SINOPSIS Himura and Arisugawa 03 part 1

SINOPSIS Criminologist Himura and Mystery Writer Arisugawa episode 03 part 1. Di episode sebelumnya, Himura-sensei dan Alice memecahkan kasus yang melibatkan manusia berperban. Dia mengenakan perban di sekujur tubuhnya karena memiliki kelainan, yakni fobia terhadap bagian tubuhnya sendiri. Kali ini, kasus apa lagi yang sudah menanti Himura-sensei dan Alice?

Hari belum terlalu siang saat kereta melaju cepat di lintasan. Penumpang yang naik juga tidak terlalu penuh, tampak masih banyak ruang kosong di antaranya. Seorang wanita tampak memandang dengcan cemas ke arah luar kereta. Ia memagang tas di pangkuannya lebih erat lagi.

Saat ini

Masukkan uang dalam tas, naik kereta dari stasiun Kyoto menuju Minami-Uji pada pukul 11 siang, besok. Pilih kursi sisi kiri dan cari tanpa merah di luar. Saat kau menemukannya, jatuhkan tas itu dari jendela. Jangan sampai melewatkan tanda itu.

Jika aku melihat polisi, semua berakhir.



Tidak jauh dari wanita tadi, ada polisi yang berjaga. Det.Ono bersama det.Hisashi. Sementara si polisi muda ada di dekat pintu yang lain.

Selain mereka, Alice dan HImura-sensei juga turut serta. Alice bertugas untuk duduk di kursi yang berada di depan wanita tadi. Sementara Himura-sensei duduk di kursi lain, tepat di seberang. Kursi sebelah sisi kanan.



Sehari sebelumnya … 27 Januari

Seorang wanita tampak baru keluar dari stasiun. Ponselnya berbunyi, panggilan masuk dari nomer tidak dikenal.

“Apa kau Shima Erika? Aku ingin bicara soal suamimu. Kau tidak bisa menghubunginya sejak hari sebelum kemarin kan?”

“Kalau ini urusan bisnis, tolong hubungi kantornya saja,” potong Erika-san, cepat.

Tapi suara di seberang tidak peduli, “Dengar, kami menculik suamimu, Shima Yukio. Siapkan uang 30.000.000 yen cash besok pagi. Kalau kau menghubungi polisi, artinya kau tidak ingin menyelamatkannya dan dia akan mati. Aku akan menghubungimu lagi nanti. Tetap di rumah sampai aku menghubungi lagi. Kau dengar?”

Berita yang baru saja didengarnya ini membuat lutut Erika-san lemah. Ia nyaris ambruk di trotoar, masih memegangi koper yang dibawanya, sebagai sandaran, “Aku mendengarkan. Jika suamiku bersamamu, izinkan aku bicara dengannya!”

Dan suara di seberang berganti suara pria lain, Yukio-san, “Erika, aku keliru.”

Erika-san buru-buru kembali ke rumahnya. Tapi di depan rumah, dia bertemu dengan manager suaminya, Kido-san. Kido-san bertanya soal Yukio-san. Tapi Erika-san yang terlanjur ketakutan tidak bisa mengatakan apapun. Wajahnya terlanjur pias. Setelah dipaksa, Erika-san lalu menceritakan semuanya pada Kido-san ini.

“Kita harus menghubungi 911!” ujar Kido-san.

Tapi Erika-san melarangnya. Ia teringat ancaman si penculik agar ia tidak menghubungi polisi. Kesal karena Kido-san tidak mendengarkan larangannya, Erika-san memilih masuk rumah setelah mengusir Kido-san agar pergi.

“Jika sampai ada yang terjadi pada suamiku, itu tanggungjawabmu!”



Kemarin sore, 27 Januari 4.29

Erika-san buru-buru masuk ke dalam rumahnya. Ia mendorong rak buku, menuju ruangan rahasia di belakangnya. Tapi Erika-san kaget, di sana tidak ada yang ia cari.

Dua hari sebelumnya

Erika-san dan Yukio-san bertengkar. Dan ucapan Yukio-san hari itu membuat Erika-san benar-benar marah besar. Tanpa sadar, diambilnya hiasan dari kayu di dekatnya lalu dilemparkannya dan tepat mengenai kepala Yukio-san, suaminya.

Saat melihat suaminya tidak bergerak, Erika-san kaget luar biasa. Ia tidak menyangka jika akan terjadi seperti ini. Erika-san buru-buru menyeret jasad suaminya dan menyembunyikannya di ruangan rahasia di balik rak buku. Tidak lupa ia juga menyembunyikan hiasan kayu yang tadi digunakan untuk memukulnya di ruangan itu, tertutup kain. Erika-san buru-buru pergi, karena ia memang ada jadwal pekerjaan di luar.

Tapi kini, saat kembali, ruangan di balik rak buku itu kosong. Jasad Yukio-san yang dua hari yang lalu disembunyikan di sana, sudah tidak ada. Apa yang terjadi sebenarnya?



27 Januari, 5.28

Polisi sudah datang bersama tim mereka karena dihubungi oleh Kido-san. Erika-san tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk menyembunyikan semuanya. Det.Ono meyakinkan Erika-san kalau tim spesialis penculikan mereka akan melakukan yang terbaik.

Det.Hisashi menyusul masuk bersama dengan Himura-sensei dan Alice. Ini menarik perhatian si polisi muda, karena biasanya HImura-sensei hanya datang ke TKP pembunuhan.

“Aku yang minta mereka datang,” bisik det.Hisashi.



Himura-sensei dan Alice justru tertarik dengan ruangan itu, yang merupakan kediaman seorang professor tamu. Mereka membicarakan peran Shima Yukio-san yang paling terkenal, sebagai seorang professor tamu. “Lihat, judulnya ‘Hard Rain’!” Alice menunjuk foto dan deretan buku yang menunjukkan gambar milik Yukio-san.

Det.Ono menyadari keberadaan dua orang ini. Ia protes pada det.Hisashi, kenapa HImura-sensei dan Alice harus berada di sana.

“Shima Yukio adalah seorang actor yang terkenal, dan kini dia diculik. Kalau kita membuat kesalahan, akan jadi masalah besar,” bisik det.Hisashi pada det.Ono. “Lebih baik jaga-jaga daripada menyesal!”

Det.Ono akhirnya mengalah. Ia kini bicara sambil berbisik pada Alice, “Dia (Shima Erika) sangat gugup karena suaminya diculik. Investigasi awal sangat penting. Jadi tetap di sini dan diam!”

“Baik!” Alice mengangkat tangannya, tanda setuju.

“Aku bicara padamu!” bentak det.Ono pada Himura-sensei.

“Ah, baik!” HImura-sensei juga meniru sikap Alice yang mengangkat tangan tanda hormat pada det.Ono.



Investigasi ulang dilakukan. Polisi memastikan kalau dua hari silam, di pagi hari, Erika-san memang pergi ke Kyushu untuk urusan pekerjaan. Saat itu ia pergi buru-buru dan mengaku kalau tidak bertemu suaminya.

“Kami … tidur terpisah,” aku Erika-san kemudian.

Telepon dari pelaku penculikan terjadi tepat saat Erika-san baru kembali dari perjalanan bisnisnya itu. Saat itu ia bahkan masih ada di stasiun.

“Waktu yang sempurna, seolah si penculik tahu jadwalnya,” komentar HImura-sensei sambil berbisik pada Alice.

“Kupikir begitu.” Alice dan Himura-sensei berdiri di dekat dinding. Mereka mematuhi det.Ono untuk tidak ikut campur. (ya ampun, nggak ikut campur sih iya, tapi duduk atau gimana kek)

Alih-alih menyimak investigasi, HImura-sensei justru tertarik pada drama yang dibintangi oleh Shima Yukio itu. Alice menyebutkan drama paling sukses Shima Yukio, drama bertema cinta. Dalam drama itu Shima Yukio berperan menjadi professor tamu dan sangat terkenal di antara gadis-gadis. (jadi keingetan sama Yukawa Manabu-sensei dari drama Galileo deh. Dia kan juga professor tamu dan terkenal di antara mahasiswanya yang sebagian besar wanita, hahahaha)

“Tidak nyata!” komentar Himura-sensei. (iya lah, dia sendiri kan nggak populer di kampus, meski bekerja sebagai professor tamu)

Kembali ke obrolan polisi dengan Shima Erika. Polisi mengatakan mereka akan menyiapkan uang tebusan, tapi tidak bisa semuanya. Jadi mereka akan mencampurnya dengan yang palsu.

Mendengar itu, Erika-san meledak marah, “Bagaimana kalau si penculik mengetahuinya? Suamiku dalam bahaya!”

Det.Ono segera paham hal itu. Ia meyakinkan Erika-san jika keselamatan Shima Yukio yang terpenting dan menangkap pelaku adalah yang kedua.

“Kalau begitu, bukannya kita harus mematuhi permintaan penculik itu?”



Tapi wawancara itu terhenti oleh panggilan telepon. Det.Hisashi segera meminta staf pelacak untuk bersiap. Ia memperingatkan Erika-san agar bicara selama mungkin, jika itu telepon dari penculik.

“Ah, Eri? Kau sudah di rumah?” ujar suara di seberang, seorang wanita.

Erika-san mengenali wanita itu, “Udagawa-san. Maaf, aku sedang dalam masalah. Aku akan menghubungi Anda lagi nanti,” pinta Erika-san kemudian.

Erika-san kemudian menjelaskan kalau itu adalah telepon dari atasannya di kantor, Udagawa-san.

Himura-sensei dan Alice masih menyimak semuanya dari pojok ruangan di depan dinding. Himura-sensei yang merasa bosan membujuk Alice untuk pulang saja.

“Jangan kekanak-kanakan!” balas Alice.



Bel depan rumah berbunyi. Semua orang berpikir jika itu mungkin saja dari si penculik. Ternyata yang datang adalah pengantar paket. Paket diterima, tapi tidak ada nama pengirimnya.

Himura-sensei dan Alice yang diminta untuk tidak ikut campur, sulit mendekat. Himura-sensei lalu memanggil si polisi muda dan memintanya bicara pada det.Hisashi, agar memeriksa cap pos kiriman itu.

“Ini dari Kyoto, kemarin,” ujar det.Hisashi setelah memeriksanya.

Himura-sensei kembali membisiki si polisi muda dan memintanya bicara, “Artinya tidak ada kemungkinan Erika-san yang sengaja melakukan ini.”

“Kau menuduhku?” Erika-san tidak suka.

Paket dibuka, isinya adalah dua benda hitam, dompet dan ponsel. Erika-san meyakini kalau dua benda itu milik suaminya. Selain itu ada juga dua amplop lain. Salah satu amplop berisi rambut manusia. Det.Hisashi segera meminta forensic untuk memeriksanya. Amplop lain berisi surat.

Masukkan uang dalam tas dan naik kereta dari stasiun Kyoto menuju Minami-Uji besok pukul 11.00 siang. Duduk di kursi sebelah kiri dan cari tanda merah di luar. Setelah kau menemukannya, jatuhkan tas dari jendela. Jangan sampai melewatkan tandanya. Jika aku melihat polisi, semua berakhir.

“Naik kereta dan cari tanda merah … apa maksudnya ini?” Erika-san makin pucat.



“Apa yang harus kulakukan?”

Det.Ono menawarkan diri agar dia yang menyamar jadi Erika-san dan menyerahkan uang tebusan. Tapi ide ini ditolak oleh Erika-san. Ia takut kalau si penculik tahu, maka suaminya akan dalam bahaya. Erika-san berpikir untuk pergi sendiri. Tapi ide ini ditolak polisi, kalau demikian mereka tidak bisa melakukan investigasi. Polisi memaksa untuk ikut serta.

“Wajahmu tampak seperti polisi!” protes Erika-san. Ia melihat ke arah dua pria yang sejak tadi berdiri di dekat dinding, “Kalau begitu, aku mau dua pria itu pergi bersamaku. Mereka tidak tampak seperti polisi.”

Mendengar ide ini, Alice nyaris protes. Ia berniat menolak, tapi de.Hisashi buru-buru memotong pembicaraan. Det.Hisashi meminta Himura-sensei dan Alice setuju mengikut Erika-san.

“Baiklah!” ujar Himura-sensei dengan tangan hormat.



Saat ini …

Kereta terus melaju. Bahkan meski ada enam orang yang mencari tanda merah itu, tetap tidak ditemukan. Stasiun tujuan makin dekat. Penyerahan uang tebusan terancam gagal.

Alica pindah tempat duduk dan bicara pada Himura-sensei, “Apa penculik menyadari polisi?”

“Penculik sudah membuat rencana dengan polisi di dalamnya. Penculik sengaja mengirim rambut si suami agar kita tahu kalau penculikan ini nyata. Tapi jika penculik memperkirakan polisi terlibat, ia seharusnya tidak menunjuk jadwal kereta yang pasti. Kenapa penculik ingin memberikan polisi waktu luang? Atau penculik harusnya menghubungi kita di waktu-waktu akhir dan membawa kita ke tempat lain.”

“Lalu apa tujuan intruksi ini?” Alice masih berbisik.

“Aku tidak tahu. Tapi aku yakin, ini akan gagal,” ujar Himura-sensei. Pikirannya masih melayang, tidak berada dalam kereta yang melaju itu.



Seperti dugaan, intruksi dari penculik ini gagal dilakukan. Sekarang Erika-san bersama polisi kembali ke markas kepolisian.

Det.Ono masih berusaha meyakinkan Erika-san, “Kami akan melakukan investigasi ulang untuk mempersiapkan kontak berikutnya dari si penculik.”



“Mau makan kari?” tawar Himura-sensei pada Alice.

Ini membuat Alice kebingungan. Tapi mereka akhirnya terdampar di kantin universitas tempat Himura-sensei mengajar, dengan sepiring kari di depan mereka masing-masing. Selera keduanya berbeda, terbukti dari bumbu yang diambil pun berbeda.

“Ah, aku kangen sekali. Ingat masa saat masih mahasiswa,” komentar Alice.

“Kalau begitu, itu bukti kalau kau tambah tua,” Himura-sensei benar-benar merusak mood.

Dari arah lain, tiga mahasiswa HImura-sensei juga menuju kantin. Mereka heran melihat dosennya satu itu, yang terkenal berantakan dan penyendiri tengah makan dengan seseorang. Mereka menebak-nebak siapa yang jadi teman makan Himura-sensei.

“Bukankah dia manis? Tapi dia seperti NEET (orang muda yang tidak dalam dunia pendidikan, karyawan atau pelatihan).”

“Dia juga tidak seperti professor tamu,” sambung yang lain.

Akhirnya mereka bertiga sepakat melakukan jankenpon (suit). Siapa yang kalah, dia bertugas untuk mendekati Himura-sensei dan bertanya soal orang yang makan bersamanya.



Himura-sensei dan Alice sudah selesai makan. Mereka asyik ngobrol sampai tidak mempedulikan sekitar mereka.

“Aku tidak berpikir si penculik serius soal uang tebusan,” komentar Himura-sensei. “Tanda merah terlalu tidak jelas. Meski misal saja kita menemukan tanda merah itu, berapa jauh hingga kita membuka jendela, berapa lebar jendela terbuka, dan berapa jauh Erika-san bisa melempar tasnya. Intruksinya terlalu kacau. “

“Kalau begitu apa tujuannya?”

“Aku lihat kemungkinan kalau Shima Yukio memalsukan penculikan dirinya sendiri. Dia membuat keributan untuk menarik perhatian. Atau si penculik adalah orang dekatnya. Yang terburu, dia sudah mati. Insiden ini sulit dipahami,” keluh Himura-sensei.

Saat itu salah satu mahasiswanya, Akemi yang kalah suit, pelan mendekati Himura-sensei dan Alice. Sekilas ia mendengar pembicaraan kedua orang itu. Tapi lagi-lagi, Himura-sensei maupun Alice belum menyadari kehadiran Akemi, ketika akhirnya Akemi berbalik arah.

“Ini waktunya mengajar,” Himura-sensei bangun dari duduknya dan bersiap mengembalikan piring.

“Hei, aku boleh ikut kelasmu?” pinta Alice.

Himura-sensei menatap tajam, “Tidak!”



“Manusia memiliki potensi … “ Himura-sensei asyik mengajar di depan kelas.

Sementara itu di belakang, tidak banyak mahasiswanya mendengarkan. Sebagian dari mereka asyik sendiri, dan sebagian yang lain memanfaatkannya untuk tidur.

Alice duduk di salah satu bangku di ujung. Meski dilarang oleh Himura-sensei, Alice tetap saja masuk kelas. (iya lah, kalau jadi Himura-sensei, ogah juga kalau ada sahabat dekatmu ikut masuk kelas. Pasti lebih grogi jadinya kalau ngajar di depan orang yang dikenal dekat)

Setelah dipaksa kedua temannya, Akemi akhirnya mendekati Alice, “Maaf, apa kau detektif?

“Kau pikir begitu? Katanya aku tidak mirip detektif,” Alice heran.

“Aku mendengar pembicaraanmu dengan HImura-sensei,” ujar Akemi dengan berbisik.

“Ah. Dia (Himura-sensei) adalah teman baikku sejak universitas. Aku penulis novel misteri,” Alice memperkenalkan diri.

“Jadi, yang tadi kau bicarakan … “

“Benar. Kisah dalam novelku,” ujar Alice. Rupanya ia menyembunyikan kalau itu adalah kasus yang tengah terjadi.

“Kalian berdua di ujung, diam!” perintah HImura-sensei dari depan. Rupanya ia memerhatikan saat ada yang ribut di kelasnya.



Alice ikut pulang ke rumah Himura-sensei. Masuk rumah, mereka disambut dengan beberapa benda yang aneh dan tidak pada tempatnya. Himura-sensei merasa kalau ada sesuatu yang dipersiapkan untuknya. Di rumah, mereka disambut pemilik rumah Tokie-san.

“Apa ini sebuah kode?” tebak Himura-sensei.

“Lebih dari kode rahasia,” Tokie-san tampak senang.

Alice rupanya lebih dulu paham maksud barang-barang itu. Ia ikut cekikikan bersama Tokie-san, karena kode itu sebenarnya ada di dalam novel yang ditulis oleh Alice.

“Aku akan memecahkan misteri ini!” ujar HImura-sensei yakin. Ia pun melihat sekali lagi benda-benda itu. “Virgo,” ujarnya kemudian.

“Aku,” ujar TOkie-san sok manis.

“Kau tahu jawabannya?” Alice tidak menyangka.

“Mudah saja. Zodiac kan? Vas di pintu masuk adalah Aquarius. Ikan adalah Pisces. Sweater (baju hangat dari wol) adalah Aries. Dompet dari kulit sapi adalah Taurus,” Himura-sensei menjelaskan.



“Kau mempersiapkan semuanya hanya dari rumah ini,” Alice yang melanjutkan. “Sepasang boneka kayu adalah Gemini.”

“Aku memikirkannya sejak malam. Tapi karena aku tidak menemukan virgo, aku menggunakan diriku sendiri,” ujar Tokie-san.

Alice lemas di kursinya, “Aku kesal karena kau bisa menemukan jawabannya dengan cepat.”

Himura-sensei jongkok di dekat Alice dan memegang kepala Alice, “Jadikan ini pengalaman.”

“Aku marah padamu!” rajuk Alice. (aiiiih adegan ini manis banget sih. Alice yang ngambek dan di puk puk sama Himura-sensei. Hihihi … jangan mikir yang iya-iya lho ya)

Tokie-san pamit akan membuatkan kopi untuk mereka semua. Tapi ponsel Himura-sensei keburu berbunyi, dari det.Hisashi. Det. Hisashi mengatakan kalau korban penculikan, Shima Yukio ditemukan telah meninggal.



Mendapat kabar seperti itu, Himura-sensei dan Alice buru-buru pergi. Kini mereka ada di tempat penemuan jasad Shima Yukio, dalam area kampus.

Petugas forensic menjelaskan kalau perkiraan kematian sekitar 4 hari silam, atau pada 25 januari. (ya ampun, apa nggak bau ya?). Artiny Shima Yukio sudah meninggal saat telepon ancaman penculikan diterima Erika-san, istrinya pada 27 Januari. Tapi si istri mengaku mendengar suara suaminya dari telepon. Mungkinkah pesan dari kematian?

Forensic melanjutkan, kalau menurut keadaan jasad itu, pembunuhan dilakukan di tempat lain. Setelahnya dibiarkan beberapa lama, baru dibawa ke tempat sekarang ditemukan. Pakaian yang digunakan korban pun tidak kusut atau kasar. Tapi senjata pembunuhan belum ditemukan. Korban dibunuh dengan dipukul menggunakan benda tumpul dari belakang. Tersangka memukulnya secara spontan.

“Kalau dia tidak waspada, pasti itu orang yang dia kenal,” komentar Himura-sensei.



Sementara forensic bekerja di TKP, det.Hisashi dan det.Ono menuju kediaman Shima-san. Mereka memberitahukan pada Shima Erika-san tentang jasad suaminya yang telah ditemukan.

“Tolong tetap bekerjasama untuk investigasi ini. Suami Anda sudah meninggal pada 25 Januari. Jadi ini tidak ada hubungannya dengan polisi,” det. Hisashi berusaha menjelaskan.

“Tapi aku dengar suaranya!” Erika-san histeris.



Himura-sensei memandangi jasad Shima Yukio di depannya itu. Ia berbalik. Dalam pikirannya, nafsu membunuhnya kembali. Seolah ia lah yang melakukan semuanya. Membunuh orang itu dengan memukul bagian belakang kepala korban dengan benda tumpul.

Alice menangkap tatapan aneh Himura-sensei, “Ada apa?”

“Ini adalah tempat sempurna untuk kejahatan,” senyum di wajah Himura-sensei terkembang, sebuah senyum misterius.

Alice paham maksudnya. Ia ingat dengan ucapan Himura-sensei sebelumnya, bahwa ia ingin sekali membunuh seseorang. Tapi Alice buru-buru menguasai diri, “Tapi kejahatan sebenarnya tidak terjadi di sini.”

“Kita harus cari tahu siapa yang membunuhnya!” tegas HImura-sensei.



Satu per satu fakta berkelebatan di kepala Himura-sensei, “Tujuan awal memang untuk membunuhnya. Jika tersangka tidak tertarik dengan uang, maka tersangka pasti orang yang benci pada korban. Ini seperti kejahatan spontan. Tersangka kemungkinan besar keluarga atau teman.”

“Apa kau pikir istrinya pelakunya?” tanya Alice. “Kalau begitu, telepon ancaman itu palsu?”

“Tidak mungkin. Dia tidak mungkin membawa jasad itu karena dia ada pekerjaan di luar kota. Menurut cap pos (Kyoto), dia bukan pengirim surat ancaman itu. Saat naik kereta, dia tampak ketakutan oleh sesuatu. Itu sama sekali tidak tampak dramatis. Kalau begitu, ayo bicara dengannya!” ajak Himura-sensei.

BERSAMBUNG

Sampai jumpa lagi di SINOPSIS Criminologist Himura and Mystery Writer Arisugawa episode 03 part 2.

Tidak ada komentar: