SINOPSIS Himura and Arisugawa 05 part 2

SINOPSIS Criminologist Himura and Mystery Writer Arisugawa episode 05 part 2. Kasus kali ini adalah kematian seorang artis pendangan baru bernama Yura. Pembunuhnya sudah jelas. Tapi yang jadi masalah, bagaimana pelaku ini bisa membuat investigasi menjadi kacau?


Seorang artis pendatang baru, Yura ditemukan tewas di apartemennya. Orang pertama yang menemukannya adalah kekasihnya yang juga bos agensi-nya, Yukari Masahiko. Sejak pertama datang, Himura-sensei sudah curiga pada orang ini.



Yukari-san sempat terdiam sebentar dalam ceritanya. Dan dia tidak mengatakan bagian terakhir kisah itu, saat Yura akhirnya menemukan kunci apartemennya di dalam kotak tissue. Sementara polisi menyimpulkan kalau pelakunya adalah orang yang mengambil kunci apartemen Yura dan mengikutinya hingga ke apartemen.


“Apa malam itu terakhir kali Anda bertemu dengan Yura?”


“Tidak. Aku bertemu dengannya kemarin sore. Sebenarnya, aku sedang kesulitan keuangan,” cerita Yukari-san.



14 Februari, kemarin


Yukari-san meminta waktu lagi pada peyewa kantor dan juga kliennya, ia mencoba mencari jalan keluar dari kesulitan keuangannya. Setelahnya ia bertemu dengan Yura. Tapi Yukari-san masih memikirkan masalahnya. Peluang Yura mengembangkan diri menjadi artis besar pun semakin suram.


Saat itu ia bertemua Yura di depan sebuah toko. Yura mengaku butuh membeli sesuatu. Tapi Yukari-san menolak menunggu dan mengaku akan kembali ke kantor. Tapi dia tidak mengatakan apapun soal masalahnya pada Yura.



Toko yang didatangi Yura selalu membuat Yukari-san teringat. Saat itu malam hari, dan Yura begitu mengagumi sebuah gaun pengantin yang dipajang di etalase toko.


Setelahnya Yukari-san melihat Yura yang menggunakan gaun pengantin itu di balik etalase. Rasa kesal mulai menjalar. Ia pun mengambil tongkat besa yang berada tidak jauh darinya. Yukari-san lalu memukulkan tongkat itu ke kaca di depan Yura.



Yukari-san memang kembali ke kantor malam itu. Ia menunggu sampai larus sebelum akhirnya keluar lagi. Yukari-san sudah mengambil keputusan.


Di jalan menuju apartemen Yura, Yukari-san sempat membeli sebuah penutup kepala dan juga sarung tangan, “Aku harus bersiap.”



Yukari-san tiba di apartemen Yura. Dan semua pun berjalan seperti yang sudah ada. Yukari-san membunuh Yura dengan menutupkan bantal ke kepala Yura. Lalu meninggalkan Yura dan kembali mengunci pintu apartemen itu.


Tapi tentu saja, semua ini tidak dikatakan Yukari-san pada polisi. Semua hanya ada dalam pikirannya saja.



“Sensei, apa kau kau mau menanyakan sesuatu?” det.Hisashi beralih pada Himura-sensei.


Alih-alih bertanya soal kasus, Himura-sensei malah bertanya soal menu makan siang. Yukari-san heran, tapi juga tetap menjawabnya. Det.Hisashi juga menimpalinya. Menu makanan yang disebutkan memiliki harga murah tapi dengan kualitas mewah.


“Berhenti mengobrol dan lanjutkan wawancara!” protes det.Ono.


“Maaf.” Himura-sensei mendekati Yukari-san. “Apa Anda naik taksi saat ke sini?”


“Karena kantorku tidak jauh dari stasiun, aku biasanya naik kereta.”


“Jadi, Anda punya tiket bulanan?”


“Ya. Kenapa kau menanyakan itu?” Yukari-san heran.


“Itu ... karena tempat ini tidak jauh dari semua stasiun, aku bingung. Aku hanya ingin memastikan bagaimana kembali dari sini,” ujar Himura-sensei.



“Himura!” bentak det.Ono lagi, makin tidak sabar.


“Baiklah. Ada sesuatu yang kupikirkan,” ia pun mulai membuka-buka laci di apartemen itu. “Ada sepuluh tiket lotere di rak. Nomer yang menang belum diumumkan.”


Semua orang mulai melakukan analisis. Kemungkinan, tersangka adalah orang rasional atau realistis. Tiket itu mungkin saja ada nomer yang menang. Atau tersangka mungkin tidak bisa melihat barang berharga lain selain uang dan perhiasan.


Alice pun menyimpulkan, “Pelaku mengambil prioritas hasil sedikit dan mengabaikan kemungkinan besar. Jika pelaku adalah manager, dia tidak akan mungkin jadi posisi yang lebih atas lagi.”


“Dan satu lagi,” Himura-sensei melanjutkan. “Kenapa tersangka melepas sepatunya saat masuk ruangan ini?”


Kesimpulan pun muncul. Tersangka sangat elegan atau hati-gati, jadi dia tidak ingin polisi mengindentifikasi dirinya lewat jejak sepatu atau tanah yang menempel di sepatunya.


“Jadi, pelaku sangat rasional, elegan dan hati-hati,” Himura-sensei menyimpulkan.



Himura-sensei memanggil Alice untuk mendekat. Mereka bicara sambil bisik-bisik. Semua orang di ruangan hanya bisa dibuat heran oleh sikap kedua sahabat ini. Yukari-san pun penasaran dengan kedua orang ini.


Selesai bicara dengan Alice, Himura-sensei berbalik, “Yukari-san, bagaimana kalau kita ke kafe? Ada kafe bagus di dekat ini.”


“Hei, kita masih belum selesai!” protes det.Ono.


“Akan kulanjutkan di kafe,” ujar Himura-sensei. Ia minta izin pada det.Hisashi yang langsung diiyakan oleh det.Hisashi tanpa ragu sedikitpun.



“Anda terlalu mudah memberikan izin pada Himura!” protes det.Ono pada det.Hisashi.


Kali ini yang menjawab si ahli forensik, “Kau tidak lihat matanya? Dia punya rencana. Itu bukan sesederhana datang ke kafe begitu saja.”


Det.Ono salah tingkah, “Tentu, aku juga menyadari itu.” Ia berusaha keras menyembunyikan ketidaktahuannya. “Ayo lanjutkan penyelidikan!” det.Ono menunjukkan sebuah struk belanja milik korban Yuri-san.



Alice, Himura-sensei dan Yukari-san benar-benar datang ke sebuah kafe. Tiga cangkir kopi panas sudah tersaji di depan mereka.


Untuk menjadi kafe yang keren, ada beberapa syarat. Pertama, mereka tidak menyetel lagu Jepang sebagai lagu utamanya. Saat menyajikan kopi, harus kopi hangat. Mereka juga punya koran olahraga. Mereka juga punya saus pasta.


Himura-sensei mengeluh soal uangnya yang ternyata sudah kusut, padahal ia perlu beli rokok di mesin penjual. Ia lalu minta tukar dengan milik Yukari-san yang ternyata lebih baik. Himura-sensei lalu pamit pergi untuk membeli rokok. Tinggal Alice yang tinggal mengobrol dengan Yukari-san.


“Jadi, Anda yakin kalau Yura-san terbunuh karena perampok?”


“Ya, aku yakin,” balas Yukari-san.


Himura-sensei sudah kembali dari membeli rokok. Tapi ia baru sadar kalau kafe itu tidak mengijinkan merokok. Ia pun urun menyalakan rokoknya itu.


“Maaf, apa yang sebenarnya ingin kau katakan padaku?” Yukari-san penasaran.


“Ah, aku tidak bisa menemukan kunci di TKP. Pelaku menggunakan kunci yang diambilnya untuk masuk ruangan. Setelah membunuhnya (Yura), pelaku mengunci pintu dan melarikan diri. Dan lagi, Yura menggunakan kunci cadangan miliknya untuk masuk ruangan kan? Jadi, di mana kunci cadangan milik Yura?”


“Benar, tidak ada alasan pelaku mengambil juga kunci cadangan,” sambung Alice. “Ini misteri. Ah aku mengerti, gantungan kuncinya mahal!”


“Tidak, harganya biasa saja,” elak Yukari-san.


“Tapi kupikir itu bisa jadi kunci menyelesaikan insiden ini,” sesal Alice.


Himura-sensei rupanya juga curiga dengan waktu saat pelaku masuk ke ruangan Yura. Kalau dia jadi pelakunya, maka ia akan memilih datang pada sore hari, saat Yura-san pergi dan tidak akan datang saat Yura-san ada di rumahnya. Kemungkinan pelaku ingin melakukan hal cabul pada korban juga tidak mungkin, sebab tidak ada tanda-tanda kekerasan di tubuh korban. Jadi kemungkinan pelakunya wanita, dan dia hanya tertarik dengan uang dan perhiasan saja.


“Pelaku hanya mengambil yang dia butuhkan saja,” ujar Yukari-san dengan tenang.


“Aku tidak yakin ... tapi terimakasih atas obrolan ini. Dan maaf sudah menyusahkanmu,” Himura-sensei lalu beranjak pergi.


Yukari-san heran dengan perubahan sikap orang di depannya ini. Kini di depannya hanya ada Alice. Alice mengeluarkan selembar uang usang dan mengatakan kalau Himura-sensei pergi karena ia ingin merokok. Alice sendiri kemudian pamit pergi.



Yukari-san kembali ke kantornya. Ia masih saja memikirkan obrolannya tadi dengan dua orang itu di kafe. Sementara itu, ingatannya juga mengarah pada Yura.


Saat itu, ia melihat Yura berpakaian gaun pengantin berada di dalam etalase toko. Yukari-san mengambil tongkat besi dan memukul kaca etalase, hingga salah satu pecahannya menusuk dada Yura.



Polisi menyusul ke kantor Yukari-san. Det.Ono menunjukkan struk belanja milik Yura dan mengatakan kalau Yukari-san jadi tersangka. Yukari-san heran.


“Yura tidak kehilangan kuncinya. Saat dia kembali ke rumah, dia menemukannya di dalam tasnya. Kami punya bukti.”


Kemarin sore, saat berbelanja barang di toko dan menunggu kembalian, Yura bercerita pada si pelayan toko kalau ia nyaris kehilangan kunci. Tapi ia akhirnya menemukan kunci itu ada di dalam tasnya.


“Kalau Yura tidak kehilangan kuncinya, artinya hanya kau dan Yura yang punya kunci apartemen Yura,” lanjut det.Ono.


“Tunggu dulu. Aku tidak tahu sampai sekarang kalau Yura tidak kehilangan kuncinya. Dan karena aku punya kunci, lalu aku jadi tersangka?” elak Yukari-san.


“Jika itu adalah perampok profesional, dia bisa membuka pintu tanpa kunci. Atau mungkin saja tersangka,” ujar Himura-sensei.


“Atau tersangka mungkin saja orang lain yang kenal Yura selain aku.”



Himura-sensei memamerkan senyum misteriusnya, “Kau mengatakan kalau kau terakhir bertemu dengannya sore hari sebelum insiden itu kan?”


“Benar. Kami berpisah saat Yura mampir ke toko.”


“Tidak benar. Kau juga menemui Yuri malam insiden itu,” lanjut Himura-sensei.


“Apa dasarnya?”


“Yura membayar dengan uang tunai di toko ini,” Himura-sensei menunjukkan struk pembelian milik Yura-san. “Dia membayar 10.000 yen dan mendapat kembalian 1.360 yen. Dia memasukkan uang itu ke dalam dompet dan kembali ke rumah lalu terbunuh malam itu. Ada banyak penyebab pelaku bersikap aneh dalam insiden ini. Kami berpikir kalau itu adalah trik yang dilakukan tersangka agar seolah seperti perampokan. Dan kamu punya jawabannya. Tersangka itu adalah ... kau!”


Yukari-san tersenyum, “Itu bodoh.”


“Setelah membunuh Yura, kau mengacak-acak apartemen, mengambil uang dan perhiasan agar seperti perampokan. Kau membuang semua itu di tempat sampah sehingga tidak terlacak. Bagaimana dengan uangnya? Kau menyimpannya dalam dompetmu.”


“Itu kasar! Kenapa dengannya? Dia menuduhku tanpa bukti!” Yukari-san masih saja mengelak.


“Aku punya bukti. Sakashita!” Himura-sensei meminta si detektif muda menunjukkan bukti mereka, selembar uang. “Toko yang didatangi Yura, sebuah butik terkenal menggunakan uang baru untuk kembalian kan? Dan kau menukar lembaran uang lamaku dengan uang barumu. Karena uang itu, aku bisa mendeteksi sidik jarimu. Ada sidik jariku, kau, Yura dan pelayan toko. Dengan kata lain, bukti ini adalah yang kau ambil dari dompet Yura. Karena kau punya tiket bulanan kereta dan makan siang murah, kau pasti belum akan menggunakan uang kertas 1.000 yen ini. Jadi, aku punya kesepakatan dengan Alice. Apa kau mengakui kesalahanmu?”



Yukari-san tidak bisa mengelak lagi, “Sejak kapan kau mencurigaiku?”


“Kau mungkin mengkamuflasekan pembunuhan ini dengan sempurna. Tapi kami sudah mencurigaimu sejak awal. Kau kekasih korban dan orang pertama yang menemukan jasadnya. Itu hal biasa,” jawab Himura-sensei. “Kau juga curiga sejak awal kan, Sakashita?”


Pertanyaan ini membuat si polisi muda gelagapan. Tapi ia pun buru-buru mengiyakan ucapan Himura-sensei itu.


“Semuanya adalah masalah bagiku.”


“Aku tidak yakin kenapa kau membunuh Yura. Menurut staf kantormu, hubunganmu dengan Yura baik-baik saja,“ kali ini Alice yang bicara.


“Benar. Yura meninggal sebagai orang yang bahagia.”


“Yura membelikan kau gantungan kunci baru sebagai hadiah valentine. Tapi kau justru menggunakan kunci itu untuk membunuhnya. Ironis sekali,” sindir Alice. “Kalau kau kehilangan agensimu, Yura akan pergi darimu. Apa itu yang kau takutkan?”


“Mungkin,” Yukari-san berpikir sebentar. “Tidak, aku tidak peduli jika dia meninggalkanku. Tapi aku menghargainya dalam kotak kaca. Jika seseorang mengambilnya, maka kotak kacaku menjadi kosong. Aku selalu ingin membunuhnya. Tapi aku tidak yakin. Tapi kau mungkin paham perasaanku,” Yukari-san beralih pada Himura-sensei.



Kali ini Alice yang maju. Ia lebih emosi dari biasanya, “Hidupnya sia-sia karena dibunuh kekasihnya tanpa alasan jelas. Yura bukan barang milikmu! Meski kau memperlakukannya seperti barang milikmu, masa depan Yura bukan milikmu. Kau mengambil mimpi dan masa depannya. Dia bahkan tidak sempat mengecek nomer lotere-nya!” Alice membuang tiket lottere di depan Yukari-san. “Meski itu Cuma mimpi kecil!” Alice marah dan berbalik pergi.


Det.Ono mengikuti Alice yang beranjak pergi, “Dari mana kau dapat tiket lottere itu?”


Alice gelagapan. Ia tidak punya jawaban. Jelas sekali sikapnya barusan adalah akting belaka.


“Baiklah, kata-katamu tadi membuatku merasa baik,” det.Ono tidak ingin memperpanjang obrolan lagi.



Yukari-san mengambil tiket lottere yang tadi dibuang Alice. Ia beralih pada Himura-sensei yang masih terus memperhatikannya, “Ada lagi yang mau kau katakan?”


Himura-sensei hanya memandangi Yukari-san dengan tatapan dingin dan bibir bergeser sedikit, “Kau bodoh! Seharusnya kau membunuhnya saat dia mengatakan padamu kalau kuncinya hilang. Kau terlambat satu hari.”


Yukari-san kaget. Meski tidak dikatakan, ternyata Yukari-san tahu apa yang dipikirkan Himura-sensei, pun yang hanya dikatakannya dalam hati itu.



Himura-sensei pulang bersama Alice menuju tempat tinggalnya, “Kejahatan ini tidak sempurna.”


“Akhirnya aku tidak mengerti kenapa dia harus membunuh Yura,” sambung Alice.


“Alasan aneh bukan satu-satunya alasan membunuh!” Himura-sensei berjalan cepat meninggalkan Alice yang terpaksa setengah berlari mengejarnya.



Tokie-san masih asyik memandangi tiket lottere-nya. Ia membayangkan kemenangannya dan bisa berlibur di pantai sambil memakai bikini. (awwww ... oba-san). Dari arah lain, Himura-sensei dan Alice baru saja datang.


“Ini untukmu, Tokie-san,” ujar Himura-sensei memberikan sebuah bungkusan pada Tokie-san, membuat wanita itu heran.



Kini mereka berdua ada di kamar Himura-sensei, asyik memandangi peta di mejanya.


“Jadi, menurut mahasiswamu, orang-orang yang terlibat insiden ini tinggal dekat sini?”


“Ya. Di komplek apartemen Orange Tachibana. Nyaris semua ruangan penuh disewa. Dan disebut sebagai apartemen hantu,” ujar Himura-sensei.


“Tampaknya menyenangkan. Jadi, bisa kau ceritakan lebih banyak lagi soal insiden ini?” pinta Alice.


Tapi Himura-sensei menolak. Ia justru beranjak ke tempat tidurnya dan meninggalkan Alice yang kesal dan masih memasang wajah penuh tanda tanya.



Telepon di rumah itu berdering pagi-pagi buta. Tergopoh-gopoh Tokie-san terbangun dan mengangkat telepon itu. Suara di seberang minta untuk bicara pada Himura-sensei.


“Bawa Himura Hideo sekarang!”


“Jangan kasar begitu! Atau kututup teleponnya!” balas Tokie-san.


Alice yang mendengar berisik itu ikut menguping. Ia pun meminta telepon dari Tokie-san. Suara di seberang meminta agar mereka datang ke komplek apartemen Orange Tachibana ruang 806.


“Kau ini siapa?”


Ternyata Himura-sensei juga ikut bangun. Ia mendengar semua obrolan di ruang telepon itu. Matanya berubah tertarik.


BERSAMBUNG


Sampai jumpa di SINOPSIS Himura and Arisugawa episode 06 part 1


Pictures and written by Kelana


FP: elangkelanadotnet, twitter : @elangkelana_net

Tidak ada komentar: