SINOPSIS I’m Your Destiny 04 part 2

13.45.00 6 Comments

SINOPSIS dorama I'm Your Destiny episode 04 part 2. Makoto atau Sadaoka? Haruko menolak kedua pria yang mendekatinya itu. Sadaoka bisa menerima keputusan Haruko dan memilih menyerah. Tapi, Makoto tidak berpikir demikian. Makoto pun menggunakan strategi wortel. Apakah kali ini ia akan berhasil?



Sepulang kantor, Haruko melihat Sadaoka berjalan menuju arahnya. Haruko sempat ragu, sebelum akhirnya memberanikan diri untuk tidak menghindar lagi.


Sadaoka menyapa Haruko seperti biasanya, “Saya meminta Mie-san untuk memberimu pesan, apakah dia menyampaikannya?”


“Dia melakukanya,” ujar Haruko.


Keduanya kembali ke situasi canggung. Sadaoka kemudian mengajak Haruko bicara. Mereka duduk di taman, sambil minum bir kaleng.


“Aku tidak ingin Kamu marah saat mendengar ini. Itu adalah misteri bahkan bagiku juga kenapa aku melamarmu. Kita bertemu setelah sekian lama, dan Kita berdua bebas. Perusahaan Kita kebetulan dekat. Aku merasa seperti itu pasti berarti sesuatu. Aku tidak bisa dengan mudah mengatakannya tapi, aku merasa kita dalam situasi sangat mungkin untuk menikah. Aku memiliki keyakinan yang aneh bahwa "Entah bagaimana kita akan bersama." Jadi saat Kamu menolakku lebih dari sekadar shock. Aku terkejut bahwa hasilnya tidak seperti yang Aku pikirkan. Aku yakin ada makna kita dipertemukan kembali. Aku ingin tahu apa perasaan itu sebenarnya,” ujar Sadaoka panjang lebar.


“Ini mungkin membuatmu marah tapi, Aku merasakan hal yang sama dengan mantanku sebelumnya. Aku pikir dia akan melamarku, Tapi apa yang dia katakan adalah "Sebenarnya Aku sudah menikah." Entah bagaimana itu membuatku tertawa. Aku baru saja akan mengatakan 'Tidak, tidak, Kamu salah ketik.'” Curhat Haruko balik.


Situasi canggung di antara keduanya perlahan mencair. Sadaoka minta maaf, karena sudah meminta musik klasik sebagai latar belakang lamarannya pada Haruko waktu itu. Ia merasa sudah memainkan musik aneh.


“Itu melanggar peraturan! Aku tidak bisa menahan tawa,” ujar Haruko, lebih riang.



Makoto kembali mengajak sang bos makan. Kali ini di bar tempat ia dan teman-temannya berkumpul biasanya. Dan menu malam itu ... semuanya berasal dari wortel.


Sang bos tampak waspada, “Bisakah Aku mengatakan sesuatu? Membuat atasanmu makan sesuatu yang dia benci, IniTidak normal, kan.”


“Aku khawatir dengan keseimbangan gizi Anda.”


“Pernahkah Kamu mempertimbangkan bagaimana rasanya menerima hal-hal manis dari pegawai laki-lakimu, hari demi hari?” sang bos curiga. “Ini benar-benar sangat menakutkan kau tahu.”


“Tolong jangan salah paham!” potong Makoto cepat. “Yang saya inginkan adalah untuk Anda, menaklukan ketidaksukaan Anda terhadap wortel.”


Sang bos menarik nafas berat, “Apa yang Kamu lakukan adalah menjadi salesman yang memaksa. Hal yang sama seperti ketika seorang salesman memaksa pelanggan Untuk membeli sesuatu yang sama sekali tidak mereka minati. Penting untuk mendapatkan hasil, Tapi kupikir sama pentingnya mengetahui kapan harus menyerah.” Ujar sang bos, menasehati Makoto.


“Saya minta maaf,” ujar Makoto kemudian. “Jadi, misalnya saja, Saya mengejar seorang gadis, yang sama sekali tidak tertarik padaku, menyuruhnya untuk menyukaiku, Itu sama dengan salesman pemaksa?”


“Aku pikir begitu. Bagaimanapun, perasaan mereka terhadap kamu adalah nol, bukan. Tidak masalah seberapa besar angka yang kamu kalikan dengannya, Itu tetap nol Misalnya, jika nilai cinta Kamu adalah, Satu juta atau bahkan seratus juta, Hasilnya tidak berubah. Ah maaf, ini hanya membahas tentang saya yang dipaksa makan wortel. Jangan terlalu dipikirkan. Orang dan wortel berbeda,” ujar sang bos kemudian.


Makoto pulang ke rumah dalam keadaan mabok. Seperti biasa, dewa sudah menyambutnya di rumah, lengkap dengan apron di badan dan makan malam yang sudah disiapkan. Tapi Makoto tidak terlalu peduli lagi.


“Aku tidak berhasil membuat atasan saya makan wortel,” curhat Makoto yang sempoyongan menuju kursinya.


“Apa ini? Apakah kamu menyerah?”


“Yah, saya pikir saya harus menerima apa yang dia katakan. Apa yang telah Aku lakukan adalah salesman cinta pemaksa,” ujar Makoto lagi. “Jadi saya telah memutuskan untuk benar-benar menyerah padanya (Haruko).


“Hei! Jika Kamu tidak menyerah, sesuatu yang baik mungkin terjadi,” dewa mengingatkan.


“Tidak, saya sudah memutuskan.”


“Baiklah kalau begitu. Kata-kata siapa yang lebih penting. Aku atau bos anda?” tanya dewa.


“Bos saya. Jelas atasan saya,” ujar Makoto membuat dewa kaget sekaligus kesal.


Makoto lalu minta untuk diambilkan minuman. Tapi dewa memberi syarat, agar Makoto menelepon Haruko lebih dulu dan mengatakan kalau ia sudah menyerah.


“Tidak tidak. Dia tidak perlu mendengarnya,” elak Makoto.


“Untuk kebaikan kalian berdua, Kamu perlu untuk mengakhiri hal-hal dengan jelas.


“Aku tidak akan melakukannya,” tolak Makoto lagi.


“Aku mengerti. Kamu belum benar-benar menyerah,” komentar dewa dengan santainya.


“Apa? Aku sudah menyerah!”


“Bila besok datang, Kamu akan pura-pura tidak tahu, Dan kembali mengejarnya. Apa, Kenapa Kamu tidak mau menelponnya?” sindir dewa lagi.


“Oke AKu mengerti. Aku hanya perlu meneleponnya kan? Aku akan mengatakan kepadanya bahwa Aku telah benar-benar menyerah,” Makoto mengambil ponselnya dan memencet nomer Haruko. Ditunggu beberapa lama, tidak ada respon.


Haruko sudah pulang ke rumah. Saat ponselnya berbunyi, Haruko memeriksa untuk melihatnya. Tapi saat tahu itu dari Makoto, Haruko urung menjawab teleponnya. Haruko justru beranjak ke ranjangnya dan memeluk lutut. (suer deh, kalau jadi Haruko, gue juga kesel kali. Udah ditolak, masih aja rese gangguin!)


Pagi berikutnya, Makoto berangkat ke kantor seperti biasa. Keluar dari lift, ia berhenti sebentar dan memandang lift sebelah. Berharap keajaiban kembali terjadi, takdir yang memertemukannya dengan Haruko. Tapi ternyata yang keluar dari sana justru, bosnya Haruko.


“Kita jadi sering bertemu. Bagaimana kue itu? Itu kelas pertama bukan,” ujar sang bos wanita.


“Sebenarnya Aku membelinya untuk diberikan kepada bosku,” aku Makoto.


“Apa yang dia katakan?”


“Dia bilang itu enak sekali. Sebenarnya, bosku benci wortel. Aku telah mencoba segala cara untuk membuatnya bisa mengatasinya. Tapi Aku belum berhasil,” cerita Makoto.


“Ini terlalu dini untuk menyerah. Seorang kenalanku adalah petani wortel nomor 1 di Jepang. Pertanian Furukawa di Chiba. Kamu harus membuatnya memakan wortel tersebut. Meskipun Aku pikir itu mungkin tidak akan berhasil... Aku akan menelepon mereka, Kamu langsung menuju ke sana. Jika Kamu memberi mereka namaku, mereka akan dengan senang hati menerimamu,” ujar sang bos wanita itu lagi.


Makoto menuruti saran dari sang bos wanita itu. Ia mengunjungi pertanian wortel nomer satu di Jepang. Tapi, saat ditanyakan, sang pemilik pertanian mengaku tidak mengenal Hatozaki-san, sang bos wanita. Makoto sendiri heran. Tapi ia tidak menyerah.


“Sebenarnya, ada seseorang yang saya kenal yang membenci wortel. Kudengar kalau dia mencicipi wortel nomor 1 Jepang mungkin bisa mengatasi ketidaksukaannya,” ujar Makoto menyampaikan maksud kedatangannya.


“Itu tidak akan membuat perbedaan. Jika mereka tidak menyukai wortel, mereka tidak menyukainya,” ujar sang pemilik.


“Maaf? Aku pikir Anda akan mengatakan sesuatu seperti 'Jika mereka hanya mencicipi wortel kita, mereka akan bisa memakannya...' atau apalah. Anda mengatakan tidak seperti itu?” Makoto heran.


“AKu mengatakan itu tidak mungkin.”


“Permisi, tapi Anda adalah petani wortel nomor 1 di Jepang?” Makoto tetap tidak menyerah.


“Itu Cuma hal yang diributkan orang-orang.”


“Meski begitu, orang menghargai pekerjaan yang Anda kerjakan bukan? Saya membayangkan bahwa Anda akan memiliki Kebanggaan yang kuat dalam pekerjaan Anda atau sesuatu,” komentar Makoto.


“Aku tidak bangga dengan hal itu, sejak awal,” elak sang petani. “Bagaimanapun, Aku tidak memulai pekerjaan ini karena Aku menyukainya.”


Haruko makan siang bersama Mie seperti biasa. Dia bercerita soal Makoto yang masih terus menghubunginya, tetapi Haruko tidak punya minat untuk merima panggilan telepon dari Makoto itu.


“Apa kau benar-benar benci padanya?” tebak Mie.


“Aku Cuma tidak ingin dia salah paham. Kalau aku menanggapinya, dia nanti berpikir kalau aku memberinya kesempatan. Karenanya, lebih baik kalau kita menjaga jarak saja,” ujar Haruko.


“Aku tahu itu...Mati-matian menjaga jarak, Memastikan dia tidak bisa mendekatimu. Itu karena Kamu mencoba membencinya, yang berarti Kamu sedikit menyukainya.”


“Tidak, tidak, bukan begitu!” protes Haruko.


“Jadi, telepon dia sekarang juga, Dan katakan padanya untuk tidak mendekatimu lagi,” tantang Mie.


“Aku tidak bisa melakukannya sekarang,” elak Haruko. Tapi ia tidak mau mengatakan alasannya.


“Aku melihat dia berbeda dari Sadaoka-kun. Dia tidak mudah mengubah perasaannya dan tidak tahu kapan harus menyerah,” kali ini Mie seperti memuji Makoto.


“Kamu pikir itu adalah nilai lebih?” tanya Haruko, sarkas.


“Tentu dengan Kamu, dengan kepribadian bijaksana, Kalian memiliki takdir yang sama.”


Makoto telah kembali ke kantor. Ia membawa juga sekardus besar wortel, oleh-oleh dari perkebunan. Dan ternyata ... sang bos yang tadinya sangat membenci wortel, tengah mengunyah umbi itu dengan senangnya.


“Aku berfikir mengapa aku belum makan wortel sampai sekarang,” ujar sang bos sambil terus mengunyah.


Makoto mengomentari bos mereka, “Bahkan orang yang suka wortel, Biasanya tidak bisa memakannya seperti itu.”


Rekan Makoto yang botak, mengajaknya bicara agak menjauh. Sebelum ke-geeran Makoto makin meninggi, rekannya ini pun menjelaskan kalau sang bos mau makan wortel setelah tahu kalau wortel itu masuk kompetisi sebagai perwakilan dari Jepang. Dan bos mereka sangat mencintai semua barang perwakilan Jepang.


Hari sudah gelap. Tapi Haruko masih belum pulang. Ia sendirian di kantor sementara semua rekannya sudah pulang. Ponsel Haruko berbunyi, membuatnya kaget. Khawatir kalau itu panggilan dari Makoto lagi, Haruko sama sekali tidak mau menyentuh ponselnya. Ponsel itu terus berbunyi, membuat Haruko tergoda untuk mengambilnya. Pelan, tangannya terulur mengambil ponsel itu. Saat dilihat, ternyata itu dari ibunya.


“Apa yang kamu makan untuk makan malam nanti?” tanya nyonya Kogetsu-san dari seberang.


“Tidak apa-apa, aku akan makan dulu sebelum pulang,” ujar Haruko.


“Baiklah kalau begitu, hati-hati dalam perjalanan pulang.”


Haruko menghembuskan nafas lega.


Di sebelah, ternyata Makoto juga belum pulang. Dari ponselnya terdengar suara musik klasik yang dikenalnya. Makoto menebak judul lagu itu dengan mudah. Sampai ia sadar, kalau nada itu adalah nada yang khusus ia pasang untuk panggilan dari Haruko. Sadar siapa yang menelepon, Makoto buru-buru mengangkatnya.


“Kamu menelepon saya kemarin,” ujar Haruko saat akhirnya panggilan teleponnya diterima oleh Makoto.


“Maaf itu sudah larut malam. Apa yang bisa Aku bantu?”


Haruko terdiam sebentar, “Hmm, ini tentang... Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Erm... saat Aku meneleponmu tempo hari, Aku mengatakan bahwa jika Kamu baru mengenalku, Kamu akan datang untuk menyukaiku...”


“Itu... Aku minta maaf, izinkan Aku untuk mengambil kembali kalimat itu. Ini adalah cara berpikir yang keterlaluan. Aku sungguh minta maaf,” potong Makoto.


“Tidak masalah.”


Kali ini Makoto yang bicara lagi, “Hari ini Aku berbicara dengan petani wortel no.1 di Jepang dan Aku menyadari sesuatu. Ia hanya menjadi petani wortel, karena ia mewarisinya, Awalnya dia sama sekali tidak menyukainya. Bukankah itu mengejutkan? Meski dia tidak menyukainya, dia terus menumbuhkan wortel terbaik di Jepang. Tapi inilah yang dia katakan padaku. "Aku tidak suka menanam wortel, tapi Aku juga tidak membencinya. " "Jika Aku membencinya, Aku rasa Aku tidak bisa melanjutkannya. Dan baru-baru ini aku jadi menyukainya. " Dia tersenyum. Mendengar itu membuatku berpikir. Tidak apa-apa jika pada awalnya Kamu tidak mencintaiku. Jika Kamu tidak bisa mencintaiku, dan untuk alasan itu Kamu menjaga jarak dariku, haruskah kita mulai dari sesuatu yang tidak Kamu benci. Jadi, biar ku tanya satu hal saja. Apakah kamu... membenciku? Atau... Apakah kamu tidak membenciku?” Makoto harap-harap cemas.


Haruko sempat terdiam, “Aku... Tidak membencimu.”


“Sungguh?!” Makoto kaget karena Haruko ternyata menjawab seperti itu. “Apakah kamu benar-benar tidak membenciku?”


“Tidak, saya tidak membencimu,” Haruko meyakinkan.


“Terima kasih banyak. Itu membuatku sangat senang mendengar kata-kata tersebut.” Makoto mengangguk-angguk hingga wortel di tangannya pun ikut terayun.


“Erm... erm! Aku belum bilang aku menyukaimu atau apapun,” potong Haruko cepat. Ia tidak ingin Makoto salah paham.


“Tentu saja, tentu saja. Saya tidak salah paham sama sekali. Jika Kamu mengambil 'kebencian' sebagai nol, Itu berarti 'tidak benci' tidak nol. Sangat penting bagiku apakah itu nol atau tidak. Restoran yang seharusnya Kita kunjungi tempo hari, Jika Kamu tidak membenci ide itu maka mungkin kita bisa pergi bersama lain kali.” Tapi karena tidak ada respon dari Haruko, Makoto membatalkan tawaran ini.


“Tidak masalah.” Haruko geli sendiri, karena samar-samar suara histeris Makoto terdengar dari balik tembok pembatas kantor mereka.


Sementara itu, di lantai yang sama kantor seberang, Sadaoka telah selesai bekerja dan bersiap untuk pulang. Ia melihat ke arah kantor Haruko dan melihat Haruko serta Makoto seolah seperti tengah bicara.


“Keduanya ada di perusahaan berbeda bukan. Tidakkah terlihat seperti tidak ada dinding di antara mereka?” komentar seorang karyawan wanita yang memerhatikan kalau Sadaoka tengah melihat ke gedung sebelah.


“Tidak ada,” Sadaoka sepakat.


Haruko baru saja keluar dari kantornya saat Makoto ada di depan lift tengah memunguti wortel yang terjatuh dari kardus yang dibawanya. Keduanya sempat canggung. Tapi Haruko pun membantu Makoto memunguti wortel itu. Keduanya pun akhirnya masuk ke lift yang sama untuk turun.


“Ini adalah wortel yang Aku bicarakan tadi. Aku tahu aku menjatuhkan mereka tapi, Jika Kamu mau, tolong ambil beberapa,” Makoto menawarkan.


“Tidak, Aku baik-baik saja terima kasih,” tolak Haruko.


“Aku tidak bisa makan semuanya sendirian, Kumohon,” pinta Makoto lagi.


Haruko tidak enak dipaksa begitu. Ia pun menurut. “Baiklah jika begitu, hanya satu.” Lalu mengambil satu wortel dari kardus yang dibawa Makoto.


“Ah, ambil 3, masing-masing untuk orang tuamu,” Makoto meminta lagi. Makoto kemudian memilihkan wortel terbaik untuk Haruko. “Eh, apakah kamu sudah makan malam?”


“Tidak, belum.”


Makoto merasa ini kesempatannya, “Aku akan membawa ini ke restoran teman-temanku Jika Kamu tidak membenci ide itu, maukah Kamu ikut denganku?”


“Terima kasih banyak. Tapi mari kita lakukan lain kali.”


Kali ini Makoto tidak memaksa lagi. Keduanya berpisah di depan gedung. Makoto kemudian meletakkan kardus berisi wortelnya. Dengan kedua tangannya, ia melambai ke arah Haruko. Tanpa disangka, Haruko pun membalas lambaian Makoto itu dengan senyum terkembang.


Setelah mengantar wortel ke resto kawannya, Makoto pulang dengan perasaan gembira. Di rumah, ia sudah disambut dewa. Dan seperti biasa, mereka memperdebatkan hal-hal sepele tidak penting soal kantong kertas.


“Itu berjalan seperti yang Aku katakan bukan. Sudah kubilang kau harus meneleponnya,” komentar dewa.


“Jika Aku berbicara dengannya, semua akan berakhir bukan. Dia tidak menjawab semuanya sesuai rencana.”


Malam itu, saat Makoto menelepon jelas Haruko tidak menelepon balik. Tapi akhirnya Haruko menelepon balik di hari berikutnya.


“Tidak, tapi sungguh kau menakjubkan Makoto. Aku sangat tersentuh! Biasanya pria yang berusia hampir 30 tahun, tidak akan begitu bersemangat untuk diberi tahu bahwa dia tidak dibenci. Kamu benar-benar mengalahkanku?! Dan bukan itu saja, dia malah mengundangmu untuk makan malam,” puji dewa pula.


“Setelah itu, dia berbalik dan melambai padaku,” Makoto menambahi dengan gembira.


Tapi dewa tidak pernah memuji dengan gratis. Tiap kali Makoto ‘seolah’ berhasil, selalu ada saja yang membuatnya kembali ‘down’.


“Karena hadiah kecil seperti itu membuatmu sangat bahagia, Kamu punya jarak tempuh yang bagus, Kamu hemat energi! Para wanita dunia bahagia!”


Makoto memukul dewa, tapi tidak berhasil mengenai dewa sama sekali. Justru Makoto yang terjatuh di lantai.


“Hei sekarang, bagaimana jika kamu terluka! Kencan pertamamu yang sangat penting akan tiba!”


“Aku tidak percaya sepatah kata pun yang Kamu ucapkan,” elak Makoto.


“Kalian berdua pergi ke hotel. Bahu kalian bersentuhan. Proyek kerja gabungan pertamamu.”


Sebenarnya Makoto penasaran, tapi ia masih berusaha menahan diri, “Bisakah Kamu berhenti mengatakan hal-hal konyol seperti itu.”


“Itu bukan seperti apa yang Kamu bayangkan. Sebuah tepi yang tajam akan mengurangi perasaan enggan. Dia akan menangis. Jangan lupa saputangan!” dewa mengingatkan lagi.


BERSAMBUNG


Sampai jumpa di I'm Your Destiny episode 05 part 1.


Pictures and written by Kelana

SINOPSIS I’m Your Destiny 04 part 1

13.45.00 8 Comments

SINOPSIS dorama I'm Your Destiny episode 04 part 1. Makoto akhirnya berhasil mendapatkan nomer telepon Haruko. Ia bahkan mengajak Haruko untuk makan malam di resto kenalannya. Haruko setuju. Tapi, Makoto tidak tahu apa sebenarnya isi hati Haruko saat itu.



Hari berikutnya, Makoto datang ke resto yang sudah dijanjikan. Ternyata di sana justru hanya ada Mie, tidak ada Haruko. Lebih kaget lagi Makoto, karena Sadaoka pun ikut bergabung bersama mereka.


“Izinkan Aku untuk meminta maaf kepada kalian berdua atas nama Haruko. Aku sangat menyesal hari ini tidak seperti yang Kalian harapkan,” ujar Mie pada kedua pria itu. “Tidak ada gunanya memaksa Haruko untuk datang.”



Kemana Haruko? Ia nongkrong sendirian di bioskop yang gelap dan sepi.


Pada kunjungan tahun baru ini, Aku meletakkan kedua tanganku dan berdoa kepada Tuhan. Bahwa Aku akan menikahi orang yang keluar/kencan denganku selanjutnya.


Haruko ingat saat Sadaoka mengungkapkan perasaannya di halaman sekolah dan menawarinya menikah. Saat itu terdengar musik klasik pengiring pernikahan. Haruko berpikir itu kebetulan. Tapi ternyata Sadaoka sudah memersiapkan itu semua. Sayangnya, Haruko ternyata menolak tawaran Sadaoka.


Seperti kata Mie, sebagai calon pasangan pernikahan, Sadaoka ideal. Tapi, aku tidak bisa memaksa diriku untuk mencintainya.


Haruko juga mengingat semua momennya dengan Makoto. Semua kebetulan demi kebetulan yang terjadi antara mereka, memang tidak bisa ia hindari. “Semua kejadian dengan Makoto membuatku merasakan kegembiraan menyukai seseorang untuk pertama kali. Jika aku masih diriku yang dulu, pasti aku sudah jatuh cinta dengannya. Tapi setelah bicara dengannya di telepon, aku tiba-tiba berpikir ‘apakah dia benar-benar untukku?’ Kebetulan yang luar biasa terjadi, satu demi satu. Nomor ponselnya dikomunikasikan melalui papan skor baseball. Semakin Aku memikirkannya, memilikinya sebagai pasangan pernikahan, membuatku cemas Kupikir, bagaimana ini akan terjadi pacaran dengannya seperti ini? Aku menemukan satu kelemahan setelah yang lain. Jadi, Aku membiarkan kesempatan lain untuk jatuh cinta menjauh dariku lagi. Karena aku, itu menjadi seperti ini... Itu bukan kesalahanmu, Itu kesalahanku. Ini bukan kesalahan Makoto. Akulah yang tidak mampu berpikir dengan cara lain.” (intinya sih, Haruko masih galau. Ia takut jatuh cinta lagi, karena pengalaman buruknya soal pria)



Cerita galau Haruko pun disampaikan Mie pada Sadaoka dan Makoto. “Dia ingin memberitahumu sendiri, bahwa dia tidak berniat terlibat denganmu tapi, kupikir jika Dia berhadapan muka denganmu, dia tidak bisa mengatakannya dengan jelas.”


Dari sana, Sadaoka pun akhirnya tahu kalau Makoto juga menyukai Haruko. Makoto pun minta maaf karena tidak cerita apapun.


“Ah, jangan khawatir. Aku menyadari bahwa Aku bukan orangnya. Jadi Aku benar-benar menyerah,” ujar Sadaoka, menanggapi cerita Mie padanya soal Haruko.


Makoto heran karena Sadaoka begitu cepat menyerah. Tapi Sadaoka mengatakan kalau dirinya memang cepat move on. Bahkan setelah baseball di SMA, ia dengan mudah berganti jenis olahraga saat di universitas.


“Jadi, bisakah kamu memberi tahu Haruko, Tidak perlu merasa tidak nyaman saat kita bertemu nanti,” ujar Sadaoka pada Mie.


Sementara itu, respon Makoto berbeda, “Aku tidak berniat menyerah dulu.”


Mie menasehati Makoto untuk menyerah saja, daripada terjadi hal buruk. Sejumlah pria juga pernah mendekati Haruko, tapi itu sia-sia saja. Tapi Makoto tetap berkeras, ia tidak akan menyerah untuk mendapatkan hati Haruko.



Makoto pulang sendirian. Ia menatap langit dan berdoa, kemudian mengeluarkan ponselnya. Makoto memencet nomer milik Haruko.


“Ini Makoto. Maaf telah menelponmu tiba-tiba.”


“Aku minta maaf tentang hari ini,” ujar Haruko di seberang.


“Tidak! Tolong jangan khawatir tentang itu. Mie-san menceritakan semuanya padaku. Aku benar-benar mengerti apa yang kamu rasakan. Tapi bukankah terlalu dini untuk sampai pada kesimpulan? Jika Kamu mengenal orang seperti apa Aku, Aku yakin bahwa Kamu akan menyukaiku.”


Haruko sedikit kesal, “Aku minta maaf. Aku tidak bisa mengubah perasaanku lagi.” Ia pun menutup teleponnya.


(Sebagai penonton, jelas sih kalau kita berharap Makoto jangan menyerah mengejar Haruko. Tapi, kalau di posisi Haruko gini, rasanya tuh emang sebel banget dan keganggu kalau ada cowok udah ditolak masih ngejar terus.)



Makoto pulang ke rumah dengan lemas. Tapi dia disambut oleh si dewa yang memakai apron dan tengah membuat tahu rebus. Dewa menawari Makoto untuk mandi dulu atau langsung makan. Makoto Cuma heran dan kesal dengan perubahan sikap si dewa yang mendadak baik ini.


“Kamu sudah bekerja keras hari ini. Sayang hasilnya mengecewakan. Aku pikir Kamu telah mencoba yang terbaik untuk menyelamatkan dunia dalam 30 tahun dari sekarang. Untuk melakukan yang terbaik untuk masa depan umat manusia, terima kasih banyak.”


“Aku tidak peduli dengan menyelamatkan dunia. Aku benar-benar jatuh cinta padanya,” elak Makoto.


“Tapi dia menolakmu sekarang juga,” dewa mengingatkan.


“Ini belum berakhir,” elak Makoto.


“Tidak, sudah berakhir bukan.”


Makoto tersenyum sinis, “Kamu menyebut dirimu dewa, tapi Kamu benar-benar tidak mengerti bagaimana orang bekerja, bukan! Kamu tidak bisa berhenti mencintai seseorang sesederhana itu. Perasaan bahwa Kamu tidak bisa menyerah, bahkan saat Kamu ditolak Itulah cinta. Bisa tolong mempelajarinya sedikit lagi?”


“Terima kasih atas kata-kata bijak itu. Tepuk tangan! Tapi bagaimanapun, Aku yakin mendengar Kamu tidak menyerah. Selama Kamu merasa seperti itu, tidak peduli seberapa besar Kamu dibenci Ada kemungkinan dia akan mencintaimu.”


“Apakah dia sangat membenciku? Aku pikir dia menanggapiku dengan cukup baik,” ujar Makoto tidak yakin.


“Baik. Pertanyaan! Makanan apa yang dibenci bosmu?” tanya dewa yang dijawab ‘wortel’ oleh Makoto. “Ajak dia untuk makan itu. Kalau kamu bisa mengatasi rasa benci bosmu pada wortel, kamu juga bisa membuat Haruko menyukaimu?”


“Ah, jadi kalau aku bisa membuat bos makan wortel, Haruko akan mencintaiku?” Makoto menyimpulkan.


Dewa menghembuskan napas kekecewaan, “Apakah Kamu benar-benar berpikir sesederhana itu? Aku sudah memberimu saran ini. Setidaknya kau harus paham maksudnya. Membuat Haruko menjadi milikmu musim semi ini, dengan strategi wortel.”



Makoto berangkat ke kantor seperti biasa. Keluar dari lift, ia berhenti sebentar. Berharap takdir membawanya untuk bertemu Haruko yang juga keluar dari lift sebelah, pagi itu. Sayangnya, yang muncul bukan Haruko, tapi bos Haruko.


“Minum-minum kemarin menyenangkan!” ujar sang bos wanita. “Apakah atasanmu mengatakan sesuatu?”


Makoto mencoba mengingat, “Tidak juga.” Meski ia tidak benar-benar yakin.


“Aku mengerti, katakan padanya terima kasih dariku,” ujar si bos wanita lagi.



Pagi berikutnya.


“Sadaoka-kun ingin aku menyampaikan sebuah pesan untukmu. Dia bilang dia ingin Kamu memperlakukannya sebagai teman, sama seperti biasanya,” ujar Mie pada Haruko


“Aku akan mencoba,” Haruko tampak tidak yakin.


“Tapi Aku tidak tahu tentang nasib pria takdirmu. Aku punya perasaan bahwa dia belum sepenuhnya menyerah,” lanjut Mie.


“Dia meneleponku kemarin malam,” cerita Haruko. Ia mulai membolak-balik berkas di depannya.


“Dia benar-benar tidak menyerah.”


“Tapi tidak masalah, Aku menolaknya.”



Pagi itu, Makoto juga mulai menjalankan rencananya. Ia mendekati sang bos. Ia memulainya dengan menyapa dan memberikan salam, basa basi. “Erm Bos, maukah Anda makan siang bersamaku hari ini?”


“Um, tentu, ayo kita lakukan.”


Siangnya, mereka berdua makan siang bersama. Keduanya memesan menu stik daging. Dan seperti sudah diketahui, sang bos yang sangat membenci wortel mulai menyingkirkan yang ada di dalam menunya.


“Bos, saya ingin meminta bantuan besar. Maukah Anda makan wortel itu untukku?” pinta Makoto.


“Itu tidak mungkin,” elak sang bos cepat.


Makoto kemudian mencoba memakan wortel di piringnya sendiri dan mengatakan kalau itu enak, berharap sang bos mau mencoba. Tapi, sang bos tetap saja menolak mencoba. Sang bos berpikir, kalau melihat seseorang makan dengan enak, belum tentu bisa membuatnya berubah pikiran. Sang bos berkeras, tidak akan mencoba meski dengan alasan apapun.


“Ada beberapa hal yang tidak bisa diterima. Mari kita makan dagingnya,” ajak sang bos pula.



Makoto pulang kantor dengan lemas. Ia berhenti di depan sebuah tempat yang mengatakan ‘bisa membuat benci jadi cinta, 98% berhasil’, saat ia dipergoki oleh salah satu rekan kerjanya, sang sales senior, Sekihara-san. Makoto dan Sekihara-san ini pun kemudian duduk dan mengobrol di sisi taman.


“Bagi Kita salesman, tidak peduli ke mana kita pergi kita dibenci pada awalnya. Dari sudut pandang pelanggan kita hanya merusak pemandangan. Jadi, maukah kamu membeli sesuatu dari seseorang yang kamu benci?”


“Tidak,” ujar Makoto.


“Pertama, salah untuk berpikir Seseorang yang tidak suka padamu akan tiba-tiba membeli darimu. Pada hari pertama, mintalah mereka mengingat wajahmu.” Sekihara-san menceritakan strategi penjualannya. Ia datang ke sebuah perusahaan calon klien dan hanya berdiri di sana setor muka saja. “Pada hari kedua, mintalah mereka untuk mengingat suaramu, Dan pada hari ke 3, mereka akan mengingat namamu. Sampai saat itu, jangan tawarkan apapun dulu. Pastikan mereka menyadari keberadaan kita dulu, sebagai sebuah eksistensi. Tapi mereka akan bertanya-tanya mengapa Kamu datang bukan? Tunggu dengan sabar sampai mereka mengucapkan kata-kata itu.” Setelah pertanyaan terakhir ini muncul, barulah salesmen menunjukkan penawaran mereka pada calon klien. “Dan itu adalah pertama kalinya kamu menyebutkan produk kita.”


Perlahan Makoto mulai memahami hal itu. Ia kemudian membahas soal bos mereka yang sangat benci dengan wortel.


“Wortel dalam kari, Dia tidak akan menaruh satu pun di mulutnya dia meninggalkan mereka semua. Meski begitu, dia mencintai kari. Dia adalah pria yang paling merepotkan,” komentar Sekihara-san.


“Sekihara-san, sebagai salesman spesialis, bagaimana Anda membuatnya menyukai wortel?”


“Apakah kamu mendengarkan semua yang telah Aku katakan? Kamu tidak bisa tiba-tiba mengubah ketidaksukaan menjadi suka. Pertama Kamu harus menunggu ada kemungkinan. Dan kemudian ketika mereka menunjukkan minat ingin tahu. Maka giliran kita,” ujar Sekihara-san lagi.



Pulang kerja, Makoto menuju sebuah toko kue. Ia sengaja mencari kue dengan kandungan wortel di dalamnya. Makoto pun membeli salah satu kue itu.


Hari berikutnya, Makoto kembali mendekati bosnya, “ Bos, apakah Anda menyukai hal-hal yang manis?”


“Ya...”


“Akankah Anda menyukai ini? Mereka terkenal karena kelezatannya,” Makoto menyerahkan sebungkus kue pada bosnya.


“Sungguh, Terima kasih.”


Rupanya sikap Makoto kali ini membuat rekannya yang botak curiga. Makoto hanya saling berpandangan serius dengan Sekihara-san, tetapi tidak mau cerita apapun pada rekannya yang botak.



Sore ini, Makoto kembali mendatangi toko kue. Ia langsung menuju tempat kue dengan kandungan wortel di dalamnya. Hari itu sepertinya ramai, karena kue yang tersisa tinggal satu. Ternyata ia mengambilnya bersamaan dengan bos wanita kantor sebelah.


“Silakan duluan,” ujar Makoto, mengalah.


“Tidak apa-apa. Aku selalu makan mereka jadi tidak masalah. Kalau begitu, jika Anda tidak keberatan,” sang bos wanita itu menyerahkannya kembali pada Makoto. Lebih lanjut lagi, sang bos wanita mengatakan kalau kue itu sangat enak.



Hari berikutnya, Makoto kembali menemui bosnya. Ia bertanya soal kue kemarin. Sang bos mengatakan kalau kue kemarin sangat enak. Makoto lalu memberikan satu kue lagi pada sang bos. Kue dari tempat yang sama, tapi beda varian. Berbeda dengan respon kemarin, kali ini sang bos tidak tampak antusias. Makoto jadi khawatir. Sikap Makoto yang saling berpandangan dengan Sekihara-san, kembali membuat si botak curiga.



Haruko makan malam seperti biasa bersama keluarganya. Kogetsu-san memberitahu Haruko kalau Daikaniyama—pesumo favorit Haruko—akan melakukan upacara pemotongan jambul bulan depan. Ritual pensiun pesumo. Haruko sudah tahu itu, dan ia tidak tampak antusias sama sekali.


Obrolan beralih pada apa yang dikatakan Haruko sebelumnya. Ibunya khawatir soal ucapan Haruko, yang mengatakan kalau ia tidak bisa menikah. Tapi Kogetsu-san membeli putrinya itu. Ia berpikir kalau Haruko sebaiknya melakukan apapun yang ia suka saja.


“Bukannya saya tidak mau menikah. Hanya saja rasanya tidak mungkin,” komentar Haruko.


“Kamu tidak pernah tahu apa yang ada di sekitarmu,” lanjut ibu Haruko lagi.


“Tolong jangan berharap,” Mood Haruko benar-benar jadi buruk.


Nyonya Kogetsu kemudian ingat sesuatu. Ia mengeluarkan map berwarna biru dari laci, “Ah iya, maukah kamu mengembalikan ini ke Masaki-san untukku? Perusahaanmu bersebelahan dengannya bukan?”


“Bukankah itu bagian dari dokumentasi 'water server'.”


“Kupikir juga begitu awalnya. Tapi kalau ini memang untuk pelanggan, pasti ada label yang jelas. Nah, apapun, bisakah Kamu mengembalikannya untukku,” bujuk nyonya Kogetsu lagi.


Haruko menghela nafas. Ia tidak punya pilihan. Ia pun tidak bisa menolak permintaan ibunya itu.



Pagi berikutnya, kantor Makoto dibuat heboh oleh kedatangan Yotsuya Mie. Para karyawan pria langsung heboh. Sementara itu, Mie diterima oleh si karyawan wanita dengan wajah jutek.


“Maukah Anda menyerahkan map ini pada Makoto-san? Haruko dari perusahaan kami baru-baru ini menandatangani kontrak dengan Anda dan ini tertinggal,” ujar Mie.


Si karyawan wanita menanggapi itu dengan wajah ditekuk. Ia mengambil map biru itu dari tangan Mie dan menghempaskannya begitu saja di meja Makoto. Saat itu Makoto sedang pergi keluar.


Sementara itu, para karyawan pria langsung menyerbu Mie. Mereka bahkan berebut memberikan kartu nama. Sayangnya, Mie tidak membawa kartu namanya. Bahkan setelah Mie pergi, mereka masih berebut aroma parfum yang ditinggalkan Mie.



Mie kembali ke kantornya dan bercerita pada Haruko, kalau Makoto tidak ada, sehingga ia menitipkan map itu pada karyawan lain. Haruko mengucapkan terimakasih atas bantuan Mie itu.


“Kalian berdua benar-benar menakjubkan. Kursi Kalian menghadap ke dinding. Tahukah Kamu, kalian duduk saling membelakangi?” komentar Mie kemudian. Ia mengamati kalau tempat kerja Haruko dan Makoto saling membelakangi dan hanya berbatasan dinding.


“Tidak mungkin?!” Haruko tidak percaya.


“Itu benar. Kamu tidak pernah berpikir dia duduk di sisi lain dinding, bukan.”


“Hentikan itu, rasanya menyeramkan,” Haruko merinding sendiri.


“Ah, takdir adalah hal yang menyeramkan.”



Makoto baru saja kembali ke kantor saat si karyawan wanita, Midori menyampaikan map yang tadi diantarkan oleh Mie. Makoto tampak kecewa, karena yang mengembalikan ternyata bukan Haruko langsung.


“Saat Mie datang ke sini, Kazuo-san dan Sekihara-san membuat keributan,” curhat Midori kemudian. Tapi ia tidak bicara panjang lagi soal itu. Ia kemudian beralih pada takdirnya, “Hari ini saya membuat penemuan lain, pasti itu takdir. Aku melihat catatan medisnya (si botak, Kazuo) dan, Kadar asam laktat dan kadar hemoglobinnya Sama persis dengan milikku! Bukankah itu menakjubkan?”


“Kamu menakjubkan untuk menemukan catatan itu,” komentar Makoto. Sebenarnya ia tidak benar-benar paham, kenapa hal ini penting bagi Midori.


 


Sang bos tiba-tiba saja memanggil Makoto, “Bisakah Kamu menyusun rencana penjualan untuk stan even berikutnya, pada akhir minggu?”


“Tentu saja,” ujar Makoto mengiyakan. Ia melirik ke meja sang bos dan melihat bungkus kue yang diberikannya tadi pagi sudah kosong, artinya kue itu sudah dimakan.


“Ah, kue itu enak sekali. Terima kasih,” komentar sang bos kemudian. Ngomong-ngomong, Makoto, kenapa kamu memberiku makanan manis akhir-akhir ini?” tanya sang bos.


Makoto terhenyak. Ia merasa strateginya membuahkan hasil. Ia ingat trik yang diajarkan oleh Sekihara-san, sang salesman senior. “Bos, sebenarnya, Kedua kue yang Anda makan hari ini dan tempo hari, Sejumlah Wortel telah dicampur ke dalam adonan.”


“Benarkah, benarkah begitu ?! Aku sama sekali tidak memperhatikannya!” sang bos heran.


“Apakah Anda punya waktu setelah bekerja?” ajak Makoto kemudian.


BERSAMBUNG


Sampai jumpa di I'm Your Destiny episode 04 part 2.


Pictures and written by Kelana

SINOPSIS I’m Your Destiny 03 part 2

13.17.00 2 Comments

SINOPSIS dorama I'm Your Destiny episode 03 part 2. Hubungan Makoto dan Haruko belum ada kemajuan sama sekali. Alih-alih makin baik, justru makin kacau dan canggung. Tugas Makoto untuk bisa mendapatkan kontak Haruko pun belum berhasil dilakukannya. Bagaimana selanjutnya?



Meski tidak banyak yang datang, tapi suasana minum bersama malam itu perlahan mencair. Tapi, Makoto mendapatkan firasat akan terjadi sesuatu, firasat buruk. Tapi bukan kedatangan Haruko dkk, melainkan ... apalagi sekilas terdengar lagu 'The Devil 'oleh Shubert ...


“Apakah itu Makoto?” sapa Sadaoka yang baru saja tiba. Ia melihat Makoto tengah berada di tengah-tengah rekan-rekannya.


“Ternyata benar! Aku punya firasat bertemu denganmu,” gumam Makoto berusaha tersenyum membalas sapaan Sadaoka.


“Rekan kerja aku secara diam-diam mengadakan pesta selamat datang... jadi karena itulah aku disini,” cerita Sadaoka. “Apakah Kalian semua rekan kerja?” saat itu sejumlah karyawan wanita juga ikut masuk, teman-teman sekantor Sadaoka.


Ini membuat rekan-rekan Makoto tertarik, “Apakah Kamu ingin minum bersama kami? Jika kamu teman Makoto, kami juga arus mengenalmu!”


“Aku menghargai tawaran itu tapi untuk hari ini, Aku harus menolak,” ujar Sadaoka kemudian. Karena dipanggil oleh rekan-rekan wanitanya, Sadaoka pun pamit pergi. “Oke, sampai jumpa lagi.”



Sadaoka menyapa Makoto saat mereka sama-sama buang air di toilet. Sadaoka menceritakan kalau itu tidak semenyenangkan seperti yang terlihat.


“Aku sudah hampir tidak mabuk sama sekali,” ujar Sadaoka, mengacu pada acara minum-minum bersama rekan-rekan kantornya.


“Mengapa itu? Sedikit keterlaluan kan, padahal mereka sudah memersiapkan pesta untukmu,” kometnar Makoto.


Tapi Sadaoka tidak benar-benar tertarik dengan perbincangan itu. Ia justru menceritakan hal lain, “Aku akan melamar Haruko besok.”


Tadinya Makoto biasa saja. Tapi ia kemudian sadar, melamar artinya ...


“Mie-san memberitahuku bahwa Haruko bermaksud menikahi orang berikutnya yang pergi keluar (kencan) dengannya,” cerita Sadaoka lagi.


“Tapi ... meski begitu, ini agak terlalu cepat kan?” Makoto mencoba tenang padahal hatinya sudah bergemuruh.


Sadaoka tersenyum, “Kita tahu orang seperti apa Haruko. Lebih cepat kukatakan, lebih cepat juga aku tahu respon Haruko. Apalagi jika ia tahu aku siap untuk menikah. Aku ingin mengejutkannya, jadi kamu harus merahasiakannya.” Pinta Sadaoka pula pada Makoto.


Makoto hanya bisa terdiam mendengar cerita Sadaoka ini. Ia kaget karena ternyata ia sudah kalah start dari Sadaoka sejak awal. “Apa yang harus aku lakukan?”



“Masalah besar! Apa yang harus dilakukan? Apa yang harus dilakukan?” Makoto heboh sendiri saat pulang ke rumahnya. Ia mencari-cari si dewa, yang tiba-tiba saja muncul secara tidak terduga di hadapannya, masih saja membuat Makoto kaget meski itu bukan pertama kalinya.


“Kamu tidak punya hak untuk mengandalkannya. Ketika Kamu tidak bisa mendapatkan kontaknya Atau bahkan memberikannya milikmu, jadi...”


Makoto yang tidak sabar memotong ucapan dewa, “Kamu bilang dia akan menerima lamarannya?”


“Nah, sekarang dia (Sadaoka) sudah mencapai puncak popularitasnya sekarang. Selanjutnya, temannya (Mie) memberi dia (Haruko) dorongan yang kuat. Kau berada dalam situasi buruk,” dewa sama sekali tidak mambantu, justru membuat Makoto makin frustasi. “Tapi hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Besok kamu akan pergi ke rumahnya Untuk mengantarkan server air. Satu-satunya hal yang bisa Kamu lakukan adalah menunda dia. Ini adalah kesempatan terakhirmu.”



Hari berikutnya, Makoto datang ke kediaman keluarga Kogetsu membawakan server air dari perusahaannya. Hari itu sebenarnya hari Sabtu/libur.


Setelah meletakkan server air itu, Makoto melihat sekeliling dan tidak menemukan Haruko, “Erm, dimana Haruko hari ini?”


“Dia pergi sebelum Kamu datang. Dia bilang dia akan pergi Untuk bertemu teman sekolahnya,” ujar Kogetsu-san.


“Apa? Kemana dia pergi ?!”


“Dia akan mengucapkan selamat kepada Guru SMAnya yang baru saja melahirkan,” lanjut nyonya Kogetsu pula.


Makoto memutar otak. Ia ingin mencari alasan untuk bisa menghubungi Haruko, “Ah, tidak Tentang posisi tersebut, Aku sarankan agar kita mendapatkan pendapat dari Semua anggota keluarga.”


“Kupikir Haruko tidak keberatan di mana kita menaruhnya,” ujar pasangan Kogetsu itu lagi.


Tapi Makoto berkeras, kalau ia perlu juga mendengarkan pendapat Haruko. Makoto pun memotret server air itu dan mengirimkannya pada Haruko, dengan alasan agar tidak terjadi perdebatan selanjutnya.



Sementara itu ...


Haruko berjalan dengan Sadaoka di halaman sekolah mereka. Sadaoka membicarakan soal guru mereka yang tampak tidak berubah meski punya begitu banyak siswa. Sadaoka juga berpikir kalau gurunya tidak akan mengenalinya. Tapi ternyata festival budaya di sekolah membuat sang guru masih mengenalinya.


Haruko berpikir agar Sadaoka berkumpul dengan band-nya lagi dan datang ke acara reuni sekolah berikutnya. Sadaoka mengkritik Haruko yang juga tidak pernah datang. Tapi Haruko berjanji, kalau Sadaoka berhasil berkumpul (10 orang) bersama band-nya, ia akan datang ke reuni.


“Akan sangat bagus jika Aku bisa, Tapi mereka semua sibuk dengan ini dan itu,” ujar Sadaoka akhirnya. “Waktu berjalan begitu cepat. Dalam sepuluh tahun sejak pertunjukan bodoh itu, sebagian dari teman-teman band-ku sudah menikah. Entah bagaimana, usia dua puluhan berlalu dalam sekejap.”


Keduanya masih terus berjalan. Sementara itu, di sebelah tampak anak-anak SMA tengah berolahraga di lapangan.


“Apakah kamu ingat tempat itu disana?” Sadaoka menunjuk suatu tempat tidak jauh dari tempatnya berdiri sekarang. “Di situlah aku mengajakmu kencan, 12 tahun yang lalu. Tempat dimana aku gagal Untuk mendapatkan respon yang tepat darimu,” ujar Sadaoka kemudian.


Bagaimana Makoto? Dengan setengah berlari, Makoto akhirnya tiba di depan sekolah. Ia mencoba masuk, tapi dihalangi oleh satpam di sana. Satpam itu mengatakan, kalau Makoto tidak bisa masuk kalau tidak punya izin. Makoto mencoba mencari celah. Tapi tetap saja gagal. Ia pun akhirnya beranjak pergi.



Makoto berjalan di samping lapangan sekolah. Ia tidak bisa masuk. Tapi saat itu, ia melihat Haruko tengah berjalan beriiringan dengan Sadaoka, dan berhenti di suatu tempat.


“Haruko-san! Posisi server air! Harap konfirmasi posisinya ...” Makoto mencoba menarik perhatian Haruko dengan berteriak. Tapi akungnya, tempatnya terlalu jauh hingga tidak akan terdengar.


Sementara itu, di seberang tampak Haruko yang tersipu malu di depan Sadaoka. Tahu apa yang terjadi (Sadaoka melamar Haruko), Makoto pun langsung terduduk lemas, bersandar pada pagar lapangan. Harapannya pupus sudah.



Makoto tengah melamun di sisi lapangan yang ada di dekat sungai saat sebuah bila mendekatinya. Dua orang anak kecil mendekat dan meminta bola itu. Tapi karena anak itu tidak sopan, Makoto pun menegurnya. Tidak hanya meminta bola bisbol saja, kedua anak itu pun mengajak Makoto ikut main. Tapi karena lagi-lagi ucapan mereka tidak sopan, Makoto protes dan meminta mereka mengatakan permintaan dengan baik. Mood buruk Makoto membuatnya jadi mudah marah oleh hal-hal remeh. Kedua anak itu pun menurut. Mereka meminta Makoto untuk ikut main dengan bahasa yang lebih sopan.


Tidak punya pilihan lagi, Makoto pun setuju untuk ikut main. Pertandingan dua lawan satu. Makoto sendirin jadi tim lawan. Tapi karena bisbol, Makoto pun bisa sedikit lebih sumringah dan tidak suram lagi seperti tadi.



Bola yang digunakan bermain terlempar cukup jauh hingga ke jalan. Saat Makoto akan mengambilnya, saat itu Haruko lewat. Ia pun berhenti dan menyapa Haruko.


“Selamat ya,” ujar Makoto.


Haruko heran, “Apa maksudmu?”


“Sebenarnya aku dengar dari Sadaoka-kun kemarin. Bahwa dia akan melamarmu hari ini. Apakah begitu?”


“Lalu.. Kenapa kamu mengucapkan selamat?” tanya Haruko lagi.


“Ah, baiklah. Lamaran itu berjalan dengan baik, bukan?” tebak Makoto.


“Aku menolaknya,” cerita Haruko.


Makoto kaget, “Eh? Tapi Kamu tersenyum dan tampak bahagia?”


“Kau melihatku?” Haruko curiga.


“Ah, Aku minta maaf. Eh, aku ingin konfirmasi denganmu posisi server air. Tepat pada saat itu 'Wedding March' mulai bermain, Itu terlalu aneh.”


Haruko tersenyum, “Tertawa bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan.”


Kedua anak yang tadi bermain bisbol memanggil Makoto dan memintanya kembali ke permainan. Tapi Makoto meminta mereka menunggu sebentar, karena ia punya pembicaraan serius.


“Tidakkah Kamu pikir sebaiknya Anda pergi?” ujar Haruko.


Makoto mengatakan agar tidak perlu memedulikan anak-anak itu. Ia mencoba kembali bicara pada Haruko. Tapi anak-anak itu makin ramai mengganggunya. Makoto pun tidak punya pilihan dan pamit pergi.



Tapi saat melihat papan skor, Makoto mendadak berbalik pada Haruko. “Ini adalah benang merah takdir. Tolong tunggu! Maukah kau menyimpan kontak ku?” Makoto menunjuk pada papan skor. “Itu belum selesai.”


“Apa yang kamu bicarakan?”


“Pada papan skor, itu adalah paruh pertama Nomor teleponku. Jika kita benar-benar terhubung Oleh benang merah takdir, Aku berpikir bahwa 5 kolom terakhir Akan melengkapi nomorku. Juga, anak laki-laki yang bermain denganku itu bernama Akai (merah) dan Ito (benang).” (akai ito=benang merah bisa juga diterjemahkan sebagai takdir)


Haruko heran, “Tapi, apa bisa kamu membuat sesuatu sesuai keinginanmu seperti itu? Jika mulai sekarang, Kamu tidak mengambil poin Dan membiarkan mereka mengambil poin sesukamu, Maka tidak bisakah kamu melengkapi nomor kamu?”


“Sejauh yang Kamu tahu itu benar, Tapi dengan bisbol, kamu tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Permainan tidak akan selalu berjalan seperti yang ku inginkan,” ujar Makoto.


“Mengapa Kamu ingin sejauh itu untuk melengkapi nomor itu?”


“Bukankah sudah jelas? Aku ingin berbicara denganmu di telepon. Jadi, jika kamu berminat, tolong kembali lagi nanti dan periksa papan skor itu.” Makoto pun pamit pergi dan kembali ke lapangan.



Haruko tiba kembali di rumah. Tapi kedua orangtuanya heran, karena Haruko pulang sendiri. Mereka berpikir kalau Haruko akan pulang bersama Makoto.


“Dia sudah pulang?”


“Aku pikir, dia mungkin masih di lapangan baseball di tepi sungai,” ujar Haruko.


“Jadi, teleponlah dia,” ujar Kogetsu-san.


Haruko heran. Ternyata alasannya, karena ibunya sudah memersiapkan makan malam udang goreng dan saus buatan tangan, berpikir Makoto akan makan malam bersama mereka. Haruko pun tidak punya pilihan. Tapi ... ia tidak punya nomer kontak Makoto.



Haruko kembali datang ke lapangan bisbol dekat sungai. Ia menemukan papan skor di sana sudah penuh angka. Haruko tidak yakin, tapi ia kemudian memencet nomer yang ada di sana pada ponselnya.


“Halo, Ini Haruko.”


Dan suara yang tidak asing terdengar dari seberang, “Masaki berbicara.”


Haruko kaget, “Sejujurnya aku tidak berpikir itu akan berhasil.”



“Aku juga tidak berpikir begitu,” ujar Makoto.


“Apakah kamu curang?”


“Tentu saja tidak! Ini adalah skor yang aku dapatkan dari bermain,” elak Makoto cepat.


“Nah, itu berhasil dengan baik.”


“Itu lebih sulit dari yang kubayangkan. Kupikir mereka sudah melihatku Ketika Aku mendapat tiga out dengan sengaja. Aku harus tunduk pada mereka, Dan mereka memberiku permainan.”


Haruko berjalan menjauhi lapangan bisbol itu. Ia pun tiba di padang rumput dengan bunga kuning yang bermekaran. Saat itu, terdengar alunan lembut musik klasik. Dan dengan mudah Makoto menebaknya, 'Clair de Lune' oleh Debussy. Haruko juga cukup kaget karena Makoto menebaknya dengan benar.



“Malam ini bulan purnama bukan?” ujar Makoto kemudian.


Di seberang, Haruko juga memandang ke langit dan mengiyakan.


“Apakah Kamu mau pergi untuk makan denganku? Salah satu teman sekolah lamaku adalah mantan pegulat, Dan restoran yang dibukanya Dekat kantor kami. Tapi aku belum pernah ke sana. Jadi Aku tidak tahu apakah enak atau tidak,” Makoto menawarkan.


“Kupikir aku tahu restoran mana yang kamu maksud. Kalau begitu, aku mau pergi.”


“Sungguh?! Baiklah kalau begitu...Haruskah kita pergi bersama?”


“Jika boleh membawa teman,” lanjut Haruko.


Makoto makin sumringah. Apalagi di tempat makan yang mereka rencanakan ini, tidak akan ada potensi perbedaan selera makanan yang perlu diperdebatkan. Keduanya pun menutup obrolan malam itu dengan ucapan sampai jumpa.


Makoto begitu bahagia. Ia bahkan memeluk tiang listrik yang ada di dekatnya, membuat orang-orang yang lewat di dekatnya mengernyit heran.



Makoto minum sendirian di teras sambil senyum-senyum sumringah. Saat itu dewa pun menyusulnya. Tapi mereka kemudian masuk kembali ke dalam.


“Sadaoka-kun, yang jauh lebih menarik darimu Dengan sengaja disingkirkan Haruko. Apakah kamu sudah menyadari gravitasi ini?” ujar dewa.


“Apa maksudmu?” Makoto heran.


“Maksudku, betapa sulitnya hal itu Untuk menangkap hatinya.”


“Tapi dia bilang dia akan pergi bersamaku untuk makan malam,” elak Makoto.


“Dan di sana Kamu akan diberitahu sekali lagi, 'Aku tidak punya perasaan romantis terhadapmu. “


“Tidak, itu pasti tak terpikirkan,” Makoto tidak percaya.


“Bukankah kamu meremehkan ukuran musuhmu? Jika Sadaoka adalah bosnya, Maka dia adalah bos besar. Jika Kamu melancarkan serangan normal, dia tidak akan menyerah satu inci pun. Dia memakai baju besi yang tak tertembus. Kamu tidak bisa menyerangnya seperti itu. Kamu harus membalikkan dunia. Kamu harus membuat langkah berani!”



Haruko makan malam bersama ayah dan ibunya seperti biasa. Kogetsu-san bercerita kalau ia sudah pernah minum bersama Makoto. Kedua orang tuanya ini berpikir kalau Makoto orang baik dan seolah ... ingin agar Haruko dekat dengan Makoto.


Tapi Haruko tidak tampak tertarik, “Aku mungkin tidak bisa menikah.” Ia terus mengunyah makanannya.


“Aku tidak mengatakan Kamu harus bersama dengannya,” ujar Kogetsu-san.


“Aku tahu. Ini bukan tentang siapa orangnya, Melainkan hubungannya dengan pernikahan itu sendiri.” (rumit ya? Kadang cewek emang gini. Nggak mau nikah bukan masalah orangnya. Tapi masalah pernikahan itu sendiri, termasuk konsekuensi setelahnya. Hmmm ... seperti curhat jadinya, hehe)


BERSAMBUNG


Sampai jumpa di I'm Your Destiny episode 04 part 1.


Pictures and written by Kelana

SINOPSIS I’m Your Destiny 03 part 1

13.16.00 2 Comments

SINOPSIS dorama I'm Your Destiny episode 03 part 1. Masaki Makoto, 30 tahun. Pertarungannya mendapatkan hati wanita takdirnya, Kogetsu Haruko baru saja dimulai. Dan saingan beratnya adalah seorang pria bernama Sadaoka, yang musim panas kali ini semakin memesona dan populer di kalangan para wanita.



Pagi Makoto dimulai dari sapaan Sadaoka yang tiba-tiba datang dan mengajaknya minum bersama. Makoto jelas tidak bisa menolak. Dari sana, Makoto sadar kalau Sadaoka adalah saingan yang berat. Seseorang yang benar-benar akan popouler di antara para wanita.


Sampai di ruangan, Makoto sudah disambut pertanyaan dari rekan-rekannya. Rupanya mereka melihat saat Makoto disapa Sadaoka tadi. Makoto Cuma bilang kalau itu kenalannya. Tapi rekan-rekannya curiga, karena Makoto tampak melihat pria itu dengan sangat serius.


“Aku bisa melihat dengan jelas api kebencian,” ujar salah satu rekan Makoto.


Makoto akhirnya menjelaskan alasannya. Sadaoka adalah lawannya saat pertandingan baseball di SMA. Dan karena pukulan yang dibuat oleh Sadaoka, tim Makoto kalah. Obrolan pun berlanjut.



Sementara itu, di kantor sebelah, Haruko sedang meeting bersama tim dan rekan-rekannya. Setelah meeting selesai, tinggal Mie dan Haruko yang masih berada di ruangan.


“Melihat grafik, Itu membuatku memikirkan Sadaoka-kun,” komentar Mie. “Semua orang mencari orang seperti ini. Tapi orang yang sempurna tidak ada, jadi kita menyerah. Tapi Sadaoka-kun, menyentuh semua titik di hexagon. Dia tidak menonjol pada satu titik pun, Tapi mereka semua di atas rata-rata. Ini tidak sering terjadi Kamu menemukan seorang pria Dengan heksagon yang indah,” Mie terus saja memuji Sadaoka.


“Jika Kamu berpikir begitu tinggi tentang dia Kenapa kamu tidak mengajaknya keluar?” tanya Haruko dengan bosan.


“Apa yang kamu katakan! Sadaoka-kun jelas-jelas menyukaimu. Aku menyemangatimu,” elak Mie cepat. “Aku tidak berpikir dia orang jahat.”


“Tapi jujur saja Aku tidak begitu tahu,” ujar Haruko lagi.


“Aku mengerti. Serahkan padaku. Yang lebih cocok untuk Haruko, Hari ini Aku akan menentukan jawabannya, Dengan mataku sendiri!”



Malam itu, Haruko dan Mie minum bersama Sadaoka dan juga Makoto. Obrolan tadinya berjalan lancar. Hingga saat makanan datang, ternyata Makoto punya selera yang berbeda dengan Mie. Dan mereka pun berdebat.


Berbeda dengan Makoto, Sadaoka justru mendapat banyak pujian dari Mie. Ia benar-benar jadi pusat perhatian dalam obrolan mereka malam itu.



“Sadaoka-kun, sangat bijaksana bukan? Dia juga ahli memasak daging. Dia meminta lebih banyak minuman. Pada waktu yang tepat,” komentar Mie saat Sadaoka pamit pergi untuk mengambil minuman lagi.


“Apakah kamu masih marah?” tanya Makoto hati-hati. Ia mengacu pada perdebatan mereka tadi soal makanan.


“Aku tidak terlalu marah,” elak Mie pula. “Aku hanya mengatakan betapa luar biasa Sadaoka-kun.”


Merasa tidak enak, Haruko mengalihkan pembicaraan, “Jadi apa yang kamu lakukan pada hari libur?”


Makoto berpikir, “Eh ... baik, saya bersih-bersih dan mencuci.”


“Aku sedang berbicara tentang minatmu?”


“Minatku? Minatku ... erm berbagai hal ...” Makoto tidak yakin.


Obrolan mereka terhenti saat Sadaoka kembali. Dan ternyata dia kembali dengan memakai wig, kaca mata hitam dan gitar di tangan. Sadaoka mulai berdendang. Jelas ini membuat Mie dan Haruko berteriak girang.


Coo coo coo. Hujan air mata adalah ...Coo coo coo. Kaki kita menjadi basah ...Topi sutra, 1, 2, 3 ... Masukkan banyak kebencian dan kesedihan. Tutupi dengan syal. 1, 2, 3. Seekor merpati terbang keluar. Topi sutera, 1, 2, 3. Masukkan banyak kebencian dan kesedihan. Tutupi dengan syal 1, 2, 3. Seekor merpati terbang keluar. Coo, coo.



“Selamat datang di rumah, Makoto,” dewa menyambut Makoto yang baru pulang sambil memainkan gitar dan bernyanyi. “Lagu ini terkenal.”


“Apa? Apa kamu ingin berkelahi denganku?” komentar Makoto dengan kesal. Moodnya benar-benar buruk malam itu.


“Aku mengerti, Kamu tidak suka musik folk?”


“Ini tidak ada hubungannya dengan genre. Dan juga, Bisakah kamu berhenti santai menggunakan nama pertamaku!” protes Makoto lagi.


Tapi dewa sama sekali tidak peduli dengan komentar Makoto, “Makoto, seperti Sadaoka-kun, Kamu harus membuat musik sekutumu.


“Aku harus menulis dan menyanyikan Laguku sendiri juga maksudmu?”


“Bernyanyi tidak cukup untuk membuat musik menjadi sekutumu. Ada hal lain yang harus Kamu lakukan, bukan? Tidakkah kamu memberitahunya bahwa, Kamu akan menyukai musik klasik. Bagaimana dengan itu? Kamu membeli CD yang begitu mahal, Tapi kamu masih belum membukanya.” Dewa menunjukkan CD musik klasik yang dibeli Makoto.


“Itu karena aku sibuk akhir-akhir ini,” elak Makoto.


“Tidakkah kamu mengerti caranya meluangkan waktu? Untuk mengetahui gairah/passion seseorang, Bisa menggerakkan hati mereka. Baiklah, dalam seminggu, Hafalkan semua ini Lagu dan komposer.”


“Apa?! Itu jelas tidak mungkin.”


Tapi dewa jelas tidak mendengarkan, “Ada 100 lagu. Jika Kamu menghafal 20 lagu sehari, Kamu bisa melakukannya dalam 5 hari.”


“Jangan membuatnya terdengar begitu mudah!” protes Makoto lagi.


“Kebahagiaan tidak datang kepada mereka yang tidak bisa mencintai musik.”


“Jadi, jika Aku menghafal itu semua, Aku bisa menemukan kebahagiaan kan?” Makoto menyimpulkan.


“Beri aku nama dan komposer lagu ini,” ujar dewa, setelah menyetel salah satu lagu dari CD milik Makoto.


Makoto berpikir, “Aku pernah mendengarnya sebelumnya ...”


“Ini 'The Wedding March' oleh Mendelssohn. Apakah Kamu atau Sadaoka-kun? Yang mendengar lagu ini bersamanya. Jawabannya adalah... Sisanya 99 lagu dan komposer, Saat kamu sudah hafal semua. Itu secara alami akan membimbingmu.”


“Kamu mengatakan yang sebenarnya bukan?” Makoto ragu.



“Komponis Mussorgsky. 'Pictures at an Exhibition' Benar, Mussorgsky,” gumam Makoto.


Ia mengikuti saran dewa dan mulai menghafal lagu-lagu di CD musiknya. Makoto menggunakan headset sepanjang perjalanannya ke kantor. Bahkan di kantor pun, Makoto tetap terus menghafal. Ia memanfaatkan waktunya di sela-sela kegiatannya.



Makoto sudah duduk di balik mejanya, saat kedua rekannya yang baru datang heboh. Salah satu dari mereka mengaku beruntung pagi itu, 'keberuntungan yang cukup’. Sementara yang lain mengaku mendapat 'Keberuntungan besar'.


“Apa ini, 'Keberuntungan pagi?'” Makoto heran.


“Di perusahaan sebelah, mereka memiliki seorang karyawan bernama Yotsuya Mie. Orang yang tinggi, ramping dan wangi luar biasa. Dengan sangat hormat kami memanggilnya 'Menara wangi'. Jika dia di lift denganmu di pagi hari Itu 'Keberuntungan besar'. Jika Dia tidak disana, tetapi ada aroma yang tersisa itu disebut 'sedikit beruntung'. Jika Anda melewati seseorang di jalan yang wanginya sama, itu 'keberuntungan berlanjut'. Pada hari ketika Kamu mendapatkan 'Keberuntungan besar', Kamu pasti akan mendapatkan kontrak. Dia dikenal sebagai ... 'Fragrance Venus'.”


“Kaulah satu-satunya yang diizinkan masuk dan keluar dari pintu sebelah. Mohon untuk berhubungan baik dengan Yotsuya Mie-san, secepatnya.”


Tapi Makoto tidak terlalu terkejut, “Ah, kemarin, Aku kebetulan pergi minum bersamanya.”


Diberitahu seperti itu, kedua rekannya ini langsung heboh. Mereka kesal karena Makoto tidak menelepon mereka. Makoto mengelak kalau ia tidak tahu, kalau kedua rekannya ini sangat tertarik.


“Bisakah kamu menyebarkannya sedikit keberuntungan itu kepada kita?”


“Ah, tapi Aku pikir, itu sebagai hasil dari kemarin, mereka membenciku,” ujar Makoto.


Obrolan para pria ini membuat kesal satu-satunya karyawan wanita di kantor Makoto.



“Kemarin, semua menjadi jelas kan? Tanpa ragu Dia adalah Sadaoka-kun,” ujar Mie, mendekati Haruko di jam istirahat mereka.


“Tolong jangan membuat keputusan tentang hidupku!” protes Haruko.


“Sebagai perbandingan, pria takdirmu ... tidak ada apa-apanya. Jika dibandingkan dengan Sadaoka, semua jadi jelas. Ketertarikan, sikap positif, humor dan sejenisnya, dia sangat rendah. Hanya 'takdir' yang secara tidak normal nilainya tinggi. Ini dikenal sebagai bentuk 'teleskop' Atau tipe 'topi runcing'. Ini adalah formasi grafik yang merusak.” Mie mulai mengoceh tidak jelas.


“Sejak kapan kamu menjadi seorang kritikus?” pertanyaan sarkas Haruko.


Tapi ia tidak menyerah meyakinkan Haruko, “Begini, takdir hanya menyenangkan di awal. Tapi kalau menyangkut pernikahan, pergi ke kota, Dan bertemu seseorang secara kebetulan, itu akan jadi masalah.”


Haruko memilih tidak mau berkomentar lagi. Ia tahu pasti, Mie tetap berkeras soal Sadaoka.



Masaki masih bertugas. Ia menelepon pelanggan yang sempat ia datangi sebelumnya. Sambil menunggu dijawab, tidak sengaja ada musik klasik diputar. Dan dalam sekejap ia bisa mengenali lagu itu, Offenbach, 'Heaven and Hell'


Ini menarik perhatian atasannya, “Masaki-kun, Kamu tahu musik klasik?”


“Ah, tidak tidak juga, Baru-baru ini saya berkecimpung di dalamnya sedikit.”


“Ini sering dimainkan dalam acara olahraga. Tapi aku tidak berpikir bahwa judul lagu ceria itu adalah 'Heaven and Hell'! Tetapi acara olahraga Adalah neraka bagiku. Aku benci suara pistol start.”


“Beberapa orang memang seperti itu, bukan?” komentar Makoto.


Obrolan mereka terhenti saat suara di seberang telepon menyapa balik Makoto. Sayangnya, kontrak yang ditanyakan oleh Makoto ternyata dibatalkan oleh perusahaan sebelah.


Mendapat penolakan seperti itu, Makoto pun akhirnya mengerti maksud dewa kalau musik adalah sekutunya. Artinya, musik bisa jadi tanda-tanda dari situasi yang akan terjadi atau akan dia alami.



Masaki sudah hampir pulang saat telepon di mejanya kembali berbunyi. Dari Kogetsu-san yang ternyata mengabari kalau keluarganya setuju untuk berlangganan air dari perusahaan tempat Makoto bekerja.


“Bila Anda punya waktu, Bisakah saya menjelaskannya kepada Anda? Saya bisa datang besok atau lusa?” Makoto menawarkan.


“Baiklah, bisakah kamu datang ke rumahku besok sore?” ujar Kogetsu-san.


Makoto sempat kaget saat Kogetsu-san mengundangnya ke rumah. Kogetsu-san pun menawarkan kalau di kafe saja. Tapi Makoto mengelak dan mengatakan tidak masalah datang ke rumah.



Dalam perjalanan pulang ke rumah, Makoto sempat membeli makan malam. Saat itu sebuah mobil melintas di belakangnya. Terdengar suara musik klasik dari sana.


“'Triumphant March' oleh Verdi,” komentar Makoto dengan yakin. Makoto sudah berhasil menghafal banyak lagu dari CD musik klasiknya dan makin mahir menebak judul serta komposernya.



“Kamu terlalu dini untuk bersemangat. Hal yang sebenarnya adalah besok,” komentar dewa saat menyambut Makoto pulang masih mendengarkan lagu-lagu dari CD-nya.


“Aku tahu itu,” ujar Makoto.


“Kenapa kamu mengintip ke kantornya?” tanya dewa lagi. Dia mengacu pada sikap Makoto tadi sepulang kantor, yang justru mengintip ke kantor sebelah.


“Jika Aku tiba-tiba tiba di rumahnya, dia akan panik.”


“Harta karunmu berasal dari hal-hal seperti itu,” ujar dewa lagi. “Aku mengatakan bahwa, secepatnya kau harus dapatkan kontaknya,” saran dewa.


Makoto tidak yakin, “Dia akan memberikannya padaku hanya dengan bertanya padanya.”


Dewa langsung menyodorkan kartu kuning di depan wajah Makoto, “Kamu benar-benar tidak bisa mengatakan itu. Kamu bahkan belum mencobanya. Bahkan jika dia tidak memberitahumu miliknya, kamu setidaknya harus memberikannya milikmu.”


“Lain waktu Aku akan mendapatkannya, Ok?” Makoto mencoba negosiasi. “Aku tidak tahu apakah aku akan menemuinya besok.”


“Apakah kamu idiot?! Kemarin sore, di depan kotak makan siang, Kamumendengar 'Triumphant March'. Bukan? Tentu Kamu akan menemuinya!”


Makoto berpikir lagi, “Apa itu maksudmu? Musik menjadi sekutuku? Bukan hanya kebetulan saja aku mendengar lagu itu. Ini memiliki makna?”


“Hidup lebih menyenangkan jika kamu berpikir seperti itu. Jika Kamu tidak mendapatkan kontaknya besok, lain kali itu akan menjadi kartu merah!” ancam dewa lagi.


Malam itu, Makoto pun menulis. Ia ingin agar Haruko tidak kaget saat datang ke rumahnya.



Hari berikutnya, Makoto benar datang ke rumah keluarga Kogetsu. Ia dijamu di meja dapur oleh pasangan Kogetsu. Nyonya Kogetsu menyeloroh saat melihat Makoto memerhatikan cetak tangan yang dipajang tidak jauh dari meja makan.


“Ini adalah cetak tangan besar bukan. Apakah Anda tahu pegulat sumo Daikaiyama?” tanya nyonya Kogetsu.


“Ah iya, dia baru saja pensiun.”


“Putriku adalah penggemar berat nya,” cerita nyonya Kogetsu. Ia pun mengambil salah satu foto keluarga dan menunjukkannya pada Makoto. “Ini putriku Haruko. Sejak Daikaiyama pensiun, Dia sedang dalam suasana hati yang buruk.”


“Sungguh, ah, dia sangat cantik,” puji Makoto, canggung.


“Itu diambil saat dia datang dari upacara umur, Sudah lebih dari 10 tahun. Kita punya beberapa gambar yang lebih baru bukan?”


Kedua pasangan Kogetsu ini pun langsung heboh. Mereka lalu mengambil album dan mencoba menunjukkan foto-foto Haruko pada Makoto. Pada salah satu foto, Kogetsu-san terhenti. Ia melihat foto putri mereka, Haruko bersama seorang anak kecil lain di pantai dan merasa kalau anak kecil itu mirip dengan Makoto.


“Sekarang setelah Anda menyebutkannya, ya, memang begitu. Sebenarnya, ini Saya,” komentar Makoto, meski hanya melihat foto itu sekilas.


Pasangan Kogetsu pun kaget. Mereka tidak menyangka akan terjadi hal seperti itu.



Tepat saat itu, Haruko baru saja tiba di rumah dan kaget menemukan Makoto ada di rumah mereka, “Apa yang sedang kamu lakukan?!”


Makoto juga kaget, “Maafkan saya. Karena tidak memberitahumu lebih dulu.”


Tapi kedua orang tua Haruko tampak belum paham, kenapa Makoto tiba-tiba saja minta maaf. Mereka justru asyik menunjukkan foto masa kecil Haruko yang bersama Makoto kecil.


Haruko menjelaskan kalau Makoto adalah kenalan yang bekerja di sebelah kantornya. Makoto pun kembali minta maaf. Haruko yang kesal justru berbalik dan bersiap pergi lagi dengan alasan belanja, membuat Makoto makin tidak enak hati.


Tidak ingin kehilangan kesempatan, Makoto pun mengejar Haruko ke depan. Ia berniat memberikan kertas yang sudah dipersiapkannya semalam pada Haruko. Tapi urung dilakukan.


“Maaf tiba-tiba muncul tanpa pemberitahuan,” ujar Makoto, menghentikan Haruko di depan pintu.


“Ini pekerjaan bukan. Tidak perlu meminta maaf.”


“Ibumu tertarik dengan produk kami dan jadi ...” Makoto masih berusaha menjelaskan.


“Jika orang tuaku menginginkannya, maka itu tidak masalah,” potong Haruko cepat.


“Kamu suka sumo kan? Teman sekelasku adalah mantan pegulat,” Makoto mencoba mencari perhatian Haruko.


“Kamu sedang bekerja sekarang, bukan?” sindirnya. Ia pun benar-benar beranjak pergi.



Makoto pulang ke apartemennya sendiri dengan perasaan kacau. Situasi antara dirinya dan Haruko, bukan jadi lebih baik justru makin kacau.


Makoto mencoret-coret sejumlah catatan, “100 lagu hafal! Hei, apakah kamu mendengarkan? Hei! Keluar. Demi kebaikanmu!” ia mencari-cari si dewa. Tapi, malam itu dewa sama sekali tidak muncul.



Atasan Makoto mengumpulkan anak buahnya. “Jumat depan. Akan ada pertemuan bisnis. Berkumpul dengan karyawan kantor sebelah. Seperti yang kalian ketahui, mulai bulan ini mereka telah mengambil sebuah kontrak dengan kita. Atas nama persahabatan, untuk saat ini kita akan minum bersama.”


Tapi reaksi anak buahnya beragam. Ada yang berpikir kalau itu tidak ada gunanya. Tapi karyawan lain yang ngefans pada Mie, jelas bersemangat karena mereka akan punya kesempatan bertemu Mie.


“Partisipasi tidak diwajibkan, Tolong datang jika kamu mau. Terima kasih!” ujar sang atasan lagi.


Karyawan fans Mie bersemangat. Mereka sudah berpikir bagaimana caranya, agar Mie nanti duduk di antara mereka. Mereka berpikir kalau pengaturan tempat duduk sangat penting.



Malam yang direncanakan pun tiba. Seluruh anggota Welcome water lengkap datang. Tapi ... dari kantor sebelah yang datang ternyata hanya sang bos wanita. Ia tampak tidak nyaman dengan situasi itu. Tapi ia berusaha kerasa menutupinya.


Sementara itu, dua orang fans Mie menarik sang bos sedikit menjauh. Mereka protes karena situasinya justru kacau seperti ini. Dan mereka curiga kalau karyawan lainnya memang tidak akan datang.


Sementara itu, Makoto yang sejak tadi menahan nafas akhirnya justru bisa bernafas lega. Ia lega. Kalau karyawan itu tidak datang, artinya ia juga tidak akan bertemu Haruko. Situasi antara mereka masih canggung karena insiden kemarin.



Setelah memastikan tidak ada orang lain lagi yang datang, acara minum bersama pun dimulai. Karena hanya sedikit orang, mereka pun berbagi meja lebih longgar. Makoto pun pindah ke meja seberang.


“Bolehkah Aku bertanya sesuatu yang sedikit aneh?” tanya si karyawan wanita pada Makoto. “Apakah Kamu percaya pada takdir?”


Makoto kaget ditanya seperti itu, “Takdir? Aku kira Aku percaya.”


“Sungguh?!” si karyawan wanita makin bersemangat. “Sebenarnya Aku pikir takdir itu menarikku ke arah seseorang. Seperti yang kamu tahu, warna kesukaanku adalah merah gelap. Orang ini memakai kaus kaki merah gelap setiap hari.”


“Kaus kaki merah gelap ...” Makoto berpikir dan mencari. Dan ia menemukan kalau si pemakai kaos kaki merah gelap adalah rekannya yang botak.


“Dia memiliki nama yang sama dengan Anjing orangtuaku,” lanjut si karyawan wanita. “Restoran kari favorit kami sama. Ulang tahun kami hanya berbeda dua hari. Ponsel kami berbeda warnanya tapi modelnya sama. Aku golongan darah A dan dia O, yang merupakan kompatibilitas terbaik.”


“Karena ini takdir, maka aku mendukungmu!” ujar Makoto kemudian.


BERSAMBUNG


Sampai jumpa di I'm Your Destiny episode 03 part 2.


Pictures and written by Kelana