Fan Fiction : Sakura [part 1]

11.00.00 11 Comments
Main Cast:
Sakura, CN Blue – Jung Yong Hwa, CN Blue – Kang Min Hyuk, CN Blue – Lee Jong Hyun, CN Blue – Lee Jung Shin, Manager CN Blue
Note: FF ini murni fiksi. Jika ada kesamaan karakter atau alur cerita, bukanlah karena kesengajaan.

2012, awal Mei
Mianheyo,” ujarnya. “Aku tidak tahu ada orang disini,” pria itu merasa malu setelah sesaat sebelumnya berteriak dan bergerak tidak karuan meregangkan tubuhnya. Ya, pria itu dan beberapa rekannya baru saja kembali dari tour konser mereka.
Aniya, tidak masalah,” ujar gadis itu maklum, sambil tersenyum.
“Ah, apa kau baru disini? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya,” ujar pria itu sambil duduk di bangku kosong sebelah tempat gadis itu duduk sebelumnya.
Gadis itu tidak menjawab pertanyaan si pria. Ia hanya tersenyum simpul, senyum misterius yang manis.
“Kenapa kau datang kesini?” tanya si gadis kemudian.
“Kau tahu aku kan?” tanya si pria balik.
“Tentu saja. Ini gedung FNC academi dan jelas kau ini salah satu dari bintang itu, Jung Yong Hwa-sshi. Apa aku harus menyebutkan yang lainnya?”
Yong Hwa tertawa. “Ternyata kau banyak bicara juga.”
Pipi gadis itu kembali tersenyum memerah. Ia menunduk, sesaat kemudian mengalihkan pandangannya ke atas. Langit gelap dengan hanya beberapa kelap-kelip yang tampak nyaris hilang pula. Angin semilir memainkan rambut gadis itu yang tidak terikat seluruhnya, menyibakkan aroma wangi khas yang misterius.
“Kau suka datang kesini?” tanya Yong Hwa, yang hanya dijawab anggukan oleh gadis itu. “Apa yang kau suka dari tempat ini?”
Gadis itu tampak berpikir sejenak, “Malam, langit luas, bintang, angin dan ... suasana tenang,” akunya.
“Kau benar-benar punya selera humor yang bagus.”
Gadis itu hanya tersenyum menanggapi ucapan Yong Hwa.
“Oya, meski udara mulai hangat, tapi sebaiknya gunakan pakaian tebal,” kritik Yong Hwa atas baju gadis itu yang hanya selapis tanpa tambahan lain. “Aku turun dulu,” pamitnya. Yong Hwa melirik sekilas pada gitar yang disandarkan di kursi sebelah tempat gadis itu duduk.

2012, pertengahan Mei
Yong Hwa kembali menyambangi atap gedung baru FNC ini. Meski bagi mereka ini gedung baru, tapi sesungguhnya gedung itu sudah cukup lama berada di area Chongdangdeom ini. Tidak seperti sebelumnya, kali ini Yong Hwa membawa dua buah cangkir berisi kopi panas di tangannya. Sampai di atap, Yong Hwa melihat sekeliling, mencari keberadaan gadis itu.
“Kau mencariku?” sebuah suara tiba-tiba muncul dari belakang Yong Hwa.
Yong Hwa kaget dan berbalik, “Ya! Kenapa kau mengagetkanku?”
Mianheyo,” ujar gadis itu.
Tanpa diperintah, kedua orang itu duduk di kursi yang sama tempat mereka pertama kali bertemu sebelumnya. Yong Hwa mengulurkan salah satu kopi panas dari tangannya. Dan tanpa sengaja tangan Yong Hwa menyentuh tangan gadis itu.
“Tanganmu dingin sekali,” kritik Yong Hwa lagi, dan jawaban gadis itu lagi-lagi hanya sama, tersenyum. “Bukankah sudah kukatakan untuk memakai pakaian tebal?” Yong Hwa melepaskan jaket yang digunakannya, lalu meletakkannya di tubuh gadis itu.
Gomawoyo,” ujar si gadis.
Yong Hwa melirik gitar yang yang ada di samping gadis itu. Gitar yang sama di tempat yang sama, seperti saat pertemuan pertama mereka.
“Apa kau suka memainkannya?” tanya Yong Hwa sambil menunjuk gitar itu.
Gadis itu menjangkaunya dan meletakkannya di pangkuannya. Sebuah gitar warna coklat dengan beberapa lecet di sekitarnya. Tapi sekilas pun Yong Hwa tahu, kalau gitar itu terawat dengan baik. Gadis itu membelai benda berlekuk eksotis itu, “Kau mau memainkannya untukku?” tanya si gadis.
“Wah, kau harus bicara dulu dengan manajerku, sebelum aku naik panggung dan bernyanyi,” goda Yong Hwa. “Aku bercanda.” Ia pun mengambil gitar yang disodorkan gadis itu. “Kau mau mendengar lagu apa?”
“Apapun yang kau sukai,” ujar si gadis.
Yong Hwa meletakkan jari-jarinya di atas senar benda eksotis itu. Sesaat kemudian petikan terdengar, lembut tapi ... menegaskan sebuah perasaan. “Aku tengah merindukan seseorang,” aku Yong Hwa. Lalu petikan dan suara khas Yong Hwa menyanyikan Because I Miss You pun terdengar menyemarakkan malam itu. Angin yang biasanya tidak bersahabat pun mengalir pelan diantara kedua anak manusia ini.
Gadis itu bertepuk tangan pelan setelah Yong Hwa mengakhiri petikan gitarnya, “Apa kau merindukannya?” tanya gadis itu, mengacu pada orang yang pernah menjadi partner peran Yong Hwa di serial tahun lalu.
“Apa kau suka?” tanya Yong Hwa mengelak dari pertanyaan tadi, yang diiyakan dengan anggukan gadis itu. “Sebelumnya aku tidak pernah kesini. Tapi belakangan entah kenapa aku merasa ingin menyambangi lantai paling atas gedung ini. Dan ternyata ini menyenangkan. Suasana tenang, semilir angin dan juga langit yang luas. Aku merasa bisa jauh dari hiruk pikuk Seoul, meski hanya ada beberapa lantai di atasnya. Dan lagi, aku bosan di studio,” cerita Yong Hwa.
Gadis itu kembali hanya tersenyum, “Aku juga menyukainya. Ini tempat paling damai yang pernah kutemui.”
“Apa kau punya seseorang yang kau rindukan?” tanya Yong Hwa.
“Kau punya seseorang seperti itu?” tanya gadis itu balik.
“Aish, kau ini. Bukankah sudah kukatakan tadi,” elak Yong Hwa. Ia berdiri, kembali meregangkan tubuhnya. Sebenarnya tahun ini jadwalnya tidak terlalu padat. Ia bahkan sering ditinggal member lainnya untuk pengambilan gambar di serial mereka. Tapi tetap saja, berkutat di studio kadang membuatnya bosan juga.
“Ya. Aku punya seseorang seperti itu. Ia memiliki wajah yang sama denganku. Tapi tinggal di tempat yang sangat jauh. Dan aku tidak bisa menemuinya,” cerita gadis itu.
Yong Hwa berbalik, “Kenapa?”
Gadis itu tidak memberikan jawaban apapun. Ia malah beranjak berdiri, dan mengambil gitarnya. Gadis itu hendak beranjak pergi, tapi sesaat kemudian ia berbalik, “Bisakah kau berikan ini padanya? Ia yang memiliki wajah yang sama denganku,” pinta gadis itu sambil menyodorkan beberapa lembar kertas berisi partitur musik, kemudian berbalik dan menghilang di balik pintu.
Entah kenapa Yong Hwa tidak bisa menghentikan gadis itu, bibirnya kelu. Baru setelah gadis itu benar-benar lenyap di balik pintu, Yong Hwa bisa mengeluarkan suaranya kembali, “Tunggu!” Yong Hwa memandang heran pada partitur musik di tangannya. Kertasnya nyaris menguning, membuktikan ia sudah dimakan usia. Tidak ada judul yang tertulis di bagian atas kertas itu. Tapi di bagian kanan bawah ada sebuah tanda tangan, dan terbaca ... Sakura.

2012, (masih) pertengahan Mei
“Hyung! Bangun, Hyung! Apa yang kau lakukan disini?!” cecar Min Hyuk mengguncang-guncangkan tubuh Yong Hwa.
Yong Hwa menggeliat pelan. Kesadarannya mendadak pulih dengan cepat, menyadari dirinya masih berada di atap gedung FNC academy. Jung Shin dan Jong Hyun menyusul kemudian mendekat.
“Kenapa kau semalam tidak pulang? Kami pikir kau tinggal di studio, tapi ternyata malah ada disini,” sambung Jong Hyun.
“Aku tidak pulang? Bukankah semalam aku di studio?” gumam Yong Hwa heran sendiri.
“Aish, kau ini Hyung. Usiamu belum tigapuluh, tapi kenapa kau sudah mulai pikun,” ujar Jung Shin.
Yong Hwa duduk tegak di bangku. Ia mendapati jaketnya menutupi tubuhnya. Dua cangkir kopi dingin yang masih utuh dan kertas berisi partitur musik tergeletak di sampingnya. Ia berusaha mengembalikan ingatannya semalam, “Apa kalian bertemu dengannya?” tanya Yong Hwa.
“Dia siapa? Kami menemukanmu disini sendirian, Hyung,” ujar Min Hyuk.
“Dia, seorang gadis. Wajahnya teduh dan ... sedikit pucat,” ucap Yong Hwa.
“Aish, kau ini Hyung. Berhentilah mengigau, kau harus segera bangun. Ini sudah pagi. Jadwal lain sudah menanti kita,” ujar Jong Hyun mengingatkan.
Yong Hwa tidak punya pilihan. Ia pun menuruti teman-temannya yang turun dari atap FNC academy. Mereka membawa Yong Hwa ke kantin dan makan pagi bersama. Secangkir kopi panas cukup membuat kesadaran Yong Hwa kembali sepenuhnya. Setelah sempat pulang ke apartemen untuk membersihkan diri, Yong Hwa dan yang lain kembali dengan kesibukan mereka. Hari ini pun Yong Hwa kembali disibukkan dengan kegiatannya di studio.

2012, akhir Mei
Sebenarnya ini hari Sabtu, tapi entah kenapa Yong Hwa lebih memilih bekutat di studionya. Berbeda dengan rekan-rekannya yang memilih menikmati libur dengan tidur sepuasnya di asrama (Min Hyuk dan Jung Shin) atau Jong Hyun yang lebih memilih menikmati liburan bersama seseorang yang sedang dekat dengannya, Yong Hwa lebih suka mengurung diri di studio. Kemarin malam ia kembali ke atap gedung FNC itu. Tapi gadis manis berwajah pucat itu tidak muncul. Semalam saat Yong Hwa kembali lagi, bahkan menunggu hingga nyaris pagi, gadis itu tetap tidak muncul.
Yong Hwa teringat dengan partitur lagu yang pernah diberikan gadis itu padanya. Ia mencari di sela-sela kertas yang bertebaran di meja ruangan studio itu. Beberapa kali mencari, Yong Hwa masih belum menemukannya. Ia nyaris menyerah saat tanpa disangka, kertas itu menyembul diantara piringan hitam di rak lain. Yong Hwa sendiri tidak ingat pernah meletakkannya disana. Bergegas itu mengambilnya sambil tidak lupa menjangkau gitarnya.
Yong Hwa memandangi not-not di partitur itu. Tidak ada syair di bawahnya. Pelan, ia mulai memetik senar gitarnya mengikuti alunan nada di partitur itu. Tidak butuh waktu lama bagi Yong Hwa untuk larut dalam petikan gitarnya sendiri. Emosi dan kerinduan terasa begitu tegas dalam tiap nada yang muncul. Kerinduan yang panjang, gelap dan menguras emosi. Kerinduan yang begitu ingin diselesaikan tapi sayangnya tidak pernah tersampaikan.
Yong Hwa menjangkau pensil dari mejanya. Kata demi kata bermunculan di otaknya. Cepat ia menuliskannya di bawah tiap nada dalam partitur musik itu. Cekatan dan pasti, syair lengkap sudah selesai dibuatnya. Yong Hwa merasakan sensasi kelegaan luar biasa. Ia kembali menjangkau gitarnya dan mulai memetiknya, lengkap dengan syair yang baru saja di selesaikannya.
“Yong Hwa-yah?!” ujar sebuah suara tiba-tiba.
Yong Hwa kaget, “Manager-Hyung, kau mengagetkanku.”
“Itu, apa yang sedang kau lakukan?” tanya manager dengan tatapan nanar, sambil menunjuk partitur di depan Yong Hwa.
“Ah ini. Seseorang memberikannya padaku. Kupikir ini bagus, jadi aku membuat syairnya. Aku berniat memberikannya kembali pada orang itu. Tapi aku belum menemuinya lagi,” aku Yong Hwa.
“Apa kau tahu siapa dia?” tanya manager lagi.
Yong Hwa menatap managernya dengan heran. Ia mengambil partitur itu dan menunjukkan ujung kanan bawahnya, “Namanya Sakura.”
“Tunggu sebentar!” pinta Manager pada Yong Hwa. Ia beranjak ke ruangan lain meninggalkan Yong Hwa yang menatapnya dengan heran.
Tidak lama setelahnya manager kembali. Ia membawa sebuah kaset rekaman, dan berniat memutarnya. Pelan, tapi tidak ada suara yang keluar dari benda itu. Manager mengeluarkan kaset itu, tapi merasa tidak ada yang aneh. Ia pun memasukkannya lagi. Tapi saat diputar, tetap tidak ada suara yang keluar.
Yong Hwa yang keheranan ikut mendekat. Ia meminta kaset itu dari managernya, kemudian mencoba memutarnya lagi. Pelan, lama ... akhirnya terdengar suara dari sana. Petikan gitar yang pelan dan lembut. Nada yang sama dengan yang baru saja tadi dimainkan oleh Yong Hwa.
“Hyung, apa maksudnya ini?” tanya Yong Hwa keheranan menatap managernya itu.
“Dimana kau menemuinya?” tanya manager lagi.
“Atap,” aku Yong Hwa.
“Apa yang kau rasakan?”
“Aku tidak mengerti, Hyung. Memangnya ada apa dengannya? Bukankah dia salah satu staf disini?” tanya Yong Hwa lagi.
“Maksudku, apa kau merasakan hal yang ... ah bagaimana menjelaskannya. Seperti apa dia?” tanya manager lagi.
“Dia ... “ Yong Hwa terdiam berpikir, “Wajahnya teduh, sedikit pucat. Ia juga jarang bicara. Tatapannya sedikit misterius, sulit dijelaskan. Entah berapa kali kukatakan, ia bahkan mengenakan pakaian tipis di musim seperti ini. Dan ... “
“Apa lagi?” manager semakin penasaran.
“Tidak sengaja aku menyentuh tangannya saat kuberikan kopi padanya, tangannya sedingin es,” ujar Yong Hwa lagi. “Kau kenapa, Hyung?” Yong Hwa menatap heran pada managernya ini.
Manager menghembuskan nafas berat sebelum memulai ceritanya, “Aku sendiri tidak yakin. Tapi apa kau pernah menemuinya lagi?”
“Aku bertemu dengannya dua kali. Pertama saat aku sedang meregangkan badan di atas, kedua aku sengaja naik keatas untuk menemuinya,” aku Yong Hwa lagi. “Tapi sudah dua hari ini setiap aku naik untuk mencarinya, dia tidak pernah muncul lagi. Beberapa kali kutanyakan juga pada staf di bawah, tapi tidak ada yang mengenalnya. Bukankah itu aneh Hyung?”
“Aku sendiri tidak yakin dengan cerita ini. Tapi begitulah yang kudengar dari pemilik gedung. Sebelum kita pindah kesini, gedung ini digunakan juga sebagai tempat training sebuah agensi. Setelah mereka pindah, pemilik gedung merenovasi kembali sehingga seperti sekarang ini. Dulu ada seorang gadis asal Jepang yang menjadi trainee di agensi itu. Entah karena kelelahan atau tidak tahan dengan semua tekanan trainee, ia ditemukan meninggal di atap gedung. Sebelumnya banyak yang melihat gadis itu termenung sendirian di atas, menatap ke bawah, seolah berniat bunuh diri. Tapi akhirnya gadis itu ditemukan meninggal seperti tengah tertidur di banggu, dengan gitar kesayangannya di sampingnya. Aku takut kalau yang kau temui adalah gadis itu. Karena beberapa kali ada yang melihat silhuet gadis itu, bahkan setelah ia meninggal.”
Yong Hwa terpekur kaget dengan cerita managernya itu. Otaknya berusaha mencerna, dimana letak kelogisan cerita itu. Tapi hatinya mengingkari kalau yang ia temui bukan hal nyata, “Kau pasti bercanda, Hyung. Mungkin yang kutemui ini orang lain, salah satu staf atau bahkan malah trainee baru disini. Buktinya ia memberikanku partitur musik ini, dan masih ada sampai sekarang. Bukankah ini nyata.”
Manager menghela nafas, “Bukankah sudah kukatakan, aku sendiri tidak yakin. Tapi kaset rekaman ini juga buktinya,” ujar manager mengeluarkan kaset itu dari pemutarnya. “Benda ini diberikan oleh pemilik gedung karena agensi lama yang dulu memakai gedung ini tidak membereskan semua barang-barang mereka. Dia mengatakan kalau rekaman ini milik seorang trainee yang aku ceritakan tadi. Aku pernah memutarnya saat pertama kita pindah kesini, karena kupikir ini menarik, aku menyimpannya. Aku sendiri tidak yakin dengan kebenaran ceritanya. Tapi memang begitulah.”
Yong Hwa masih berkeras, “Mungkin saja ada orang lain yang juga memiliki copynya, gadis yang memberikan ini padaku.”
“Aku tidak memaksamu mempercayainya. Tapi kau harus hati-hati, jangan sampai kita terlibat masalah hak cipta,” ujar manager mengingatkan.
To be continue ... sampai jumpa di part 2

Kelana’s note:
Fan fiction ini terinspirasi dari lagu Blue Sky

Writen by Kelana
posting at  www.elangkelana.com

(Flash Fiction) Maaf, Bi

07.27.00 0 Comments

Jika aku harus melepaskanmu, maka aku hanya akan melepaskanmu dengan kejujuran.
Kubaca dan kupandangi sekali lagi tulisan di layar 10inch di depanku itu. Memastikan semuanya jelas, tegas dan tidak perlu definisi lagi. Setelahnya aku menutupnya. Kutarik nafas panjang, sebelum kugerakkan jariku pelan. Pelan, sangat pelan. Hingga akhirnya kutekan tombol submit disana. Dan oh wow, tiba-tiba saja segerombolan kupu-kupu seakan mendesak keluar dari perutku. Kurutuki diriku sendiri. Secepat mungkin kututup akun sosial media itu, lalu mematikan si layar 10inch. Satu lagi, kumatikan juga ponselku.
Setelahnya kutarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang menggigil. Tidak dingin memang, tapi aku menggigil. “Apa yang sudah kulakukan?” bisikku berkali-kali. “Apa esok aku masih punya keberanian bertemu muka dengannya?” Kurebahkan tubuhku dan kupaksa mata ini terpejam, tapi tetap saja sulit. Akhirnya kupaksakan diri mematikan lampu kamar. Aku sendiri tidak ingat, hingga akhirnya kapan aku benar-benar beranjak ke dunia mimpi.
Kau ingin tahu apa yang terjadi? Baiklah, akan kukatakan dengan singkat. Aku mengirimkan pesan di sosial media pada seseorang yang sekian lama kukagumi. Sayangnya dia sudah memiliki kekasih. Ah lebih tepat, gadis itu yang merebut kesempatanku bersamanya. Apa aku kejam menyebut ini? Lalu, kenapa aku berkeras untuk mengatakan isi hatiku padanya, padahal ia sudah bersama yang lain? Karena aku ingin melepaskannya. Aku ingin melepaskannya dalam kejujuran. Karena aku tidak ingin waktuku berhenti pada saat aku tidak bisa mengatakan isi hatiku padanya.
Sebelum pagi, aku sudah terbangun. Entah oleh mimpi apa. Kunyalakan ponselku. Tidak lama setelahnya, sebuah pesan masuk. Gemetar aku membukanya. Pesan darinya, berjam-jam tadi.
Bi, ... maaf belum bisa membalas pesanmu. Komputerku sedang dipakai.
Bi?
 
Picture and written by Kelana

Met Iedul Fitri

08.04.00 6 Comments
gomene ... agak telat ya, hehehe
Kelana cuma pengen mengucapkan selamat idul fitri
mohon maaf lahir batin
terimakasih untuk kawan2 yg sudah setia maen2 ke blog kelana
semoga ga kapok dan sering2 balik, hehehe
Shinichi dkk jg mengucapkan mohon maaf lahir dan batin ya guys ^_^
Kuroba Kaito : "Huaaa ... es krim gw!"
Saguru Hakuba : "Wadow, gimana nih bro?!" linglung.
Kudo Shinichi : "Hattori, elo tu rese banget sih!"
Hattori Heiji : "Eh elo kyak kgak ngerti gw aja sih Kudo." puk puk (ngelus2 kepalanya si Kudo)


Gosho's boys

11.38.00 6 Comments
Did U know 'em guys?
Yes, they were our precious guys among other, hahaha
It just coming on my friend profile, and I took it
Gommene my friend, but Sangkyu so much
Which one do U like most?
I like all of them, but I like Kaito and Shinichi so much
Wait the girls version
^_^
(from left to right) Saguru Hakuba, Kudo Shinici, Kuroba Kaito, and Hattori Heiji
 


Fan Fiction : Apa kau suka musikmu?

11.33.00 0 Comments

Author: Elang Kelana
Rating: T
Genre: romance
Main Cast:
-  Adistya Sekar / Hana
-  CN Blue – Kang Min Hyuk
-  CN Blue – Lee Jong Hyun
-  CN Blue’s first bassist – Kwon Kwang Jin
-  CN Blue – Jung Yong Hwa
-  CN Blue – Lee Jung Shin
Note: FF ini murni fiksi, yang terinspirasi dari masa trainee CN Blue di Jepang. Jika ada kesamaan karakter atau alur cerita, bukanlah karena kesengajaan.

Suatu hari di awal musim semi 2009
Ini musim semi pertamaku di negeri sakura. Meninggalkan negeri sendiri demi cita-cita itu ... melelahkan sekaligus menyenangkan.
Depan stasiun Akihabara sudah mulai ramai. Musim semi memang baru saja mulai beberapa hari yang lalu. Dan merah muda kelopak sakura masih memenuhi jalanan Tokyo. Meski tidak di semua tempat, tapi atmosfer semangat musim semi terasa semakin hangat.
Sebenarnya aku hanya berniat jalan-jalan sebentar. Seharusnya aku bersama teman satu asramaku Alice yang datang dari Australia. Tapi dia sudah lebih dulu asyik bersama kekasih Jepangnya. Dan akhirnya, aku pun sendirian. Kurapatkan jaket yang kukenankan, karena meski sudah mulai musim semi, hawa disini masih cukup dingin untuk ukuran orang seperti aku yang terbiasa hidup di negara tropis.
Berbagai kerumuman di depan Akihabara banyak menyita perhatian para pejalan kaki senja ini. Memang bukan hal aneh kalau banyak grup musik atau sekelompok dancer yang melakukan performnya disini. Selain sambil melatih kemampuan mereka, ini juga salah satu cara bagi mereka untuk menunjukkan eksistensi mereka.
Wake me up, when september end ...
Tanpa kusadari, gebrak drum dan suara gitar itu menarik perhatianku. Kulangkahkan kaki mendekat di salah satu kerumunan kecil di sudut jalan. Kutemukan sekelompok anak muda berjumlah empat sedang memainkan alat musik mereka. Meski senja semakin pekat, sekilas aku masih bisa melihat wajah mereka. Iseng kukeluarkan cam-dig dan mulai merekam mereka. Satu lagu selesai dimainkan. Jika biasanya aku akan cepat-cepat beranjak setelah lagu pertama usai, kali ini entah kenapa kakiku masih belum mau beranjak. Lagu kedua pun mereka mainkan. Kali ini dinyanyikan oleh personil yang lain, Geek in The Pink. Menurutku suaranya tidak terlalu mencolok seperti vokalis pertama tadi, tapi entah kenapa ia seperti magnet yang mampu membuatku bertahan dan menikmati setiap petikan gitarnya. Dan aku tidak tahu siapa mereka.
***
Suatu hari di bulan Oktober 2009
Hari menjelang senja. Tapi jalanan Tokyo seperti tidak pernah mati. Malam yang semakin membalut, membuat suasana malah semakin meriah. Gemerlap lampu jalan dan toko di sepanjang jalan, lalu perform musik yang bisa dilihat di banyak tempat.
Di salah satu sudut Tokyo ...
“Hyong, kau yakin kita akan tetap tampil?” rengek Min Hyuk sambil menyeret tas besar berisi peralatannya.
“Berhentilah protes. Kalau kita tidak tampil, bagaimana kita bisa membeli makan malam dan sarapan besok. Bertahanlah sebentar lagi,” Jong Hyun berusaha menenangkan rekannya ini. Ia melirik ke rekan satu grupnya lagi, Kwang Jin. Berbeda dengan Min Hyuk, Kwang Jin tidak banyak protes.
Malam itu seperti biasa mereka akan melakukan perform di salah satu cafe. Tidak jauh berbeda dengan musisi Jepang lain, mereka harus melakukannya dari cafe ke cafe dan bersaing mendapatkan tempat. Tanpa ponsel dan juga uang saku yang berlebih, mereka tidak punya pilihan lain selain melakukan ini. Sayangnya malam ini mereka tidak bisa berjalan lebih cepat untuk mencapai cafe itu karena padatnya jalanan oleh orang-orang yang mulai menimati malam.
Tapi malam ini rupanya dewi keberuntungan tidak memihak pada ketiga lelaki tanggung itu. Setelah memeras tenaga bersusah payah untuk tiba di cafe itu, tempat mereka sudah diisi oleh musisi lain. Meski sudah punya satu mini album indie, mereka masih tetap harus mengamendari cafe ke cafe untuk memiliki uang saku.
Min Hyuk semakin lesu, “Hyong!” protesnya lagi. “Kalau saja Yong Hwa Hyong ada disini, kita pasti tidak akan kelaparan,” Min Hyuk kembali mengeluh sambil menyeret tasnya yang terasa semakin berat.
Jong Hyun menghembuskan nafas berat, “Bisakah kau berhenti protes? Jangan terus mengandalkan Yong Hwa Hyong untuk urusan seperti ini. Hyong ada di Korea sekarang pun bekerja. Dia yang bekerja, tapi kita ikut menikmati hasilnya. Aku kasihan padanya. Karenanya aku tidak ingin kita bertiga diam saja hanya menikmati hasil kerja keras Yong Hwa Hyong.”
“Benar yang dikatakan Jong Hyun Hyong. Kita juga harus belajar mandiri. Sekarang kita cari tempat lain saja,” hibur Kwang Jin.
Ketiganya tidak punya pilihan lain. Mereka harus pergi dan mencari tempat baru. Meski tidak akan sama ketiga manggung di cafe, paling tidak mereka akan bisa punya uang untuk makan malam. Jong Hyun melihat sekeliling yang sudah ramai. Ia memutuskan mengajak kedua rekannya ini menyeberang jembatan ke sisi lain. Mereka akhirnya menemukan sebuah tempat cukup lapang untuk perform. Min Hyuk menurunkan peralatannya, diikuti Jong Hyun dan Kwang Jin yang mengeluarkan gitar mereka. Tidak butuh waktu lama, ketiganya sudah melebur dalam musik mereka.
Lagi-lagi dewi keberuntungan belum memihak pada mereka. Hanya sedikit orang yang berkerumun di sekitar mereka. Jong Hyun melihat sekeliling, tapi tiap kali dia selalu melihat orang yang berbeda. Tidak banyak orang yang bertahan menyaksikan perform mereka malam ini. Setelah menyelesaikan lagu ketujuh, ketiganya akhirnya berhenti karena kelelahan. Orang-orang yang berkerumun pun bubar, dan menyisakan satu orang saja, seorang gadis.
Jong Hyun mendekati gadis yang sejak tadi berdiri tanpa beranjak sedikitpun selama mereka perform malam itu, “Sumimasen. Terimakasih sudah melihat pertunjukkan kami. Tapi kami harus segera pulang,” ujarnya dalam bahasa Jepang.
“Ah benar,” gadis itu tampak kaget. “Aku larut dalam musik kalian, sampai tidak menyadari kalau kalian sudah selesai,” aku gadis itu.
“Benar, kau menyukai musik kami?” serobot Min Hyuk tiba-tiba berdiri di sebelah Jong Hyun.
Gadis itu tersenyum lalu mengangguk, “Mm, aku menyukainya. Suka sekali. Apa kalian membuat lagu kalian sendiri?”
“Ya, yang berbahasa Jepang lagu kami sendiri. Selain itu ... kau pasti tahu,” ujar Jong Hyun sambil memasukkan gitarnya dan mulai mengepak peralatan mereka.
Sementara Min Hyuk masih berdiri dengan wajah mupeng di depan gadis itu. kruyuk kruyuk, rupanya suara perut kelaparan Min Hyuk membuat mereka berempat terpekur dan saling menatap. Hingga akhirnya pecah menjadi tawa.
Sumimasen,” Wajah Min Hyuk tampak kemerahan menahan malu.
Gadis itu berusaha menahan senyumnya, tapi akhirnya terlihat juga, “Ah benar, setelah ini aku akan makan ramen. Apa kalian mau ikut?” tawarnya.
Min Hyuk melihat ke arah Hyong-nya, begitu pula Kwang Jin. Tidak punya pilihan lain, mereka bertiga akhirnya mengiyakan tawaran gadis itu. Tidak jauh dari tempat mereka perform tadi, rupanya ada kedai ramen tradisional yang masih buka dan cukup ramai. Setelah meletakkan peralatan, mereka berempat duduk mengitari meja berpenghangat sambil menunggu pesanan datang.
“Namaku Adistya Sekar, tapi panggil saja Hana,” ujar gadis itu memperkenalkan diri. (Hana dalam bahasa Jepang juga berarti bunga)
“Aku Jong Hyun, ini adikku Min Hyuk dan Kwang Jin,” ujar Jong Hyun memperkenalkan diri dan kedua rekannya itu.
Tidak lama setelahnya pesanan mereka pun datang. Ramen dengan asap mengepul dan kuah panas menyita perhatian mereka. Tidak berapa lama keempatnya sudah asyik masyuk dengan makanan di hadapan mereka. Min Hyuk yang kelaparan bahkan sudah siap menyantap porsi keduanya. Hana pun tersenyum melihat ulah pemuda di depanya itu.
“Hana-san, maafkan sikap adikku,” ujar Jong Hyun merasa tidak enak.
“Tidak apa-apa. Kalian boleh makan sepuasnya. Semua aku yang bayar. Anggap saja sebagai ganti karena kalian sudah menghiburku malam ini,” ujar Hana lagi.
“Hana-san, sepertinya kau bukan berasal dari Jepang?” tanya Jong Hyun hati-hati.
“Benar. Aku memang tidak berasa dari Jepang. Aku datang dari Indonesia. Disini aku kuliah S2,” aku Hana.
“Luar biasa!” puji Min Hyuk masih dengan mulut penuh.
“Sekarang ceritakan tentang kalian,” pinta Hana.
“Ah kami ... kami berasal dari korea. Sebenarnya kami berempat, tapi satu lagi anggota kami, Yong Hwa Hyong sekarang sedang berada di korea. Kami masih trainee, dan disini sebagai band indie kami belajar musik dari musisi Jepang.”
“Jadi kalian ini musisi profesional? Wah luar biasa!” puji Hana.
“Benar. Kami berharap tahun depan kami bisa segera debut,” sambung Min Hyuk yang diiyakan oleh Kwang Jin.
“Sejujurnya aku tidak tahu banyak soal musik, tapi aku suka musik kalian. Ah benar, sepertinya aku pernah melihat kalian sebelumnya,” Hana tampak berpikir. “Benar! Akihabara! Apa kalian pernah perform di depan stasiun Akihabara di awal musim semi?” tanya Hana lagi.
Ketiga pemuda itu saling memandang. Sebelum akhirnya mengangguk bersamaan.
“Ah, jadi itu kalian. Rupanya aku sudah jatuh cinta dengan musik kalian sejak awal musim semi waktu itu. Lalu orang yang kalian panggil Yong Hwa-san juga ikut saat di Akihabara itu?” ujar Hana senang.
Ketiganya pun kembali mengangguk. Obrolan mereka malam itu semakin semarak. Hana sangat ceria dan punya banyak bahan pembicaraan, sehingga ketiga pemuda ini dengan leluasa ikut larut juga dengan obrolannya. Tidak terasa sudah nyaris pukul sepuluh malam. Hana pun pamit mohon diri untuk mengejar kereta.
“Hana-san, kau pulang sendirian?” tanya Min Hyuk khawatir.
“Tidak apa-apa. Aku akan pulang bersama teman satu asramaku. Kami berjanji temu tidak jauh darisini. Itu temanku,” ujar Hana menunjuk seseorang yang menunggu di seberang jalan. “Boleh kukatakan sesuatu?”
Ketiga pemuda itu mengangguk.
“Aku ingin melihat kalian lagi setelah debut nanti dan sukses. Entah kenapa aku merasa kalian akan menjadi musisi yang besar nanti. Jong Hyun-san, aku harap bisa kembali mendengar lagu-lagu yang kau ciptakan. Lalu kau Min Hyuk-san, aku ingin melihatmu di televisi dengan nafsu makanmu yang besar itu,” ucapan Hana kembali membuat Min Hyuk tersipu. “Dan kau, Kwang Jin-san,” Hana menghentikan ucapannya, “Kau tetap saja misterius. Sayonara... ah bukan, sampai jumpa,” Hana meralat kalimatnya, melambaikan tangan lalu beranjak pergi.
***
2013, sudut Tokyo
CN Blue baru saja menyelesaikan perform mereka malam itu. Setelah Yokohama di tahun lalu, tahun ini mereka datang kembali menyemarakkan industri musik Jepang.
“Min Hyuk-ah, kau ingat tempat ini?” tanya Jong Hyun saat mereka tengah berjalan-jalan untuk melepas lelah sebelum terbang kembali ke Korea. Jong Hyun merapatkan jaketnya.
Min Hyuk berhenti dan melihat tempat yang ditunjuk Jong Hyun, “Ah benar, Hyong! Dulu kita pernah perform disini. Kau diingat-ingat, kita bertemu gadis itu disini. Namanya .... ah aku lupa!”
“Hana, namanya Hana,” ujar Jong Hyun. “Dia mengucapakan sampai jumpa, tapi sampai saat ini kita belum bertemu dengannya lagi. Padahal aku sudah menepati janjiku untuk selalu membuat lagu. Apa dia masih ingat dengan kita?” gumam Jong Hyun lebih pada diri sendiri.
“Apa yang kalian bicarakan?” Yong Hwa ikut nimbrung.
“Ah, Hyong! Ini kenangan kita dulu. Seorang gadis ceria bernama Hana-san dan juga ... Kwang Jin,” Min Hyuk berkata pelan.
“Jepang memang selalu membawa kenangan lama,” komentar Yong Hwa.
Dari arah lain muncul Jung Shin yang berlari kecil. Rupanya ia baru saja keluar dari toko membelikan ketiga Hyong-nya ini minuman dan makanan kecil. Keempatnya lalu menikmati perjalanan senja itu sambil mengenang masa lalu mereka.
***
2013, Jakarta
Gadis itu duduk sendirian di salah satu sudut cafe dua puluh empat jam. Tangannya masih asyik mengetik di atas keyboard laptopnya. Sesekali kepalanya bergoyang mengikuti musik yang memperdengarkan gebuk drum dan petikkan gitar khas lewat headset di telinganya. Sepulang dari Jepang, ia memutuskan untuk melamar menjadi dosen di salah satu universitas. Tapi kesukaannya tidak pernah berubah. Kadang ia lebih suka asyik menikmati malam sambil menulis di sudut cafe dan mendengarkan musik.
“Aku senang melihat kalian sudah sejauh ini. Meski mungkin kita tidak berjumpa lagi, tapi aku bersyukur pernah bertemu kalian. Aku akan tetap melihat kalian darisini. Jong Hyun-san, Min Hyuk-san, Yong Hwa-san, Jung Shin-san dan Kwang Jin-san, meski aku tidak tahu kau berada dimana sekarang,” gumamnya pelan.
The end

Kelana’s note:
Perform CN Blue dengan lagu Wake me Up When September End dan Geek in the Pink memang benar-benar pernah dilakukan CN Blue saat mereka masih perform di jalanan sebagai band indie.
Cerita ini juga didedikasikan spesial untuk Kwon Kwang Jin, CN Blue’s first bassist.
Fan fiction ini juga diposting di blog pribadi Kelana, www.elang-kelana.blogspot.com
Picture and written by Kelana