mikuri mencoba menelepon ibunya, sayangnya ibunya tidak mendengar dering telepon karena masih sibuk beres-beres. Tidak punya pilihan lain, Mikuri pun mengajak serta Hiramasa untuk datang ke rumah orang tuanya.


“Ada jalan pintas,” ujar Hiramasa.


“Bagaimana dengan pekerjaanmu?” Mikuri khawatir.


“Jam kerjaku fleksibel.”


Keduanya pun berlarian menuju pemberhentian bus.



“Kita entah bagaimana bisa sejauh ini, tetapi, Ayahmu, Pak Moriyama, Apa yang harus kukatakan padanya?” tanya Hiramasa saat keduanya duduk berdampingan dalam bus.


Mikuri berpikir sejenak, “Tolong berikan, putrimu padaku.” Situasi mendadak canggung. “Oh... aku hanya bercanda. Kita harus jujur dan berkata ini pernikahan de facto. Apakah mereka akan merestuinya?” usul Mikuri.


“Orangtuaku sepertinya mudah berkompromi, tetapi pemikiran mereka kuno untuk hal seperti ini,” ujar Hiramasa.


“Orangtuaku juga. Pilihan satu-satunya mungkin apa yang kita bilang pernikahan normal,” ujar Mikuri.


Hiramasa mencoba kembali ucapan Mikuri tadi, tapi ia masih kesulitan. Keduanya merasa kalimat itu terlalu kuno dan mulai berpikir kalimat yang sekarang lazim digunakan. Belum selesai membahas soal kalimat lamaran, Mikuri membahas hal lain.


“Jika kita hidup bersama, bagaimana dengan malam hari? Maksudku, bagaimana pengaturan kamar tidurnya?”


Hiramasa sedikit kaget, “Tenang saja, kita tidur terpisah. Karena aku lajang profesional.”


“Lajang... profesional?” Mikuri bingung.



Turun dari bus, Mikuri dan Hiramasa langsung menuju kediaman keluarga Mikuri. Tampak pekerja jasa pindahan tengah mengangkut sejumlah barang ke dalam mobil.


“Mikuri! Bukannya kau akan langsung ke sana dari tempat kerja?” tanya ibunya.


“Keadaan berubah....” Mikuri ragu untuk bicara.


Hiramasa lalu menyapa kedua orang tua Mikuri. Ia minta maaf karena baru sempat menyapa. Hiramasa pun mulai bicara ... niat hati ingin mengatakan lamaran. Kedua orang tua Mikuri pun sudah sangat penasaran. Tapi ternyata ia hanya mengucapkan terimakasih karena sudah membiarkan Mikuri bekerja di apartemennya.


Melihat Hiramasa kesulitan, Mikuri pun mengambil alih. “Kami akan menikah. Menikah. Aku dan Hiramasa. Jadi aku tidak pindah ke Tateyama. Aku akan pindah dengan ... “



Tapi situasi mendadak kacau karena ... Yuri. Mendengar kata menikah, Yuri naik pitam. Ia pun nyaris mencekek Hiramasa. “Menikah? Kau siapa?! Siapa orang ini? Dia orang asing. Apa kau bisa membuat Mikuri bahagia?!”


Melihat kekacauan ini, Mikuri dan ibunya mencoba menghentikan Yuri. “Tsuzaki adalah orang yang serius. Orang yang serius tidak akan menyentuh pekerjanya!”


Yuri dan kedua orang tua Mikuri bingung.


Mikuri meralatnya, “Dia melakukannya. Tentu saja dia melakukannya.”


Tapi situasi makin kacau, “Jangan-jangan, hamil di luar nikah?!” Yuri dan orang tua Mikuri kaget.


“Mana mungkin!” elak Mikuri cepat.


“Maafkan aku,” Hiramasa buru-buru minta maaf.


Situasi makin kacau, “Meminta maaf hanya akan membuatnya tambah mencurigakan,” ujar Mikuri pada Hiramasa.



Mikuri lalu berusaha menjelaskan semuanya lagi, “Aku tidak hamil atau apa pun, oke? Maafkan aku. Yuri! Ayah dan ibu juga, jangan menyalahkan Hiramasa. Aku bilang aku ingin bekerja di rumah Hiramasa. Aku bilang aku mau kami menikah, dan Hiramasa menerimanya. Jadi, tolong restui kami!”


Tidak hanya Mikuri saja, Hiramasa pun kemudian menunduk, meminta restu pada orang tua Mikuri dan juga Yuri.


Mobil keluarga Mikuri beranjak pergi. Diikuti oleh mobil yang membawa barang-barang mereka.


Dan begitulah. Dengan membawa sesedikit mungkin, barang keperluan sehari-hariku.


 


Kami tidak akan mengadakan resepsi. Kami akan menghadapi banyak rintangan bersama.


Dalam pertemuan kedua keluarga, Mikuri dan Hiramasa mengatakan tidak akan menyelenggarakan resepsi pernikahan. Ini membuat kedua keluarga kaget.


Tidak hanya itu, situasi kantor Hiramasa juga jadi kacau. Rekan-rekan kerjanya kaget karena mendapat kabar kalau Hiramasa menikah. Padahal dulu ia pernah bilang, tidak akan pernah menikah. Orang-orang pun kemdian menebak-nebak apa yang terjadi.


Karena pernikahan mereka tidak didaftarkan, Mikuri hanya mendaftarkan asuransi kesehatan dan perubahan alamat tinggal saja. Statusnya ... istri (tidak terdaftar)


Aku secara resmi direkrut sebagai ibu rumah tangga. Ibu Rumah Tangga


BERSAMBUNG


Pictures and written by Kelana


Kelana’s note :


Gak kebayang aja, tetiba tinggal satu atap sama orang yang baru dikenal dengan status ... istri. Ya meski Cuma istri kontrak aja sih. Tapi kan ya ... apartemen orang Jepang modelnya LDK aja.


Tapi serius kok, ceritanya makin ke belakang makin seru. Suka aja lihat Hiramasa yang biasanya tenang dan cool, tetiba jadi aneh dan salah tingkah. Sementara Mikuri yang ‘normal’ soal hubungan, justru kelihatan gak peka. Hehe


Na lagi nunggu episode 6 nih. Hubungan mereka ada perkembangan. Hasyeeeek!


Minggu-minggu ini jadwal anak-anak UAS, jadi Na akan agak sibuk nih. Semoga masih ada waktu buat nulis sinopsis ya. Doakan kepala Na bisa diajak kompromi, dan penyakit ngantukan sementara nggak kumat. #ehe

SINOPSIS Married as Job 01 part 1

12.43.00 4 Comments

SINOPSIS dorama Married as Job episode 01 part 1. Moriyama Mikuri, 25 tahun. Lulusan jurusan psikologi di universitas. Sekarang dia menjadi pekerja sementara yang melakukan pekerjaan administratif. Awalnya Mikuri mencari pekerjaan di bidang perencanaan atau desain produk baru. Tetapi gagal. Mikuri lalu meneruskan studi ke jenjang magister karena berpikir itu lebih baik daripada menjadi seorang sarjana pengangguran.



Di universitas, dia memilih jurusan psikologi klinis. Setelah lulus, selain menjadi psikolog klinis bersertifikat, sekali lagi dia mencari kerja. Tapi ternyata semua tidak berjalan seperti keinginan. Dengan gelar magister ilmu sosial ternyata tetap masih sulit mencari pekerjaan. Akhirnya Mikuri mendaftarkan diri ke agensi pekerja sementara. Ia pun bekerja di sebuah perusahaan, melakukan berbagai pekerjaan dari pekerjaan di depan laptop hingga mencuci tempat minum milik atasan. Mikuri bahkan harus mengajari pekerja sementara yang lain soal komputer. Meski statusnya pekerja sementara, tidak jarang Mikuri pun harus menerima kritik atas pekerjaannya.


Sekali lagi, semuanya tidak berjalan seperti semestinya. Atasan memanggilnya dan ternyata Mikuri dipecat. Kontraknya sebagai pekerja sementara tidak diperpanjang. Menurut sang bos, perusahaan sedang mengurangi jumlah pekerja sementara. Sayangnya, ternyata Mikuri-lah yang kemudian dipecat. Padahal ada pekerja sementara lain, yang sebenarnya jauh lebih buruk darinya.



“Fakta bahwa aku punya gelar magister, seharusnya tak kukatakan saja. Sejak saat itu mereka memperlakukanku berbeda. Pekerja sementara tidak tahu kapan mereka akan dipecat. Tapi kalau memikirkan menjadi pekerja penuh waktu, aku bertanya-tanya apa ini pekerjaan yang mau kulakukan seumur hidup dan sejenisnya. Karena aku tidak bisa memutuskan, mulai hari ini... aku pengangguran!” curhat Mikuri di apartemen tantenya, Yuri-chan.


Yuri tengah bersiap akan berangkat ke kantor, “Kau belum bisa keluar, ya? Fobia cari kerja. Ketakutan untuk mencari kerja.” Ponsel Yuri berdering. Suara di seberang memintanya segera bergegas.


Kau sangat beruntung, Yuri. Kau punya sesuatu untuk dikerjakan.”


“Ini sebenarnya tidak mudah. Pasangan baru yang ditugaskan di bawahku benar-benar tak berguna. Akibatnya, aku tidak bisa punya setengah hari. Tolong terima paketku, oke? Mereka akan mengirimkannya kembali jika aku tidak menerimanya hari ini,” pinta Yuri sebelum beranjak pergi.


“Aku akan bersih-bersih sementara aku di sini,” Mikuri menawarkan.



Mikuri pulang ke rumah dan membantu ibunya menyiapkan makan malam. Mereka makan malam dengan sup harira, yang didapat dari Yuri (tante-nya Mikuri), yang pergi ke Maroko pada Natal sebelumnya. Yuri sengaja pergi ke negara yang tidak merayakan natal. Yuri benci sendirian selama natal. (alih-alih perayaan agama, di Jepang, Natal justru hari untuk pasangan. Jadi akan ada banyak pasangan yang keluar bersama).


“Jadi, aku punya kenalan, namanya Tsuzaki Hiramasa. Dia seorang insinyur enginer. Karena dia sibuk dan tidak bisa melakukan pekerjaan rumah tangga, aku dengar dia menyewa jasa pembersihan rumah yang datang seminggu sekali ke rumahnya. Jadi, kami memutuskan mulai sekarang Mikuri akan menjadi pekerja sementara di rumah Tsuzaki,” ujar ayah Mikuri.


Mikuri jelas kaget dengan keputusan tiba-tiba ayahnya ini. Meski Cuma bekerja selama tiga jam saja, gaji yang diberikan lumayan. 2000 yen per jam. Tapi Mikuri tidak suka dengan ide tiba-tiba ayahnya ini. Sayangnya, meski protes, kedua orang tuanya tidak mendengarkan Mikuri.


“Ini alamat, nomor telepon, dan surel Tsuzaki,” ujar ayahnya lagi.



Dengan membawa tas besar yang cukup berat, Mikuri pun datang ke apartemen Tsuzaki Hiramasa-san dan memperkenalkan diri sebagai putri dari Hiramasa Tochio-an, ayahnya. Hiramasa dibuat kaget karena pengurus kebersihan rumahnya masih sangat muda. Tas berat Mikuri ternyata adalah sejumlah peralatan kerja untuk kebersihan.


Hiramasa-san mempersilahkan Mikuri masuk. Ruangannya sebenarnya tidak terlalu luas. Hanya satu kamar tidur, satu toilet dan satu ruangan serbaguna untuk dapur dan ruang tamu. “Hingga beberapa hari yang lalu aku mengontrak jasa pembersih rumah.” Tapi ternyata tidak ada satupun yang cocok dengan selera Hiramasa-san, hingga berkali pula ia minta ganti pekerja.


“Saat aku berpikir ternyata sangat sulit, Moriyama berkata... Maksudku ayahmu, Pak Moriyama, berkata...’Putri saya mahir bersih-bersih dan antusias’. Dia berkata kau mendapatkannya dari ibumu.” Obrolan itulah yang akhirnya membuat ayah Mikuri merekomendasikan Mikuri untuk bekerja sebagai pembersih rumah.


Hiramasa-san memberikan penjelasan soal apa saja yang harus dibersihkan dan harus diperhatikan oleh Mikuri. Selain itu, ia pun memberikan bayarannya di muka. “Aku akan memutuskan apakah akan mempekerjakanmu lagi minggu depan berdasarkan kerjamu hari ini.” Sehingga jika tidak cocok dengan pekerjaannya nanti, maka tidak perlu bertemu lagi.


Mikuri pun mengerti. “Instruksimu sangat rinci. Aku mengerti,” ujar Mikuri selanjutnya.


“Saat kau selesai, tolong kunci pintunya, dan tinggalkan kuncinya di kotak pos di lantai pertama. Aku pergi kerja dulu,” pamit Hiramasa-san.



Hari pertama Mikuri bekerja sebagai pembersih rumah pun dimulai. Menata ruangan, membuang sampah, mencuci peralatan makan dan membersihkan dapur, lalu membersihkan kamar mandi, mencuci pakaian dan tidak lupa mengelap jendela yang menghadap balkon.


Aku tidak pernah berpikir pekerjaan rumah tangga adalah sebuah pekerjaan. Yang kupelajari di universitas tidak berguna di sini. Namun aku akan menikmatinya, dan menargetkan pekerjaan tetap!



Yuri-san (tante Mikuri) makan siang bersama kedua bawahannya. Kedua karyawan baru itu tengah bertengkar, membuat Yuri-san ikutan kesal. Karena tidak tahan lagi, Yuri-san pun turun tangan mendamaikan keduanya. Setelah tenang, mereka baru saja mulai makan siang, tapi keributan lain tengah terjadi di restoran itu.


Dari lantai yang agak lebih tinggi, terdengar suara marah seorang wanita. Ia kesal pada kekasihnya yang tidak mau menikahinya, meski mereka sudah pacaran cukup lama. Si pria beralasan kalau ia senang dengan hubungan mereka saat itu dan tidak berpikir untuk menikah. Keduanya pun putus.


Si pria tadi turun dari lantai atas dan berjalan keluar, lewat dekat meja tempat Yuri-san dan kedua bawahannya tengah makan. Pria tampan itu sedikit menarik perhatian Yuri-san. “Dia yang terburuk! Aku tidak bisa menghadapi laki-laki yang pintar omong seperti dia. Lebih parah lagi, dia keren. Aku tidak bisa membalasnya.”



Hiramasa-san tengah makan siang sendirian seperti biasa. Saat itu kedua rekan kerjanya, Numata-san (baru oranye garis-garis) dan Hino-san (baju putih) ikut nimbrung. Hino-san pamer bekal makan buatan istrinya. Sementara Numata-san pamer bekal makan buatan sendiri yang tidak kalah enak karena semuanya organik. Dari arah lain, muncul si pria yang tadi memutuskan pacarnya di restoran, Kazami-san. Ternyata mereka adalah rekan kerja di kantor yang sama.


“Aku bertanya-tanya kenapa semua orang ingin menikah?” curhat Kazami-san sambil mengambil minuman.


“Kenapa? Menikah itu menyenangkan! Sangat membahagiakan!” ujar Hino-san.


“Bagaimana denganmu? Menikah maksudnya,” giliran Numata-san yang bertanya pada Hiramasa.


Hiramasa tampak tidak terganggu oleh ulah rekan-rekannya ini sama sekali. Ia tetap dengan wajah datar tanpa ekspresi, menyantap makan siangnya, “Itu hal termustahil yang bisa kulakukan.”



Mikuri masih melanjutkan pekerjaan bersih-bersih rumahnya. Kali ini sasarannya adalah jendela yang menghadap balkon. Saat itu, di bawah ada pasangan keluarga lain yang tengah melintas. Melihat itu, Mikuri pun menyapa mereka dengan melambaikan tangan.


Kalau orang lain melihatku, akankah aku terlihat seperti pengantin baru? Sebaliknya, jika aku menerima pekerjaan abadi "menikah", akankah aku terbebas dari lingkaran setan pencarian kerja? Meski ini bukan tentang itu....


Mikuri menemukan ada bangku di balkon dengan beberapa sampah di atasnya. Meski heran, dia hanya membersihkan sampah yang mirip remahan makanan itu.



Selesai bekerja, Mikuri datang ke apartemen tantenya, Yuri-san. Mikuri cerita soal pekerjaan barunya itu, sebagai pembersih rumah. “Ayah. Menurutku dia khawatir aku sudah mencapai limitku dalam pencarian kerja. Namanya Tsuzaki Hiramasa, dia benci kalau hari liburnya dirusak dengan kegiatan bersih-bersih, jadi dia menyewa jasa pembersih di hari Jumat.”


Yuri-san manggut-manggut mengerti, “Aku paham. Sangat menyebalkan pulang dalam keadaan capek dan apartemenmu kotor. Berapa umurnya?”


“Hmm... mungkin lebih dari 30?” Mikuri membawa makanan yang selesai disiapkannya ke meja.


“Apa kau akan baik-baik saja sendirian di sana, sebagai perempuan lajang?” Yuri-san khawatir.


Tapi Mikuri tampak santai saja, “Dia kelihatannya sama sekali tidak berbahaya, seperti tipe herbivor. Jenis orang yang serius. Aku tidak cocok dengan tipe seperti itu. Kenapa?” (di jepang ada istilah pria tipe herbivor, atau penyuka sesama. Selain herbivor ada juga tipe karnivor, asparagus dan beberapa tipe lain)


“Maksudku, bahkan jika dia terlihat jinak, kau tidak tahu apa yang dia pikirkan!” desak Yuri-san.


Tsuchiya Yuri, usia 49 tahun, lajang. Bekerja sebagai humas di perusahaan kosmetik. Setelah lulus kuliah, seperti orang lain, dia disibukkan dengan pekerjaan dan pengangkatannya dan sekarang menjadi manajer departemen. Meski demikian, dia bekerja keras seperti orang lain, dia menikmati hidup seperti orang lain. Hanya satu kekurangannya. Yuri... belum menikah!


Dan obrolan tante-keponakan ini pun beranjak soal pernikahan atau karir. Yuri berpikir ia sudah cukup bahagia dengan hidupnya sekarang, jadi tidak perlu mencari alasan untuk menikah.


“Aku iri padamu, Yuri. Melakukan pekerjaan yang kau sukai, bertanggung jawab pada semua proyek, bahkan melatih anak buahmu.”


“Hal-hal itu tidak membuatku bahagia,” elak Yuri cepat.


“Hah? Namun itu berarti perusahaan membutuhkanmu. Ya, itu hal yang harus disyukuri,” ujar Mikuri. Ponselnya berbunyi. Ternyata pesan dari Hiramasa-san yang mengatakan kalau minggu depan dia bisa datang lagi untuk bersih-bersih rumah. Artinya pekerjaan Mikuri disetujui oleh Hiramasa. “Aku diterima bekerja!” seru Mikuri senang.



Mikuri datang ke apartemen Hiramasa-san seperti biasa di hari Jumat. Hiramasa meminta Mikuri hanya menyedot debu dan mencuci saja. Selain itu ia juga memberikan daftar belanjaan yang harus dibeli Mikuri.


Aku sendiri terkejut aku bisa begini bahagia melakukan pekerjaan rumah tangga. Pakaian dalam? Tidak ada satu pun pakaian dalam di sini. Aku tebak dia memisahkannya lebih dulu. Aku mencuci pakaian dalam ayahku di rumah, jadi aku tak keberatan. Namun sepertinya majikanku pengertian. Mungkin karena aku lebih muda darinya. Mengetahui ilmu psikologi sebenarnya sedikit membantu. Apa yang majikanku benci dan apa yang dia sukai. Ini bukan pekerjaan wajibku, tetapi setiap kali, aku membersihkan satu area secara menyeluruh. Maksudku dengan waktu yang kupunya.



Setelah menyelesaikan semua pekerjaannya, Mikuri masih sempat membuat catatan kecil untuk Hiramasa-san. Membaca catatan yang ditinggalkan Mikuri, ekspresi Hiramasa-san sedikit berubah, lebih tampak cerah.


Baginya, ini bukan pekerjaan luar biasa. Seminggu sekali selama tiga jam. Jika diukur dengan gaji bulanan, hanya 24.000 yen per bulan. Bahkan jika dia meneruskan pekerjaan ini, impiannya tidak akan terwujud. Meski begitu mengapa dia bekerja begitu giat?



Mikuri makan malam bersama kedua orang tuanya seperti biasa. Sepertinya mereka asyik mengobrolkan sesuatu, yang tidak diketahui Mikuri. Tanpa membicarakan lebih dulu, ternyata ayah dan ibunya telah membeli sebuah rumah gaya lama di Tateyama, Chiba.


“Kami memutuskan untuk pindah dari sini di akhir bulan. Kau harus berhenti dari pekerjaanmu,” ujar ayah Mikuri, membuat kaget.


“Maaf ini sangat mendadak,” sambung ibunya.


“Tunggu...!” tapi lagi-lagi protes Mikuri tidak didengarkan oleh kedua orang tuanya ini. Mereka sudah dengan seenaknya sendiri mengambil keputusan dan sekarang asyik membahas soal renovasi rumah itu tanpa mempedulikan protes Mikuri sama sekali.


Mikuri yang tidak punya pekerjaan, tidak mungkin tinggal sendiri. Jadi, pilihannya adalah ikut pindah juga bersama orang tuanya. Mikuri sempat protes, karena rumah itu adalah rumah gaya lama. Tapi orang tuanya tidak mendengarkan. Mereka hanya ingin bisa tinggal di rumah gaya lama dan menikmati masa pensiun ayah Mikuri. Jika ikut pindah, artinya Mikuri juga harus berhenti bekerja sebagai pembersih rumah di apartemen Hiramasa-san.



Remah makanan yang ditemukan Mikuri di kursi yang ada di balkon ternyata makanan burung. Hiramasa-san yang sengaja meletakkan remah itu di sana, agar ada burung yang datang untuk makan.


“Ini sepertinya emprit jepang. Dia kadang datang ke sini. Sepertinya dia hidup bebas di lingkungan ini. Aku khawatir karena tidak melihatnya belakangan ini. Syukurlah dia baik-baik saja. Kalau begitu, aku berangkat kerja dulu,” pamit Hiramasa-san kemudian.


Tapi Mikuri menghentikan Hiramasa-san dan mengajaknya bicara. Ia pun menceritakan kalau orangtuanya akan pindah ke Tateyama, jadi ia tidak bisa lagi bekerja sebagai pembersih rumah.


“Ini masalah keluargamu, aku juga tidak bisa apa-apa,” komentar Hiramasa-san, tanpa ekspresi apapun.


“Aku akan bekerja sampai akhir bulan,” lanjut Mikuri.



Hiramasa-san kemudian membahas soal kawat nyamuk yang telah dibersihkan oleh Mikuri. Mikuri minta maaf karena belum minta izin lebih dulu.


“Saat aku membuka gorden di Sabtu pagi, ruangan ini lebih terang dari biasanya. Aku bertanya-tanya apa sebabnya. Lalu kupikir "Oh! Kawat nyamuk!" Aku menyadari kawat nyamuknya bersih. Hal itu membuat perasaanku gembira, dan membuatku berpikir Aku bersyukur telah mempekerjakanmu, Moriyama. Jika memungkinkan aku ingin kau terus bekerja di sini,” ujar Hiramasa-san pelan.


Ternyata jawaban Mikuri tidak terduga, “Aku juga. Lebih dari itu, menjadi pekerja inap! Bisakah Anda mempekerjakanku?” pinta Mikuri.


Hiramasa-san terkejut dengan tanggapan Mikuri, “Seperti yang kau pikir, tinggal bersama perempuan sebelum menikah akan...”


“Kalau begitu, kenapa tidak menikahiku?” tembak Mikuri tanpa ragu. “Meski ini pernikahan, ini akan seperti pekerjaan. Aku akan seperti pekerja rumah tangga biasa. Seperti kawin kontrak!” melihat ekspresi Hiramasa-san yang bengong, Mikuri pun segera sadar diri. “Omonganku tidak masuk akal, ya? Maaf atas ucapanku yang tidak masuk akal. Aku hanya bercanda, meski tidak ada yang tertawa. Oh, Anda akan telat masuk kerja! Ini, ambil ini. Maaf sudah menahan Anda. Cepat, Anda akan terlambat. Cepat!” Mikuri memberikan tas kerja milik Hiramasa-san dan memintanya segera berangkat bekerja.



Setelah Hiramasa-san berangkat, tinggal Mikuri yang justru meringkuk di lantai. Ia merasa begitu malu sudah mengatakan ide soal pernikahan barusan pada Hiramasa-san. “Ini semua karena percakapan aneh dengan Yassan dua hari lalu!”


Dua hari sebelumnya, Mikuri bertemu dengan temannya, Yassan yang sudah menikah dan memiliki seorang putri. Yassan mengatakan kalau ia percaya suaminya selingkuh dan tengah mencari buktinya. Karenya itulah Yassan pun memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuanya.


“Bagaimana mungkin aku tahan? Mencuci pakaian dalam atau memasak untuk pembohong. Dia tidak pernah mengucapkan "terima kasih" sebelumnya. Dia bertingkah seolah-olah semua itu kewajibanku. Meski demikian, aku tidak melakukan apa-apa selain mengurusnya selama tiga tahun ini. Semua itu untuk apa? Kalau kau bekerja selama tiga tahun, kau bisa membangun karier. Namun jika ibu rumah tangga selama tiga tahun bercerai, tidak ada artinya,” curhat Yassan pada Mikuri.


“Hirari masih ada di sini, 'kan?” Mikuri menunjuk bayi perempuan tidak jauh dari mereka.


“Aku tidak keberatan merawatnya. Aku akan melakukan segalanya. Apa yang membuatku kesal adalah, Kalau dari gajinya, aku yakin dia tidak akan membayar uang kompensasi atau tunjangan anak. Yang berarti pada akhirnya aku yang harus membesarkannya sendirian. Meskipun aku tidak punya karier atau uang simpanan. Kebutuhan ibu tunggal tentu saja besar. Siapa yang akan mempekerjakanku? Omong-omong, jika kau menghitung gaji ibu rumah tangga per tahun ... “


“Kudengar mencapai 3.041.000 yen,” sambung Mikuri.


“Kau paham benar, ya. Namun kalau kau menikah, kau tidak digaji meski kau mengerjakan pekerjaan rumah.”


Dan ide itu pun melintas di kepala Mikuri, “Bagaimana kalau begini? Memasangkan seorang laki-laki yang membutuhkan pekerja rumah tangga dan perempuan yang suka melakukannya. Majikan dan pekerja. Kawin kontrak berbayar. Itu mungkin dilakukan. Bagaimana?”


“Tidak, tentu saja tidak! Bagaimana dengan malam hari?” tanya Yassan. “Sedikit biaya tambahan karena tinggal serumah? Tidak, aku tidak akan melakukannya. Kau tidak bisa melakukannya kalau kau tidak jatuh cinta, 'kan?”


“Lalu, kenapa tidak menikah saja sebagai sepasang kekasih? Itu pernikahan normal.”



Hiramasa-san bekerja seperti biasa. Tapi kali ini ia tidak fokus dan justru menarik perhatian Numata-san. Bahkan Hiramasa justru mengetikkan hal yang seharusnya tidak diketik dalam programnya.


“Kau seperti sedang melamun, tapi sebenarnya kau menyimak,” ujar Numata-san.


“Aku tidak melamun,” elak Hiramasa-san cepat.


“Setiap dua puluh menit sekali, kau berhenti bekerja seperti sedang memikirkan sesuatu. Aku hanya kebetulan melihatnya. Kebetulan. Tak disengaja. Kenapa tidak mencoba mendiskusikannya dengan seniormu yang hebat ni?” Numata-san menawarkan.


“Tidak ada yang perlu didiskusikan,” tolak Hiramasa cepat.


Terus dibujuk, akhirnya Hiramasa sedikit bercerita soal ‘teman-nya’ ini. Dan soal kata-kata ‘menikahiku’. Tapi obrolan mereka belum selesai saat ada pekerjaan lain datang.



“Minta perhatiannya sebentar! Jadi, perusahaan sistem registrasi di Milan, sebagian spesifikasinya akan berubah. Kalian bisa mendengar detailnya dari Nabe dari bagian penjualan. Oke, silakan!” sang manajer kemudian melarikan diri.


Para karyawan itu kemudian melihat detail pekerjaan yang ditinggalkan pada bagian penjualan, Nabe. Ternyata itu artinya mereka harus menulis ulang program yang sebenarnya diselesaikan dalam waktu satu bulan. Padahal, waktunya hanya ... hingga minggu depan!


BERSAMBUNG


Pictures and written by Kelana


Kelana’s note :


Nggak sengaja nonton drama ini sih. Awalnya karena dikasih tahu sama teman. Nggak tertarik-tertarik amat, soalnya bukan selera Na. Eh tapi ... setelah nonton episode satu, Na berhasil dibuat senyum-senyum sama drama ini. Sebuah drama kehidupan yang biasa terjadi, tapi dikemas dengan apik. Dan sukses bikin ketagihan bin galau nunggu episode berikutnya.


Entah sudah berapa drama neng Yui Aragaki yang Na tonton. Tapi, baru kali ini Na nonton drama neng Yui dengan rambut pendek. Sepertinya lebih asyik aja sih, cocok dengan karakter Mikuri yang ceria. Pemeran utama prianya, om Hoshino Gen, pertama kali Na tahu dia main di Detektif Q. Drama lama sih. dan beberapa kali muncul juga di drama lain. Tapi baru kali ini Na tahu kalau dia ini adalah aktor, seiyu dan juga penyanyi. Dan setelah ditonton sampai episode-episode berikutnya, Na akhirnya ngerti kenapa om Gen yang dipilih memerankan karakter Tsuzaki Hiramasa-san ini. Cocok banget lah.


Lagu di ending drama ini asyik banget. Apalagi ada gerakannya juga. Oh ya, karena Na posting Cuma dua kali satu minggu, jadi mungkin agak lama. Mohon sabar ya, dan terimakasih selalu.