SINOPSIS My High School Business 01 part 1

Sinopsis My High School Business episode 01 part 1. Namanya Narumi Ryosuke (Sakurai Sho). Dia adalah karyawan di sebuah perusahaan eksport-import, Kashimatsu Bussan. Karirnya cemerlang saat menjadi kepala cabang. Ia pun berhasil menyelamatkan cabang perusahaan yang nyaris bangkrut. Sayangnya semua berubah.



Narumi kembali dipanggil ke kantor pusat  di Tokyo. Masalah yang terjadi pada atasan langsungnya membuatnya terseret pada strukturisasi perusahaan. Narumi pun dipindahkan untuk mengelola sebuah sekolah, yang merupakan bagian dari divisi pendidikan di perusahaan. Dan tugasnya sebagai kepala sekolah baru adalah ... menyelamatkan sekolah dari kebangkrutan.



Dan di hari pertama Narumi menjadi kepala sekolah, ia mewawancarai guru yang ada di sekolah itu. Kaimeikan koukou adalah sekolah swasta setingkat SMA dengan segudang masalah. Tetapi semua tampak baik-baik saja. Benarkah demikian?


Orang pertama yang ditemui Narumi adalah wakil kepala sekolah, Kashiwagi Fumio-san yang lebih suka mengaku dirinya sebagai manajer kantor. Wawancara selanjutnya adalah dengan guru matematika, Oikawa-sensei yang tampak tidak terlalu antusias. Lalu guru bahasa Inggris Shimazu Tomokazu-sensei yang tampak canggung dan pendiam.  Berikutnya adalah Yabe Hinako-sensei, guru musik yang masih berada di tahun pertamanya mengajar.


Guru botak berbadan besar adalah guru fisika, Gōhara Tatsuki-sensei. Lalu guru sastra klasik, Sugiyama Fumie-sensei yang sangat sensitif dengan pola kalimat. Ada juga guru berambut gondrong Kawarazaki Kōtarō-sensei yang mengajar biologi. Lalu duo sahabat, Ichimura Kaoru-sensei dan Mashiba Chihiro-sensei yang mengajar ilmu sosial.


Narumi mencoba menggali dan mencari tahu masalah yang ada di sekolah itu dengan mewawancarai para guru itu. Sayangnya, mereka kebanyakan tidak responsif dan berpikir kalau Narumi Cuma mengganggu saja. Apalagi saat Narumi bicara soal keuangan, para guru itu sudah langsung protes dan tidak mau tahu papun.  Mereka tidak mau tahu soal keuangan/bisnis di sekolah itu dan menyerahkan semuanya pada wakil kepala sekolah Kashiwagi-san.



Narumi pusing selesai mewawancarai para guru itu. Nilai rata-rata devaluasi sekolah adalah 44. Itu artinya, sekolah mereka bukan sekolah yang bagus dan banyak diminati. Tapi para guru rata-rata tidak benar-benar tahu apalagi peduli dengan situasi itu. Mereka hanya berpikir memenuhi kewajiban saja untuk mengajar.


“Bagaimana rasanya duduk di kursi kepala sekolah?” tanya Kashiwagi-san pada Narumi.


Ditanya seperti itu, Narumi tidak langsung memberikan jawaban. Ia tidak yakin, “Bagaimana rasanya ... “



Soal kepala sekolah baru jadi bahan obrolan paling hangat di ruang guru. Beberapa guru protes, karena usia Narumi yang masih terlalu muda, 35 tahun dan menjadi kepala sekolah. Padahal mereka yang lebih senior malah jadi bawahannya.


Obrolan pun beralih soal uang. Para guru ini mempermasalahkan Narumi yang tiba-tiba saja bicara soal keuangan. Belum lagi, mereka berpikir kalau Narumi sama sekali tidak punya pengalaman di bidang pendidikan, tapi malah jadi kepala sekolah.



Setelah memberitahukan anak-anak di kelas, para guru dan anak-anak itu sekarang berada di aula sekolah. Mereka ada upacara penyambutan kepala sekolah baru. Obrolan anak-anak kacau. Mereka heran karena kepala sekolah sebelumnya sudah ganti saja, padahal belum lama. Di kelas pun ponsel bertebaran digunakan dengan bebas oleh anak-anak. Mereka tidak mendengarkan larangan guru untuk menyimpan ponsel itu. Hal serupa juga terjadi saat mereka sudah berkumpul di aula. Anak-anak itu tetap sibuk dengan ponsel mereka dan semua kebisingan meski beberapa guru sudah menyuruh mereka untuk diam.


Tidak lama setelahnya, Narumi terlihat berjalan masuk bersama dengan wakil kepsek Kashiwagi-san. Penampilan Narumi yang tampak masih sangat muda benar-benar menarik perhatian anak-anak itu. Mereka mengeluarkan ponsel masing-masing dan mulai mengambil gambar.


Setelah diperkenalkan oleh wakil kepsek, Narumi pun naik ke atas mimbar dan mulai bicara. “Mulai sekarang, aku akan mengelola tempat ini. Aku bekerja di Kashimatsu Bussan. Aku tidak pernah bekerja di sekolah sebelumnya. Sebagai tambahan, aku mungkin kepala sekolah termuda di Jepang. Saat SMA, kupikir ‘Kepala sekolah bicara terlalu lama’. Jadi itu saja dariku. Ayo bekerja sama!” ujar Narumi menutup ucapannya.


Kontan itu membuat para guru berpaling dengan heran. Anak-anak yang biasanya tetap ribut saat kepsek bicara, berpaling ke arah Narumi. Mereka menganggap Narumi sebagai kepala sekolah yang cool. Ucapan Narumi yang Cuma sebentar itu pun jadi bahan obrolan hangat para guru.



Narumi makan malam bersama kekasihnya Satoko Matsubara (Mikako Tabe).


“Anak-anak SMA berderet di depanku. Itu benar-benar tidak nyata. Tidak ada yang bisa kukatakan. Lebih baik aku di cabang Aomori...,” curhat Narumi.


“Kenapa kau bilang seperti itu?” tanya Matsubara.


“Aku menunggu dua tahun ... “


“Bukan itu maksudku,” potong Matsubara cepat. “Tidakkah kau senang bisa bertemu denganku lagi?” Matsubara pura-pura ngambek.


“Tentu saja.”


“Aku tahu sulit berpindah tempat kerja. Aku akan dengar keluhanmu. Tapi saat ini ... “


“Aku tahu,” Narumi memotong ucapan Matsubara. “Hubungan jarak jauh juga sulit bagiku. Karirku berubah total. Aku yakin pengetahuan bisnis yang kupunya cukup untuk mengelola sekolah. Faktanya, aku sama sekali tidak terbiasa dengan dunia pendidikan dan itu sulit bagiku untuk mengubah mereka.”



Narumi-sensei (sekarang udah pakai sensei ya, hehe) dan Kashiwagi-sensei mendatangi sebuah bank. Mereka berniat meminjam uang dari bank karena sekarang sudah tidak ada support keuangan dari perusahaan.


Ada dua orang staf bank yang menerima mereka. Keuangan sekolah diperiksa. Dari sana diketahui kalau semua biaya berasal dari siswa dan dana kota. Tapi ternyata tidak banyak siswa yang mendaftar di sekolah mereka.


Melihat hal itu, Narumi-sensei berusaha menjelaskan—dari sisi bisnis—kalau mereka punya rencana untuk bisa berkembang dan mengubah semuanya menjadi keuntungan. Sayangnya beberapa ide yang disampaikan oleh Narumi malah ditertawakan oleh pegawai bank itu. Mereka menolak memberikan pinjaman dan malah menyarankan agar Keimeikan menarik lebih banyak lagi murid di tahun ajaran baru nanti.



Diskusi dilanjutkan di sekolah. Kali ini melibatkan juga Mashiba-sensei. Narumi-sensei mengusulkan agar mereka menaikan biaya sekolah siswa. Tapi jelas itu ditolak oleh Kashiwagi dan Mashiba-sensei, karena kenaikan biaya justru akan membuat siswa enggan bersekolah di Keimeikan.


“Bagaimana kita bisa menaikan jumlah siswa yang mendaftar? Kalau aku tahu, tidak akan sekacau ini,” keluh Narumi-sensei. Narumi-sensei pun mengusulkan kalau mereka perlu bekerjasama dengan sekolah les agar anak-anak mereka ikut tes masuk Keimeikan. Naluri sales Narumi-sensei pun langsung aktif.


Narumi-sensei ingin mengajak guru lain untuk ikut bersamanya mendatangi sekolah les. Tapi rata-rata dari mereka menolak dengan alasan ada kegiatan lain setelah jam sekolah selesai. Terakhir tinggal Mashiba-sensei yang sebenarnya juga menolak.


 “Anggap saja ini sebagai pekerjaan,” bujuk Narumi-sensei lagi.


“Setelah jam mengajar, aku masih punya aktivitas klub,” ujar Mashiba-sensei.


“Aktivitas klub?” Narumi-sensei heran.


“Mashiba-sensei jadi supervisor klub panahan,” ujar Kashiwagi-sensei, menjelaskan.


“Kau mengajar itu?” Narumi-sensei tidak percaya.


“Aku supervisor, bukan pelatih. Anak-anak berlatih sendiri. Ada anak kelas 3 dengan kemampuan di atas rata-rata. Dia sudah berlatih sejak kecil.”


“Kalau begitu mereka bisa berlatih tanpamu, kan?”



Mashiba-sensei akhirnya setuju ikut bersama Narumi-sensei. Mereka mendatangi sejumlah sekolah les. Narumi-sensei memperkenalkan diri sebagai kepala sekolah Keimeikan yang baru.


Dari semua sekolah les yang mereka datangi jawaban mereka hampir selalu sama. Mereka menolak merekomendasikan Keimeikan pada murid-murid mereka karena banyak alasan. Keimeikan tidak punya kerjasama dengan universitas manapun, jadi tidak ada jaminan pasti diterima di universitas. Karenanya, siswa lulusan Keimeikan akan masuk universitas dengan seleksi umum, dan ini sangat berat. Saat ini rata-rata nilai devaluasi Keimeikan adalah 44, dan mereka minta agar dinaikkan kalau ingin siswanya mendaftar di sana. Dan lagi, Keimeikan tidak populer. Dari lima kelas di tahun sebelumnya sekarang menjadi hanya tiga kelas saja. Mereka tidak punya alasan memilih Keimeikan.


Hari sudah gelap saat keduanya selesai mengunjungi sejumlah sekolah les. Narumi-sensei dibuat pusing sendiri menghadapi semua ini. “Mashiba-sensei! Anda kan mengajar kelas favorit. Tolong buat semua anak kelas favorit masuk universitas terbaik. Itu bisa membuat Keimeikan populer!” usul Narumi-sensei kemudian.


“Huh? Kalau bisa, tentu sudah kulakukan dari dulu! Jangan pikir itu gampang kalau kau tidak mengerti apapun!”



Hari berikutnya di sekolah ...


Narumi-sensei mendatangi satu per satu kelas di Keimeikan saat jam pelajaran. Pelajaran musik, matematika, sastra klasik dan lain-lain. Semuanya tampak baik-baik saja bagi Narumi-sensei. Meski sebenarnya ... semuanya kacau. Dan Narumi-sensei pun terdampar di ruang kesehatan.


“Anda kepala sekolah baru? Aku perawat sekolah, Ayano.”


“Obat sakit perut, tolong,” pinta Narumi-sensei.


“Maaf, tidak bisa.”


“Kenapa?” Narumi-sensei heran. “Ruang kesehatan tidak bisa memberikan obat?”


“Aturan kesehatan sekolah melarang perawat sekolah memberikan obat,” ujar perawat Ayano.  Alih-alih ia membuatkan secangkir teh. “Ini teh pepermin, bisa membantu masalah perut.”


Narumi-sensei pun meminum teh itu. Rasanya melegakan. “Terimakasih.”


“Sakit perut karena stres kan?” tebak perawat Ayano. “Kepala sekolah sebelumnya pingsan saat upacara penyambutan. Saat bicara dengan siswa, dia pingsan tiba-tiba. Serangan nervous. Melihat anak-anak itu membuatnya makin buruk.”


Pelan, perasaan Narumi-sensei makin membaik, “Ayano-sensei, bagaimana aku bisa menerapkan kemampuanku di sini?” curhatnya. “Aku tidak tahu apapun.”


Obrolan mereka terhenti saat ponsel Narumi-sensei berdering. Telepon dari kantor pusat. Ia pun pamit pergi.


BERSAMBUNG


Sampai jumpa di My High School Business 01 part 2.


Pictures and written by Kelana

Tidak ada komentar: