SINOPSIS I’m Your Destiny 02 part 2

SINOPSIS dorama I'm Your Destiny episode 02 part 2. Masaki Makoto—30 tahun—sering gagal soal cinta. Dan atas saran seorang pria yang mengaku dewa, ia mengejar wanita yang dikatakan sebagai takdirnya, Kogetsu Haruko. Tapi, alih-alih mendekati Haruko, Makoto justru sibuk dengan ayah Haruko.



Makoto sudah nyaris emosi saat Dewa mengatakan kalau saat itu Sadaoka tengah tertidur di samping Haruko. Padahal maksudnya, Sadaoka dan Haruko minum bersama di bar, dan Sadaoka nyaris tertidur di sana.


“Tapi memang benar begitu, mereka minum bersama, dan sangat dekat. Dan biasanya dia akan langsung pulang ke rumah, Jarang sekali dia keluar begitu telat.”


“Ngomong-ngomong kau ada di pihak siapa?” Makoto kesal lagi.


“Emm... 6:4 untukmu kukira,” aku dewa lagi, justru membuat Makoto makin dongkol.


Entah serius atau bercanda, yang jelas dewa mengatakan kalau Makoto tidak perlu terlalu terburu-buru. Kedekatan Makoto sekarang dengan ayah Haruko juga ada untungnya.


“Tapi yang penting bukan apakah ayahnya menyukaiku, tapi apakah dia menyukaiku, benarkan?” pertanyaan sarkas Makoto.


“Tujuannya bukanlah untuk berkencan dengannya, tapi untuk menikah, memiliki anak dan menyelamatkan bumi,” elak dewa lagi.



Haruko baru tiba di rumah dan menemukan ayahnya tertidur di meja makan. Ia terpekik karena terkejut saat melihat kartu nama Makoto ada di meja, depan ayahnya. Ini membuat ayahnya terbangun. Ibu Haruko yang baru selesai mandi pun ikut bergabung.


“Kau cukup telat ya,” komentarnya melihat Haruko baru pulang.


“Ya, aku ngorbol dengan Mie,” aku Haruko.


Ibunya pun menawari Haruko teh. Tapi Haruko menolak dan mengatakan akan membuatnya sendiri.



Hari berikutnya. Haruko menunjukkan kartu nama Makoto dan bertanya apa maksudnya dan kenapa benda itu ada di rumahnya.


Makoto tidak tampak kaget sama sekali. Dia justru mencoba menjelaskannya dengan tenang, “Aku sedang melakukan sales trip dan aku juga terkejut nama di kartu bisnis yang diberikan padaku adalah Kogetsu (ayah Haruko). Aku bertanya-tanya apakah dia ayahmu.”


“Benarkah itu kebetulan?”


“Apakah kau kira bahwa aku pergi menemui ayahmu, karena aku sengaja?! Bukankah itu menguntit?” pertanyaan sarkas dari Makoto. Tapi ia kemudian kembali membahas soal takdir, kalau mereka memang selalu dipertemukan oleh takdir.


“Bahkan jika itu benar-benar kebetulan. Tolong jangan bicara tentang takdir,” protes Haruko.


“Ini benar-benar hanya berbicara tentang kemungkinan. Apakah kebetulan benar-benar datang? Satu demi satu seperti ini?”


Kali ini giliran Makoto bertanya soal konser musik klasik. Ia penasaran kenapa Haruko berdiri. Haruko mengaku kalau ada temannya yang bermain dalam konser itu. Itu jelas berbeda dengan alasan Makoto. Saat mendengar musik itu, Makoto kemudian teringat di masa SMA-nya. Saat itu Makoto yang kalah pada pertandingan penentuan bisball tengah tertunduk sedih sambil menutupi wajahnya dengan topi, dan ternyata Haruko-lah orang yang menyemangatinya. Tadinya Makoto berpikir kalau Haruko berdiri karena alasan yang sama dengannya.


“Apakah tidak biasa bertepuk tangan? Di akhir pertunjukan? Tidak ada situasi seperti itu yang bisa dianggap takdir,” elak Haruko.



Tapi Makoto tidak menyerah. “Saat sesuatu yang misterius terjadi, untuk menyangkalnya dan kau menemuiku? Apakah itu menyenangkan? Bila sesuatu yang tidak dapat kau perhitungkan terjadi apa kau benar-benar merasa cemas? Ketika aku berumur 5 tahun... Saat pertama aku bertemu denganmu. Ada sebuah pelangi besar dilangit. Kau menunjuk ke pelangi dan berkata. 'Aku akan menikahi orang pertama yang lewat ke bawah pelangi.' Makanya setelah itu, setiap ada pelangi muncul, aku akan berlari. Bahkan jika aku sedang bermain dengan teman, atau belanja dengan ibuku Ketika pelangi muncul, aku akan berlari sekuat tenaga. Aku bertekad untuk menjadi orang pertama yang lewat di bawahnya. Yah, tentu saja begitu aku mulai berlari, aku kehilangan pandangannya. Aku tidak pernah meragukan kata-katamu sedikit pun. Bahkan sekarang, aku masih sedikit percaya. Bagaimanapun, ini membuat hidup sedikit lebih menyenangkan.”


Tapi usaha Makoto belum benar-benar membuahkan hasil. Haruko memang ingat dengan kenangan masa kecilnya, saat bermain pasir di pantai. “Tidak apa-apa menikmati sendiri. Aku hanya bilang, jangan melibatkanku. Permisi,” ia pun memilih beranjak pergi.



Suasana makan malam keluarga Kogetsu. Kogetsu-san meminta istrinya memersiapkan cangkir untuknya. Ia mengaku butuh itu, karena di kantornya baru saja memasang ‘penyedia air’. Kogetsu-san pun menceritakan kalau mereka bisa membuat apa saja, seperti teh atau sup miso.


“Kita bisa menggunakan salah satu untuk di rumah. Mau punya satu?” Kogetsu-san menawarkan pada istrinya.


Haruko yang dari tadi hanya menyimak pembicaraan orangtuanya akhirnya buka mulut, “Kita tidak membutuhkannya, kita punya pemurni air.”


Tapi Kogetsu-san masih belum menyerah untuk promosi. Ia mengaku senang, karena saat mengambil air dari galon, maka akan muncul suara glug glug seperti bernafas.


Haruko lama-lama kesal dengan obrolan orang tuanya. Selesai makan, ia pun beranjak lebih dulu. Ibunya bertanya soal makan malam besok. Tapi Haruko mengatakan kalau ia punya rencana makan di luar. Mendengar jawaban putri mereka, Kogetsu-san mengusulkan kalau ia dan istrinya juga makan di luar saja besok.



Malam itu Makoto belum pulang. Ia memandangi kertas di mejanya. Ada banyak coretan di sana. Beberapa perusahaan yang sudah menolak tawarannya. Dan beberapa yang lain masih memertimbangkannya. Lalu Cuma ada satu yang sudah positif menerima tawarannya.


Makoto menghela nafas berat. Ia memandangi pengumuman soal bonus yang tertempel di dinding, “Apa yang sedang kulakukan!”



Hari berikutnya. Makoto sudah memersiapkan peralatan dan juga memasangkan galon dari perusahaannya ke kantor Kogetsu-san. Tampak Kogetsu-san begitu puas setelah mencoba minum dari sana, dingin maupun panas. Karyawan yang lain juga tampak antusias. Setelahnya Makoto juga memasang beberapa galon lain di kantor itu.


“Terima kasih sudah menggunakan jasa kami,” ujar Makoto pada Kogetsu-san.


“Aku mungkin bertanya lagi secara pribadi,” Kogetsu-san berbisik ke telinga Makoto. “Istriku, dia ingin satu juga. Jadi kami mempertimbangkannya untuk di rumah. Tapi kami hanya mempertimbangkannya, tolong jangan berharap terlalu banyak.”


Tapi diberitahu seperti itu saja, Makoto sudah sumringah, “Silakan hubungiku, jika kau memutuskan.”



Keberuntungan Makoto masih berlanjut hari itu. Setelah mengantar barang ke kantor Kogetsu-san, kontrak berikutnya datang dari kantor sebelah, tempat Haruko bekerja. Mereka yang tadinya baru mencoba selama satu bulan, akhirnya menandatangani kontrak langganan air minum dari perusahaan Makoto. Bos Haruko tampak sangat bersemangat saat menceritakan kalau karyawannya ternyata juga suka dengan air minum dari tempat Makoto.


“Aku membeli teh lezat pada waktu makan siang. Kau mau? Aku punya kue juga?”


“Ah, tidak tidak, teh saja cukup,” tolak Makoto.


“Aku membelinya terlalu banyak, jadi jangan sungkan. Itu karena salah satu karyawan kami ulang tahun hari ini,” ujar sang bos lagi.


Dan saat mereka berpaling, tampak para karyawan wanita itu tengah memberikan hadiah dan ucapan pada Haruko yang hari itu tengah berulang tahun. Makoto tertegun mengetahuinya. Ia teringat dengan ucapan dewa, kalau uang kali ini bisa jadi senjata ampuh untuk memenangkan hati Haruko.



“Apa rencanamu hari ini? Haruskah kita pergi makan enak? kita bisa mengundang Sadaoka-kun juga,” ujar Mie yang sengajat mendekat ke meja Haruko.


“Tidak ada rencana khusus. Tolong jangan, itu memalukan. Aku terlalu tua untuk merayakan ulang tahun,” tolak Haruko.


“Dan kupikir aku akan mentraktirmu.”


“Aku punya hadiah dan pikiran itu lebih dari cukup,” ujar Haruko lagi. “Perasaanmu sangat dihargai.”



Sementara itu, Makoto juga diberi ucapan selamat dari rekan-rekannya. Ternyata ia berhasil mendapatkan 10 kontrak baru yang paling bagus. Sang bos pun memberikan amplop bonusnya.


Tapi dasar teman-temannya tidak peka. Mereka sudah buru-buru mengusulkan ide kalau mereka akan makan BBQ malam itu. Padahal meski Makoto mengaku kalau ia sudah punya rencana soal uang bonus itu, mereka tidak mendengarkan. Mereka tetap berkeras, kalau kebahagiaan dibagi bersama. Artinya, Makoto harus menraktir teman-temannya. (ini toh alasan salah satu rekan Makoto malas mencari kontrak baru, soalnya pasti ditodong macam-macam gini ya)


Bukan Cuma tidak mendengarkan protes Makoto, mereka bahkan sudah bertindak cepat. Saat Makoto mengecek amplopnya, ternyata sudah kosong. Karena mereka sudah memesan tempat di salah satu resto BBQ yang bagus. Makoto benar-benar spechless dan tidak bisa berbuat atau berkomentar apa-apa lagi.



Malam itu, mereka benar-benar makan BBQ. Sementara rekan-rekannya yang lain sumringah menunggu daging dimasak, Makoto hanya bisa terdiam di mejanya. Ia beberapa kali meneguk minuman, tidak bisa berbuat apapun. Dan semua komentar rekan-rekannya benar-benar membuat Makoto dongkol dalam hati.


Tidak bisa berbuat apapun lagi, Makoto akhirnya menghembuskan nafas berat, “Baiklah, pakailah semua!”


Dan pesta berlanjut.



Kemana Haruko malam itu? Menolak tawaran Mie untuk makan malam bersama, Haruko justru datang ke sebuah resto sendirian. Ia tampak begitu menginginkan makanan di sana. Setelah memesan, Haruko pun mengambil tempat duduk. Setelah pesanan datang, Haruko masih sempat memotret makanan itu dan baru mulai makan.


Selesai makan, Haruko pun datang ke bar tempat ia biasa minum bersama Mie dan yang lain. Pemilik bar heran karena Haruko datang sendiri. Tapi Haruko memang ingin minum sendiri malam itu. Selesai minum, Haruko berjalan pulang sendirian. Di jalan, ia melihat sejumlah bunga. Haruko melirik bunga yang juga didapatnya dari teman-teman kantornya tadi. Hingga ...



Hujan tiba-tiba turun. Haruko pun bergegas mencari tempat berteduh. Ia baru saja membuka ponselnya saat dari seberang seseorang memanggil namanya. Ada Makoto juga juga ternyata sudah selesai pesta BBQ. Melihat Haruko berteduh, Makoto pun langsung punya ide. Makoto berlari ke supermarket terdekat dan membeli sebuah benda.


“Silakan,” Makoto menyodorkan payung pada Haruko. “Ah, aku harus mentraktir BBQ untuk orang. Jadi aku hanya punya sedikit kembalian. Sebenarnya, aku ingin memberimu sesuatu yang lebih baik. Hari ini ulang tahunmu, kan? Aku mengunjungi kantormu saat makan siang dan...” tapi Haruko buru-buru pergi. “Eh, tunggu. Tolong gunakan ini.”



Langkah Haruko terhenti. Ia menoleh ke belakang. DI seberang jalan, ternyata ada sekelompok atlet tengah merayakan ulang tahun salah satu rekan mereka, namanya Haruo. Sementara itu, Makoto berdiri di samping Haruko dengan payung terbuka.


“Itu kebetulan juga, kan?” tanya Haruko.


“Ya, itu kebetulan saja. Terkadang terjadi hal itu pada hari ulang tahun seseorang kau kebetulan mendengar seseorang dengan nama yang sama menyanyikan lagu 'Selamat Ulang Tahun.' Itu kebetulan yang kadang terjadi. Sungguh aneh ya?” komentar Makoto pula.



Haruko melihat taksi mendekat. Ia pun segera pergi untuk mencegatnya. Makoto pun ikut memayungi Haruko hingga ia membuka pintu taksi.


“Terima kasih untuk payungnya. Aku akan pulang kerumah,” ujar Haruko, berusaha sopan. “Selamat malam.”


Ditinggal Haruko seperti itu, Makoto tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia hanya bisa melambaikan tangan, melepas kepergian Haruko.


Sementara itu, taksi baru saja berjalan belum jauh saat Haruko meminta si sopir untuk berhenti. Haruko melihat ke arah luar. Ternyata supermarket tempat Makoto tadi membelikannya payung, memiliki gambar pelangi di atas pintunya dan bernama ‘Rainbow’. Haruko kaget, sekaligus tertawa geli sendiri, membuat sang sopir heran. Tapi Haruko kemudian meminta sopir berjalan lagi.



Makoto pulang ke rumah dengan sumringah. Ia menemukan dewa tengah menghias rumahnya. Makoto kesal karena si dewa ini bersikap seenaknya saja dan mulai mencopoti hiasan-hiasan di sana.


“Jika itu akan berubah seperti itu, aku lebih suka kau memberi tahuku sebelumnya. Itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan uang,” curhat Makoto.


“Jika aku sudah memberitahumu sebelumnya, itu tidak akan berhasil seperti itu. Takdir ini menjadi kenyataan, karena usaha yang kau lakukan.”


“Jadi begitu. Tapi pada akhirnya, dia sepertinya terlihat senang,” ujar Makoto lagi.


“Maukah aku memberitahumu sesuatu? sebagai hadiah atas kerja kerasmu? Didalam taksi, dia mendapat email ulang tahun dari Sadaoka-kun. Sainganmu bisa menghubungi dia kapan pun dia mau. Kau bahkan tidak memiliki kontaknya. Dengan kata lain, ini bukan waktunya kau untuk duduk diatas kemenanganmu,” dewa membuat kebahagiaan Makoto hancur seketika.


Dalam taksi, Haruko benar mendapat pesan dari Sadaoka. Di sana ada foto Sadaoka dengan gitar dan kaca mata. Lalu di bawah gambar itu pada pesan berisi lirik lagu yang diminta oleh Haruko bersama ucapan ulang tahun. Dan Haruko pun tersenyum senang mendapatkan hadiah seperti itu.


“Hadiah yang kau berikan padanya tidaklah buruk, tapi apa yang akan diingatnya sebelum dia tidur malam ini adalah hadiah yang diberikan Sadaoka padanya. Itu sayang sekali ya,” lanjut dewa lagi.


Dan malam itu, Haruko memang benar mendendangkan lagu yang diberikan oleh Sadaoka tadi saat ia mandi.



Pagi berikutnya. Sadaoka tiba-tiba mendatangi Makoto di depan gedung dan menyapanya.


“Apakah kau ingin datang untuk minum malam ini?” tawar Sadaoka.


“Eh, kenapa?” Makoto heran.


“Kita pernah berjanji sebelumnya, kan?”


“Ah, benar. Aku pikir tidak apa-apa,” Makoto pun setuju.


“Jika jadi pergi, bisakah aku mendapatkan nomormu? Aku akan mengundang Haruko juga. Sampa ketemu,” lanjut Sadaoka sebelum beranjak pergi.


Apa kau tahu mengapa dia saingan yang tangguh? Musim semi ini, dia menuju menjadi yang paling populer yang pernah dia alami dalam hidupnya. Bahkan saat biasa, dia 3 kali lebih populer darimu. Kau mengerti, jika kau berusaha setengah-setengah, kau tidak memiliki kesempatan. Hati-hati ya.


BERSAMBUNG


Sampai jumpa di I'm Your Destiny episode 03 part 1.


Pictures and written by Kelana

Tidak ada komentar: