SINOPSIS Married as Job 11 end part 2

14.18.00 2 Comments

SINOPSIS dorama Married as Job episode 11 part 2 end. Duh, maaf ya guys. Bagian terakhir dari sinopsis drama satu ini malah lama. #tjurhat. Tapi ya selamat membaca aja #ehe


Kesepakatan Mikuri dan Hiramasa untuk menjalankan ‘rumah tangga’ sebagai perusahaan bersama ternyata tidak berjalan lancar begitu saja. Ada saja masalah yang terjadi antara keduanya. Mikuri bahkan sempat begitu sedih dan berpikir untuk mundur saja. Kali ini giliran Hiramasa yang akan menarik Mikuri dari persembunyiannya.



Mikuri baru keluar dari kamar mandi saat Hiramasa sudah menunggunya di ruang makan. Rupanya tadi Mikuri mengerjakan pekerjaannya di kamar mandi. Rapat pertanggungjawaban ketiga manajemen bersama perusahaan 303.


Sudah satu minggu Hiramasa dan Mikuri berbagi tugas manajemen rumah. Tapi ternyata situasi tidak berjalan seperti harapan. Mikuri merasa ini sulit. Meski mereka berbagi tugas, kalau ada tugas salah satu yang tidak dibereskan, Mikuri merasa bersalah.


Mikuri melanjutkannya ucapannya, “Soal makanan, Walaupun aku yang bertanggungjawab, Maaf kalau kau tidak merasa puas.”


“Tidak, aku tidak akan menyalahkanmu,” elak Hiramasa cepat.


“Haruskah aku hentikan saja pembagian tugas ini?” usul Mikuri tiba-tiba, “Seperti berbagi rumah, Kita akan melakukan semuanya masing-masing. Bahkan kita akan masak nasi dan bersih-bersih masing-masing.”


“Tapi kalau itu terjadi, Ada kemungkinan tak satupun ruang bersama akan dibersihkan,” potong Hiramasa.


Mikuri menarik napas berat, “ Semua pekerjaan rumahtangga, Aku yang akan mengerjakannya. Tapi itu sukarela. Karena itu hanya bersifat sukarela, Kalau aku merasa, "Ah, aku tidak mau masak nasi hari ini”, Aku tidak akan melakukannya. Kalau aku bilang "Aku tidak mau bersih-bersih", Aku tidak akan bersih-bersih. Karena bersifat sukarela, Kau tidak boleh bilang "Apa tidak ada nasi?" Kau tidak boleh bilang "Ruangannya sangat kotor" Itu karena aku melakukannya dengan sukarela, Itu bukan pekerjaanku.” (Mikuri ini agak keras kepala deh ya)


“Mikuri-san, Arah ceritanya...” Hiramasa makin tidak mengerti maksud Mikuri.


Air mata nyaris mengalir di pipi Mikuri, “Bagaimana kalau kita berhenti sekarang juga? Hiramasa-san, Kau merasa kerepotan, kan? Kalau seperti ini terus. Sebelum kau hidup bersamaku, Gajimu pasti cukup untuk meminta asisten rumahtangga dari agen luar untuk datang seminggu sekali. Kalau kau hidup sendiri. Baik tentang kompensasi pekerjaan ibu rumahtangga atau semacamnya, Tak akan ada yang "kepandaian" mengatakan hal itu padamu. Hiramasa-san, wanita yang akan menerima lamaranmu dengan senang hati, Pasti banyak sekali. Jadi itu hal yang normal. Tidak akan ada yang membuatmu kerepotan.” Mikuri beranjak dari kursinya dan kembali mengurung diri di kamar mandi.



Hiramasa tidak habis pikir dengan ucapan Mikuri ini. Ia beranjak mendekati burung emprit yang kini ada di dalam sangkar. Hiramasa mengingat masa-masa ia masih bersikap begitu tertutup pada Mikuri.


Mikuri-san menutup pintunya. Suatu hari, Mungkin aku masih sama dengan aku yang tertutup. Kalau itu terjadi, Aku.. Tahu cara untuk membukanya.


Lalu saat perlahan-lahan Mikuri mencoba mendekati Hiramasa. Usaha demi usaha yang dilakukan Mikuri hingga akhirnya sekarang Hiramasa tidak lagi menjadi sosok yang sangat tertutup.


Terus dan terus terulang kembali.. Tanpa kenal lelah, Kau terus mengetuknya. Tidak ada orang lain, Dialah Mikuri-san.



Mikuri benar-benar menangis sambil memeluk lututnya di dalam kamar mandi yang sempit. Sementara itu, di luar Hiramasa mendekat dan mengetuk pintu kamar mandi. Hiramasa mengajak Mikuri bicara, tapi juga tidak memaksa Mikuri membuka pintu. Hiramasa akhirnya memilih duduk di depan pintu dan mulai bicara.


“Menghindari dan terus menghindari kerepotan, Kalau aku terus menghindarinya sampai pada batasnya, Berjalan dan makan juga akan jadi merepotkan. Bahkan untuk bernapas, Itu juga akan jadi merepotkan. Bukankah aku akan lebih dekat dengan batas kematian? Untuk bertahan hidup, Itu juga akan jadi merepotkan. Jadi sendirian atau berdua sama saja. Masing-masing punya kerepotan yang berbeda. Jalan yang manapun, Walaupun merepotkan, Bukankah kalau kita bersama, Kita pasti bisa mengatasinya? Kita akan mendiskusikannya, Saat tidak memungkinkan, Kita bisa melakukannya di waktu yang lain. Bahkan kalau ada kecurangan demi kecurangan, Bagaimanapun caranya, Bukankah kita bisa mengatasinya? Bukankah tidak ada yang tidak bisa kita lakukan bersama?”


Hiramasa berhenti bicara. Kepalanya menoleh ke arah pintu yang tetap tertutup. Di dalam, ternyata Mikuri juga mendengarkan ucapan Hiramasa.


Hiramasa kembali melanjutkan kalimatnya, “ Mikuri-san,Walaupun kau sendiri bilang kalau itu bukanlah hal yang normal, Bagiku, Sekarang sudah terlalu jauh. Aku sudah tau sejak lama. Itu bukan masalah yang besar. Kalau orang-orang menghakimi kita, Kita.. Sejak awal memang sudah tidak normal. Sekarang sudah terlalu jauh. Aozora, Aku akan menantikannya dengan senang hati. Selamat malam.” Hiramasa pun beranjak bangun dan pergi.


Saat semuanya tidak berjalan lancar, Seseorang akan menunggu, Seseorang akan percaya, Aku tidak boleh kehilangan arah, Ayo kita bangun lagi, Satu persatu. Ayo kita bangun lagi, Walaupun perlahan-lahan.



Hari bazar di Aozora pun akhirnya tiba. Para pedagang sudah bersiap di stand masing-masing. Keributan hari itu membuktikan kalau para pedagang bersemangat menjajakan dagangan mereka pada tiap pengunjung yang datang.


Tapi sekelompok pedagang pria berlarian mendekati Mikuri. Mereka melaporkan kalau selebaran untuk bazar Aozora ini hilang. Pedagang yang lain mengatakan kalau selebaran itu ditumpuk dan diletakkan di belakang mobil. Dan saat mobil berjalan, selebaran itu pun terbawa angin. Hingga hanya tersisa selembar.


Tidak mau acaranya kacau, Mikuri pun mengambil selebaran yang tinggal satu lembar itu. Ia berniat mengkopi selebaran itu lalu berlari keluar.



Dari arah lain tampak Yuri-san bersama Numata-san datang ke area bazar itu. Mereka berdua menyapa Mikuri dengan riang.


“Maaf Yuri-chan, Aku mau pergi,” sesal Mikuri, karena belum bisa membalas sapaan kedua orang tadi dengan layak. Mikuri pun langsung berlari pergi.


Dari arah lain datang Hiramasa. Dia bertanya soal Hino-san. Dan seperti biasa, anaknya Hino-san mengalami demam jadi ia tidak bisa datang. Saat ditanya oleh Hiramasa, Yuri mengatakan kalau ia tadi bertemu Mikuri. Tapi sepertinya Mikuri sedang terburu-buru, jadi langsung pergi saja.


“Aku berharap bisa berlari seperti Mikuri-san,” komentar Hiramasa.


“Pemikiran macam apa itu?” protes Yuri-san.


“Itulah cinta.” Komentar Numata-san.



Yuri-san dan Numata-san memilih duduk di salah satu area bazar itu.


“Aku jadi sangat ketakutan. Aku lebih berkecil hati dengan usiaku sendiri daripada berkencan. Apakah akan lebih baik kalau kami berteman saja? Aku tidak bisa melakukannya dengan mudah,” curhat Yuri-san.


“Aku juga punya rasa berkecil hati. Karena aku selalu dicampakkan. Aku tidak mengirimkannya pesan kepastian. Aku menghindari dan terus menghindarinya untuk mengulur waktu,” balas Numata-san, dengan curhatnya juga.


“Kita adalah orang dewasa yang tidak berguna. Apa yang bisa kita lindungi?” komentar Yuri-san. Lalu ide itu pun muncul, “Kenapa kau tidak mengirimkan pesan saja? Aku juga akan mengirimkannya. Kalau berakhir dengan hasil menyedihkan, Tolong pungut tulangku,” ujar Yuri-san, yakin.


“Baiklah, pungut juga tulangku,” Numata-san setuju dengan ide Yuri-san ini soal mengirim pesan.



Dua orang bawahan Yuri-san tengah berjalan menuju area bazar juga. Di salah satu sudut jalan, mereka menemukan banyak kertas berserakan. Keduanya pun memutuskan untuk mengambil kertas-kertas itu.


Dari arah lain, tampak Mikuri masih berjalan dengan cepat, “Mesin fotokopinya kehabisan toner, Benar-benar tidak bisa dipercaya. Aku akan ke tempat lain yang bisa memfotokopi.” Dan Mikuri melihat kedua karyawan tadi, “Selebarannya!” seru Mikuri saat melihat selebaran yang dicarinya ada pada kedua karyawan tadi. “Aku berimakasih pada kalian, bawahan Yuri-chan.” Mikuri lalu pamit pergi.



“Aku juga akan memanggilnya "Yuri-san",” ujar si karyawan wanita.


“Jangan! Itu adalah nama samaranku,” cegah si karyawan pria. Dengan sedikit malu-malu ia pun mengaku, “Aku meminjam nama Tsuciya-san tanpa izin untuk aplikasi gay.”


Si karyawan wanita kaget, “Apa? Kau gay?”


Si karyawan pria mengangguk tapi meminta pada si karyawan wanita untuk merahasiakan hal itu. “Aku tak punya keberanian untuk menunjukkannya. Aku berkenalan dengan seseorang di aplikasi gay, Dia sangat cocok denganku. Walaupun aku yakin dia pasti kerja di sekitar sini, Tapi dia tidak akan pernah menemuiku. Aku yakin dia bilang padaku kalau dia akan mati...” dan pesan itu pun datang. Sebuah pesan gambar, gerbang tempat bazar Aozora, yang meminta si karyawan pria untuk datang.



Mikuri kembali berlari ke area bazar. Ia menyerahkan selebaran tadi dan meminta para pedagang pria untuk segera membagikan selebaran itu secepatnya.


Mikuri masih ngos-ngosan karena berlarian tadi. Ia tengah berusaha mengatur nafasnya kembali saat melihat Hiramasa ada di depan toko milik Yassan.



Tampak Hiramasa tengah melayani pembeli saat Mikuri mendekat. Mikuri menegur Yassan karena justru melamun padahal banyak pembeli yang datang.


Dari arah lain, ternyata datang Hino-san yang langsung menyapa Hiramasa, “Kaget, kan? Anakku demam itu bohong,” aku Hino-san akhirnya.


“Apa kau Hino-san?” tanya Mikuri.


“Mikuri-chan? Akhirnya aku bertemu denganmu.. Aku kira tidak akan bisa bertemu denganmu selamanya,” komentar Hino-san.


Hino-san pun menjabat tangan Mikuri. Tampak ia sangat sumringah. Terutama karena soal ‘takdir terbalik’. Saat ia berencana untuk pergi, ternyata anaknya malah demam. Sekarang sebaliknya, saat ia tidak berencana pergi, ternyata anaknya malah baik-baik saja dan kini ia berada di area bazar Aozora itu.


Dari arah lain, datang juga seorang wanita dengan dua anak di gandengannya. Hino-san memperkenalkan wanita itu sebagai istrinya, pada Hiramasa dan Mikuri.


“Salam kenal. Aku istrinya Hino.”



Numata-san menyindir Yuri-san yang tidak juga mengirimkan pesannya. Padahal tadi Yuri sendiri yang punya ide itu.


“Berikan padaku, Biar aku saja yang mengirimnya..,” ujar Numata-san dan mereka berdua pun berebut ponsel Yuri.


Dan dari arah lain ternyata datang bartender bersama Kazami-san. Yuri kaget, karena ia bahkan belum mengirim pesannya. Tahu situasinya, bartender tadi lalu menyeret Numata-san menjauh dengan alasan mengajaknya bicara.



Dua bawahan Yuri-san ini akhirnya tiba di komplek bazar Aozora.


“Kau tidak tahu wajahnya?” tanya si karyawan wanita.


“Dia tidak pernah mengganti fotonya. Ciri-cirinya adalah nori senbei berukuran besar. (Nori senbei: Kue beras yang dilapisi nori]” si karyawan pria menunjukkan kua beras yang ada di tangannya.



Yuri-san dan Kazami-san akhirnya punya waktu bicara berdua.


“Dia bilang "Aku bertengkar dengan Yuri-san". Positive monster itu yang mengakuinya sendiri,” cerita Kazami.


“Itu julukan yang hebat. Gadis itu bilang apa?”


Dia adalah wanita 50 tahunan yang beruntung. Aku tidak ingin bertengkar sekali lagi. Lalu dia bilang, Menurutku Onee-san itu menyukaimu, Kazami-san. Kalian berdua orang dewasa yang seperti orang bodoh. Itulah yang dia katakan.”


“Itu sebabnya kau datang?” tanya Yuri-san lagi.


“Bahkan tanpa cerita seperti itu, Setelah aku banyak dicampakkan, Aku tidak bisa menunjukkan wajah ini,” ujar Kazami-san.


“Apa kau datang karena ada peluang berhasil?”


“Sampai di sana, Masih ada harapan,” ujar Kazami lagi.


“Jadi begitu, ya? Kalau tidak ada apapun, Kau tidak bisa bergerak, kan? Orang dewasa memang merepotkan. Saat mencapai usia ini, Kita bisa merasakan suasana dan membuat hubungan bagaimanapun itu. Walaupun kita berkencan satu sama lain secara tidak sengaja, Aku tidak melakukannya.”


“Aku.. Suka padamu, Yuri-san,” potong Kazami-san cepat. “Aku ingin mengatakannya dengan benar.”


“Aku juga suka padamu. Bukan Kazami-kun sebagai keponakanku. Walaupun aku tidak memahami itu sebelumnya, Apakah tidak apa-apa kalau aku mencoba jujur pada perasaanku saat ini? Saat aku tidak bisa melihatmu, Aku merasa kesepian,” Yuri-san akhirnya mengakui semuanya.


Kazami pun menarik Yuri-san dalam pelukannya. Keduanya tersenyum setelah akhirnya jujur pada perasaan masing-masing. Kazami melepaskan pelukannya. Ia menatap serius ke dalam mata Yuri-san. Perlahan wajahnya mendekati wajah Yuri-san.


Tapi tangan Yuri-san menahan Kazami, “Tiba-tiba?”


Kazami tersenyum. Ia pun akhirnya tidak jadi mendaratkan bibirnya ke bibir Yuri. Alih-alih, ia mencium kening Yuri-san dengan sayang.



Hiramasa tengah memilah-milah dan memasukkan sampah ke tong sesuai jenisnya saat Mikuri mendekat.


“Maaf, kau sampai melakukan pekerjaan seperti ini,” ujar Mikuri.


“Tidak apa-apa. Mikuri-san, kau sangat populer, ya?” komentar Hiramasa.


“Untuk bisa datang sampai sejauh ini, Aku telah melalui jalan yang sangat panjang.”


“Kau ingin melakukannya lagi, kan?” tebak Hiramasa.


Mikuri berhenti sebentar, berpikir, “Tergantung kondisinya, ya. Negosiasi adalah hal yang paling penting. Ini adalah sebuah penemuan. Saat aku masih pegawai magang, Aku sering menyarankan ini itu pada atasanku. Entah sepertinya cara ini lebih efisien, Atau kenapa anda tidak melakukannya dengan cara ini? Tapi di sisi lain, Aku tidak ingin melakukan hal seperti itu. Akhirnya dia bilang merasa terganggu, Lalu aku diberhentikan. Aku merasa "kepandaian" ku tidak disukai di manapun aku berada. Di pekerjaan Aozora ini, Aku merasa lebih diterima dengan baik. Mungkin masih ada pekerjaan yang bisa ku lakukan dengan "kepandaian" ku,” curhat Mikuri.


“Kalau kau "pandai", Memangnya kenapa?” ucapan Hiramasa ini membuat Mikuri tertegun. “ Aku mengerti arti dari kata-kata itu. Kalau kau "pandai", Bukankah mungkin rekanmu mengatakannya karena merasa terlihat kecil? Aku tidak pernah melihat Mikuri-san berkecil hati. Aku tidak pernah sekalipun merasa kalau kau "pandai".”


Mikuri terdiam oleh ucapan Hiramasa. Dan tanpa kata-kata, ia langsung menghambur dan memeluk Hiramasa dengan erat.



Hiramasa yang dipeluk seperti itu kaget. Ia ragu harus balas memeluk atau tidak, “Itu.. Mikuri-san? Semua orang di sini, Sedang melihat kita.” Ujar Hiramasa. Dan memang benar, saat itu nyaris sebagian besar orang tengah memerhatikan Mikuri dan Hiramasa berpelukan.


Tapi Mikuri tidak peduli. Ia justru makin erat memeluk Hiramasa, “Terimakasih.”


“Untuk apa kau berterimakasih?” Hiramasa heran.


“Aku sangat menyukaimu,” ujar Mikuri.


Hiramasa pun akhirnya membalas pelukan Mikuri itu. Ia pun balas memeluk Mikuri dengan erat.


Dari semuanya yang mengikat kami. Dari rasa sakit yang tak terlihat ini, Suatu hari nanti pasti terbebaskan. Walaupun terkadang aku menangis, Aku berharap bisa tersenyum.



Semua orang menikmati area bazar itu dengan gembira. Yuri-san dan Kazami-san berpandangan sambil melempar senyum.


Sementara itu, si karyawan pria akhirnya menemukan orang yang dicarinya. Dengan ciri kue beras besar di tangan. Dan orang itu adalah ... Numata-san. Hino-san pun bersenang-senang dengan keluarganya. Bersama istrinya, ia bergantian menyuapi anak-anak mereka. Sementara itu si karyawan wanita pun asyik bicara dengan bartender. Mereka semua menikmati momen santai bersama di area bazar Aozora itu.


Selesai dengan Hiramasa, Mikuri pun bergabung dengan yang lain. Yuri memeluknya dengan erat. Tampak keduanya tengah bergembira dengan kebahagiaan masing-masing.


“Yuri-chan, pasti terjadi sesuatu yang bagus, ya?” pertanyaan Mikuri ini hanya dijawab dengan senyum oleh Yuri-san.



Malamnya...


“Mulai sekarang, apa yang harus kita lakukan?” tanya Mikuri.


“Aku merasa semuanya berjalan baik. Dengan atau tanpa mendaftarkan pernikahan,” ujar Hiramasa.


“Bagaimana kalau aku mencari pekerjaan dengan serius?” ide Mikuri.


“Ini sudah sesuai, Tidak ada pilihan lain kecuali merubah gaya hidup. Pencarian akan terus berlanjut.”


Mikuri punya ide, “Apakah kau mau menghidupkan hari berpelukan lagi? Kalau sibuk, aku cenderung melupakannya. Saat kita bertengkar, Bagaimana seharusnya aku menyentuhmu? Karena aku sangat kehilangan itu.”


Hiramasa setuju dengan ide ini. “Apa aku boleh juga ... “ ucapan Hiramasa menggantung.


Mikuri tersenyum, paham maksud Hiramasa dan mengatakan iya.


“Aku tidak bilang setiap malam, Kalau kau memelukku sebelum tidur, Aku pasti akan melihat mimpi indah,” ujar Mikuri pula.


Hiramasa pun kembali mengusulkan soal mereka perlu pindah rumah. “Kita membutuhkan kamar untuk Mikuri-san, Kamar yang juga bisa ditempati tempat tidur double bed. Mungkin dengan tempat tidur yang berbeda (dengan yang sekarang), Kita bisa tidur lebih nyenyak.” (maksudnya satu ranjang, gitu)


“Itu... Bisa kita negosiasikan,” balas Mikuri. “Aku akan membangunkanmu setiap pagi. Saat itu, Ciuman selamat paginya...”


“Mikuri-san, kalau kau memintanya, Aku akan melakukannya,” ujar Hiramasa pula. (ehem ehem, eh tapi kata temen Na, ena-ena)


“Di hari minggu, Tolong bangunkan aku, Hiramasa-san,” pinta Mikuri pula.


“Setelah itu?” pancing Hiramasa.


“Bisa dinegosiasikan,” ujar Mikuri.


Hiramasa menggeser duduknya. Pelan ia mendekatkan wajahnya ke wajah Mikuri. Dan tanpa canggung, Hiramasa pun mendaratkan bibirnya ke bibir Mikuri. Mereka berciuman.



(jadi, tadi mereka berdua sedang membahas rencana masa depan mereka nantinya. Tapi eh tapi, bentuknya malah kayak semacam main game. Jadi, Hiramasa ini melempar dart ke lingkaran yang sudah berisi beberapa partisi dengan rencana masa depan mereka)


Apa yang harus dilakukan di masa depan?


Lemparan pertama tepat mengenai ‘pesta pernikahan’. Hiramasa dan Mikuri saling melirik malu. Tapi mereka akhirnya melangsungkan pesta pernikahan dan pemotretan penuh angin, di atap sebuah gedung. Diantara banyaknya jalan, Kau bisa memilih jalan yang kau inginkan atau tidak bisa memilihnya.


Lemparan dart kedua ternyata tepat pada ... punya banyak anak.


Hiramasa dan Mikuri pun saling menatap dengan malu. Dan dalam imajinasi mereka, keduanya punya lima anak. Dua anak terbesar ada di meja makan tengah duduk sambil bermain. Dua anak lainya lain tengah berlarian keliling rumah, karena dikejar-kejar oleh Hiramasa yang akan memakaikannya pakaian. Sementara Mikuri juga tengah mengganti baju si bungsu. Walau setiap jalan merepotkan dari hari ke hari,


Lemparan dart ketiga ternyata jatuh ke bapak rumah tangga. Mikuri melirik Hiramasa, ragu apakah Hiramasa benar bisa melakukannya atau tidak. Dalam imajinasi mereka, tampak Mikuri yang pergi berangkat bekerja, sementara Hiramasa melepasnya berangkat. Setiap jalan memiliki hari-hari yang indah.


Dan lemparan berikutnya ada pada kata berpisah. Melihat itu, Mikuri dan Hiramasa buru-buru mengelaknya. Mereka tidak berniat untuk berpisah. Bahkan walaupun ada hari untuk melarikan diri, Berikutnya juga tidak kalah jelek, melarikan diri. Hiramasa dan Mikuri juga buru-buru mengelaknya. Carilah jalan yang lain. Lalu kembali lagi. Hari yang baik maupun hari yang buruk.



Mikuri dan Hiramasa tengah beres-beres rumah. Sepertinya mereka benar-benar akan pindah apartemen.


“Hiramasa-san, Gawat! Kemarin adalah hari selasa! Sudah lewat enam jam. Ayo kita simpan saja!” ujar Mikuri.


Tapi Hiramasa tidak setuju, “Ayo kita lakukan!”


Dan keduanya pun akhirnya berpelukan erat. Mikuri tersenyum dalam pelukan Hiramasa. Seperti biasanya sekali lagi, Ayo kita mulai dari hari selasa!


TAMAT


Pictures and written by Kelana


Kelana’s note :


Yeeeeee .... akhirnya sinopsis ini selesai juga. Maaf ya, minna ...kalau lama selesainya. Banyak yang terjadi dan banyak yang Na lakukan. #ehe.


Tapi semoga setelah ini Na bisa rutin nulis lagi yeeee


Sampai jumpa di sinopsis baru. Eh ya, ada ide nggak, enaknya nulis apa nih buat proyek baru?

SINOPSIS Married as Job 11 end part 1

14.18.00 4 Comments

SINOPSIS dorama Married as Job episode 11 part 1. Lamaran romantis yang sudah dipersiapkan Hiramasa di sebuah restoran mewah ternyata justru menimbulkan malapetaka. Terjadi salah paham (lagi) antara keduanya. Hiramasa yang super logis berusaha menjelaskan dengan angka, tabel dan data seperti biasa. Tapi, Mikuri justru menganggapnya sebagai eksploitasi cinta. Dan sekarang, hubungan mereka kembali merenggang.



Malam itu, situasi benar-benar canggung. Setelah berganti pakaian tidur, Hiramasa bergegas ke kamarnya dan hanya mengatakan selamat malam saja.. Sementara Mikuri masih menyelesaikan membereskan dapur.


Aku sangat senang dilamar oleh orang yang paling ku sukai. Walaupun aku merasa senang, Kenapa aku merasa galau? Kegalauan macam apa ini?



Beberapa hari berlalu.


Tidak seperti hari-hari kemarin, saat Mikuri tidur bersama Hiramasa, kini ia kembali menggelar futonnya di ruang tamu. Setelah mematikan lampu, tidak butuh waktu lama, Mikuri langsung menyusup di balik selimutnya. Tapi Mikuri tidak bisa tidur. Pikirannya masih terus saja mengangkasa.


Hari ini...Hari selasa. Mikuri ingat soal hari pelukan, saat Hiramasa pernah mengatakan padanya, kalau mereka bisa pelukan tidak hanya di hari selasa saja. Tapi, di hari lain pun tidak msalah. Sejak itu, hari berpelukanpun menghilang. Karena kami melakukannya berdasarkan perasaan setiap hari. Kalau perasaan kami menghilang. Bahkan tidak ada pegangan tangan. Tentu saja. Wanita "pandai" sepertiku yang mengacaukan lamaran yang sudah lama ku tunggu. Tentu saja akan diabaikan. Setiap kali aku ingin mengatakannya, Kegalauan yang ku rasakan ini, Aku tidak bisa mengatakannya.. Satu sama lain.


Tidak hanya Mikuri saja yang masih terus berpikir. Dalam diamnya pun, Hiramasa masih memikirkan soal ucapan Mikuri. Hiramasa memandang foto saat mereka makan bersama di liburan, dengan tatapan sedih.



Hiramasa membuka bekal makan siangnya di kantor. Semuanya masih tetap sama dan lengkap seperti biasa. Tapi Hiramasa terus saja memikirkan ucapan Mikuri soal ‘eksploitasi cinta’.


Dia sudah mengatakan hal yang sangat mengejutkan. Kalau di dalam hatinya dia menyukaiku, Aku mengira tentu saja dia akan menerima lamaranku. Sampai kapan aku akan terus egois seperti ini?



Yuri menghabiskan malamnya di bar. Sudah berkali-kali ia curhat pada si bartender soal berita gembiranya, ia diangkat jadi manager. Dan si bartender pun sudah mulai bosan mendengar cerita itu berulang kali. Saat itu Kazami datang, menyelamatkan si bartender yang langsung menyapanya dengan riang.


“Yuri-san, aku sudah dengar kau merayakan kenaikan jabatanmu,” ujar Kazami yang langsung mengambil tempat duduk di sebelah Yuri.


“Sejak tadi, kau sudah menceritakan hal yang sama 10 kali,” si bartender ikut nimbrung.


“Baru 5 kali, kan?” elak Yuri.


“Aku datang untuk membantu mendengarkanmu,” ujar Kazami pada si bartender. Kemudian ia memasan minuman yang biasanya. Kazami kembali beralih pada Yuri, “Selamat karena kau sudah dipromosikan jadi manager.”


“Bagaimana bisa aku merayakannya? Tanggungjawabnya juga bertambah jadi segunung. Saat aku jadi manajer wanita pertama di area metropolitan, Anginnya juga semakin kuat,” curhat Yuri panjang lebar.


“Akhirnya kerja kerasmu sampai saat ini mendapat pengakuan,” komentar Kazami. “Selamat. Traktir aku segelas minuman.”


“Baiklah, yang paling mahal?” tawar Yuri yang diiyakan oleh Kazami. Yuri lalu beralih pada sang bartender, “Yama-san, Hitung totalnya aku akan mentraktir segelas bir untuk Kazami-kun.”


“Total?” Kazami heran.


“Karena besok aku harus bangun lebih pagi, Aku harus pulang. Kazami-kun. Apa hari minggu kau ada waktu?”



Mikuri mendatangi salah satu toko untuk menawarkan acara bazar yang akan diadakan oleh perkumpulan pedagang. Ia pun menyerahkan brosur yang sudah dibuat. Tapi si pemilik toko yang sudah cukup tua, tampak tidak terlalu suka ditanya-tanya oleh Mikuri. Ia meminta Mikuri untuk menjelaskan lagi secara lebih rinci, apa yang harus dilakukannya. Ia enggan membaca brosur yang sudah dipersiapkan oleh Mikuri. Mikuri bahkan dibentak-bentak oleh si pemilik toko. Mikuri serba salah. Ia ingin bekerja cepat supaya upah kecilnya sesuai dengan jam kerjanya, tapi situasinya sulit kalau pedagangnya saja seperti itu.


Selesai dengan tugas tadi, Mikuri mendatangi ketua perkumpulan pedagang. Sekarang gantian ia yang komplain. Di satu sisi, Mikuri ingin melakukan semua pekerjaannya dengan baik. Tetapi karena upahnya yang kecil, Mikuri harus bisa menggunakan waktu seefisien mungkin, agar gajinya sesuai. Sementara tidak semua pedagang di area itu mudah diajak kerja sama. Mikuri jadi serba salah.


Mikuri berjalan pulang sambil melamun. Ah, ini hanya rasa galau. Baik Aozora atau pernikahan juga. Kegalauan ini, Penyebab kegalauan ini ... Mikuri memejamkan mata, berpikir. Hingga ia akhirnya mendapatkan jawaban atas pertanyaan hatinya.



Malam itu, Mikuri dan Hiramasa makan malam seperti biasa. Tapi setelah makan, Mikuri menahan Hiramasa dan mengajaknya bicara.


Hiramasa mengerti, “Kalau aku terlalu memaksa untuk melakukan hal yang tempo hari...”


Tapi ucapan Hiramasa dipotong oleh Mikuri, “Sudah lama aku memikirkannya. Tentang kompensasi pekerjaan ibu rumah tangga. Aku sudah melihat mereka bekerja dengan upah yang paling kecil.”


“Maaf, pembicaraan ini...” Hiramasa bingung.


“Sekarang aku melakukan kerja sambilan. Area perbelanjaan Yassan meminta bantuanku untuk Aozora (semacam bazar). Dengan upah 930 Yen per jam, Ini adalah upah minimum di Yokohama-shi. Maaf karena aku melakukannya diam-diam. Aku berniat membantu mereka sebentar. Karena di sana hanya ada pria saja, Hiramasa-san pasti membencinya. Maafkan aku,” sesal Mikuri.


Hiramasa memegang gagang kacamatanya, “Itu cukup mengejutkan.”


“Maafkan aku!” Mikuri menunduk minta maaf.


Tapi Hiramasa tidak menunjukkan marah atau kesalnya, ia justru tersenyum, “Karena aku juga diam saat aku dipecat, Kita seri. Lalu ... “


“Aku juga bisa tetap bekerja dengan upah 2000 Yen per jam. Aku pikir ada saatnya aku tidak bisa tetap bertahan dengan upah yang kecil,” lanjut Mikuri.


Hiramasa mulai mengerti arah pembicaraan Mikuri, “Apa kau juga meminta untuk bekerja dengan upah di atas jumlah itu?”


“Ya, Itulah titik kegalauanku. Dengan kata lain, Hal seperti ini.” Mikuri mengambil papan dan spidol. “Sampai sejauh itu.. Biaya hidup ibu rumah tangga = upah tertinggi Aku sudah menemukan rata-ratanya.”


“Aku mengerti keberanianmu untuk menjelaskannya,” puji Hiramasa.


“Kalau kita menikah, Aku akan menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Jaminan biaya hidup, Dengan kata lain, Menurutku sama dengan menerima upah minimum. Tapi karena upah minimumnya adalah upah minimum terkecil, Walaupun kau memberiku makan, Aku bisa bekerja diam-diam. Tapi ada batasnya. Tapi itu berarti atasan tidak boleh terlalu mendominasi? Kalau atasannya baik, tingkat stressnya kecil, Aku bisa bekerja tanpa masalah. Walaupun upahnya kecil, Mungkin tidak jadi masalah. Dengan kata lain, Itu tergantung atasannya. Kalau di perusahaan umum, Ada banyak orang dan perpindahan pegawai, Kenaikan jabatan, bonus dll. Ada juga sistem yang mengevaluasi pegawai secara objektif. Tapi dalam kasus pasangan suami-istri, Ini satu lawan satu. Kalau suami tidak melakukan evaluasi, Istri tidak akan dievaluasi oleh siapapun. Dengan kata lain, Kompensasi dari pekerjaan ibu rumah tangga sepenuhnya. Adalah upah pokok ini ditambah.. Evaluasi pegawai (Kasih sayang). Akan disebut seperti itu.” (yaelah neng, masak pernikahan kayak perusahaan gini sih. kkkk ... dasar Mikuri)


“Tapi, kasih sayang tidak bisa diukur,” elak Hiramasa.


“Itu benar. Itu adalah unsur yang sangat tidak stabil. Dengan kemauan atasan, Kapanpun itu bisa saja jadi nol . Dalam kasus itu, Upah minimum akan terus berlanjut, kan? Aku tidak punya batas atas dalam jam kerja. Kalau kau melakukannya, Ini bisa menjadi perusahaan hitam. Sebagai pegawai di lingkungan kerja ini Apakah kau bisa melakukannya atau tidak, Aku sangat cemas. Aku sangat senang dilamar olehmu. Hiramasa-san, itu bukan berarti aku tidak mau menikah denganmu ... “


Tapi kali ini Hiramasa tidak sepakat dengan pemikiran Mikuri. Ia pun meminta papan yang tadi dipegang Mikuri, “Pertama-tama, Apakah kau pegawainya? Suami adalah atasannya, Istri adalah pegawainya. Ada yang salah dari situ. Seorang ibu rumah tangga adalah profesi yang baik yang mendukung keluarga. Kalau kau berpikir begitu, Baik suami maupun istri adalah Manajemen bersama. Dari sudut pandang ini, Kenapa kita tidak membangun kembali hubungan kita? Ini bukan hubungan kerja Ini adalah pembangunan ulang sistem baru. Kalaupun ada sistem kasih sayang, Ku rasa kita tidak memerlukannya,” usul Hiramasa. (cieeee kali ini Hiramasa lumayan bener nih)


“Sepertinya itu bukan suatu hal yang mudah,” Mikuri berpikir.


“Aku tak tahu apakah akan berhasil atau tidak,” lanjut Hiramasa.


“Aku akan melakukannya!” tegas Mikuri kemudian.



Di hari yang lain,


Dengan mempertimbangkan rumah sebagai sebuah perusahaan. Sebagai pertanggungjawaban manajemen bersama, Untuk melanjutkan komunikasi manajemen, Usulan yang diajukan Hiramasa diterima oleh Mikuri. Rapat pertanggungjawaban pertama manajemen bersama perusahaan 303.


Hiramasa menyodorkan dua lembar informasi soal perusahaan, “Pekerjaan di perusahaan A hampir sama dengan yang sekarang, Gajinya 90% dari gaji sekarang. Sedangkan perusahaan B adalah perusahaan baru. Gaji keduanya juga cukup stabil.”


Tapi Mikuri sudah paham hal ini, “CEO Hiramasa, Kau tertarik dengan perusahaan B, kan?


“Sebelumnya, aku sudah memilih perusahaan A, Sekarang, aku sedikit merasakan ingin bisa melakukan lebih banyak hal baru. Tapi, kalau itu terjadi gaji karyawannya hanya setengah dari gaji yang sekarang.”


“Kalau memang gajinya berkurang, Mau bagaimana lagi. Aku juga akan mengimbanginya dengan bekerja di luar,” ujar Mikuri.


“Di luar?” Hiramasa heran.


“Tapi karena upah pekerjaanku dari area perbelanjaan hanya 3000 Yen per hari, Aku memperkirakan waktu kerjanya sampai 3,2 jam dalam sehari. Itu tidak akan cukup untuk semuanya. Itu sebabnya, Ini adalah pekerjaan sebagai penulis di Majalah Kota. Sebagai penulis aku akan pergi ke area perbelanjaan, Sambil menulis artikel liputannya, Aku juga bisa menyesuaikannya dengan pekerjaan di Aozora.


“Ini adalah strategi untuk mendapatkan upah dari luar, kan?” lanjut Hiramasa.


“Tapi karena pekerjaan ini adalah pekerjaan penuh waktu, Waktu untuk pekerjaan rumah tangga di rumah ini akan berkurang. “


“Pekerjaan yang akan CEO Mikuri lakukan, Itu juga pekerjaan dari Perusahaan 303 ini. Ayo kita bekerjasama dan menyukseskannya. Sebagai bagian dari kerjasama berbagi rumah, Aku akan membantu melakukan pekerjaan rumahtangga,” ujar Hiramasa kemudian.


Dan mereka pun membagi jatah pembagian tugas mengurus rumah. Dengan begini, Pembagian jatah bagian ruangan untuk kedua tim akan dibentuk. Pertempuran pembagian jatah pekerjaan rumahtangga sudah dimulai. Lebih dari ini, Pertempuran panjang akan berlangsung secara perlahan.



Seperti yang diminta, Kazami datang ke tempat Yuri pada hari Minggu. Setelah duduk dan menyajikan minuman, Yuri memberikan hasil pemeriksaan medisnya.


“Ini adalah hasil pemeriksaan medis menyeluruh milikku tahun ini. Lihatlah, Aku mengalami penurunan kepadatan tulang. Jumlah yang tercatat setiap tahun terus mengalami peningkatan. Hormon kewanitaanku juga menurun. Mataku juga melemah, Aku juga tidak boleh cepat lelah.”


“Apakah kau mengetes perasaanku?” potong Kazami.


“Saat kau mengatakannya di apartemenmu waktu itu, Walaupun aku berpikir sejenak kalau mungkin kau cuma main-main, Kau serius mengatakannya padaku, kan?”


“Sangat disayangkan kalau aku mengatakannya secara terang-terangan,” sesal Kazami.


“Aku benar-benar sangat terkejut. Itu buruk untuk jantungku. Karena sampai sekarang aku hidup dengan sangat keras, Sekarang ini, aku tidak bisa memikirkan hubungan cinta yang sesaat. Itu sebabnya aku ingin bicara baik-baik denganmu, Kazami-kun. Saat Kazami-kun lahir, Aku berumur 17 tahun. Saat Kazami-kun berumur 20 tahun, aku berumur 37 tahun. Akhirnya saat Kazami-kun berumur 40 tahunan, Aku sudah berumur 60 tahun. Sampai kapanpun, Kazami-kun akan tetap jadi keponakanku.”


“Hari ini, aku sudah merasakannya saat kau menunjukkan penampilan seperti ini. Apakah kau menunjukkan wajah aslimu agar aku melihatnya? Apa karena itulah kau menyebutku keponakanmu? Apa kau berkencan dengan duda beranak satu itu?” cecar Kazami.


“Itu sudah berakhir. Karena yang Tajima-kun cari adalah.. Seseorang yang bisa menjadi ibu untuk anaknya. Dengan kata lain, Penyebabnya bukanlah pria lain.”


“Memang tidak ada peluang untuk diriku sendiri. Aku memahaminya dengan baik,” Kazami memutar-mutar minuman di tangannya.


“Ayo kita minum lagi di bar Yama-san,” pinta Yuri.


“Aku tidak pernah menganggap Yuri-san adalah bibiku. Kita akhiri saja sampai di sini. Rasakan saja perlahan-lahan,” ujar Kazami akhirnya.


(yah, tante Yuri ini mo nolak aja ribet banget sih. hhhh )



Setelah Kazami pergi, Yuri melanjutkan minum sendirian. Ia memutar-mutar anggur dalam gelas itu, kemudian menyesapnya sedikit.


“Enak sekali.”



Mikuri melanjutkan pekerjaannya memersiapkan bazar seperti biasa. Tapi kali ini ia juga sekaligus mencari bahan untuk liputannya. Mikuri pun memperkenalkan diri sebagai penulis dari majalah kota.


Setelah berkeliling, Mikuri seperti biasa datang ke toko milik Yassan. “Aku sangat lapar. Kare sayuran Yassan adalah yang terbaik. Aku akan memakannya setiap hari!” puji Mikuri.


“Karena Mikuri selalu memujinya, itulah yang membuatnya jadi sangat berharga.”


“Itu karena aku mendapatkan makanan gratis,” ujar Mikuri dengan jujurnya.


“Maaf, karena hanya inilah caraku membalas kebaikanmu.”


“Bagaimana pesanan selainya?” tanya Mikuri kemudian.


“Ada segunung masalah yang harus dibereskan, Lokasi pengolahan juga bermasalah. Aku tidak bisa mengandalkan dapur Tanaka selamanya. Orangtuanya juga punya pekerjaan mereka sendiri, kan?” curhat Yassan.


Keduanya pun saling tersenyum, karena memang banyak hal yang harus mereka lakukan. Sementara mengobrol, Yassan juga tengah menyuapi Hikari. Si bayi manis ini makan dengan lahapnya. (ni anak siapa sih, imut manis banget. Minta banget dibawa pulang #emesssssh)



Rapat pertanggungjawaban kedua manajemen bersama perusahaan 303.


“Setelah mencoba selama 2 minggu, Bagaimana kalau kau katakan pendapatmu dengan jujur?” tanya Hiramasa.


“Bolehkah aku bicara jujur? Walaupun aku tidak memperoleh banyak pendapatan, Persentase pembagian pekerjaan rumahtangga untukku terlalu banyak. Tapi aku menyetujuinya. Itu sebabnya Hiramasa-san lupa melakukan bagianmu. Sudah terlambat untuk melakukannya, Lalu pembagian tugas yang kau dapatkan sangat sedikit, kan? Dibandingkan denganku beban pekerjaan rumahtanggamu lebih sedikit. Ada kalanya aku merasa begitu.”


“Maaf,” sesal Hiramasa.


“Bagaimana dengan Hiramasa-san?” tanya Mikuri selanjutnya.


“Bolehkah aku bicara jujur? Mikuri-san, aku mengkhawatirkan penurunan kualitas kebersihanmu. Debu menumpuk di sudut ruangan dan noda di cermin.”


“Sejujurnya aku.. Aku tidak terlalu teliti. Terutama dalam menyapu sekeliling ruangan dengan tipe persegi,” aku Mikuri dengan jujur. “Tapi, sampai sekarang, karena itu adalah pekerjaanku, Aku harus melakukannya dengan sempurna. Kalau seperti itu kasusnya, Aku akan berkonsentrasi penuh. Tapi sejujurnya, kalau tingkat kebersihan tidak mengganggu kelangsungan hidup, Menurutku, kita masih bisa bertahan hidup. Karena tak sesuai dengan harapanmu, Aku minta maaf,” sesal Mikuri. “Kalau memang sangatmengkhawatirkan, tempat itu akan menjadi bagian untuk Hiramasa-san. Sebagai gantinya, aku akan mengerjakan yang lain..”


“Tidak, tambahkan saja ke bagianku,” ujar Hiramasa kemudian.


Dan pembagian pekerjaan rumah tangga pun berubah lagi. Kali ini bagian Hiramasa jadi makin banyak.



Hiramasa makan siang bersama Hino-san. Ia heran melihat bekal makan siang Hiramasa yang sangat sederhana.


“Apa istrimu bukan ibu rumahtangga sepenuhnya?” tanya Hino-san yang penasaran.


“Sampai beberapa waktu lalu memang begitu. Sekarang dia penulis majalah kota, Mengadakan acara, sekaligus ibu rumahtangga,” cerita Hiramasa.


“Pantas saja aku merasa jumlah laukmu berkurang. Berbeda dengan bekalku, Lihatlah!”


“Apa maksudmu itu kebetulan?” Numata-san ikut nimbrung. “ Menurutku dalam kasus ini, Tsuzaki-kun dan Mikuri-san, Kalian saling menyukai satu sama lain, kan? Kalian sangat bergairah, kan?”


“Karena mereka sudah menikah, sudah sewajarnya mereka bergairah, kan?” tanya Hino-san.


“Hino-kun, Tentu saja ada waktu yang tidak wajar. Di dunia ini, Bahkan masih ada permasalahan gelap yang tak terlihat,” ujar Numata-san.


Alih-alih mengelak, Hiramasa justru bercerita, “ Aku tidak tahu apakah itu gairah atau bukan, Tapi aku menyukainya. Namun, ada hal yang tak bisa aku lakukan hanya dengan menyukainya. Aku menyadarinya. Sejujurnya sekarang, kami bekerjasama melakukan simulasi, Untuk pembagian pekerjaan rumahtangga.”


“Kalian mengerjakan pekerjaan rumahtangga bergantian?”


“Sejujurnya, memang merepotkan. Kalau bisa, aku tidak mau melakukannya,” ujar Hiramasa. Ponselnya berbunyi. Ada pesan dari Mikuri yang memintanya untuk menanak nasi malam nanti, karena Mikuri kemungkinan akan pulang sedikit terlambat.



Hiramasa baru selesai membersihkan kamar mandi saat Mikuri pulang.


“Maaf aku pulang telat. Itu karena aku harus menyelesaikan sisa pekerjaan di area perbelanjaan. Ayo kita segera makan malam,” ajak Mikuri.


Hiramasa baru ingat soal nasinya, ternyata ia belum memasak nasi. Hiramasa lalu mengajak Mikuri untuk makan di luar saja. Berkali-kali ia membuat alasan agar Mikuri tidak tahu soal nasinya.


Mikuri curiga ada sesuatu. Ia pun beralih pada burung pipit yang kini ada dalam sangkar, “Burung pipitnya, Pero! Peroko! Peroko jatuh ke bawah!” tunjuk Mikuri.


Hiramasa heran, “Sejak kapan mereka punya nama?” tapi ia juga mengikut arah telunjuk Mikuri, “Dia tidak jatuh..”


Melihat ada kesempatan, Mikuri berlari ke dapur. Dan Hiramasa pun terlambat mengikutinya. Saat dibuka, ternyata tempat nasi kosong.


“Aku sudah menduga akan terjadi hal seperti ini. Karena aku bukan anak kecil, Tidak ada gunanya kau menyembunyikannya.”


“Maaf. Aku hanya...” elak Hiramasa.


“Aku akan membeli nasinya,” ujar Mikuri.


“Biar aku saja,” sergah Hiramasa.


Tapi Mikuri tetap berkeras, “Tidak apa-apa, Lagian aku sudah pakai mantelku. Akulah yang bertanggungjawab atas makanan, Karena aku minta tolong padamu, Akulah yang salah. Aku pergi dulu,” ujar Mikuri dengan kesal.



Kazami makan malam bersama si centil, Igarashi.


“Hari ini, kurasa aku akan bicara baik-baik denganmu. Aku pasti tidak akan menyukaimu, Igarashi-san,” aku Hiramasa.


“Pasti?”


“Menurutku kau dan aku mirip. Kalau kau mau dimanfaatkan oleh seorang pria, Aku akan mempertimbangkan untuk memanfaatkanmu. Karena pria dan wanita memiliki derajat yang sama, Seharusnya kau menikmatinya dengan nyaman. Kau tidak berpikir begitu, kan?”


“Kalau kau memahaminya, Cerita itu terlalu cepat. Apa menurutmu kita benar-benar tidak cocok?” cecar Igarashi.


“Sebelumnya, aku sudah jatuh cinta untuk pertama kalinya dalam beberapa puluh tahun terakhir. Aku merasa diriku sendiri lucu, saat sedang memikirkan seseorang,” cerita Kazami.



Yuri minum bersama dua bawahannya itu. Setelah mengantar Horiuchi yang mabuk ke dalam taksi, Yuri berjalan bersama bawahannya yang lain.


“Tidak biasanya dia mabuk,” komentar Yuri.


“Aku juga cukup mabuk. Masalah pria tampan itu, Apakah kau tidak bisa melewati rintangannya? Kalau kau menyukainya, Kau harus melewatinya.”


“Kalau aku masih muda, ya,” ujar Yuri.


“Kalau begitu, Kau tidak perlu memikirkan ini itu. Sebelumnya aku sudah pernah bilang, kan? Kalau aku, Orang yang ku sukai, Walaupun aku rindu padanya, Aku tak bisa menemuinya. Aku cemburu. Aku iri padamu. Di dunia ini, Orang-orang bisa berkencan dengan bebas,” curhat si pria.


Yuri hanya bisa melihat dengan heran. Dia tidak mengatakan apapun.



Numata-san minum di bar seperti biasa. Ia mengotak-atik ponselnya, heran karena Yuri tidak membalas pesannya. Ia berpikir apakah Yuri masih bekerja.


“Perusahaan kami sudah lama berantakan sejak minggu lalu. Akhirnya aku bisa datang ke sini,” cerita Numata-san.


“Apa sangat gawat?”


“Gawat sekali. Oasis bagi hatiku hanyalah percakap an di LINE,” ujar Numata-san pula.



Masalah makan malam hari itu benar-benar membuat hubungan Mikuri-Hiramasa makin buruk. Setelah berganti piyama, Hiramasa menuju kamarnya sendiri. Ia melihat Mikuri masih sibuk dengan laptopnya, tapi juga tidak berani bicara apapun.


Meski di depan laptop, Mikuri sebenarnya juga tidak benar-benar bekerja. Ia memikirkan dirinya dan situasi mereka yang sedang tidak baik itu. Hari ini adalah hari terburuk bagiku. Kalau tidak ada ruang, Sifat asliku akan segera muncul. Kurang ajar dan angkuh. Mikuri yang "pandai". Aku benci diriku sendiri. Orang yang rendah diri itu, Adalah aku. Wanita yang Hiramasa-san cintai, Adalah wanita yang mengerjakan pekerjaan rumahtangga dengan sempurna, selalu tersenyum lembut, seorang istri idaman. Karena sebutir nasi, orang yang bersikap mengerikan seperti itu bukanlah seorang wanita. Aku ingin dipilih, aku ingin diakui. Namun, aku ingin jadi lebih dan lebih jauh dari diriku sendiri. Air mata pun meleleh di pipi Mikuri.


Di kamar, Hiramasa juga tidak bisa tidur. Ia memandangi fotonya bersama Mikuri saat mereka liburan bersama.



“Apakah kau orang yang baik?” tanya Igarashi, tiba-tiba duduk di depan Yuri.


“Tapi kelihatannya masih ada kursi kosong yang lain,” ujar Yuri.


Onee-san—kakak—dan Kazami-san, Seperti apa hubungan kalian? Walaupun perbedaan usia kalian 17 tahun, Bukankah kalian memiliki hubungan cinta?” cecar Igarashi ini.


“Hampir setahun ini, Aku mengenalnya dengan baik.”


“Saat kau mencapai usia 50 tahunan, Kau bermain mata dengan seorang pria muda. Bukankah itu sia-sia? Terlalu banyak titik yang harus diperbaiki, dari mana aku harus meletakkan tinta merah? Lebih tepatnya usiamu 49 tahun. Tapi kalau dibulatkan, Itu sama saja. Kau adalah wanita yang menghasilkan uang dari kosmetik anti-aging,” sindir Igarashi lagi.


“Tidak ada wanita yang ingin dinilai tua lebih cepat. Kau sudah berhasil, Menilai masa muda seseorang, ya,” ujar Yuri, tidak kalah pedas.


“Onee-san, itu karena usiaku setengah usiamu,” ujar Igarashi dengan bangganya.


“Aku tidak akan kecewa, Kalau kau memang merasa begitu. Aku juga merasakan hal yang sama sepertimu sebagai seorang wanita. Di negara ini, Ada banyak fakta seperti itu. Sekarang, kau tidak boleh menilai sesuatu sepotong-potong. Setelah ini, di masa depan yang akan kau tuju, kaulah yang akan membodohi dirimu sendiri. Bukankah mungkin itu menyakitkan, kan? Kita dikelilingi oleh banyak kutukan. Kau juga akan merasakan salah satunya. Jangan kutuk dirimu sendiri. Kau harus melarikan diri dengan cepat dari kutukan yang mengerikan itu,” saran Yuri kemudian.


BERSAMBUNG


Sampai jumpa di bagian terakhir Married as Job episode 11 part 2 ya ^_^


Pictures and written by Kelana

SINOPSIS Married as Job 10 part 2

14.13.00 6 Comments

SINOPSIS dorama Married as Job episode 10 part 2. Setelah ehm ehm malam itu, hubungan Hiramasa dan Mikuri makin dekat. Tapi ternyata tidak semua semudah itu. Masih saja tetap ada masalah yang siap menghadang mereka berdua.


(halo semua, maaf banget ya, sepertinya Kelana terlalu lama menghilang #ehe. Dan berhubung Na kembali nulis lagi, jadi Na akan lanjutkan sinopsis yang sempat lama tertunda. Enjoy ... ^_^)



Numata datang menemui Hiramasa di rumahnya, “Efek dari pembelian saham Company M, kita kehilangan 40% dari penjualan kita. Untuk merampingkan manajemen kita, kami perlu melakukan pemecatan.”


“Dan itu...aku?”


“Tolong jangan salah sangka. Kau adalah insinyur terbaik, Tsuzaki. Dan gaji per tahunmu mencerminkannya. Kalau memecat seseorang dari bagian pengembangan, itu sama saja menyia-nyiakan bakat. Dan satu hal lagi, kau belum menikah kan?”


Hiramasa kaget ditanya secara langsung seperti itu.


Numata melanjutkannya ucapannya, “Aku tak sengaja mendengar. Kau dan Mikuri tak berada dalam satu kartu keluarga. Aku bertanya pada direktur, dan bertanya juga pada bagian urusan umum.”


“Aku tidak melanggar hukum....” elak Hiramasa.


“Aku tahu. Perusahaan kita menyetujui asuransi sosial, bahkan dengan pernikahan de facto, jadi tak masalah. Akan tetapi, jika hanya hubungan kerja, membuatnya mudah untuk memilihmu...sebagai pegawai yang akan kami lepas. Kau memiliki keleluasaan untuk menyewa orang lain. Kau tak punya istri dan anak untuk dibiayai seperti Hino.”


Hiramasa mengerti, “Memang, ya, tidak masuk ke dalam kartu keluarga berarti aku tidak memikul tanggung jawab.”



Obrolan di balai pertemuan makin seru. Para pemilik toko sepakat untuk mengadakan semacam bazar untuk memperkenalkan kembali distrik perbelanjaan mereka. Dan dari sana, Mikuri akhirnya sadar kalau kemungkinan ia tidak akan dibayar untuk pekerjaan ini.


Mikuri lemas. Idenya yang keren, ternyat justru berakhir seperti ini, “Memanfaatkan niat baik seseorang, dan memintanya bekerja sukarela adalah eksploitasi. Misalnya, karena kita berteman, kau belajar sesuatu untuk keuntunganmu...atau hal lain, dan tidak membayar gaji. Kita tak bisa mengabaikan eksploitasi "layak" seperti ini. Aku, Moriyama Mikuri, dengan tegas menentang eksploitasi "layak."!”


Salah satu pemilik toko pun mengerti maksud Mikuri, “Oke, aku mengerti! Tiga ribu yen per hari,” tawarnya kemudian.


Meski akhirnya dapat upah, ternyata yang diterima oleh Mikuri sangat sedikit.



Mikuri pulang bersama Yassan. Yassan menyesal karena sudah melibatkan Mikuri seperti ini. Tapi Mikuri mengatakan tidak masalah. Ia bertekat untuk bisa bekerja cepat, jadi pendapatannya masih akan sesuai dengan upah minimum di daerah tersebut.


“Apa aku terlihat pelit?” tanya Mikuri akhirnya.


“Tidak!” elak Yassan cepat. “Punya pendapatan tunai itu penting, itu yang kupelajari setelah bercerai.”



Numata-san pamit untuk pulang. Hiramasa mengantarnya hingga di depan pintu. Numata-san masih punya sedikit rasa menyesal atas keputusan ini.


“Kalau aku jadi kau...mungkin aku akan melakukan hal yang sama. Tolong jangan menyalahkan diri sendiri,” ujar Hiramasa pula.


Setelah Numata-san pergi, Hiramasa kembali ke kamarnya. Ia langsung asyik masyuk di depan komputernya, membuka beberapa informasi lowongan pekerjaan. Ini bukan salah Numata. Ini bukan salah siapa-siapa. Ini hanya kenyataan yang kejam. Kerja. Aku harus mencari kerja. Pekerjaan dengan gaji tahunan yang sama, perusahaan yang akan membela mati-matian waktu bermesraanku dengan Mikuri. Kupikir pekerjaan yang pas takkan semudah itu ditemukan, tetapi aku akan melakukan apa pun untuk mempertahankan gaya hidupku saat ini.



Mikuri baru saja tiba. Kali ini Hiramasa yang menyambutnya pulang. Tampak Hiramasa ingin mengatakan sesuatu, tapi urung diucapkannya.


Mikuri heran melihat Hiramasa yang tampak berbeda dari biasanya. Mikuri mengatakan kalau ia membeli bahan-bahan yang sempat mereka bicarakan tadi pagi. Tapi karena Hiramasa tidak bicara lebih banyak, Mikuri pun tidak bertanya lagi.



Yuri masih berada di depan stasiun saat ponselnya berbunyi, dari Kazami. Kazami memintanya mampir, karena ingin bicara. Tidak bisa mengelak, Yuri pun datang ke rumah Kazami.


“Aku datang karena ada yang mau kutanyakan. Apa maksudmu waktu itu? Apa aku mengatakan sesuatu yang aneh? Contohnya, wanita sepertiku, lajang dan berumur 50-an... dibutuhkan di masyarakat dan bisa memberikan dukungan untuk seseorang di luar sana. Makanya kupikir...aku harus hidup dengan cara yang mengagumkan.” Yuri to the point. Ia ingin bicara soal insiden sebelumnya, saat Yuri menangis. “Berpura-pura kuat, memasang topeng dan mengatakan hal-hal yang menyakitkan?”


“Aku suka Yuri yang tenang, tetapi ada sesuatu tentang ketenangan yang kau pancarkan ini,” ujar Kazami. “Kau tak perlu memaksakan diri demi menjadi contoh untuk seseorang.”


Obrolan mereka terus berlanjut. Dengan caranya, Kazami mampu memahami apa yang dipikirkan oleh Yuri, yang tengah mengalami krisis kepercayaan diri di usianya yang tidak lagi muda itu. Bahkan Kazami meyakinkan Yuri, kalau tidak masalah sesekali tampak lemah.


“Maaf, aku menangis di tempat seperti itu. Dan terima kasih telah menutupiku sehingga orang-orang tak melihatnya,” ujar Yuri pula.


“Bukannya aku menutupimu...tetapi aku tak mau membiarkan mereka melihatnya. Siapa pun,” ujar Kazami.


Yuri kaget dengan ucapan Kazami. Ia paham arah pembicaraan itu. Tapi Yuri memilih percaya kalau ucapan Kazami itu hanya ucapan seorang anak muda pada bibinya. Yuri terus mengelak soal apa yang sebenarnya dipikirkan Kazami tentangnya.



“Beri air di sini. Seperti ini, dan seperti ini,” Mikuri mengajari Hiramasa cara membuat makanan. “Mulai sekarang, sepertinya aku akan lebih sering ke tempat Yassan. Aku perlu membantu beberapa hal.”


“Pasti sulit, ya... jadi ibu tunggal,” komentar Hiramasa. Tangannya sibuk mengikuti intruksi yang tadi diajarkan oleh Mikuri.


Bukan hanya Yassan. Di tempat yang penuh laki-laki, aku dipekerjakan dengan biaya minimum. Namun itu sulit kukatakan. Mikuri menarif nafas. Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya pada Hiramasa.


“Aku bisa!” seru Hiramasa kemudian.


“Anda lebih jago dariku!” puji Mikuri ikut sumringah. “Hiramasa... Anda bisa melakukan banyak hal kalau mencoba, ya 'kan?”


Hiramasa terdiam memandangi Mikuri. Aku bisa melakukan hal-hal yang kukira tak bisa kulakukan. Sedikit demi sedikit, duniaku meluas. Yang membuatku tetap tenang meski kehilangan pekerjaan... adalah aku percaya pada dunia yang kumiliki di sini saat ini. Aku bersyukur kau ada di sini, Mikuri.


Mikuri membantu mengelap kaca mata Hiramasa yang berembun karena peluh. Dalam hati, Mikuri juga bersyukur bertemu dan bisa bersama Hiramasa, meski mereka tidak punya ikatan yang jelas.



Tidak mau terlibat dalam situasi canggung lebih dalam, Yuri pun bergegas pamit. “Kapan-kapan datang ke rumahku juga, ya. Aku akan memberimu anggur enak sebagai ponakanku.”


“Apa kau benar-benar menganggapku hanya sebagai ponakanmu?” cecar Kazami. “Meski aku ingin memelukmu.”


Yuri masih terus berusaha menguasai diri, “Jangan mengolok-olok tantemu.” Ia bergegas merapikan syalnya dan buru-buru pergi. Di depan pintu rumah Kazami, Yuri berhenti. Ia menghembuskan nafas yang sempat ditahannya sejak tadi. Hatinya bergejolak oleh sikap maupun perkataan Kazami. Tapi, Yuri terus saja mengelak semua itu. “Aku bilang apa, sih?”


Sepeninggal Yuri, Kazami hanya terdiam memandangi pintu rumahnya kembali tertutup. Ia memikirkan perasaannya dan ... Yuri. Dan hubungan mereka yang ... entah.



Mikuri dan Hiramasa makan malam seperti biasa. Tidak ada yang istimewa malam itu. Hiramasa kembali sibuk di balik pintu kamarnya. Pun Mikuri yang akhirnya sibuk dengan laptopnya, memikirkan rencana pekerjaan yang dijanjikannya bersama Yassan.


Asalkan keseimbangannya tidak rusak....Selamanya, hanya seperti ini. Kami bisa melakukannya.



Kantor heboh saat daftar karyawan yang dipecat muncul. Hino-san tidak percaya kalau Hiramasa yang hebat seperti itu ternyata malah kena efek pemecatan.


“Seharusnya kita bersyukur saja masih kerja di sini, apa kau mau berhenti sebagai gantinya?” ujar Kazami.


Hino-san yang nyaris protes lagi akhirnya terdiam. Ia ingat soal keluarganya, cicilan rumah dan lain-lain. Sementara itu Numata-san yang masih merasa bersalah soal pemecatan itu, sakitnya kambuh lagi. Tapi mereka percaya, kalau orang hebat seperti Hiramasa pasti akan segera mendapatkan pekerjaan baru gantinya.


Bisik-bisik pun terdengar nyaris di seluruh kantor. Bagaimana Hiramasa? Dia tetap bersikap tenang. Alih-alih terlihat pusing, Hiramasa justru memanfaatkan jam makan siangnya untuk mencari pekerjaan baru.



Hari-hari berikutnya Mikuri maupun Hiramasa sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Hiramasa banyak menghabiskan waktu istirahatnya sambil terus menekuri laptop. Ia harus segera mendapatkan pekerjaan baru.


Sementara itu Mikuri pun sudah mulai bekerja untuk area perbelanjaan. Ia sudah menyiapkan kuisioner dan membagikannya ke tiap toko untuk persiapan acara mereka.



“Terima kasih atas makanannya,” selesai makan Hiramasa kembali masuk ke kamarnya.


Mikuri hanya bisa terdiam melihat sikap Hiramasa itu. Belakangan ini, Hiramasa terlihat sibuk. Dia bahkan tak mengomentari makanannya. Dia menghabiskannya, jadi kupikir tidak tak enak, sih...



Di kamar, Hiramasa kembali sibuk dengan komputernya. Sepertinya pencarian pekerjaan barunya mulai menampakkan hasil.


Sebuah panggilan telepon datang, “Yang benar? Oke. Terima kasih banyak. Besok aku akan memperkenalkan diri.” Hiramasa sumringah menutup telepon malam itu.


Ia pun kembali beranjak ke komputernya dan mengeprint beberapa lembar kertas. Ada tatapan puas di mata Hiramasa saat melihat lembaran-lembaran kertas itu.



Pagi berikutnya


Setelah sarapan, seperti biasa Mikuri beres-beres dapur. Saat itu Hiramasa sudah siap untuk berangkat bekerja.


“Mikuri, apa kau mau makan malam di luar malam ini?” tanya Hiramasa dengan hati-hati.


“Di luar?” Mikuri heran.


“Nanti kita bertemu di tempat di memo ini,” Hiramasa menyerahkan selembar kertas pada Mikuri. “Tolong sampai di sana jam 18:45.”


Mikuri mengiyakan saja permintaan Hiramasa tanpa bertanya lebih lanjut. Ia pun tidak lupa memberikan bekal makan siang untuk Hiramasa dan mengantarkannya seperti biasa hingga di depan pintu. “Selamat jalan!”


Mikuri menatap kertas di tangannya. Di sana tertulis tulisan tangan Hiramasa yang memintanya bertemu di depan patung gajah di taman belalai gajah.



Yuri berangkat kantor seperti biasa. Melihat Kazami datang, Yuri berusaha untuk berjalan lebih cepat. Tapi Kazami melihatnya dan langsung menyusul.


“Selamat pagi. Kau tak perlu menghindariku,” sapa Kazami.


“Aku tidak menghindarimu,” elak Yuri.


“Kau tak datang ke bar dan juga tak membalas pesan-pesanku.”


“Aku sibuk,” Yuri masih saja mencari alasan.


“Secara teknis, aku juga manusia, jadi, kalau dijauhi seperti ini, aku juga masih merasa depresi. Kalau kau tak ingin berbicara denganku lagi, aku takkan lagi mendekatimu,” protes Kazami setengah mengancam.


“Bukannya begitu...”


Tapi ucapan Yuri terpotong oleh kehadiran si gadis centil yang mengejar-ngejar Kazami. Gadis itu langsung bergelayut di lengan Kazami, membuat suasana justru makin canggung.


Saat itu salah satu bawahan Yuri yang pria datang. Melihat kesempatan melarikan diri dari situasi tidak jelas, Yuri pun segera menyeret bawahannya dan menjadikannya alasan untuk pergi menjauh dari Kazami dan si gadis centil.


Kehadiran si gadis centil kali ini benar-benar membuat Kazami kesal, “Kau membuatku marah.”


“Hore! Ada kemajuan dalam hubungan kita!” alih-alih mengkeret pergi, si gadis centil justru makin bersemangat.


Kazami menghembuskan nafas berat, makin kesal, “Aku akan memberimu julukan. Positive monster.”


“Posimon? Aku menangkap Posimon!” si gadis centil justru makin bersemangat.



Yuri masuk ke lift bersama bawahannya tadi.


“Kelihatannya lancar, ya, dengan si ganteng itu,” ujar si staf pria.


“Apanya yang lancar? Aku cukup tua untuk jadi ibunya,” elak Yuri.


“Bagus, 'kan? Rintangan seperti itu. Karena hidup kalian bisa bertemu.”


Yuri melirik sebal pada bawahannya ini.



Mikuri mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasanya. Tapi, ia masih saja terus memikirkan ajakan Hiramasa untuk makan malam di luar. Mikuri penasaran. Ia pun ingat soal ulang tahunnya. Saat itu Hiramasa mengaku menyesal karena tidak melakukan apapun saat ulang tahun Mikuri dan berjanji akan mengajaknya makan di luar di ulang tahunnya tahun depan. Alih-alih menunggu tahun depan, akhirnya Hiramasa mengajak Mikuri pergi makan malam, untuk alasan ini. Seperti itulah akhirnya Mikuri menyimpulkan.


Kebersamaan pertama kami. Kencan pertama kami! Apa aku harus bersikap manis? Mikuri membuka lemari dan mulai memilih baju. Satu baju dicoba, baju kedua dan ketiga ... tapi tidak ada yang pas menurut Mikuri. Terlalu antusias juga tidak bagus. Kalau bau yakitori akan menempel pada baju, maka ... Aku tak bisa memutuskan....



Hari sudah gelap saat Mikuri berjalan ke tempat ia janjian dengan Hiramasa. Mikuri melihat Hiramasa sudah menunggunya di dekat patung gajah, persis seperti yang dikatakan Hiramasa pada catatan yang diberikannya pada Mikuri tadi pagi.


“Maaf, aku telat,” sapa Mikuri saat sudah dekat.


“Tidak, pas waktunya, kok. Ayo pergi.”


Mikuri pun berjalan sambil bergandengan tangan dengan Hiramasa. Keduanya baru sadar kalau selama ini belum pernah sekalipun makan malam bersama di luar. Mereka sepakat untuk melakukannya sekali sebulan. Dan yang lebih penting, mereka belum pernah kencan.



“Ini tempatnya,” ujar Hiramasa saat mereka tiba di depan sebuah restoran.


“Sepertinya mahal...” komentar Mikuri.


Tapi Hiramasa tetap mengajaknya masuk. Tampak restoran itu mewah dengan tetamu yang duduk di tempat mereka masing-masing. Penyambut tamu menyambut Mikuri dan Hiramasa lalu menawarkan untuk menyimpan mantel mereka. Mikuri yang belum benar-benar percaya, sempat terdiam hingga Hiramasa menegurnya. Keduanya pun duduk di tempat yang ditunjukkan pelayan.


“Ini restoran terkenal. Kalau kutahu bakal begini aku akan pakai baju yang lebih bagus....” komentar Mikuri.


“Kau kelihatan imut,” puji Hiramasa.


Pelayan menyerahkan menu pada Hiramasa. Tampak ia membaca menu sambil sesekali bicara pada si pelayan tadi.


Dan sekali lagi, Mikuri dibuat takjub dengan Hiramasa. Hiramasa yang tekun dan tenang, yang cocok dengan kuil...Di suasana gemerlap ini, dia berbicara kebarat-baratan.


“Antara daging domba dan sapi, mana yang kau pilih, Mikuri?” tanya Hiramasa.


Tapi di mata Mikuri, pertanyaan tadi membuat angannya melayang tinggi. Bagi Mikuri, Hiramasa di depannya bertransformasi menjadi seorang pengeran tampan yang tengah bertanya soal pesanan makanan pada Mikuri. Hiramasa tampak sangat bersinar, tampan dan manis dengan senyumnya, membuat Mikurit tidak bisa berkata apapun.


Tapi Mikuri buru-buru menghapus angannya yang terlalu tinggi. Tunggu, bukan, bukan begitu.Hiramasa yang seperti pangeran ini agak keren, tetapi bukan itu intinya.



Karena melihat Mikuri tampak tidak terlalu fokus, akhirnya Hiramasa langsung saja memesan menu. Dalam pikirannya, ia sudah memersiapkan segalanya dengan baik.


Jadi, selain mencari pekerjaan, Hiramasa ternyata juga mencari restoran keren yang ingin dijadikannya tempat kencan makan malam dengan Mikuri. Ia sempat memesan beberapa tempat, tapi terlanjur penuh. Hingga akhirnya Hiramasa menemukan tempat yang tepat ini. Bahkan Hiramasa sempat lebih dulu melakukan survey ke restoran itu siangnya.


Semuanya berjalan baik sampai saat ini.



Pesanan makanan mereka pun datang. Tanpa butuh waktu lama, Hiramasa dan Mikuri pun menyantap makanan di piring masing-masing. Dan seperti beritanya, makanan di restoran itu benar-benar enak.


Ini sangat, sangat enak. Akan tetapi...dari tadi Hiramasa diam saja. Dia hanya makan, dan terkadang tersenyum bahagia. Mengerikan. Ada apa di balik kelakuan Hiramasa yang seperti pangeran? Mikuri menyantap makanannya sambil sesekali mencuri pandang ke arah Hiramasa, menunggu Hiramasa bicara. Tapi ternyata tidak ada yang dikatakan.


Makan malam selesai. Dan kini di depan mereka adalah makanan penutup. Hiramasa mengumpulkan keberaniannya dan akhirnya bicara.


“Alasan kita datang ke sini hari ini adalah untuk membicarakan masa depan. Aku tak tahu ukuranmu, jadi aku belum punya cincin, tetapi Mikuri, Ayo kita masukkan namamu di kartu keluarga secara resmi lalu menikah,” ujar Hiramasa.


Mikuri kaget dengan ucapan Hiramasa yang tiba-tiba ini, “Kupikir Anda tak berniat menikah....”


“Kupikir itu sesuatu yang takkan pernah terjadi padaku. Namun, sejak bertemu denganmu, Aku berubah. Aku melakukan simulasi perhitungan. Kalau kita menikah, kita tak lagi memerlukan kontrak kerja. Gaji yang saat ini kubayarkan padamu bisa digunakan untuk biaya hidup atau simpanan.” Hiramasa mengeluarkan kertas berisi catatan keuangan yang telah disusunnya. “Antara menikah atau tidak, dalam tiga dan lima tahun...selisihnya sebesar ini. Dengan uang ini, kita bisa beli rumah tua, atau di masa depan, dengan satu bahkan dua anak, bagaimanapun caranya bisa kita atasi. Ini datanya.”



“Dengan kata lain, kuputuskan, menikah itu...akan menguntungkan bagi kita berdua. Dengan begitu...” ucapan Hiramasa dipotong oleh Mikuri.


“Tunggu sebentar. Sebelum membuat rencana masa depan seperti rumah dan anak-anak, Kenapa Anda berpikir untuk mendaftarkannya? Pemicunya.”


“Pemicunya adalah... dipecat. Ah... tentu saja, aku berniat memberi tahumu setelah aku mendapatkan pekerjaan baru.”


“Anda dipecat... jadi Anda melamar?” nada suara Mikuri sedikit lebih tinggi.


“Bukan hanya itu alasannya. Kurasa pernikahan itu lebih logis,” elak Hiramasa.


“Kalau kita menikah, Anda tidak harus membayar gaji, dan bisa memanfaatkan jasaku secara gratis, jadi itu logis....Begitu maksudnya, 'kan?” cecar Mikuri.


Hiramasa bingung, “Apa... kau tak suka padaku?”


“Itu...eksploitasi cinta!” tegas Mikuri.


“Kalau saling suka, kalau saling cinta, kita bisa melakukan segalanya...”


“Anda pikir itu baik?” kali ini Mikuri benar-benar marah. “Aku, Moriyama Mikuri...dengan tegas menentang eksploitasi cinta!”


BERSAMBUNG


Pictures and written by Kelana


Kelana’s note :


Lama nggak buat sinopsis, ternyata kecepatan nulis Kelana agak melambat nih. Tapi semoga nggak mengecewakan ya.


Ok, kembali ke cerita .... Ending episode 10 ini memang nggak banget. Lamaran yang harusnya sukses, justru gagal total. Oh Hiramasa ...


Pertama, lamaran ini sama sekali nggak romantis. Atau gagal romantis saat Hiramasa mengeluarkan kertas-kertas berisi catatan keuangan yang ia buat. Iya sih, Hiramasa itu orang yang kaku. Tapi ya masa ada gitu ... orang melamar kok pakai catatan keuangan gitu.


Kedua, karena catatan keuangan itu, akhirnya lamaran berubah jadi salah paham. Niat hati Hiramasa ingin menikahi Mikuri secara resmi karena memang sayang, ternyata diterima berbeda oleh Mikuri.


Ketiga, Mikuri juga agak keras kepala. Memang sih, kalau menikah dan tidak lagi digaji, artinya kerjanya gratis. Tapi ya ... namanya keluarga kan gitu ya. Masak sih semua harus dinilai dengan uang. Nah, si Mikuri ini masih money-oriented banget lah. Jadi, nggak bisa melihat niat baik Hiramasa. Ditambah lagi, Mikuri sudah keburu negatif thinking saat tahu, Hiramasa melamar setelah dipecat. Padahal niat Hiramasa melamar murni karena sayang, bukan karena ia nggak mau lagi menggaji Mikuri. Rumit.


Ok, ... memang kedua orang ini punya problem ‘sulit berkomunikasi dan mengungkapkan perasaan dan pikiran masing-masing’. Jadi ya ...gitu deh. Tapi tenang aja, masih ada satu episode lagi kok, episode terakhir. Kira-kira, gimana endingnya ya?


Couple ini memang couple keren di season musim dingin lalu. Nggak heran, kalau Mikuri yang diperankan oleh Aragaki Yui pun menyabet sejumlah penghargaan. Dan lagi ... mas Hiramasa—yang ternyata imut ini—pun jadi kebagian lebih banyak job lagi. Musim semi ini nanti pun dia sudah ada di list pemeran drama tayang.


Ah ya ... setelah ini Na akan selesaikan dulu sinopsis Married as Job sampai ep 11, atau sampai selesai. Nah, sambil nunggu drama musim semi tayang+muncul subtitle-nya nanti, Na akan buat preview drama apa saja yang akan muncul di musim semi.


Hosh! Hosh! Capek juga lama nggak nulis, kekekekeke. Sekali lagi, selamat membaca ^_^