SINOPSIS Himura and Arisugawa 05 part 2

14.05.00 0 Comments

SINOPSIS Criminologist Himura and Mystery Writer Arisugawa episode 05 part 2. Kasus kali ini adalah kematian seorang artis pendangan baru bernama Yura. Pembunuhnya sudah jelas. Tapi yang jadi masalah, bagaimana pelaku ini bisa membuat investigasi menjadi kacau?


Seorang artis pendatang baru, Yura ditemukan tewas di apartemennya. Orang pertama yang menemukannya adalah kekasihnya yang juga bos agensi-nya, Yukari Masahiko. Sejak pertama datang, Himura-sensei sudah curiga pada orang ini.



Yukari-san sempat terdiam sebentar dalam ceritanya. Dan dia tidak mengatakan bagian terakhir kisah itu, saat Yura akhirnya menemukan kunci apartemennya di dalam kotak tissue. Sementara polisi menyimpulkan kalau pelakunya adalah orang yang mengambil kunci apartemen Yura dan mengikutinya hingga ke apartemen.


“Apa malam itu terakhir kali Anda bertemu dengan Yura?”


“Tidak. Aku bertemu dengannya kemarin sore. Sebenarnya, aku sedang kesulitan keuangan,” cerita Yukari-san.



14 Februari, kemarin


Yukari-san meminta waktu lagi pada peyewa kantor dan juga kliennya, ia mencoba mencari jalan keluar dari kesulitan keuangannya. Setelahnya ia bertemu dengan Yura. Tapi Yukari-san masih memikirkan masalahnya. Peluang Yura mengembangkan diri menjadi artis besar pun semakin suram.


Saat itu ia bertemua Yura di depan sebuah toko. Yura mengaku butuh membeli sesuatu. Tapi Yukari-san menolak menunggu dan mengaku akan kembali ke kantor. Tapi dia tidak mengatakan apapun soal masalahnya pada Yura.



Toko yang didatangi Yura selalu membuat Yukari-san teringat. Saat itu malam hari, dan Yura begitu mengagumi sebuah gaun pengantin yang dipajang di etalase toko.


Setelahnya Yukari-san melihat Yura yang menggunakan gaun pengantin itu di balik etalase. Rasa kesal mulai menjalar. Ia pun mengambil tongkat besa yang berada tidak jauh darinya. Yukari-san lalu memukulkan tongkat itu ke kaca di depan Yura.



Yukari-san memang kembali ke kantor malam itu. Ia menunggu sampai larus sebelum akhirnya keluar lagi. Yukari-san sudah mengambil keputusan.


Di jalan menuju apartemen Yura, Yukari-san sempat membeli sebuah penutup kepala dan juga sarung tangan, “Aku harus bersiap.”



Yukari-san tiba di apartemen Yura. Dan semua pun berjalan seperti yang sudah ada. Yukari-san membunuh Yura dengan menutupkan bantal ke kepala Yura. Lalu meninggalkan Yura dan kembali mengunci pintu apartemen itu.


Tapi tentu saja, semua ini tidak dikatakan Yukari-san pada polisi. Semua hanya ada dalam pikirannya saja.



“Sensei, apa kau kau mau menanyakan sesuatu?” det.Hisashi beralih pada Himura-sensei.


Alih-alih bertanya soal kasus, Himura-sensei malah bertanya soal menu makan siang. Yukari-san heran, tapi juga tetap menjawabnya. Det.Hisashi juga menimpalinya. Menu makanan yang disebutkan memiliki harga murah tapi dengan kualitas mewah.


“Berhenti mengobrol dan lanjutkan wawancara!” protes det.Ono.


“Maaf.” Himura-sensei mendekati Yukari-san. “Apa Anda naik taksi saat ke sini?”


“Karena kantorku tidak jauh dari stasiun, aku biasanya naik kereta.”


“Jadi, Anda punya tiket bulanan?”


“Ya. Kenapa kau menanyakan itu?” Yukari-san heran.


“Itu ... karena tempat ini tidak jauh dari semua stasiun, aku bingung. Aku hanya ingin memastikan bagaimana kembali dari sini,” ujar Himura-sensei.



“Himura!” bentak det.Ono lagi, makin tidak sabar.


“Baiklah. Ada sesuatu yang kupikirkan,” ia pun mulai membuka-buka laci di apartemen itu. “Ada sepuluh tiket lotere di rak. Nomer yang menang belum diumumkan.”


Semua orang mulai melakukan analisis. Kemungkinan, tersangka adalah orang rasional atau realistis. Tiket itu mungkin saja ada nomer yang menang. Atau tersangka mungkin tidak bisa melihat barang berharga lain selain uang dan perhiasan.


Alice pun menyimpulkan, “Pelaku mengambil prioritas hasil sedikit dan mengabaikan kemungkinan besar. Jika pelaku adalah manager, dia tidak akan mungkin jadi posisi yang lebih atas lagi.”


“Dan satu lagi,” Himura-sensei melanjutkan. “Kenapa tersangka melepas sepatunya saat masuk ruangan ini?”


Kesimpulan pun muncul. Tersangka sangat elegan atau hati-gati, jadi dia tidak ingin polisi mengindentifikasi dirinya lewat jejak sepatu atau tanah yang menempel di sepatunya.


“Jadi, pelaku sangat rasional, elegan dan hati-hati,” Himura-sensei menyimpulkan.



Himura-sensei memanggil Alice untuk mendekat. Mereka bicara sambil bisik-bisik. Semua orang di ruangan hanya bisa dibuat heran oleh sikap kedua sahabat ini. Yukari-san pun penasaran dengan kedua orang ini.


Selesai bicara dengan Alice, Himura-sensei berbalik, “Yukari-san, bagaimana kalau kita ke kafe? Ada kafe bagus di dekat ini.”


“Hei, kita masih belum selesai!” protes det.Ono.


“Akan kulanjutkan di kafe,” ujar Himura-sensei. Ia minta izin pada det.Hisashi yang langsung diiyakan oleh det.Hisashi tanpa ragu sedikitpun.



“Anda terlalu mudah memberikan izin pada Himura!” protes det.Ono pada det.Hisashi.


Kali ini yang menjawab si ahli forensik, “Kau tidak lihat matanya? Dia punya rencana. Itu bukan sesederhana datang ke kafe begitu saja.”


Det.Ono salah tingkah, “Tentu, aku juga menyadari itu.” Ia berusaha keras menyembunyikan ketidaktahuannya. “Ayo lanjutkan penyelidikan!” det.Ono menunjukkan sebuah struk belanja milik korban Yuri-san.



Alice, Himura-sensei dan Yukari-san benar-benar datang ke sebuah kafe. Tiga cangkir kopi panas sudah tersaji di depan mereka.


Untuk menjadi kafe yang keren, ada beberapa syarat. Pertama, mereka tidak menyetel lagu Jepang sebagai lagu utamanya. Saat menyajikan kopi, harus kopi hangat. Mereka juga punya koran olahraga. Mereka juga punya saus pasta.


Himura-sensei mengeluh soal uangnya yang ternyata sudah kusut, padahal ia perlu beli rokok di mesin penjual. Ia lalu minta tukar dengan milik Yukari-san yang ternyata lebih baik. Himura-sensei lalu pamit pergi untuk membeli rokok. Tinggal Alice yang tinggal mengobrol dengan Yukari-san.


“Jadi, Anda yakin kalau Yura-san terbunuh karena perampok?”


“Ya, aku yakin,” balas Yukari-san.


Himura-sensei sudah kembali dari membeli rokok. Tapi ia baru sadar kalau kafe itu tidak mengijinkan merokok. Ia pun urun menyalakan rokoknya itu.


“Maaf, apa yang sebenarnya ingin kau katakan padaku?” Yukari-san penasaran.


“Ah, aku tidak bisa menemukan kunci di TKP. Pelaku menggunakan kunci yang diambilnya untuk masuk ruangan. Setelah membunuhnya (Yura), pelaku mengunci pintu dan melarikan diri. Dan lagi, Yura menggunakan kunci cadangan miliknya untuk masuk ruangan kan? Jadi, di mana kunci cadangan milik Yura?”


“Benar, tidak ada alasan pelaku mengambil juga kunci cadangan,” sambung Alice. “Ini misteri. Ah aku mengerti, gantungan kuncinya mahal!”


“Tidak, harganya biasa saja,” elak Yukari-san.


“Tapi kupikir itu bisa jadi kunci menyelesaikan insiden ini,” sesal Alice.


Himura-sensei rupanya juga curiga dengan waktu saat pelaku masuk ke ruangan Yura. Kalau dia jadi pelakunya, maka ia akan memilih datang pada sore hari, saat Yura-san pergi dan tidak akan datang saat Yura-san ada di rumahnya. Kemungkinan pelaku ingin melakukan hal cabul pada korban juga tidak mungkin, sebab tidak ada tanda-tanda kekerasan di tubuh korban. Jadi kemungkinan pelakunya wanita, dan dia hanya tertarik dengan uang dan perhiasan saja.


“Pelaku hanya mengambil yang dia butuhkan saja,” ujar Yukari-san dengan tenang.


“Aku tidak yakin ... tapi terimakasih atas obrolan ini. Dan maaf sudah menyusahkanmu,” Himura-sensei lalu beranjak pergi.


Yukari-san heran dengan perubahan sikap orang di depannya ini. Kini di depannya hanya ada Alice. Alice mengeluarkan selembar uang usang dan mengatakan kalau Himura-sensei pergi karena ia ingin merokok. Alice sendiri kemudian pamit pergi.



Yukari-san kembali ke kantornya. Ia masih saja memikirkan obrolannya tadi dengan dua orang itu di kafe. Sementara itu, ingatannya juga mengarah pada Yura.


Saat itu, ia melihat Yura berpakaian gaun pengantin berada di dalam etalase toko. Yukari-san mengambil tongkat besi dan memukul kaca etalase, hingga salah satu pecahannya menusuk dada Yura.



Polisi menyusul ke kantor Yukari-san. Det.Ono menunjukkan struk belanja milik Yura dan mengatakan kalau Yukari-san jadi tersangka. Yukari-san heran.


“Yura tidak kehilangan kuncinya. Saat dia kembali ke rumah, dia menemukannya di dalam tasnya. Kami punya bukti.”


Kemarin sore, saat berbelanja barang di toko dan menunggu kembalian, Yura bercerita pada si pelayan toko kalau ia nyaris kehilangan kunci. Tapi ia akhirnya menemukan kunci itu ada di dalam tasnya.


“Kalau Yura tidak kehilangan kuncinya, artinya hanya kau dan Yura yang punya kunci apartemen Yura,” lanjut det.Ono.


“Tunggu dulu. Aku tidak tahu sampai sekarang kalau Yura tidak kehilangan kuncinya. Dan karena aku punya kunci, lalu aku jadi tersangka?” elak Yukari-san.


“Jika itu adalah perampok profesional, dia bisa membuka pintu tanpa kunci. Atau mungkin saja tersangka,” ujar Himura-sensei.


“Atau tersangka mungkin saja orang lain yang kenal Yura selain aku.”



Himura-sensei memamerkan senyum misteriusnya, “Kau mengatakan kalau kau terakhir bertemu dengannya sore hari sebelum insiden itu kan?”


“Benar. Kami berpisah saat Yura mampir ke toko.”


“Tidak benar. Kau juga menemui Yuri malam insiden itu,” lanjut Himura-sensei.


“Apa dasarnya?”


“Yura membayar dengan uang tunai di toko ini,” Himura-sensei menunjukkan struk pembelian milik Yura-san. “Dia membayar 10.000 yen dan mendapat kembalian 1.360 yen. Dia memasukkan uang itu ke dalam dompet dan kembali ke rumah lalu terbunuh malam itu. Ada banyak penyebab pelaku bersikap aneh dalam insiden ini. Kami berpikir kalau itu adalah trik yang dilakukan tersangka agar seolah seperti perampokan. Dan kamu punya jawabannya. Tersangka itu adalah ... kau!”


Yukari-san tersenyum, “Itu bodoh.”


“Setelah membunuh Yura, kau mengacak-acak apartemen, mengambil uang dan perhiasan agar seperti perampokan. Kau membuang semua itu di tempat sampah sehingga tidak terlacak. Bagaimana dengan uangnya? Kau menyimpannya dalam dompetmu.”


“Itu kasar! Kenapa dengannya? Dia menuduhku tanpa bukti!” Yukari-san masih saja mengelak.


“Aku punya bukti. Sakashita!” Himura-sensei meminta si detektif muda menunjukkan bukti mereka, selembar uang. “Toko yang didatangi Yura, sebuah butik terkenal menggunakan uang baru untuk kembalian kan? Dan kau menukar lembaran uang lamaku dengan uang barumu. Karena uang itu, aku bisa mendeteksi sidik jarimu. Ada sidik jariku, kau, Yura dan pelayan toko. Dengan kata lain, bukti ini adalah yang kau ambil dari dompet Yura. Karena kau punya tiket bulanan kereta dan makan siang murah, kau pasti belum akan menggunakan uang kertas 1.000 yen ini. Jadi, aku punya kesepakatan dengan Alice. Apa kau mengakui kesalahanmu?”



Yukari-san tidak bisa mengelak lagi, “Sejak kapan kau mencurigaiku?”


“Kau mungkin mengkamuflasekan pembunuhan ini dengan sempurna. Tapi kami sudah mencurigaimu sejak awal. Kau kekasih korban dan orang pertama yang menemukan jasadnya. Itu hal biasa,” jawab Himura-sensei. “Kau juga curiga sejak awal kan, Sakashita?”


Pertanyaan ini membuat si polisi muda gelagapan. Tapi ia pun buru-buru mengiyakan ucapan Himura-sensei itu.


“Semuanya adalah masalah bagiku.”


“Aku tidak yakin kenapa kau membunuh Yura. Menurut staf kantormu, hubunganmu dengan Yura baik-baik saja,“ kali ini Alice yang bicara.


“Benar. Yura meninggal sebagai orang yang bahagia.”


“Yura membelikan kau gantungan kunci baru sebagai hadiah valentine. Tapi kau justru menggunakan kunci itu untuk membunuhnya. Ironis sekali,” sindir Alice. “Kalau kau kehilangan agensimu, Yura akan pergi darimu. Apa itu yang kau takutkan?”


“Mungkin,” Yukari-san berpikir sebentar. “Tidak, aku tidak peduli jika dia meninggalkanku. Tapi aku menghargainya dalam kotak kaca. Jika seseorang mengambilnya, maka kotak kacaku menjadi kosong. Aku selalu ingin membunuhnya. Tapi aku tidak yakin. Tapi kau mungkin paham perasaanku,” Yukari-san beralih pada Himura-sensei.



Kali ini Alice yang maju. Ia lebih emosi dari biasanya, “Hidupnya sia-sia karena dibunuh kekasihnya tanpa alasan jelas. Yura bukan barang milikmu! Meski kau memperlakukannya seperti barang milikmu, masa depan Yura bukan milikmu. Kau mengambil mimpi dan masa depannya. Dia bahkan tidak sempat mengecek nomer lotere-nya!” Alice membuang tiket lottere di depan Yukari-san. “Meski itu Cuma mimpi kecil!” Alice marah dan berbalik pergi.


Det.Ono mengikuti Alice yang beranjak pergi, “Dari mana kau dapat tiket lottere itu?”


Alice gelagapan. Ia tidak punya jawaban. Jelas sekali sikapnya barusan adalah akting belaka.


“Baiklah, kata-katamu tadi membuatku merasa baik,” det.Ono tidak ingin memperpanjang obrolan lagi.



Yukari-san mengambil tiket lottere yang tadi dibuang Alice. Ia beralih pada Himura-sensei yang masih terus memperhatikannya, “Ada lagi yang mau kau katakan?”


Himura-sensei hanya memandangi Yukari-san dengan tatapan dingin dan bibir bergeser sedikit, “Kau bodoh! Seharusnya kau membunuhnya saat dia mengatakan padamu kalau kuncinya hilang. Kau terlambat satu hari.”


Yukari-san kaget. Meski tidak dikatakan, ternyata Yukari-san tahu apa yang dipikirkan Himura-sensei, pun yang hanya dikatakannya dalam hati itu.



Himura-sensei pulang bersama Alice menuju tempat tinggalnya, “Kejahatan ini tidak sempurna.”


“Akhirnya aku tidak mengerti kenapa dia harus membunuh Yura,” sambung Alice.


“Alasan aneh bukan satu-satunya alasan membunuh!” Himura-sensei berjalan cepat meninggalkan Alice yang terpaksa setengah berlari mengejarnya.



Tokie-san masih asyik memandangi tiket lottere-nya. Ia membayangkan kemenangannya dan bisa berlibur di pantai sambil memakai bikini. (awwww ... oba-san). Dari arah lain, Himura-sensei dan Alice baru saja datang.


“Ini untukmu, Tokie-san,” ujar Himura-sensei memberikan sebuah bungkusan pada Tokie-san, membuat wanita itu heran.



Kini mereka berdua ada di kamar Himura-sensei, asyik memandangi peta di mejanya.


“Jadi, menurut mahasiswamu, orang-orang yang terlibat insiden ini tinggal dekat sini?”


“Ya. Di komplek apartemen Orange Tachibana. Nyaris semua ruangan penuh disewa. Dan disebut sebagai apartemen hantu,” ujar Himura-sensei.


“Tampaknya menyenangkan. Jadi, bisa kau ceritakan lebih banyak lagi soal insiden ini?” pinta Alice.


Tapi Himura-sensei menolak. Ia justru beranjak ke tempat tidurnya dan meninggalkan Alice yang kesal dan masih memasang wajah penuh tanda tanya.



Telepon di rumah itu berdering pagi-pagi buta. Tergopoh-gopoh Tokie-san terbangun dan mengangkat telepon itu. Suara di seberang minta untuk bicara pada Himura-sensei.


“Bawa Himura Hideo sekarang!”


“Jangan kasar begitu! Atau kututup teleponnya!” balas Tokie-san.


Alice yang mendengar berisik itu ikut menguping. Ia pun meminta telepon dari Tokie-san. Suara di seberang meminta agar mereka datang ke komplek apartemen Orange Tachibana ruang 806.


“Kau ini siapa?”


Ternyata Himura-sensei juga ikut bangun. Ia mendengar semua obrolan di ruang telepon itu. Matanya berubah tertarik.


BERSAMBUNG


Sampai jumpa di SINOPSIS Himura and Arisugawa episode 06 part 1


Pictures and written by Kelana


FP: elangkelanadotnet, twitter : @elangkelana_net

SINOPSIS Himura and Arisugawa 05 part 1

13.08.00 0 Comments

SINOPSIS Criminologist Himura and Mystery Writer Arisugawa episode 05 part 1. Atas permintaan Himura-sensei, sekarang ia bisa bertemu langsung dengan pimpinan Shangri-La Crusade yang berada di penjara, Moroboshi Sanae. Masalah baru pun bermunculan.


Kasus kali ini jelas siapa pelakunya. Tapi, Himura-sensei maupun Alice gagal menemukan motif si pelaku. Siapa sebenarnya pelaku ini?



Insiden pembunuhan terjadi di Shibuya, korbannya adalah anggota Shangri-La Crusade. Polisi dan Himura-sensei curiga kalau kasus kali ini juga dilakukan oleh orang yang sama seperti sebelumnya, seorang pembunuh misterius di bawah umur. Kesimpulan sementara, pembunuhan ini adalah balas dendam pada Shangri-La Crusade atau bahkan tantangan untuk Shangri-La Crusade.


Morobishi tersenyum menanggapi kedua orang di depannya ini, polisi dan Himura-sensei, “Kau bisa lihat dalam gambar itu kan. Aku tidak merasakan dendam atau kemarahan dari luka mereka. Itu murni pembunuhan. Bocah itu mengatakan ‘aku ingin membunuh seseorang’,” bisik Moroboshi di dekat wajah Himura-sensei. Ia pun menarik kembali tubuhnya dan kembali duduk di kursi. “Kau pasti tahu itu. Karena kau juga berpikir untuk membunuh seseorang. Harusnya kau ada di pihakku. Kenapa kau masih ada di pihak yang salah?” Moroboshi tersenyum puas.


Himura-sensei mengiyakan tuduhan Moroboshi itu, “Aku masih benci penjahat, untuk alasan apapun. Aku benci mereka karena mereka kehilangan alasan dan pindah ke pihakmu.


“Meski mereka di bawah umur atau psikopat yang tidak punya pemikiran logis?”



Alice tengah bicara dengan editornya. Mereka membahas soal novel baru Alice. Alice sendiri mengaku sedang mengalami ‘writer block’, ia butuh ide baru untuk tulisannya. Karenanya, ia minta tambahan waktu pada editornya itu.


Alice menutup telepon dan menatap catatan yang tertempel di layar laptopnya. Semua adalah motif yang umum untuk melakukan pembunuhan. Tapi Alice ingin ide baru, pembunuhan tanpa alasan. Seorang psikopat.



Seorang pria tampak memencet bel dan setelahnya seorang wanita cantik muncul dari pintu dan mempersilahkan si pria masuk. Si wanita heran, karena si pria datang tanpa memberitahu terlebih dahulu. Si pria mencium aroma wine. Si wanita lalu si pria untuk minum wine bersama tapi ditolak. Saat itu si wanita sedang menonton film tentang zombi. Si pria duduk di sebelah si wanita yang asyik menonton. Tanpa disadari, si pria mulai melakukan sesuatu.


Pria itu memakai sarung tangan sambil memandangi si wanita dengan dingin. Diambilnya bantal, lalu dibekapnya si wanita di bawah bantal hingga si wanita pun kehabisan nafas. “Selamat tinggal, Yura.”


Selesai melakukan aksinya, si pria mengambil kunci apartemen si wanita ini. Tidak lupa diacak-acaknya pula isi ruangan apartemen itu. Uang dan sejumlah perhiasan juga diambil. Setelah semua dinggap beres, si pria pun pergi dan kembali mengunci pintu. Di jalan, perhiasan dan beberapa hal yang diambil dibuangnya ke tempat sampah.



Alice asyik memilih permen bulat warna-warni yang disajikan Tokie-san. Ini membuat Tokie-san menegurnya dan minta agar Alice tidak memilih rasa favoritnya saja.


“Sensei, aku akan menraktir apapun yang kau mau dan sebanyak kau mau. Kau mau apa? Daging kobe atau lobster?” Tokie-san sangat riang hari itu. Dan alasannya pun akhirnya terjawab. Ia menunjukkan tiket lottere dan sangat yakin kalau ia akan jadi pemenang utamanya. “Kalau aku menang, aku akan pergi ke Maldives. Aku sangat bersemangat, aku tidak akan mati tanpa tahu kalau aku menang kan? Itulah kunci sehatku. Dan menunggu novel barumu juga jadi kunci sehatku.


“Semoga kau berumur panjang,” balas Alice.


“Senang mendengarnya. Himura-sensei juga mengatakan hal itu. Aku punya permintaan padamu,” Tokie-san berubah serius. “Jangan Cuma main-main di sini. Tuliskan novel baru!”



Si pria yang semalam membunuh wanita bernama Yura berangka ke kantornya seperti biasa. Tapi tampaknya ia asyik memandangi jam di meja dan terus berpikir. Salah satu staf kantor agensi artis mereka itu melaporkan soal kontrak iklan Yura yang ternyata gagal.


“Kuserahkan semua padamu,” ujar pria itu yang ternyata adalah bos dari agensi artis itu.


Karena memiliki waktu luang, salah satu staf iseng mencoba tes psikopat. Ditanyakannya pertanyaan pada rekannya di samping meja, dan jawabannya adalah ‘bukan psikopat’. Tapi saat pertanyaan tes itu dikatakannya pada si bos, ternyata analisisnya si bos ini ‘nyaris psikopat’.


“Sudahlah, jangan lakukan hal aneh saat jam kerja,” rekan di sampingnya menyingatkan staf yang tadi iseng membuka-buka tes psiokpat.


Tapi sepertinya si bos tidak terlalu ambil pusing dengan tes tadi. Ia pun mengambil keputusan, “Aku akan menemui klien dan langsung pulang,” pamit si Bos.


“Apa Anda akan menemui Yura juga?” tanya salah satu staf. “Kalau iya, tolong katakan padanya tidak usah kecewa soal iklan yang gagal.”



Si bos keluar dari kantornya. Ia masuk ke jalur kereta bawah tanah. Tapi pikirannya masih terus mengangkasa, memikirkan kekasihnya, si cantik Yura. Yura adalah seorang artis baru di agensi artis mereka.


Ada momen saat Yura begitu bersemangat mendapatkan script pertamanya. Ia bahkan berlatih secara khusus dengan si bos yang juga kekasihnya. Mereka mengakhiri acara malam itu dengan makan malam dan minum wine. Di saat lain, mereka berjalan berdua menikmati kencan. Saat itu Yura berhenti di depan toko gaun pengantin. Yura begitu kagum dan takjub pada gaun pengantin yang dipajang di etalase toko itu.



Si bos ini sampai di depan apartemen Yura, “Masuklah dalam karakter. Bersikap sesederhana mungkin,” gumamnya pada diri sendiri. Ia kemudian memasukkan kunci miliknya dan membuka apartemen itu.


Dia tidak menjawab saat kupanggil lewat interkom. Jadi aku menggunakan kunci cadangan milikku. Sudah kubilang padanya agar mengganti kunci pintu dengan yang baru. Saat ternyata pintu masih mudah terbuka, aku khawatir. Saat aku masuk, apartemen itu berantakan. Dan kutemukan Yura tidak sadar di sofa. Kudekati dia.


“Ini darurat! Kekasihku meninggal!” si bos menelepon polisi.



Alice masih saja stak pada ide tulisannya. Kali ini ia nongkrong sendirian di tempat terpencil ditemani laptopnya. Tapi tetap saja Alice menghubungi Himura-sensei.


“Apa kau tahu motiv membunuh? Aku mencari motiv yang keren untuk membunuh,” curhat Alice.


“Sejak Cain dan Abel (Na nggak yakin sih, sepertinya ini merujuk pada Qobil dan Habil), meski metode dan motiv membunuh menjadi beragam, tapi secara psikologi motiv-nya masih tetap sama. Itu adalah emosi primitif uyang dimiliki setiap orang.”


“Tidak setiap orang,” protes Alice.


“Benarkah?” Himura-sensei tidak yakin. “Kau membunuh banyak orang dalam kisahmu.”


“Itu bukan emosi primitif! Aku jadi makin bingung!” keluh Alice lagi.



Himura-sensei ditelepon Alice setelah selesai mengajar. Dan sekarang setelah telepon ditutup, Himura-sensei bergegas kembali ke ruangannya.


Dari arah lain, tiga mahasiswa wanita yang bisa ikut kuliah Himura-sensei melihatnya berjalan bergegas. Salah satunya, Akemi tampak begitu bersemangat. Ia mmeinta kedua temannya untuk pulang duluan tanpa dirinya. Akemi ini lalu mengejar Himura-sensei.


Kedua temannya ini keheranan tapi tidak bisa menghentikan Akemi yang sudah beranjak. Mereka heran karena jarang-jarang Akemi bicara dalam dialek Kansai. Keduanya justru berpikir kalau mungkin saja Akemi ini jatuh cinta pada profesornya itu. Tapi keduanya pun buru-buru meralat ide ini.



Akemi berhasil mengejar Himura-sensei yang tiba di depan ruangannya. Ia pun dipersilahkan masuk. Himura-sensei menawarkan kopi pada Akemi.


“Aku belum berubah pikiran. Kudengar Anda bekerjasama dalam investigasi kriminal,” cerita Akemi.


“Siapa yang mengatakan itu?”


“Ah, itu temanku. Dia bertemu seorang detektif dari kepolisian perfektur Kyoto dalam pesta perjodohan yang bercerita tentang Anda.


“Ada yang tidak bisa menjaga rahasia,” gumam Himura-sensei. Ia pun berjalan ke arah mejanya. Saat itu, tepat senja mulai muncul. Dan warna oranye berangsur masuk dari celah-celah penutup jendela di belakang Himura-sensei.


Melihat situasi itu, Akemi langsung menutup matanya. Ia berlari menuju jendela dan menutup rapat penutup jendela itu, “Maaf. Saya takut dengan senja.”


Himura-sensei tidak tampak kaget, “Apa semacam perasaan gugup?”


“Ya. Saat saya melihat warna oranye seperti senja, saya mulai pusing. Yang terburuk, saya tidak bisa bernafas.”


“Trauma kadang karena suatu warna. Pada kasusmu, apa kau pernah mengalami/melihat kebakaran di masa kecilmu?” tebak Himura-sensei.


“Meski saya tidak mengatakannya, Anda tahu semua.”



Akemi pun menceritakan kisahnya. Saat itu dia berusia 15 tahun, dan mengalami kebakaran. Ia tinggal bersama keluarganya (tapi bukan orang tua). Saat itu Akemi melihat bangunan utama dipenuhi api. Saat itu, pamannya terbakar api. Kebakaran itu karena disengaja dan pelakunya belum tertangkap.


“Kebakaran itu yang membuatmu takut pada warna oranye ... “ Himura-sensei menyimpulkan.


“Meski begitu, kenapa saya takut pada senja? Apa saya suda gila?”


“Tidak mudah menentukan normal dan ketidaknormalan. Kau bisa tinggal di sini sampai senja menghilang,” Himura-sensei menyarankan. “Kau tidak masalah kan dengan kopi hitam?” Himura-sensei menyodorkan gelas berisi kopi yang tadi dibuatnya pada Akemi.



Akemi mulai tenang setelah duduk dan minum kopi. Tapi ternyata hal yang ingin ia bicarakan bukanlah insiden kebakaran itu. “Temanku terbunuh pada musim panas dua tahun silam. Pelakunya masih belum tertangkap. Dan itu jadi insiden tak terpecahkan. “


Perlahan Himura-sensei mulai menunjukkan ketertarikan, “Ceritakan lebih banyak lagi.”


Akemi pun menceritakan semua yang ia tahu pada insiden itu. Ternyata memang Himura-sensei benar-benar tertarik. Sayangnya telepon Himura-sensei berbunyi. Dan setelahnya, Himura-sensei buru-buru pamit pergi karena masih ada kepentingan. Himura-sensei berjanji kalau ia akan menyelidiki kasus Akemi lain kali.



Det.Hisashi dan det.Ono yang bertanggungjawab atas laporan kematian seorang wanita bernama Yura. Dan kini mereka ada di apartemen Yura. Sementara forensik melakukan penyelidikan, mereka bicara dengan si bos yang juga kekasih Yura itu.


“Dia tidak menjawab saat kupanggil lewat interkom. Jadi aku menggunakan kunci cadangan milikku. Sudah kubilang padanya agar mengganti kunci pintu dengan yang baru. Saat ternyata pintu masih mudah terbuka, aku khawatir,” ujar si bos.



Himura-sensei dihubungi oleh polisi tentang insiden kematian si artis baru, Yura. Ia berjalan bersama Alice yang terus menggosok-gosokkan tangannya karena kedinginan.


“Jadi, kau sudah dapat ide untuk novel barumu?”


“Jangan tanyakan itu!” ujar Alice ketus.


“Tadi siswaku menceritan insiden menarik,” pancing Himura-sensei.


Alice mulai tertarik, “Tentang apa?”


“Jangan tanyakan itu,” balas Himura-sensei, seperti ucapan Alice tadi.


Mereka tiba di depan gedung apartemen yang dimaksud dan disambut oleh si polisi muda, Sakashita.


“Apa kau datang ke pesta perjodohan dan bertemu dengan mahasiswa dari Universitas Eito?” ujar Himura-sensei tanpa aba-aba, membuat Sakashita kaget. Tanpa menunggu jawaban Sakashita, Himura-sensei sudah bisa menyimpulkan kalau dialah pelakunya. Ia pun lalu pergi.


“Buruk sekali, dia sudah menandaimu,” tambah Alice pada Sakashita.


Sakashita pun ketakutan, “Tolong jangan katakan apapun pada det.Hisashi dan det.Ono!” pintanya.



Himura-sensei dan Alice tiba di ruangan yang dimaksud. Reflek Himura-sensei langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling apartemen itu. Mereka disambut oleh det.Hisashi dan det.Ono, tapi detektif wanita ini tampak tidak terlalu suka pada Himura-sensei.


Det.Hisashi memperkenalkan Yukari Masahiko, si bos agensi artis sebagai orang pertama yang menemukan korban. Dia juga adalah kekaish korban.


“Ah silahkan lanjutkan pertanyaannya,” ujar Himura-sensei pada det.Hisashi.


Det.Hisashi menurut. Ia berbalik pada si bos Yukari ini, “Jadi, siapa saja yang punya kunci apartemen ini?”


“Dia (Yura) punya dua dan aku juga punya kunci cadangan. Totalnya ada tiga. Sebenarnya, ada yang ingin kuceritakan.”



13 Februari, dua hari yang lalu.


Yura yang sudah selesai berbelanja menelepon si bos Yukari. Yura mengatakan kalau ia kehilangan kunci apartemennya saat tengah berbelanja. Yura mengaku sudah melapor pada polisi. Tapi karena ia tidak bisa masuk ke apartemennya, ia minta agar Yukari-san datang dan meminjaminya kunci cadangan. Yukari-san pun setuju untuk datang.


Saat itu Yukari-san masih ada di kantornya. Stafnya juga tahu soal pembicaraan itu, kalau Yura kehilangan kunci apartemen. Salah satu staf menyarankan agar Yura mengganti kunci apartemennya demi keamanan. Yukari-san setuju untuk mengatakan hal itu nanti pada Yura.



Salah satu staf agensi itu mendekati si bos Yukari-san dan mengajaknya bicara serius. Mereka kini bicara di luar kantor.


“Keuangan kita sudah mencapai batas bulan ini,” cerita si staf.


Yukari-san menarik nafas, “Jangan khawatir. Aku sudah membuat janji temu dengan penyewa besok. Kuharap bisa minta kebijakan. Tapi aku janji, akan membawakan uang. Ini agensiku, jadi aku akan melakukan sesuatu untuk hutang itu. Besok adalah titik penting,” Yukari-san berusaha meyakinkan stafnya itu kalau semuanya akan segera beres.



Sore itu Yukari-san benar-benar bertemu Yura di depan apartemen. Sepasang kekasih itu pun berpelukan. Dengan kunci cadangan milik Yukari-san, mereka akhirnya bisa masuk ke dalam apartemen Yura.


“Tapi kau tetap harus mengganti kunci pintumu itu, demi keamanan,” saran Yukari-san.


“Aku sedih karena aku harus kehilangan gantungan kunci itu. Kau yang membelikannya untukku, itu favoritku,” keluh Yura.


“Akan kubelikan lagi,” hibur Yukari-san.


Yura asyik mengubek-ubek isi tasnya. Tiba-tiba saja ia berseru riang. Rupanya ia menemukan kunci yang dicarinya berada di dalam kotak tissu. Yura pun tersenyum lega. Tapi Yura tidak tahu, kalau ini adalah awal malapetaka sebenarnya yang siap menanti.


BERSAMBUNG


Sampai jumpa di SINOPSIS Himura and Arisugawa episode 05 part 2


Pictures and written by Kelana


FP: elangkelanadotnet, twitter : @elangkelana_net

SINOPSIS Kaito Yamaneko 04 part 2

14.02.00 1 Comments

SINOPSIS dorama Kaito Yamaneko episode 04 part 2. Penyelidikan atas kematian Hosoda membawa tim Yamaneko pada sejumlah fakta. Termasuk kasus penjualan gunung dan pabrik milik keluarga Hosoda yang dipaksakan.


Tim Yamane sempat mengunjungi ibu Hosoda. Melihat keadaannya, Mao berkali-kali datang berkunjung. Meski diminta oleh Mao, Yamane menolak membantu untuk mengambil kembali sertifikat gunung dan pabrik itu. Apa yang sebenarnya ada di balik kasus ini?



Setelah menempelkan alat penyadap di bar Stray Cats, Sakura menunggu di mobil dan mendengarkannya lewat speaker. Ia juga melihat Katsumura yang ternyata masih saja kembali mendatangi bar itu.


“Maafkan aku.”



Katsumura yang baru saja kembali menanyakan soal Mao yang pergi sendirian. Tapi bukannya menjawab, Yamane malah menyuruh Katsumura melihat ke bawah meja. Ia pun menurut saja.


Pacarmu menyadap kita,” Yamane menulis di kertas.


Katsumura mengerti yang dimaksud Yamane. Ia membalas ucapan Yamane dengan menulis juga, “Dia bukan pacarku!!


Terserah, aku tak peduli,” tulis Yamane kemudian.


Kesal melihat ulah kedua orang ini, Rikako-san menggebrak meja. Ia pun menulis di kertas yang sama, “Apa yang harus kita lakukan? Jika kita diam saja, Mao akan dalam bahaya!


Yamane mengerti, “Baiklah, mau bagaimana lagi. Kita lakukan tanpa Mao? Yamane—ko, resital!” ia kemudian bernyanyi dengan suara sumbangnya. (bang Kame, duh, nggak eman tuh sama suara. Punya suara bagus gitu, eh yang diumbar malah yang jelek, hahaha)


Sakura yang masih mendengarkan di mobilnya bingung, “Resital?” tapi kemudian ia mengerti saat suara sumbang Yamaneko terdengar di speaker mobilnya. “Apa-apaan pekak nada ini!”



Mao benar-benar membuktikan ucapannya. Ia menyelinap masuk dan membobol brankas untuk mengambil sertifikat tanah milik keluarga Hosoda. Sayangnya polisi bergerak cepat. Takut ketahuan, Mao pun meninggalkan pekerjaannya dan bersembunyi di dalam almari.


Polisi yang datang adalah det.Inui. Ia mengamuk dan mengacak-acak isi ruangan itu mencari Yamaneko. Kini ia berada di almari tempat Mao berada. Tangannya sudah terulur ke pegangan almari itu. Tapi suara dari luar yang mengatakan kalau Yamaneko melarikan diri, mengalihkan perhatian det.Inui. Ia pun membanting almari itu. Di tangga, det.Inui bertemu sosok berseragam yang mengatakan kalau Yamaneko ada di lantai bawah, di ruangan brankas.



Pria berseragam itu ternyata ... Katsumura. Ia mengintip masuk ke ruangan yang tadi ditinggalkan det.Inui dan mencari keberadaan Mao. Dengan bantuan Katsumura, Mao pun berhasil melarikan diri dari tempat itu.


Di tempat lain, det.Inui sadar kalau ia sudah dikerjai. Kini ia menuju bagian belakang gedung untuk mengejar Yamaneko kembali. Dari sisi lain, dilihatnya sebuah mobil dengan lampu menyala terang menujunya. Det.Inui baru menghindar saat sangat dekat dengan mobil itu. Tapi ia sempat menempelkan alat pelacak di sisi mobil.



Sakura masih bertahan di mobilnya. Ia menutup telinga mendengar nyanyian Yamane yang terus saja terdengar dan belum ada tanda-tanda akan selesai. Sebuah panggilan telepon


“Yamaneko muncul. Cepat kemari!” ujar suara di seberang.


Sakura bingung, “Tapi Yamaneko ada di bar di depan mataku.”


“Cepat kemari. Bawa mobil!”


Sakura tidak punya pilihan. Ia pun menuruti perintah atasannya ini. Lalu, apa yang terjadi sebenarnya? Tahu disadap, Yamane menyetel dengan keras rekaman suaranya lengkap dengan speaker. Dan membiarkan Sakura mendengar suara sumbangnya sejak sore tadi.



“Jika saja aku tak mengemudi, aku akan memukulmu dengan keras. Jika terulang lagi, aku tak peduli!” keluh Rikako-san. Ia masih fokus di belakang kemudi.


Sementara itu Mao ada di belakang bersama Katsumura.


“Kau pikir Yamaneko-san akan mengabaikan rekannya? Yang membunuh Hosoda-san bukan Yamaneko-san. Dia mengatakannya padaku. Seseorang mengincar nyawa Hosoda-san. Jadi Yamaneko-san pura-pura menembaknya dan ia melarikan diri. Kau harus lebih percaya pada rekanmu,” Katsumura menjelaskan semua pada Mao.



Sakura sudah datang dan kini bersama det.Inui melakukan pengejaran. Det.Inui sibuk melihat ke arah tab-nya, yang dikatakannya untuk melacak dari pemancar yang sempat ditempelkan pada mobil Yamaneko tadi.


Sakura dan det.Inui tiba di tempat pemancar itu berhenti. Tapi bukan melihat mobil Yamaneko apalagi pengemudinya, mereka justru bertemu dengan seorang supir taksi. Supir taksi itu memberikan kertas serta alat pelacak pada det.Inui dan Sakura.


Kutunggu di pabrik di depan. Yamaneko



Det.Inui dan Sakura menuju pabrik yang dimaksud Yamaneko dalam pesannya. Ternyata pabrik itu adalah tempat produksi senjata ilegal. Dengan mudah kedua polisi ini melumpuhkan sejumlah penjaga dan membuat seluruh proses produksi terhenti. Tidak lama setelahnya det.Sekimoto datang bersama tim dari kepolisian lengkap.


“Bagus! Mereka semua sudah diamankan. Penggerebekan ini merupakan prestasi bagi kalian!” puji det.Sekimoto.


“Kenapa ada di sini?” Sakura heran.


Det.Sekimoto tidak mengerti, “Bukankah kalian yang menghubungiku?”


Det.Inui langsung menyadari sesuatu. Ia berlari dan kembali mobil. Akhirnya ia mengerti bahwa sebenarnya yang diincar oleh Yamaneko adalah laptop milik Hosoda yang tadi siang disitanya dari rumah keluarga Hosoda. Dan kini ia berkejaran dengan Yamaneko menuju markas kepolisian.



Det.Inui dan Sakura kembali ke markas. Mereka bertemu seorang tukang bersih-bersih yang baru lewat. Curiga, det.Inui menghentikan sosok itu dan minta agar diperlihatkan isi benda yang didorongnya. Orang itu, yang ternyata makhluk bertopeng kucing, Yamaneko tentu menolak.


Sigap Yamaneko menangkis serangan det.Inui. Ia lalu melepas bom asap yang juga menyebabkan sinar terang. Ini membuatnya bisa melarikan diri dan membiarkan det.Inui serta Sakura tidak berhasil mengejarnya karena terlalu silau.


“Selamat tinggal! Nyaww!”



Yamane sudah berada di bar saat Mao kembali. Ia memberikan laptop milik Hosoda dan meminta Mao untuk menganalisisnya. Tidak lupa Yamane juga menyerahkan sertifikat gunung milik keluarga Hosoda yang sudah dicurinya.


“Kapan kau mencurinya?” Mao heran.


“Kebenaran tak diperlukan untuk hal yang kau harapkan,” elak Yamane dengan santainya.


Malam itu Mao bekerja lembur. Ia hanya ditemani Yamane yang sudah terkantuk-kantuk di sebelahnya. Sudah lewat tengah malam hingga akhirnya Mao berhasil memecahkan sandi laptop itu dan berhasil membuka isinya.


“Aku tidak tidur, sama sekali tidak tidur. Aku masih terjaga!” elak Yamane saat Mao memukul tongkat penopang kepalanya yang sudah terkantuk-kantuk sejak tadi.


“Aku berhasil,” ujar Mao.


Dan sebuah file dibuka. Video dari Hosoda-san. Tak ada yang bisa meretas ini selain Mao. Jadi, orang yang sedang menonton video ini adalah Yamaneko. Akan kukatakan semua hal yang kutahu.



Hari ini Mao kembali mengunjungi ibu Hosoda. Tapi sikap ramah ibu Hosoda hanya ditanggapi dingin oleh Mao. Mao malah membahas soal pabrik yang dijual oleh ibu Hosoda.


“Katanya organisasi kriminal Asia membuat senjata di sana. Sayang sekali pabrik itu digunakan untuk hal illegal,” ujar ibu Hosoda.


“Nenek sudah tahu, 'kan? Bahwa itu adalah pabrik senjata,” Mao menunjukkan sertifikat gunung dan pabrik yang kemarin didapatkan kembali oleh Yamaneko. Termasuk satu lembar lagi surat perjanjian lain. “Berdasarkan sertifikat gunung dan perjanjian yang Nenek tanda tangani dengan Serpent, Nenek akan menerima 30 juta yen.”


Tapi ibu Hosoda mengelak soal itu. Ia bilang hanya menggunakan stempelnya pada surat perjanjian itu. Lalu kebohongan soal pikun pun terungkap. Menurut pengakuan Hosoda yang dilihat Mao serta Yamaneko di laptopnya, pada awalnya pabrik keluarga mereka dibangun untuk memproduksi senjata api ilega. Lalu uang 30 juta yen yang diberikan adalah uang tutup mulut. Tapi ibu Hosoda tetap berkeras kalau ia tidak tahu apapun.


“Tapi, tak ada alasan berbohong soal pikun, 'kan? Hosoda-san sangat terbebani karena hal itu. Ia berusaha mendapatkan kembali gunung itu demi Nenek,” lanjut Mao.


Ibu Hosoda makin tersudut, “Kau mengerti apa? Kau tak tahu apa-apa. Aku melakukannya karena Masao. Aku bohong soal pikun karena ia! Aku selalu ketakutan. Aku tak bisa menahan diri dari ketakutan pada Masao. Ia tak pergi ke sekolah, mengurung diri di kamar dan saat keluar ia terlibat kekerasan. Saat ia pulang setelah sekian lama, aku pura-pura pikun. Karena aku tak mau terlibat apa pun lagi dengannya. Karena aku tak mau kehilangan 30 juta yen. Ia percaya kebohonganku. Karena bagaimanapun anak akan mempercayai orangtua.”



Dari arah pintu terdengar suara tepuk tangan. Yamane datang, “Ternyata ada manusia yang lebih dibutakan oleh uang dariku. Jadi, ada di mana? Uang 30 juta yen itu!”


Yamane kemudian mengobrak abrik rumah itu. Meski diminta berhenti, Yamane tidak peduli dan terus mencari. Ia akhirnya menemukan uang itu ada di bawah altar persembahan. Berderet, uang sejumlah 30 juta yen.



“Luar biasa, kan?!” giliran Yamane yang menggertak. “Kau tanpa ragu pura-pura pikun demi uang. Saat tahu ia sudah mati, apa yang kau pikirkan?! Hah? Apa kau lega? Kau lega berpikir tak perlu lagi bertemu dengannya? Kau selalu menderita, 'kan? Jadi kau ingin menyimpan uang itu dan hidup bebas. Memulai kembali hidupmu. Menjadi bahagia! Jadi sejak awal, ini semua salah siapa? Salah anak. Salah Hosoda karena ia mati! Seperti itulah orangtua berpikir. Kau memiliki hidupmu sendiri.”


Pada akhirnya semua yang berkaitan dengan Hosoda dan ibunya adalah masalah uang. Hosoda yang sangat sayang pada ibunya itu bekerja keras untuk bisa mengembalikan gunung dan pabrik milik keluarganya pada ibunya. Akibatnya Hosoda terlibat masalah buruk dan akhirnya meninggal. Yamane kemudian menunjukkan video yang ditinggalkan Hosoda pada ibunya.


Ibu. Maaf. Aku bukan anak yang baik, 'kan? Aku juga tahu bahwa kau pura-pura pikun. Aku tahu semuanya. Tapi, ini salahku, jadi...Jadi mulai saat ini mungkin kau akan pergi liburan. Makan sesuatu yang lezat. Kepiting raja! Kau bilang ingin makan kepiting raja Hokkaido. Makanlah yang banyak! Lalu, nikmati pemandangan yang luar biasa, pergi ke pemandian air panas. Saat melakukan itu...mungkin di kesempatan berikutnya, pasti menyenangkan jika kita bisa menjadi ibu dan anak yang sebenarnya. Sekarang aku mungkin sudah mati. Jadi, Terima kasih. Untuk selama ini. Terima kasih. Ibu Hosoda hanya bisa terdiam pasrah melihat video pengakuan putranya itu. Ia tidak sanggup mengatakan apapun lagi.


“Hosoda tak pernah meragukanmu. Sudah terlambat. Mengatakan hal seperti ini sekarang. Sudah sangat terlambat,” lanjut Yamane.


Kali ini Mao yang bicara, “Mungkin memang hanya fantasi. Tapi aku ingin Nenek mengerti. Hosoda-san ingin melihat Nenek tersenyum. Hanya tersenyum padanya, sudah membuatnya senang. Hanya itu saja akan membuatnya bahagia.”



“Seperti katamu. Aku terlibat hal tak perlu dan membuatnya menderita. Jika bukan karena aku, dia takkan tertangkap,” sesal Mao. Ia tengah berjalan pulang berdua bersama Yamane.


“Salah,” elak Yamane. “Karena ada kau, dia dan Hosoda, akhirnya bisa menjadi orangtua dan anak. Kau tak membunuh Hosoda-san, 'kan?” Mao kembali mengatakan pertanyaan ini. “Katsumura-san mengatakannya padaku. Saat itu, kau pura-pura menembaknya agar Hosoda-san yang nyawanya diincar bisa melarikan diri.”


“Katsumura bilang begitu?” Yamane tertegun.


“Ada apa?” Mao justru bingung.


“Aku tak pernah mengatakan hal seperti itu padanya,” aku Yamane.



Yamane menghubungi Cecilia dan menceritakan semua yang ia ketahui, “Sejauh yang bisa kulihat dari berkas milik Hosoda, tak diragukan bahwa Yuuki Tenmei yang bermain di belakang layar. Yang membangun pabrik itu setelah perang juga Yuuki.”


“Jadi, Yuuki tak ingin pabrik senjata ilegal itu di ketahui masyarakat, karena itu dia membunuh Hosoda Masao?” Cecilia a.k Anri menyimpulkan.


Tapi kesimpulan itu dibantah oleh Yamane, “Tidak, informasi yang dimiliki Hosoda hal yang sangat berbeda. Ada hal lain di gunung itu yang sangat berbeda. Rahasia Yuuki. Tapi, dengan begini kita tahu ada seseorang di luar sana yang bertindak sesukanya. Sepertinya ada seseorang yang bertanggung jawab melakukan pekerjaan kotor untuk Yuuki. Dia dikenal dengan Chameleon. Seorang psikopat yang tiba-tiba muncul di sebelah target dan membunuh mereka dengan senyuman di wajah. Waspadalah, Yamaneko-san.”



“Kau bicara dengan siapa?” seorang pria masuk ke kamar. Dia Todou Kenichiro, sang calon gubernur Tokyo.


Anri tersenyum dengan tenangnya sambil mematikan telepon, “Baguslah Serpent sudah dijatuhkan. Dengan ini, kau selangkah lebih dekat menuju kota bersih.” Anri pun mendekat dan menenggelamkan diri dalam pelukan Todou-san.



Yamane mengunjungi makam Hosoda-san. Ia meletakkan pion permainan dengan gambar Hosoda di atas makam, “Sebagai orang gemuk hidupmu singkat.” Yamane melepas kaca mata hitamnya. “Terima kasih atas kerja kerasmu. Beristirahatlah dengan tenang.”



Sementara itu, Mao masih terus melakukan penyelidikan. Kali ini sasarannya adalah pabrik yang ada di gunung milik keluarga Hosoda. Ia menemukan sesuatu tidak terduga, “Pabrik itu memiliki jalan bawah tanah?”



Yamane tengah bersiap menikmati mi ramen-nya saat det.Sekimoto datang dan bergabung. Tapi sebuah telepon menunda obrolan mereka lebih jauh.


Suara di seberang memberitahukan berita tentang kematian seorang bernama Imai, pria yang merupakan mantan tunangan Rikako-san. Det.Sekimoto berbalik, “Tersangkanya adalah, kau Yamaneko.”


Pictures and written by Kelana


FP: elangkelanadotnet, twitter : @elangkelana_net


 


Bonus picture



Melihat Katsumura Hideo (Narimiya Hiroki) bertingkah konyol seperti itu rasanya ... gimana ya? Aneh aja sih. Mungkin aura dia sebagai sosok Takato Yoichi (Kindaichi Series) yang kejam atau sosok Kanzaki Jun (Bloody Monday) yang lebih sadis lagi, terlalu mempesona bagi Kelana, hahahaha. Meski dua tahun berperan di Aibou series dan jadi polisi baik bernama Kai Toru, entah kenapa wajah menyebalkan Narimiya Hiroki selalu sukses mencuri perhatian Na kalau dia berperan sebagai penjahat. Duuuh, maaf ya, Bang. Kira-kira bisa lihat wajah ‘devil-nya’ lagi nggak ya di series satu ini?


Tapi semua memang teralihkan dalam sesaat saja kalau si abang ini tersenyum. Senyum kucingnya itu lho. Ok, abaikan tsurhat nggak jelas ini. Selamat membaca. Happy Blogging. ^_^