Results for Aku bukan Ran dan Kau bukan Shinichi

Author: Elang Kelana


Rating: T


Genre: romance, SU


Main Cast:


- Sato Junpei


- Kiriyama Reika / Kirana Erika Putri (OCs)


Other casts:


Higashi Osamu – script writer senior. Reika menjadi asisten Osamu-sensei ini.


Yamashita Tatsuo – sutradara


Yamada Hikaru – sahabat sekaligus rekan kerja satu agensi Reika


Tatsumi Kanako – sahabat Reika di kampus


Profesor Matsushima – dosen Reika di kampus


Sato Kazuo – Manager Junpei


Note: FF ini murni fiksi. Jika ada kesamaan karakter atau alur cerita, bukanlah karena kesengajaan. Cerita ini murni karangan author.



Setahun silam ...


Sumimasen-permisi,” ujarku pelan para pria di hadapanku.


Pria bertopi itu tampak kaget. Ia menatapku dari balik kacamata hitam yang bertengger manis di hidungnya.


“Boleh saya duduk disini?” tanyaku dalam bahasa Inggris sambil menunjuk kursi kosong di sampingnya. Aku baru ingat kalau tidak lazim orang Jepang menggunakan bahasa Inggris.


Dia terdiam sebentar, tampak mencerna kalimatku, “Ah, dozo-silahkan,” ujarnya kemudian.


“Ah arigatougozaimasu-terimakasih,” kuhempaskan badan di kursi kosong di sebelah pria itu. Aku melihat sekeliling. Kulirik jam di tangan kiriku, sudah lewat pukul sepuluh malam, pantas sebagian besar isi gerbong sudah kosong. Perjalananku sekitar 30 menit, jadi masih ada sedikit waktu untukku menyandarkan kepala sekedar melepas penat. Kulirik pria di sebelahku itu. Tapi kaca mata hitam dan topi yang menutupi sebagian wajahnya membuatku tak leluasa melihat ekspresi wajahnya.


Rupanya ia sadar kalau kuperhatikan, “Ada apa?” tanyanya.


Aku salah tingkah, “Ah, tidak. Go-gomenasai-maaf,” ujarku terbata-bata. Bahasa Jepangku belum lancar.


Pria itu lalu melepas topi dan kaca mata hitamnya. Dia memajukan wajahnya di hadapanku, “Kau bukan orang Jepang?” tanyanya tiba-tiba.


Kaget melihat sikapnya, buru-buru membuatku menarik tubuh menjauh, “Ah, benar. Saya keturunan Jepang-Indonesia,” akuku kemudian.


Dia menarik tubuhnya dan kembali duduk seperti semula, “Ah, syukurlah. Jadi kau tidak mengenalku,” ujarnya pelan nyaris seperti gumaman.


Sumimasen?” ujarku heran.


“Ah jadi kau dari Indonesia. Siapa namamu?” tanyanya kemudian.


Watashimo Kiriyama Reika-desu, saya mahasiswi dari Indonesia,” ujarku mulai melunak.


Tapi sepertinya pertanyaan ini hanya basa-basi saja. Pria di sebelahku tadi tidak benar-benar mendengarkan ucapanku. Kuhembuskan nafas berat, “Memang tidak mudah tinggal di negeri orang,” rutukku dalam hati. Kurapatkan mantelku dan kembali bersandar ke dinding di belakangku, memejamkan mata sejenak.


***


Namaku Kiriyama Reika. Aku keturunan campuran Jepang-Indonesia. Nama ayahku Kiriyama Ren dan ibuku Larasati. Selain nama Jepang, aku juga punya nama Indonesia yang diberikan oleh nenek dari ibuku—yang selalu kupanggil yangti, Kirana Erika Putri. Hanya ibu dan yangti yang memanggilku dengan nama Indonesiaku, Ika.


Ayahku lebih banyak tinggal di Indonesia untuk menangani cabang perusahaan di Jakarta. Dan ibuku, dia adalah guru taman kanak-kanak. Jangan tanya bagaimana mereka bisa bertemu. Selama ini aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama ibuku. Sementara ayah sibuk dengan pekerjaannya. Aku punya seorang adik laki-laki bernama Rio Putra Dewanto, nama Jepangnya Kiriyama Ryo. Tapi dia lebih suka kupanggil dengan mana Indonesianya, Rio.


Meski lahir di Jepang, aku menghabiskan masa kecilku di negara bertabur sinar matahari itu. Baru setelah aku lulus SMA, ayah mengajak kami semua ke Jepang karena pekerjaannya menuntutnya untuk berada di kantor pusat. Dan seperti inilah aku sekarang. Meski ayah membiasakanku berbahasa Jepang selama di rumah, aku butuh satu tahun lebih untuk memperlancar bahasa Jepangku, sehingga aku masuk kuliah terlambat setahun. Di rumah, ibu tetap membuat aku dan adikku berbahasa Indonesia. Tidak ada perjanjian khusus soal ini, tapi sepertinya ayah dan ibu sepakat tidak membiarkan kami melupakan budaya asal kedua orang tua kami.


Berbeda dengan remaja Jepang pada umumnya, hingga tahun keduaku kuliah, aku masih tinggal bersama orang tuaku. Meski berada di Jepang, ibuku masih saja tetap mempertahankan budaya negeri asalnya. Ia tidak mengijinkanku sendirian di luar sana. Aku tidak pernah keberatan soal ini. Toh artinya aku tidak perlu repot memikirkan soal tempat tinggal dan makan sehari-hari.


***


Enam bulan silam


“Reika-san? Kau sudah bangun?” tanya suara di seberang.


 “Hmmm ... “ aku hanya bergumam tidak jelas. Kulirik jam di dinding kamarku, baru pukul enam pagi. Aku baru tidur jam empat tadi, setelah menyelesaikan tugas kuliahku dan juga mengedit naskah. Aku kuliah jurusan penulisan skenario dan bekerja magang di sebuah agensi. Dan tugasku setahun belakangan ini adalah menjadi asisten Higashi Osamu-sensei, script writer senior untuk melakukan editing penulisan dan finishing naskahnya.


“Ah maaf, sepertinya kau lembur lagi. Tapi ini gawat. Sutradara Yamashita Tatsuo-san meminta Osamu-sensei datang ke lokasi syuting. Tapi kau tahu kan kalau Osamu-sensei masih berada di Korea untuk konferensi. Jadi kau yang diminta datang,” mohon suara di seberang.


“Ah, Hikaru-san?” tebakku asal. Dia rekan satu agensiku yang bekerja sebagai sekretaris. “Kenapa aku harus datang? Bukankah jika naskah sudah jadi, script writer sudah tidak terlibat lagi?” Kupaksakan diriku bangun. Kulirik sekilas wajahku di cermin, berantakan. Benar-benar berantakan.


“Benar. Tapi ini benar-benar penting. Aku mohon. Asisten Yamashita Tatsuo-san mengatakan kalau ada beberapa hal yang perlu dikonfirmasi lagi,” suara sahabatku Yamada Hikaru itu semakin memelas.


“Ah, mau bagaimana lagi. Baiklah, aku akan datang. Tapi aku perlu mandi dan sarapan dulu sebelum berangkat. Emailkan saja alamat lokasi syutingnya, hm?” ujarku akhirnya.


Aku tidak dengar pasti yang digumamkan Hikaru selanjutnya. Tapi aku bisa menyimpulkan kalau ia terdengar sangat senang dan lega dengan keputusanku. Kuseret tubuhku ke kamar mandi, “Ah, mandi air hangat sebentar semoga bisa menghilangkan sedikit lingkaran hitam di mataku,” kuhembuskan nafas berat. “Padahal aku baru tidur dua jam!” umpatku kesal, akhirnya.


***


Masih enam bulan silam, beberapa jam kemudian ...


Aku tidak ingat ini hari apa. Yang pasti kuhapal adalah aku terpaksa berdesak-desakan di kereta dengan orang-orang yang akan berangkat ke kantor pagi ini. Dan yang paling kubenci, tubuhku yang lumayan mungil seringkali terdesak tanpa ampun. Tapi lagi-lagi aku tidak punya pilihan lain.


Turun dari stasiun, segera kuaktifkan gps ponselku. Aku belum pernah kesini sebelumnya, jadi daripada tersesat, lebih baik kupasrahkan saja arahku pada layanan satelit satu ini. Aku berjalan cepat diantara banyak orang berjalan tergesa pagi itu. Sesaat kulirik wajah mereka. Kebanyakan tampak serius dan tidak memperhatikan sekitarnya. Aku penasaran apa yang mereka pikirkan dalam balutan pakaian kerja rapi dan juga tas jinjing di tangan kiri serta ponsel di tangan kanan mereka.


Aku sampai di depan sebuah rumah. Kucek sekali lagi gps di ponselku yang arahnya berakhir disini, lalu email dari Haruka yang berisi alamat tujuanku. Sekilas kulihat beberapa orang yang sibuk dengan peralatan mereka, sepertinya kru serial ini. Lalu sebuah mobil sport biru yang datang dan berhenti tidak jauh dari tempatku berdiri. Seseorang dengan kaca mata hitam keluar tidak lama setelahnya. Tapi aku tidak punya banyak waktu untuk memperhatikan siapa orang ini.


Kucegat seorang kru yang berjalan keluar, “Sumimasen, saya Kiriyama Reika, asisten script writer Higashi Osamu-sensei. Saya ada janji bertemu sutradara Yamashita Tatsuo-san. Dimana saya bisa menemuinya?”


Pria yang kusapa itu terdiam sesaat. Ia memandangi penampilanku dari atas sampai bawah, tampak tidak yakin, “Sutradara belum datang. Mungkin sebentar lagi,” ujarnya lalu beranjak pergi.


Aku hanya melongo diperlakukan seperti ini. Tapi daripada menunggu di luar, kuputuskan untuk masuk ke rumah itu. Beberapa staf tampak sibuk dengan persiapan mereka. Dan aku pun diabaikan. Sepertinya mereka tidak peduli dengan kehadiranku, meski aku tidak menggunakan tanda pengenal staf ataupun guest-tamu.


Ponselku berdering, kulirik sekilas nama yang tertera disana. Nomer yang sangat kukenal dengan baik, “Reika-chan, dimana kau sekarang? Kau tidak lupa untuk mengumpulkan tugas hari ini kan? Profesor Matsushima hanya memberikan waktu sampai pukul sebelas hari ini,” ujar Kanako, teman kuliahku di jurusan yang sama.


“Apa?! Benarkah?!” kulirik jam di pergelangan tanganku yang sudah menunjukkan angka sembilan lewat dengan jarum panjang nyaris menyentuh angka enam. “Baiklah. Aku akan segera menyelesaikan urusanku.” Aku merutuki hari ini. Hari yang benar-benar payah.


Kulihat sekeliling, berharap sutradara Tatsuo-sensei sudah datang. Tapi aku tidak menemukannya. Kutanya beberapa staf yang ada disana, tapi tidak ada jawaban yang membuatku puas. Sampai tidak sengaja aku menabrak seseorang.


“Brug!” buku-buku yang kubawa dan beberapa naskah terjatuh.


“Kau baik-baik saja?” tanya seseorang yang kutabrak tadi. Seorang pria. Ia pun membantuku mengumpulkan kembali buku dan kertas-kertas itu. Tapi sayang, tatapannya dingin dan tampak tidak bersahabat. Seolah apa yang dilakukannya hanya sekedar ‘bersikap baik’ pada wanita.


“Maaf, permisi,” ujarku buru-buru pamit, karena tatapan tidak nyaman itu.


Baru beberapa langkah, aku berhenti. Aku baru ingat, kalau mengenal wajah tadi. Ya, dia Mizobata Junpei, “Ah mungkin aku bisa menanyakan dimana sutradara Yamashita-san padanya,” batinku memberanikan diri, karena tidak punya pilihan lain. Dan aku pun berbalik. Untung dia masih ada disana. “Sumimasen, ano ... watashimo Kiriyama Reika-desu, asisten script writer Higashi Osamu-sensei. Saya ingin menemui sutradara Yamashita Tatsuo-san. Apa dia sudah datang?”


“Oh, sutradara,” komentarnya dingin. “Tadi aku melihatnya ada di ruang depan. Aku mau kesana,” ujarnya kemudian.


Ha-i, arigatougozaimasu,” aku mengekor di belakangnya ke ruangan depan. Aku berharap ini segera selesai, dan aku bisa segera kembali ke kampus secepatnya.


***


Saat ini ...


Sudah dua bulan Junpei-kun kekasihku pergi ke Amerika. Kita tidak jadi putus karena peristiwa itu, “Ran saja bersabar menunggu Shinichi lebih dari 15 tahun, dan aku bukan Ran. Jadi tidak masalah aku menunggunya,” gumamku pelan. Kupandangi foto yang diambil tujuh bulan silam, saat kami baru saja resmi menjadi sepasang kekasih. Junpei-kun ada di Amerika untuk menjalani operasi jantungnya lagi. Meski ingin, aku tidak bisa menemaninya. Manager Sato hanya mengatakan kalau semua akan baik-baik saja, dan Junpei-kun tidak ingin membuatku khawatir.


Aku hanya berharap semua akan baik-baik saja. Entah itu Junpei sendiri, kuliah dan pekerjaanku, mimpiku lalu hubunganku dengan Junpei-kun, “Aku pasti menunggumu pulang, Junpei-kun!”


To be continue ...

Bening Pertiwi 15.11.00
Read more ...

Cast : Mizobata Junpei (sebagai Sato Junpei), Kiriyama Reika, Higashi Osamu, Yamashita Tatsuo, manager Junpei (OC)


Genre : romantis, SU


Note: FF ini murni fiksi. Jika ada kesamaan karakter atau alur cerita, bukanlah karena kesengajaan. Cerita ini murni karangan author.


Kiriyama Reika


Gerbong sudah nyaris kosong. Benar saja, ini sudah lewat pukul sebelas malam. Para pekerja yang baru pulang dari kantor berangsur makin berkurang. Hanya tinggal beberapa yang tampak terkantuk-kantuk, sebagian membaca buku dan sisanya yang lain masih asyik dengan ponsel di tangan.


Kecuali satu orang yang cukup menarik perhatian di ujung gerbong. Mulutnya setengah terbuka dengan mata terpejam dan kepala terkulai di sandaran kursi. Meski bukan pemandangan aneh menemukan orang yang tertidur karena terlalu keras bekerja—inemuri—di sini, tapi tetap saja itu selalu menarik perhatian.


Kuhentikan kebiasaan memerhatikan orang-orang di kereta dan menyandarkan kepala ke dinding kereta. Seharusnya aku juga sudah sampai di apartemen. Tapi langkah kakiku justru membuat berjalan sedikit lebih jauh dari biasanya.


“Jangan hubungi aku lagi,” pinta kekasihku Junpei-kun senja tadi dari seberang ponsel.


Aku kesal, benar-benar kesal. Beraninya dia mengatakan seperti ini padaku. Beraninya dia bersikap sekasar ini padaku. Tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Aku bukan siapa-siapa. Bahkan rumah kekasihku itu pun aku tidak tahu. Ah, pasti orang-orang beranggapan aku bodoh. Benar, aku mungkin bodoh.


Kekasihku itu, Sato Junpei, artis terkenal. Sementara aku hanya seorang asisten script-writer—penulis naskah—yang baru setahun belakangan bekerja di sebuah agensi. Pertemuan kami tidak terduga. Kalau biasanya seorang asisten script-writer sepertiku tidak pernah datang ke lokasi syuting, hari ini sutradara memintaku datang. Dia mengatakan kalau ada beberapa bagian yang harus kukonfirmasi dan kurevisi sebelum syuting dimulai. Aku yang masih baru pun menurut saja. Dan disana, tidak sengaja aku bertemu dengannya secara langsung. Aku mengenalnya, jelas, dia seorang aktor yang tengah naik daun. Sementara aku, bukan siapa-siapa.


Pengeras suara memberitahukan kalau stasiun tujuanku hampir tiba. Kuhapus lelehan yang nyaris jatuh di sudut mataku, “Tidak ada gunanya menyesal,” gumamku pelan.


***


Sato Junpei

Sudah nyaris sebulan sejak aku mengatakan itu padanya, jangan menghubungiku lagi. Ah, aku sadar benar, tidak seharusnya kukatakan itu padanya. Dia tidak salah. Keadaan pun tidak salah. Hanya waktu saja yang tidak tepat, arrgggghhh!!!


Ini kisah enam bulan silam. Namanya Kiriyama Reika, seorang asisten script-writer. Aku lebih suka menyebutnya takdir, karena asisten script-writer yang biasanya tidak muncul di lokasi syuting, hari itu tiba-tiba saja datang. Ia yang datang terburu-buru, menabrakku. Wajahnya yang berbeda membuatku terhenyak. Kulitnya tidak seputih kulit gadis Jepang pada umumnya. Pun matanya yang besar dengan lipatan mata yang tampak begitu jelas. Ia menunduk minta maaf setelah menabrakku lalu buru-buru pergi. Tapi sejurus kemudian ia kembali dan bertanya dimana bisa menemui Higashi Osamu-sensei, sutradara serial yang tengah kubintangi waktu itu. Dari Higashi-sensei, aku tahu namanya, dan kalau dia adalah seorang asisten script-writer.


Tapi sekarang, aku tidak yakin apa aku masih punya keberanian untuk menemuinya. Yang pasti, masih terlalu sulit menghilangkan dia dari pikiranku. Sementara disini, di depanku ada naskah yang harus kubaca. Naskah yang ditulis oleh Yamazaki Tatsuo-sensei dibantu Reika sebagai asistennya.


Di sampingku, tergeletak kertas lain. Dua bulan silam, aku mengunjungi dokter langgananku untuk check-up. Dan hasilnya benar-benar membuatku terhenyak. Aku tidak tahu apa yang tengah terjadi padaku. Tapi yang lebih sulit adalah mengatakannya pada kekasihku, Reika.


***


“Reika-chan?” suara seseorang dari seberang ponsel.


“Ya,” Reika masih belum membuka matanya penuh. Ia hanya meraba-raba mencari ponselnya tanpa sempat melihat siapa yang menghubunginya.


“Aku minta maaf, tidak bisa menepati janji. Aku hanya ingin pamit,” ujar suara itu lagi.


Mendengar suara yang sudah sangat dihapalnya, kesadaran Reika mendadak pulih, “Junpei-kun? Apa maksudmu?! Kau mau kemana?! Jawab aku!”


“Maaf,” Junpei pun memutus sambungan ponsel itu.


Reika memencet ulang nomer Junpei yang sudah sangat dihafalnya. Tapi berkali-kali nada terputus terdengar. Ia kalap. Reika gelagapan mencari nomer manager Junpei dan mencoba menghubunginya. Darinya Reika tahu kalau hari ini Junpei akan berangkat ke luar negeri.


Buru-buru Reika menyambar mantelnya dan hanya sempat melihat sekilas ke arah cermin untuk merapikan rambutnya. Reika bahkan tidak sempat memakai sarung tangannya. Hanya sepatu boot tipis yang menemaninya melewati salju senja itu. Turun dari apartemennya, Reika berlari ke arah jalan. Jarak yang sebenarnya tidak terlalu jauh kali ini terasa begitu menyiksa. Tapi Reika mengabaikan semua rasa dingin dan nyeri di kakinya yang berjalan nyaris telanjang dan hanya memakai sepatu seadanya itu.


Setelah dua belokan dan jalanan lurus, Reika menyetop taksi yang kebetulan melintas dan meminta si sopir membawanya ke bandara. Dari manager Junpei tadi, Reika tahu kalau Junpei mengalami kelainan jantung. Hal yang sama sekali tidak pernah dibahas Junpei selama ini. Ia pernah menjalani operasi saat berusai 15 tahun. Dan selama ini tidak ada masalah. Tapi sejak dua bulan silam, jantungnya kembali mengalami masalah. Karena itu ia harus kembali menjalani operasi yang sama, dengan resiko jauh lebih besar dibanding 9 tahun silam.


Sesekali Reika menyusut air matanya selama perjalanan. Ia juga meminta sopir taksi mempercepat perjalanan mereka. Tapi suasana malam Natal benar-benar membuat jalanan padat. Reika diberi tahu kalau penerbangan Junpei malam itu. Ia melirik jam di tangan kirinya. Merasa tidak punya banyak waktu, Reika meminta taksi yang ditumpanginya berhenti, membayar taksi dan berlari turun menuju bandara. Ia tidak lagi mempedulikan dinginnya salju malam itu.


Reika akhirnya sampai di bandara. Di sana ia hanya menemui manager Junpei. Rupanya Junpei sudah masuk ke terminal keberangkatan beberapa menit yang lalu. Reika memaksa untuk masuk, tapi dihadang oleh petugas keamanan bandara. Manager Junpei akhirnya bisa menenangkannya dan mengajaknya duduk di cafe. Manager prihatin melihat keadaan Reika. Ia pun memesankan coklat panas untuk gadis di depannya.


“Junpei-kun menitipkan ini untukmu. Dia tahu kalau kau pasti nekat menyusulnya kesini.”


Reika menerima surat yang diangsurkan manager Junpei itu, dan membukanya.


Kau janji kan tidak akan menangis saat tidak ada aku di sekitarmu?! Buru-buru Reika menyusut air mata yang mengambang di sudut matanya.


Maaf. Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya padamu. Aku juga tidak punya keberanian untuk memintamu menunggu. Aku yakin kau pasti sudah dengar semuanya tentangku. Aku sendiri tidak tahu, apa ini akan berhasil atau justru sebaliknya.


Aku tahu, aku bukan Shinichi—karakter yang sangat kau sukai itu—dan kau juga bukan Ran—karakter yang menurutmu paling menyedihkan—tapi, bolehkah aku minta sesuatu? Bisakah kau menungguku sebentar lagi?


Reika mengelap air mata yang sudah membasahi pipinya, “Aku bukan Ran, dan kau juga bukan Shinichi. Tapi aku akan menunggumu pulang. Pasti, aku menunggumu!” ujarnya mantap.


Tapi Reiji dan Junpei tidak tahu, kalau ini baru awalnya saja.


Kelana’s note :


Halo semua, kenal dengan tulisan ini? Iya, karena Kelana punya rencana untuk melanjutkannya, jadi ini adalah repost dari yang lama. semoga bisa konsisten menulis dan melanjutkannya ya hehehe


 
Bening Pertiwi 00.45.00
Read more ...