Results for flash fiction

Flash Fiction – Maaf, katamu?! (inspired from Apologize - Timbaland ft. One Republic)


“Halo?”


“Maaf. Kita putus,” ujarnya dari ujung telepon. Setelahnya terdengar bunyi klik telepon ditutup.


sorry_15

“Halo?! Halo?! Diana?!” Aldi memandang layar ponselnya, tapi tidak ada tanda-tanda teleponnya masih terhubung. “Bren***k!” geram Aldi lalu membanting ponselnya ke lantai.


Tangannya tergenggam, dan tembok di depannya menjadi sasaran pukulannya. Aldi menggeram marah. Yang benar saja. Berani-beraninya Diana, kekasihnya itu memutuskan hubungan mereka lewat ponsel. Bahkan tanpa membiarkan sedikitnya dirinya bicara. Apa maksudnya ini?


Dua hari yang lalu ….


“Hai, Di, udah lama ya nunggu? Sorry, tapi ada kuliah tambahan. Kamu udah makan duluan ya?” sapa Aldi sambil melepaskan tas gendongnya dan mendaratkan tubuhnya di kursi depan Diana.


Diana mendongak sejenak melihat kekasihnya yang baru datang itu. Bibirnya hanya tertarik sedikit ke samping. Tidak ada senyum terkembang dan tawa renyah yang selama ini dia sodorkan saat Aldi, kekasihnya datang. Ya, seperti biasa mereka makan siang di kafe ini sepulang kuliah. Tapi, berbeda dari biasanya, kali ini Diana datang lebih dulu.


“Kamu kenapa, Di? Tumben nggak ada suaranya gitu?” Aldi heran.


“Al, ada yang mau aku omongin sama kamu,” ujar Diana pelan.


“Huh?” Aldi heran.



Hari ini …


‘Gila, loe bener-bener gila, Di! Apa maksudnya ini! Loe pikir masalah bakalan selesai kalau gini caranya, huh!” Aldi masih terus memuntahkan sumpah serapahnya sambil memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Hujan deras yang mulai turun di awal November pun tak dihiraukannya.


Sesaat Aldi merasa ada getaran di saku jeans-nya, ponselnya! Entah dari siapa. Tapi Aldi memilih tidak peduli. Hal yang paling ingin ia lakukan saat ini adalah menemui kekasihnya—atau mantan kekasihnya—Diana.


Tapi rupanya takdir berkata lain. Jalanan yang baru saja tersapu hujan yang pertama, memaksa ban sepeda motor Aldi bekerja keras menahan gesekan antaranya. Dan di belokan terakhir nyaris rumah Diana … brak!!! Ponsel di saku Aldi terlempar, bersamaan dengan tubuhnya yang tinggal separuh nyawa.


From : Diana


Aldi, maafin aku ya. Nggak bisa bareng kamu lagi


Aku harus memilih. Bukan karena aku nggak sayang kamu


Hanya saja, …


Baterai ponsel itu padam, seiring hujan yang semakin deras, dan hembusan nafas yang hilang, selamanya.


Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari http://www.nulisbuku.com  di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Bening Pertiwi 05.09.00
Read more ...

Flash Fiction – Hukum Newton


Bisa move on dari sesuatu yang nggak pengen diulang atau diingat lagi adalah hal keren. Tapi masalahnya, buat bisa ‘graduate’ dari hukum I Newton yang terlanjur ‘nemplok’ dengan manisnya itu nggak mudah. Sebutan lainnya, udah terlanjur lembam, jadi mau move on susah.




[caption id="attachment_3426" align="aligncenter" width="300"]Flash Fiction - Hukum Newton Flash Fiction - Hukum Newton[/caption]

Mungkin benar adanya, perlu gaya lebih besar supaya bisa move on, itu versi hukum II Newton. Kalau gaya yang elo punya besar, maka percepatan move on elo pun semakin besar. Sayangnya meski gaya elo besar, kalau massa kenangan elo terlanjur besar, maka percepatan move on elo pun akan melambat dengan sendirinya. Artinya rasanya bakalan lebih sakit dan susah buat bisa move on.


Nah sekarang kalau elo udah move on. Ternyata semakin besar aksi elo buat bisa move on, itu akan memenuhi hukum III Newton. Dimana reaksi yang elo dapat pun akan besar. Sayangnya reaksi yang elo dapat itu arahnya berlawanan dengan aksi yang elo lakukan. Alhasil move on pun kembali tertunda.


Sejujurnya gue nggak ngerti, kenapa Newton dulu menciptakan ketiga hukum ini. Apakah dulu juga Newton sedang galau saat menciptakan hukum ini? Atau kegalauan Newton tidak berujung lantaran dia juga nggak bisa move dari ketiga hukum ini? Entahlah. Mungkin kalau gue ketemu, akan gue tanyakan langsung aja ya.


#kalau ada yang Tanya ini apa, ini adalah tulisan aplikasi hukum Newton dalam kehidupan cinta manusia. Jadi, kalau elo masih cinta masa depan elo, sebaiknya jangan pernah aplikasikan hukum Newton ini dalam kehidupan cinta elo. Salam #gurufisikagelo

Bening Pertiwi 12.20.00
Read more ...

Flash Fiction – Enam Tahun (inspired from Dari Hati by Club Eighties)


“Sampai kapan, Bi?” Tanya Irfan. “Sampai kapan lagi aku harus menunggumu?”


Bianca menghembuskan nafas berat, “Entahlah, Fan. Aku sendiri nggak tahu.”


“Apa enam tahun masih belum cukup?” desak Irfan seaakan tidak percaya. Ini sudah ke sekian kalianya Irfan menyatakan perasaannya pada Bianca, gadis pujaannya sejak kelas X SMA dulu.




[caption id="attachment_3377" align="aligncenter" width="300"]Flash Fiction - Enam Tahun Flash Fiction - Enam Tahun[/caption]

“Bagiku, kamu sahabatku, Fan. Apa itu belum cukup?” Bianca kehabisan kata-kata.


Irfan mengalah. Ya, mengalah lagi. Ia tidak mau lagi mendebat Bianca. Kadang, Irfan juga merasa lelah, membujuk Bianca untuk bisa membuka hatinya dan menerima perasaannya. Bianca sahabatnya sejak kelas X SMA. Dan sejak saat itu pun, Irfan sudah memendam rasa pada Bianca. Sayang apa yang Irfan rasakan ternyata tidak sama dengan yang Bianca rasakan. Rasa memang tidak bisa dipaksakan.


Tapi mau sampai kapan lagi? Bukan sekali, Irfan sering ingin menyerah saja. Membiarkan perasaannya menguap terbang. Sudah berbagai cara ia lakukan untuk meyakinkan Bianca. Tapi tetap saja jawaban gadis itu sama. Apa pada akhirnya nanti, Irfan akan sampai pada ujung kesabarannya? Entahlah.


“Maafkan aku, Fan,” lagi-lagi kata itu yang diucapkan Bianca.


“Iya, Bi. Aku ngerti. Enam tahun aku bertahan, jadi enam tahun lagi tentu aku bisa melakukannya!” ujar Irfan tegas.


Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari http://www.nulisbuku.com  di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Bening Pertiwi 04.45.00
Read more ...

Flash Fiction – Seperti Dirimu (inspired from Sepenggal Kisah Lama by La Luna)



Rere berjalan perlahan melewati halaman sekolahnya. Sekolah masa SMP yang telah ia tinggalkan bertahun silam. Ini memang pertama kalinya Rere pulang setelah ia lulus dan kemudian pindah dari kota itu.




[caption id="attachment_3379" align="aligncenter" width="300"]Flash Fiction - Seperti Dirimu Flash Fiction - Seperti Dirimu[/caption]

Belaian angin September itu memang terasa kering. Ia bahkan tidak sungkan memanggil dedaunan kering pohon jati yang masih berdiri tegak di depan sekolah untuk memenuhi halaman sekolah. Masih pohon yang sama, masih cara yang sama dan masih dedaunan yang sama. Dan masih rasa kesal yang sama, dirasakan karyawan kebersihan sekolah yang harus bekerja dua kali untuk menyingkirkan semuanya.


“Kamu, Rere kan?” sebuah suara menyapanya dari belakang.


Rere berbalik. Matanya menyipit, heran. Tapi sejurus kemudian berubah membulat, “
Kak Rafa?!” Tanya Rere tidak percaya.


Orang yang dipanggil Rafa tersenyum, “Ternyata benar kamu. Apa kabar?” ujarnya kemudian.


“Baik, Kak. Kenapa kakak disini?” Tanya Rere kemudian.


“Ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan,” ujarnya.


“Ayah!” sebuah suara dengan sosok kecil muncul kemudian. Bocah berkepang dua itu mendekati Rafa, yang disambut Rafa dengan mengangkatnya.


“Ini putriku, Dinda namanya,” ujar Rafa memperkenalkan.


Tidak ada yang bisa diucapkan Rere. Ya, benar. Rafa adalah kisahnya. Kisah cinta pertama. Kisah yang pernah singgah di hatinya dulu. Dan saat ini, kisah itu pun hanya tinggal kenangan. Kenangan indah. Dan Rere, mungkin tidak akan sudi melupakannya.


“Kau mungkin bukan yang terbaik untukku, Kak. Tapi aku bersyukur pernah bertemu denganmu. Aku bersyukur, kau lah cinta pertamanya,” batin Rere kemudian. Ia pun mendekat dan mengelus sayang rambut ikal bocah kecil yang ada di dekapan Rafa itu.”Kau lah cinta itu, Dinda.”



Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari http://www.nulisbuku.com  di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Bening Pertiwi 04.27.00
Read more ...
Aku tidak berharap ada disana, saat kau membaca ini.
Sulit bagiku bicara serius di depanmu, karena selama ini kita lebih seperti anjing dan kucing, oh tidak aku lebih suka menyebut kita tom dan jerry. Sampai jumpa lain waktu, saat mungkin perasaan ini sudah berubah. Selamat tinggal pengisi hatiku.
Vidia

Ia melipat kertas itu, hati-hati. Kertas yang telah lusuh, karena dibacanya berulang kali sejak tiga bulan silam, sehari setelah keberangkatan Vidia untuk menggapai mimpinya ke Jepang. Ditatapnya lagi tiket dengan tujuan Jepang yang ada di tangannya. “Aku akan nyusul kamu Vid, dan tidak akan kubiarkan rasa itu berubah,” ucap Arven mantap.
Bening Pertiwi 15.47.00
Read more ...

             Ponsel di sebelahku bergetar, tetapi tanganku urung menjangkaunya. Tanpa melihatnya pun aku tahu itu dari siapa. Sudah hampir sebulan ini, nama itu dan pesan-pesannya memenuhi inbox ponselku. Bukan, aku bukan tidak peduli padanya. Aku hanya tidak tahu cara bersikap padanya.
Siang itu, ya siang itu ia memintaku. Bukan menjadi kekasihnya, bukan sama sekali. Tetapi menjadi calon istrinya. Apa yang sebenarnya ada di pikiran seorang anak usia 18 tahun itu?! Tetapi itu lima tahun silam. Lima tahun yang akhirnya berlalu, tanpa sua dan sapa. Kecuali perpisahan atas nama persahabatan.
Anganku melayang pada pesan-pesan di inboxponselku hampir sebulan ini. Keresahannya, usaha kerasnya, cara dia meyakinkan, kesungguhan dan ketulusannya. Aku ingin meminangnya. Kami lulus dari jurusan yang sama dan kini ia teman sekantorku.Pesan selepas shubuh itu membuat ponsel di tanganku terjatuh tiba-tiba. Tanganku gemetar. Terseok aku mencoba meraih keping-keping kesadaranku. Dadaku sakit, ngilu itu muncul entah darimana datangnya. Kenapa aku mendadak seperti ini? Ada apa sebenarnya denganku?
Aku tidak bisa memberikan banyak pertimbangan. Tanpa pernah tahu apa ini cukup adil untuknya atau tidak, tapi hanya ini yang bisa aku tulis. Atau, aku bahkan tidak cukup adil pada diriku sendiri?
Ia berkeras tak mengijinkanku menunggunya, tanpa alasan jelas. Sungguh, begitu burukkah aku? Aku sungguh-sungguh padanya. Sama sekali tak ada niat dalam hatiku untuk mempermainkan apalagi menyakitinya. Ia sahabatku, dan sekarang ia membutuhkan pertolongan dariku. Tapi apa dayaku, yang hanya seorang yang lemah. Pesan yang harus aku balas sambil menghembuskan napas berat tertahan.
Lebih baik kamu minta pendapat dari mereka, yang jauh lebih dewasa dan punya lebih banyak pengalaman dibanding aku. Kurangkai kata-kata itu dengan mata berkaca-kaca. Ada apa sebenarnya denganku? Sungguh, berdosakah aku seperti ini? Sementara ia, begitu tulus ingin memperjuangkannya.
Ponsel di sisiku kembali bergetar, kali ini memaksaku meraihnya. Kubuka keypad lock dan masuk ke inbox. Semua, sederet nama dan nomer yang tidak asing lagi. Sekarang aku tahu alasannya. Ia sedang menjalani pengobatan atas penyakitnya. Dan ia sama sekali . . . tak mengijinkanku menunggu. Pertahananku jebol juga. Kerling bening akhirnya membuat mataku kabur.
 Aku boleh minta tolong?  Sms-nya datang setelah nyaris dua jam tanpa ada balasan yang kuketik untuknya.
Ya, apa yang bisa kulakukan untukmu? Tertatih lagi-lagi aku mengetikkannya.
Jadi istriku . . .permintaan keduanya.
Aku . . . ponselku mendadak padam. Temaram lampu tiba-tiba di kamarku bagai gayung bersambut. Masih bolehkah kumiliki kesempatan ini?

Written by Kelana
Bening Pertiwi 11.00.00
Read more ...
“Tapi kalau ada pacarnya, ya tetep kerasan disini.”
Aku tersenyum getir, lebih tepatnya terpaksa terseyum saat laki-laki itu mengatakan sebuah gurauan. Sebenarnya sebuah gurauan biasa, tapi bagiku akan lain ceritanya. Kuraba lagi handphone yang sedari tadi ada di tanganku. Menunggu sebungkus lele goreng tidak lebih membosankan dibanding menunggu kabar dari seorang di seberang. Ia janji meneleponku hari ini.
Namanya Angga. Sudah sejak empat tahun silam kami mengikat janji, dan kini dua tahun sudah aku tidak pernah bersua dengannya. Ia di Jepang, mengejar impiannya meraih S2.
“Oh tidak, hapeku bergetar!”
Sesaat kupandangi layar hape itu. Bukan nama Angga . . .
Bening Pertiwi 19.43.00
Read more ...
Ku tatap fotonya, sebuah senyum terukir indah, seragam kelulusan AL dan selempang kebesaran sebagai salah satu lulusan terbaik akademi. Meski sendiri, tapi aku merasakan ia ada disini, di dekatku. Walau itu semua tidak nyata, tapi aku tahu  . . . ia selalu ada untukku. Meski lautan memisahkan kita . . . Tapi itu setahun yang lalu. Dan kini semua tidak tersisa lagi.

“Kak, udah selesai?”

“Iya,” kutatap sekali lagi wajah ini di cermin. Berharap tidak akan ada air mata yang tertumpah nanti.
Kupandangi undangan warna emas di tanganku. Dan disana ada nama Dion, kekasihku bersanding dengan nama Dewi, adikku sendiri.
Bening Pertiwi 19.39.00
Read more ...