Results for Kamenazi Kazuya

SINOPSIS dorama I'm Your Destiny episode 03 part 2. Hubungan Makoto dan Haruko belum ada kemajuan sama sekali. Alih-alih makin baik, justru makin kacau dan canggung. Tugas Makoto untuk bisa mendapatkan kontak Haruko pun belum berhasil dilakukannya. Bagaimana selanjutnya?



Meski tidak banyak yang datang, tapi suasana minum bersama malam itu perlahan mencair. Tapi, Makoto mendapatkan firasat akan terjadi sesuatu, firasat buruk. Tapi bukan kedatangan Haruko dkk, melainkan ... apalagi sekilas terdengar lagu 'The Devil 'oleh Shubert ...


“Apakah itu Makoto?” sapa Sadaoka yang baru saja tiba. Ia melihat Makoto tengah berada di tengah-tengah rekan-rekannya.


“Ternyata benar! Aku punya firasat bertemu denganmu,” gumam Makoto berusaha tersenyum membalas sapaan Sadaoka.


“Rekan kerja aku secara diam-diam mengadakan pesta selamat datang... jadi karena itulah aku disini,” cerita Sadaoka. “Apakah Kalian semua rekan kerja?” saat itu sejumlah karyawan wanita juga ikut masuk, teman-teman sekantor Sadaoka.


Ini membuat rekan-rekan Makoto tertarik, “Apakah Kamu ingin minum bersama kami? Jika kamu teman Makoto, kami juga arus mengenalmu!”


“Aku menghargai tawaran itu tapi untuk hari ini, Aku harus menolak,” ujar Sadaoka kemudian. Karena dipanggil oleh rekan-rekan wanitanya, Sadaoka pun pamit pergi. “Oke, sampai jumpa lagi.”



Sadaoka menyapa Makoto saat mereka sama-sama buang air di toilet. Sadaoka menceritakan kalau itu tidak semenyenangkan seperti yang terlihat.


“Aku sudah hampir tidak mabuk sama sekali,” ujar Sadaoka, mengacu pada acara minum-minum bersama rekan-rekan kantornya.


“Mengapa itu? Sedikit keterlaluan kan, padahal mereka sudah memersiapkan pesta untukmu,” kometnar Makoto.


Tapi Sadaoka tidak benar-benar tertarik dengan perbincangan itu. Ia justru menceritakan hal lain, “Aku akan melamar Haruko besok.”


Tadinya Makoto biasa saja. Tapi ia kemudian sadar, melamar artinya ...


“Mie-san memberitahuku bahwa Haruko bermaksud menikahi orang berikutnya yang pergi keluar (kencan) dengannya,” cerita Sadaoka lagi.


“Tapi ... meski begitu, ini agak terlalu cepat kan?” Makoto mencoba tenang padahal hatinya sudah bergemuruh.


Sadaoka tersenyum, “Kita tahu orang seperti apa Haruko. Lebih cepat kukatakan, lebih cepat juga aku tahu respon Haruko. Apalagi jika ia tahu aku siap untuk menikah. Aku ingin mengejutkannya, jadi kamu harus merahasiakannya.” Pinta Sadaoka pula pada Makoto.


Makoto hanya bisa terdiam mendengar cerita Sadaoka ini. Ia kaget karena ternyata ia sudah kalah start dari Sadaoka sejak awal. “Apa yang harus aku lakukan?”



“Masalah besar! Apa yang harus dilakukan? Apa yang harus dilakukan?” Makoto heboh sendiri saat pulang ke rumahnya. Ia mencari-cari si dewa, yang tiba-tiba saja muncul secara tidak terduga di hadapannya, masih saja membuat Makoto kaget meski itu bukan pertama kalinya.


“Kamu tidak punya hak untuk mengandalkannya. Ketika Kamu tidak bisa mendapatkan kontaknya Atau bahkan memberikannya milikmu, jadi...”


Makoto yang tidak sabar memotong ucapan dewa, “Kamu bilang dia akan menerima lamarannya?”


“Nah, sekarang dia (Sadaoka) sudah mencapai puncak popularitasnya sekarang. Selanjutnya, temannya (Mie) memberi dia (Haruko) dorongan yang kuat. Kau berada dalam situasi buruk,” dewa sama sekali tidak mambantu, justru membuat Makoto makin frustasi. “Tapi hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Besok kamu akan pergi ke rumahnya Untuk mengantarkan server air. Satu-satunya hal yang bisa Kamu lakukan adalah menunda dia. Ini adalah kesempatan terakhirmu.”



Hari berikutnya, Makoto datang ke kediaman keluarga Kogetsu membawakan server air dari perusahaannya. Hari itu sebenarnya hari Sabtu/libur.


Setelah meletakkan server air itu, Makoto melihat sekeliling dan tidak menemukan Haruko, “Erm, dimana Haruko hari ini?”


“Dia pergi sebelum Kamu datang. Dia bilang dia akan pergi Untuk bertemu teman sekolahnya,” ujar Kogetsu-san.


“Apa? Kemana dia pergi ?!”


“Dia akan mengucapkan selamat kepada Guru SMAnya yang baru saja melahirkan,” lanjut nyonya Kogetsu pula.


Makoto memutar otak. Ia ingin mencari alasan untuk bisa menghubungi Haruko, “Ah, tidak Tentang posisi tersebut, Aku sarankan agar kita mendapatkan pendapat dari Semua anggota keluarga.”


“Kupikir Haruko tidak keberatan di mana kita menaruhnya,” ujar pasangan Kogetsu itu lagi.


Tapi Makoto berkeras, kalau ia perlu juga mendengarkan pendapat Haruko. Makoto pun memotret server air itu dan mengirimkannya pada Haruko, dengan alasan agar tidak terjadi perdebatan selanjutnya.



Sementara itu ...


Haruko berjalan dengan Sadaoka di halaman sekolah mereka. Sadaoka membicarakan soal guru mereka yang tampak tidak berubah meski punya begitu banyak siswa. Sadaoka juga berpikir kalau gurunya tidak akan mengenalinya. Tapi ternyata festival budaya di sekolah membuat sang guru masih mengenalinya.


Haruko berpikir agar Sadaoka berkumpul dengan band-nya lagi dan datang ke acara reuni sekolah berikutnya. Sadaoka mengkritik Haruko yang juga tidak pernah datang. Tapi Haruko berjanji, kalau Sadaoka berhasil berkumpul (10 orang) bersama band-nya, ia akan datang ke reuni.


“Akan sangat bagus jika Aku bisa, Tapi mereka semua sibuk dengan ini dan itu,” ujar Sadaoka akhirnya. “Waktu berjalan begitu cepat. Dalam sepuluh tahun sejak pertunjukan bodoh itu, sebagian dari teman-teman band-ku sudah menikah. Entah bagaimana, usia dua puluhan berlalu dalam sekejap.”


Keduanya masih terus berjalan. Sementara itu, di sebelah tampak anak-anak SMA tengah berolahraga di lapangan.


“Apakah kamu ingat tempat itu disana?” Sadaoka menunjuk suatu tempat tidak jauh dari tempatnya berdiri sekarang. “Di situlah aku mengajakmu kencan, 12 tahun yang lalu. Tempat dimana aku gagal Untuk mendapatkan respon yang tepat darimu,” ujar Sadaoka kemudian.


Bagaimana Makoto? Dengan setengah berlari, Makoto akhirnya tiba di depan sekolah. Ia mencoba masuk, tapi dihalangi oleh satpam di sana. Satpam itu mengatakan, kalau Makoto tidak bisa masuk kalau tidak punya izin. Makoto mencoba mencari celah. Tapi tetap saja gagal. Ia pun akhirnya beranjak pergi.



Makoto berjalan di samping lapangan sekolah. Ia tidak bisa masuk. Tapi saat itu, ia melihat Haruko tengah berjalan beriiringan dengan Sadaoka, dan berhenti di suatu tempat.


“Haruko-san! Posisi server air! Harap konfirmasi posisinya ...” Makoto mencoba menarik perhatian Haruko dengan berteriak. Tapi akungnya, tempatnya terlalu jauh hingga tidak akan terdengar.


Sementara itu, di seberang tampak Haruko yang tersipu malu di depan Sadaoka. Tahu apa yang terjadi (Sadaoka melamar Haruko), Makoto pun langsung terduduk lemas, bersandar pada pagar lapangan. Harapannya pupus sudah.



Makoto tengah melamun di sisi lapangan yang ada di dekat sungai saat sebuah bila mendekatinya. Dua orang anak kecil mendekat dan meminta bola itu. Tapi karena anak itu tidak sopan, Makoto pun menegurnya. Tidak hanya meminta bola bisbol saja, kedua anak itu pun mengajak Makoto ikut main. Tapi karena lagi-lagi ucapan mereka tidak sopan, Makoto protes dan meminta mereka mengatakan permintaan dengan baik. Mood buruk Makoto membuatnya jadi mudah marah oleh hal-hal remeh. Kedua anak itu pun menurut. Mereka meminta Makoto untuk ikut main dengan bahasa yang lebih sopan.


Tidak punya pilihan lagi, Makoto pun setuju untuk ikut main. Pertandingan dua lawan satu. Makoto sendirin jadi tim lawan. Tapi karena bisbol, Makoto pun bisa sedikit lebih sumringah dan tidak suram lagi seperti tadi.



Bola yang digunakan bermain terlempar cukup jauh hingga ke jalan. Saat Makoto akan mengambilnya, saat itu Haruko lewat. Ia pun berhenti dan menyapa Haruko.


“Selamat ya,” ujar Makoto.


Haruko heran, “Apa maksudmu?”


“Sebenarnya aku dengar dari Sadaoka-kun kemarin. Bahwa dia akan melamarmu hari ini. Apakah begitu?”


“Lalu.. Kenapa kamu mengucapkan selamat?” tanya Haruko lagi.


“Ah, baiklah. Lamaran itu berjalan dengan baik, bukan?” tebak Makoto.


“Aku menolaknya,” cerita Haruko.


Makoto kaget, “Eh? Tapi Kamu tersenyum dan tampak bahagia?”


“Kau melihatku?” Haruko curiga.


“Ah, Aku minta maaf. Eh, aku ingin konfirmasi denganmu posisi server air. Tepat pada saat itu 'Wedding March' mulai bermain, Itu terlalu aneh.”


Haruko tersenyum, “Tertawa bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan.”


Kedua anak yang tadi bermain bisbol memanggil Makoto dan memintanya kembali ke permainan. Tapi Makoto meminta mereka menunggu sebentar, karena ia punya pembicaraan serius.


“Tidakkah Kamu pikir sebaiknya Anda pergi?” ujar Haruko.


Makoto mengatakan agar tidak perlu memedulikan anak-anak itu. Ia mencoba kembali bicara pada Haruko. Tapi anak-anak itu makin ramai mengganggunya. Makoto pun tidak punya pilihan dan pamit pergi.



Tapi saat melihat papan skor, Makoto mendadak berbalik pada Haruko. “Ini adalah benang merah takdir. Tolong tunggu! Maukah kau menyimpan kontak ku?” Makoto menunjuk pada papan skor. “Itu belum selesai.”


“Apa yang kamu bicarakan?”


“Pada papan skor, itu adalah paruh pertama Nomor teleponku. Jika kita benar-benar terhubung Oleh benang merah takdir, Aku berpikir bahwa 5 kolom terakhir Akan melengkapi nomorku. Juga, anak laki-laki yang bermain denganku itu bernama Akai (merah) dan Ito (benang).” (akai ito=benang merah bisa juga diterjemahkan sebagai takdir)


Haruko heran, “Tapi, apa bisa kamu membuat sesuatu sesuai keinginanmu seperti itu? Jika mulai sekarang, Kamu tidak mengambil poin Dan membiarkan mereka mengambil poin sesukamu, Maka tidak bisakah kamu melengkapi nomor kamu?”


“Sejauh yang Kamu tahu itu benar, Tapi dengan bisbol, kamu tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Permainan tidak akan selalu berjalan seperti yang ku inginkan,” ujar Makoto.


“Mengapa Kamu ingin sejauh itu untuk melengkapi nomor itu?”


“Bukankah sudah jelas? Aku ingin berbicara denganmu di telepon. Jadi, jika kamu berminat, tolong kembali lagi nanti dan periksa papan skor itu.” Makoto pun pamit pergi dan kembali ke lapangan.



Haruko tiba kembali di rumah. Tapi kedua orangtuanya heran, karena Haruko pulang sendiri. Mereka berpikir kalau Haruko akan pulang bersama Makoto.


“Dia sudah pulang?”


“Aku pikir, dia mungkin masih di lapangan baseball di tepi sungai,” ujar Haruko.


“Jadi, teleponlah dia,” ujar Kogetsu-san.


Haruko heran. Ternyata alasannya, karena ibunya sudah memersiapkan makan malam udang goreng dan saus buatan tangan, berpikir Makoto akan makan malam bersama mereka. Haruko pun tidak punya pilihan. Tapi ... ia tidak punya nomer kontak Makoto.



Haruko kembali datang ke lapangan bisbol dekat sungai. Ia menemukan papan skor di sana sudah penuh angka. Haruko tidak yakin, tapi ia kemudian memencet nomer yang ada di sana pada ponselnya.


“Halo, Ini Haruko.”


Dan suara yang tidak asing terdengar dari seberang, “Masaki berbicara.”


Haruko kaget, “Sejujurnya aku tidak berpikir itu akan berhasil.”



“Aku juga tidak berpikir begitu,” ujar Makoto.


“Apakah kamu curang?”


“Tentu saja tidak! Ini adalah skor yang aku dapatkan dari bermain,” elak Makoto cepat.


“Nah, itu berhasil dengan baik.”


“Itu lebih sulit dari yang kubayangkan. Kupikir mereka sudah melihatku Ketika Aku mendapat tiga out dengan sengaja. Aku harus tunduk pada mereka, Dan mereka memberiku permainan.”


Haruko berjalan menjauhi lapangan bisbol itu. Ia pun tiba di padang rumput dengan bunga kuning yang bermekaran. Saat itu, terdengar alunan lembut musik klasik. Dan dengan mudah Makoto menebaknya, 'Clair de Lune' oleh Debussy. Haruko juga cukup kaget karena Makoto menebaknya dengan benar.



“Malam ini bulan purnama bukan?” ujar Makoto kemudian.


Di seberang, Haruko juga memandang ke langit dan mengiyakan.


“Apakah Kamu mau pergi untuk makan denganku? Salah satu teman sekolah lamaku adalah mantan pegulat, Dan restoran yang dibukanya Dekat kantor kami. Tapi aku belum pernah ke sana. Jadi Aku tidak tahu apakah enak atau tidak,” Makoto menawarkan.


“Kupikir aku tahu restoran mana yang kamu maksud. Kalau begitu, aku mau pergi.”


“Sungguh?! Baiklah kalau begitu...Haruskah kita pergi bersama?”


“Jika boleh membawa teman,” lanjut Haruko.


Makoto makin sumringah. Apalagi di tempat makan yang mereka rencanakan ini, tidak akan ada potensi perbedaan selera makanan yang perlu diperdebatkan. Keduanya pun menutup obrolan malam itu dengan ucapan sampai jumpa.


Makoto begitu bahagia. Ia bahkan memeluk tiang listrik yang ada di dekatnya, membuat orang-orang yang lewat di dekatnya mengernyit heran.



Makoto minum sendirian di teras sambil senyum-senyum sumringah. Saat itu dewa pun menyusulnya. Tapi mereka kemudian masuk kembali ke dalam.


“Sadaoka-kun, yang jauh lebih menarik darimu Dengan sengaja disingkirkan Haruko. Apakah kamu sudah menyadari gravitasi ini?” ujar dewa.


“Apa maksudmu?” Makoto heran.


“Maksudku, betapa sulitnya hal itu Untuk menangkap hatinya.”


“Tapi dia bilang dia akan pergi bersamaku untuk makan malam,” elak Makoto.


“Dan di sana Kamu akan diberitahu sekali lagi, 'Aku tidak punya perasaan romantis terhadapmu. “


“Tidak, itu pasti tak terpikirkan,” Makoto tidak percaya.


“Bukankah kamu meremehkan ukuran musuhmu? Jika Sadaoka adalah bosnya, Maka dia adalah bos besar. Jika Kamu melancarkan serangan normal, dia tidak akan menyerah satu inci pun. Dia memakai baju besi yang tak tertembus. Kamu tidak bisa menyerangnya seperti itu. Kamu harus membalikkan dunia. Kamu harus membuat langkah berani!”



Haruko makan malam bersama ayah dan ibunya seperti biasa. Kogetsu-san bercerita kalau ia sudah pernah minum bersama Makoto. Kedua orang tuanya ini berpikir kalau Makoto orang baik dan seolah ... ingin agar Haruko dekat dengan Makoto.


Tapi Haruko tidak tampak tertarik, “Aku mungkin tidak bisa menikah.” Ia terus mengunyah makanannya.


“Aku tidak mengatakan Kamu harus bersama dengannya,” ujar Kogetsu-san.


“Aku tahu. Ini bukan tentang siapa orangnya, Melainkan hubungannya dengan pernikahan itu sendiri.” (rumit ya? Kadang cewek emang gini. Nggak mau nikah bukan masalah orangnya. Tapi masalah pernikahan itu sendiri, termasuk konsekuensi setelahnya. Hmmm ... seperti curhat jadinya, hehe)


BERSAMBUNG


Sampai jumpa di I'm Your Destiny episode 04 part 1.


Pictures and written by Kelana

Bening Pertiwi 13.17.00
Read more ...

SINOPSIS dorama I'm Your Destiny episode 03 part 1. Masaki Makoto, 30 tahun. Pertarungannya mendapatkan hati wanita takdirnya, Kogetsu Haruko baru saja dimulai. Dan saingan beratnya adalah seorang pria bernama Sadaoka, yang musim panas kali ini semakin memesona dan populer di kalangan para wanita.



Pagi Makoto dimulai dari sapaan Sadaoka yang tiba-tiba datang dan mengajaknya minum bersama. Makoto jelas tidak bisa menolak. Dari sana, Makoto sadar kalau Sadaoka adalah saingan yang berat. Seseorang yang benar-benar akan popouler di antara para wanita.


Sampai di ruangan, Makoto sudah disambut pertanyaan dari rekan-rekannya. Rupanya mereka melihat saat Makoto disapa Sadaoka tadi. Makoto Cuma bilang kalau itu kenalannya. Tapi rekan-rekannya curiga, karena Makoto tampak melihat pria itu dengan sangat serius.


“Aku bisa melihat dengan jelas api kebencian,” ujar salah satu rekan Makoto.


Makoto akhirnya menjelaskan alasannya. Sadaoka adalah lawannya saat pertandingan baseball di SMA. Dan karena pukulan yang dibuat oleh Sadaoka, tim Makoto kalah. Obrolan pun berlanjut.



Sementara itu, di kantor sebelah, Haruko sedang meeting bersama tim dan rekan-rekannya. Setelah meeting selesai, tinggal Mie dan Haruko yang masih berada di ruangan.


“Melihat grafik, Itu membuatku memikirkan Sadaoka-kun,” komentar Mie. “Semua orang mencari orang seperti ini. Tapi orang yang sempurna tidak ada, jadi kita menyerah. Tapi Sadaoka-kun, menyentuh semua titik di hexagon. Dia tidak menonjol pada satu titik pun, Tapi mereka semua di atas rata-rata. Ini tidak sering terjadi Kamu menemukan seorang pria Dengan heksagon yang indah,” Mie terus saja memuji Sadaoka.


“Jika Kamu berpikir begitu tinggi tentang dia Kenapa kamu tidak mengajaknya keluar?” tanya Haruko dengan bosan.


“Apa yang kamu katakan! Sadaoka-kun jelas-jelas menyukaimu. Aku menyemangatimu,” elak Mie cepat. “Aku tidak berpikir dia orang jahat.”


“Tapi jujur saja Aku tidak begitu tahu,” ujar Haruko lagi.


“Aku mengerti. Serahkan padaku. Yang lebih cocok untuk Haruko, Hari ini Aku akan menentukan jawabannya, Dengan mataku sendiri!”



Malam itu, Haruko dan Mie minum bersama Sadaoka dan juga Makoto. Obrolan tadinya berjalan lancar. Hingga saat makanan datang, ternyata Makoto punya selera yang berbeda dengan Mie. Dan mereka pun berdebat.


Berbeda dengan Makoto, Sadaoka justru mendapat banyak pujian dari Mie. Ia benar-benar jadi pusat perhatian dalam obrolan mereka malam itu.



“Sadaoka-kun, sangat bijaksana bukan? Dia juga ahli memasak daging. Dia meminta lebih banyak minuman. Pada waktu yang tepat,” komentar Mie saat Sadaoka pamit pergi untuk mengambil minuman lagi.


“Apakah kamu masih marah?” tanya Makoto hati-hati. Ia mengacu pada perdebatan mereka tadi soal makanan.


“Aku tidak terlalu marah,” elak Mie pula. “Aku hanya mengatakan betapa luar biasa Sadaoka-kun.”


Merasa tidak enak, Haruko mengalihkan pembicaraan, “Jadi apa yang kamu lakukan pada hari libur?”


Makoto berpikir, “Eh ... baik, saya bersih-bersih dan mencuci.”


“Aku sedang berbicara tentang minatmu?”


“Minatku? Minatku ... erm berbagai hal ...” Makoto tidak yakin.


Obrolan mereka terhenti saat Sadaoka kembali. Dan ternyata dia kembali dengan memakai wig, kaca mata hitam dan gitar di tangan. Sadaoka mulai berdendang. Jelas ini membuat Mie dan Haruko berteriak girang.


Coo coo coo. Hujan air mata adalah ...Coo coo coo. Kaki kita menjadi basah ...Topi sutra, 1, 2, 3 ... Masukkan banyak kebencian dan kesedihan. Tutupi dengan syal. 1, 2, 3. Seekor merpati terbang keluar. Topi sutera, 1, 2, 3. Masukkan banyak kebencian dan kesedihan. Tutupi dengan syal 1, 2, 3. Seekor merpati terbang keluar. Coo, coo.



“Selamat datang di rumah, Makoto,” dewa menyambut Makoto yang baru pulang sambil memainkan gitar dan bernyanyi. “Lagu ini terkenal.”


“Apa? Apa kamu ingin berkelahi denganku?” komentar Makoto dengan kesal. Moodnya benar-benar buruk malam itu.


“Aku mengerti, Kamu tidak suka musik folk?”


“Ini tidak ada hubungannya dengan genre. Dan juga, Bisakah kamu berhenti santai menggunakan nama pertamaku!” protes Makoto lagi.


Tapi dewa sama sekali tidak peduli dengan komentar Makoto, “Makoto, seperti Sadaoka-kun, Kamu harus membuat musik sekutumu.


“Aku harus menulis dan menyanyikan Laguku sendiri juga maksudmu?”


“Bernyanyi tidak cukup untuk membuat musik menjadi sekutumu. Ada hal lain yang harus Kamu lakukan, bukan? Tidakkah kamu memberitahunya bahwa, Kamu akan menyukai musik klasik. Bagaimana dengan itu? Kamu membeli CD yang begitu mahal, Tapi kamu masih belum membukanya.” Dewa menunjukkan CD musik klasik yang dibeli Makoto.


“Itu karena aku sibuk akhir-akhir ini,” elak Makoto.


“Tidakkah kamu mengerti caranya meluangkan waktu? Untuk mengetahui gairah/passion seseorang, Bisa menggerakkan hati mereka. Baiklah, dalam seminggu, Hafalkan semua ini Lagu dan komposer.”


“Apa?! Itu jelas tidak mungkin.”


Tapi dewa jelas tidak mendengarkan, “Ada 100 lagu. Jika Kamu menghafal 20 lagu sehari, Kamu bisa melakukannya dalam 5 hari.”


“Jangan membuatnya terdengar begitu mudah!” protes Makoto lagi.


“Kebahagiaan tidak datang kepada mereka yang tidak bisa mencintai musik.”


“Jadi, jika Aku menghafal itu semua, Aku bisa menemukan kebahagiaan kan?” Makoto menyimpulkan.


“Beri aku nama dan komposer lagu ini,” ujar dewa, setelah menyetel salah satu lagu dari CD milik Makoto.


Makoto berpikir, “Aku pernah mendengarnya sebelumnya ...”


“Ini 'The Wedding March' oleh Mendelssohn. Apakah Kamu atau Sadaoka-kun? Yang mendengar lagu ini bersamanya. Jawabannya adalah... Sisanya 99 lagu dan komposer, Saat kamu sudah hafal semua. Itu secara alami akan membimbingmu.”


“Kamu mengatakan yang sebenarnya bukan?” Makoto ragu.



“Komponis Mussorgsky. 'Pictures at an Exhibition' Benar, Mussorgsky,” gumam Makoto.


Ia mengikuti saran dewa dan mulai menghafal lagu-lagu di CD musiknya. Makoto menggunakan headset sepanjang perjalanannya ke kantor. Bahkan di kantor pun, Makoto tetap terus menghafal. Ia memanfaatkan waktunya di sela-sela kegiatannya.



Makoto sudah duduk di balik mejanya, saat kedua rekannya yang baru datang heboh. Salah satu dari mereka mengaku beruntung pagi itu, 'keberuntungan yang cukup’. Sementara yang lain mengaku mendapat 'Keberuntungan besar'.


“Apa ini, 'Keberuntungan pagi?'” Makoto heran.


“Di perusahaan sebelah, mereka memiliki seorang karyawan bernama Yotsuya Mie. Orang yang tinggi, ramping dan wangi luar biasa. Dengan sangat hormat kami memanggilnya 'Menara wangi'. Jika dia di lift denganmu di pagi hari Itu 'Keberuntungan besar'. Jika Dia tidak disana, tetapi ada aroma yang tersisa itu disebut 'sedikit beruntung'. Jika Anda melewati seseorang di jalan yang wanginya sama, itu 'keberuntungan berlanjut'. Pada hari ketika Kamu mendapatkan 'Keberuntungan besar', Kamu pasti akan mendapatkan kontrak. Dia dikenal sebagai ... 'Fragrance Venus'.”


“Kaulah satu-satunya yang diizinkan masuk dan keluar dari pintu sebelah. Mohon untuk berhubungan baik dengan Yotsuya Mie-san, secepatnya.”


Tapi Makoto tidak terlalu terkejut, “Ah, kemarin, Aku kebetulan pergi minum bersamanya.”


Diberitahu seperti itu, kedua rekannya ini langsung heboh. Mereka kesal karena Makoto tidak menelepon mereka. Makoto mengelak kalau ia tidak tahu, kalau kedua rekannya ini sangat tertarik.


“Bisakah kamu menyebarkannya sedikit keberuntungan itu kepada kita?”


“Ah, tapi Aku pikir, itu sebagai hasil dari kemarin, mereka membenciku,” ujar Makoto.


Obrolan para pria ini membuat kesal satu-satunya karyawan wanita di kantor Makoto.



“Kemarin, semua menjadi jelas kan? Tanpa ragu Dia adalah Sadaoka-kun,” ujar Mie, mendekati Haruko di jam istirahat mereka.


“Tolong jangan membuat keputusan tentang hidupku!” protes Haruko.


“Sebagai perbandingan, pria takdirmu ... tidak ada apa-apanya. Jika dibandingkan dengan Sadaoka, semua jadi jelas. Ketertarikan, sikap positif, humor dan sejenisnya, dia sangat rendah. Hanya 'takdir' yang secara tidak normal nilainya tinggi. Ini dikenal sebagai bentuk 'teleskop' Atau tipe 'topi runcing'. Ini adalah formasi grafik yang merusak.” Mie mulai mengoceh tidak jelas.


“Sejak kapan kamu menjadi seorang kritikus?” pertanyaan sarkas Haruko.


Tapi ia tidak menyerah meyakinkan Haruko, “Begini, takdir hanya menyenangkan di awal. Tapi kalau menyangkut pernikahan, pergi ke kota, Dan bertemu seseorang secara kebetulan, itu akan jadi masalah.”


Haruko memilih tidak mau berkomentar lagi. Ia tahu pasti, Mie tetap berkeras soal Sadaoka.



Masaki masih bertugas. Ia menelepon pelanggan yang sempat ia datangi sebelumnya. Sambil menunggu dijawab, tidak sengaja ada musik klasik diputar. Dan dalam sekejap ia bisa mengenali lagu itu, Offenbach, 'Heaven and Hell'


Ini menarik perhatian atasannya, “Masaki-kun, Kamu tahu musik klasik?”


“Ah, tidak tidak juga, Baru-baru ini saya berkecimpung di dalamnya sedikit.”


“Ini sering dimainkan dalam acara olahraga. Tapi aku tidak berpikir bahwa judul lagu ceria itu adalah 'Heaven and Hell'! Tetapi acara olahraga Adalah neraka bagiku. Aku benci suara pistol start.”


“Beberapa orang memang seperti itu, bukan?” komentar Makoto.


Obrolan mereka terhenti saat suara di seberang telepon menyapa balik Makoto. Sayangnya, kontrak yang ditanyakan oleh Makoto ternyata dibatalkan oleh perusahaan sebelah.


Mendapat penolakan seperti itu, Makoto pun akhirnya mengerti maksud dewa kalau musik adalah sekutunya. Artinya, musik bisa jadi tanda-tanda dari situasi yang akan terjadi atau akan dia alami.



Masaki sudah hampir pulang saat telepon di mejanya kembali berbunyi. Dari Kogetsu-san yang ternyata mengabari kalau keluarganya setuju untuk berlangganan air dari perusahaan tempat Makoto bekerja.


“Bila Anda punya waktu, Bisakah saya menjelaskannya kepada Anda? Saya bisa datang besok atau lusa?” Makoto menawarkan.


“Baiklah, bisakah kamu datang ke rumahku besok sore?” ujar Kogetsu-san.


Makoto sempat kaget saat Kogetsu-san mengundangnya ke rumah. Kogetsu-san pun menawarkan kalau di kafe saja. Tapi Makoto mengelak dan mengatakan tidak masalah datang ke rumah.



Dalam perjalanan pulang ke rumah, Makoto sempat membeli makan malam. Saat itu sebuah mobil melintas di belakangnya. Terdengar suara musik klasik dari sana.


“'Triumphant March' oleh Verdi,” komentar Makoto dengan yakin. Makoto sudah berhasil menghafal banyak lagu dari CD musik klasiknya dan makin mahir menebak judul serta komposernya.



“Kamu terlalu dini untuk bersemangat. Hal yang sebenarnya adalah besok,” komentar dewa saat menyambut Makoto pulang masih mendengarkan lagu-lagu dari CD-nya.


“Aku tahu itu,” ujar Makoto.


“Kenapa kamu mengintip ke kantornya?” tanya dewa lagi. Dia mengacu pada sikap Makoto tadi sepulang kantor, yang justru mengintip ke kantor sebelah.


“Jika Aku tiba-tiba tiba di rumahnya, dia akan panik.”


“Harta karunmu berasal dari hal-hal seperti itu,” ujar dewa lagi. “Aku mengatakan bahwa, secepatnya kau harus dapatkan kontaknya,” saran dewa.


Makoto tidak yakin, “Dia akan memberikannya padaku hanya dengan bertanya padanya.”


Dewa langsung menyodorkan kartu kuning di depan wajah Makoto, “Kamu benar-benar tidak bisa mengatakan itu. Kamu bahkan belum mencobanya. Bahkan jika dia tidak memberitahumu miliknya, kamu setidaknya harus memberikannya milikmu.”


“Lain waktu Aku akan mendapatkannya, Ok?” Makoto mencoba negosiasi. “Aku tidak tahu apakah aku akan menemuinya besok.”


“Apakah kamu idiot?! Kemarin sore, di depan kotak makan siang, Kamumendengar 'Triumphant March'. Bukan? Tentu Kamu akan menemuinya!”


Makoto berpikir lagi, “Apa itu maksudmu? Musik menjadi sekutuku? Bukan hanya kebetulan saja aku mendengar lagu itu. Ini memiliki makna?”


“Hidup lebih menyenangkan jika kamu berpikir seperti itu. Jika Kamu tidak mendapatkan kontaknya besok, lain kali itu akan menjadi kartu merah!” ancam dewa lagi.


Malam itu, Makoto pun menulis. Ia ingin agar Haruko tidak kaget saat datang ke rumahnya.



Hari berikutnya, Makoto benar datang ke rumah keluarga Kogetsu. Ia dijamu di meja dapur oleh pasangan Kogetsu. Nyonya Kogetsu menyeloroh saat melihat Makoto memerhatikan cetak tangan yang dipajang tidak jauh dari meja makan.


“Ini adalah cetak tangan besar bukan. Apakah Anda tahu pegulat sumo Daikaiyama?” tanya nyonya Kogetsu.


“Ah iya, dia baru saja pensiun.”


“Putriku adalah penggemar berat nya,” cerita nyonya Kogetsu. Ia pun mengambil salah satu foto keluarga dan menunjukkannya pada Makoto. “Ini putriku Haruko. Sejak Daikaiyama pensiun, Dia sedang dalam suasana hati yang buruk.”


“Sungguh, ah, dia sangat cantik,” puji Makoto, canggung.


“Itu diambil saat dia datang dari upacara umur, Sudah lebih dari 10 tahun. Kita punya beberapa gambar yang lebih baru bukan?”


Kedua pasangan Kogetsu ini pun langsung heboh. Mereka lalu mengambil album dan mencoba menunjukkan foto-foto Haruko pada Makoto. Pada salah satu foto, Kogetsu-san terhenti. Ia melihat foto putri mereka, Haruko bersama seorang anak kecil lain di pantai dan merasa kalau anak kecil itu mirip dengan Makoto.


“Sekarang setelah Anda menyebutkannya, ya, memang begitu. Sebenarnya, ini Saya,” komentar Makoto, meski hanya melihat foto itu sekilas.


Pasangan Kogetsu pun kaget. Mereka tidak menyangka akan terjadi hal seperti itu.



Tepat saat itu, Haruko baru saja tiba di rumah dan kaget menemukan Makoto ada di rumah mereka, “Apa yang sedang kamu lakukan?!”


Makoto juga kaget, “Maafkan saya. Karena tidak memberitahumu lebih dulu.”


Tapi kedua orang tua Haruko tampak belum paham, kenapa Makoto tiba-tiba saja minta maaf. Mereka justru asyik menunjukkan foto masa kecil Haruko yang bersama Makoto kecil.


Haruko menjelaskan kalau Makoto adalah kenalan yang bekerja di sebelah kantornya. Makoto pun kembali minta maaf. Haruko yang kesal justru berbalik dan bersiap pergi lagi dengan alasan belanja, membuat Makoto makin tidak enak hati.


Tidak ingin kehilangan kesempatan, Makoto pun mengejar Haruko ke depan. Ia berniat memberikan kertas yang sudah dipersiapkannya semalam pada Haruko. Tapi urung dilakukan.


“Maaf tiba-tiba muncul tanpa pemberitahuan,” ujar Makoto, menghentikan Haruko di depan pintu.


“Ini pekerjaan bukan. Tidak perlu meminta maaf.”


“Ibumu tertarik dengan produk kami dan jadi ...” Makoto masih berusaha menjelaskan.


“Jika orang tuaku menginginkannya, maka itu tidak masalah,” potong Haruko cepat.


“Kamu suka sumo kan? Teman sekelasku adalah mantan pegulat,” Makoto mencoba mencari perhatian Haruko.


“Kamu sedang bekerja sekarang, bukan?” sindirnya. Ia pun benar-benar beranjak pergi.



Makoto pulang ke apartemennya sendiri dengan perasaan kacau. Situasi antara dirinya dan Haruko, bukan jadi lebih baik justru makin kacau.


Makoto mencoret-coret sejumlah catatan, “100 lagu hafal! Hei, apakah kamu mendengarkan? Hei! Keluar. Demi kebaikanmu!” ia mencari-cari si dewa. Tapi, malam itu dewa sama sekali tidak muncul.



Atasan Makoto mengumpulkan anak buahnya. “Jumat depan. Akan ada pertemuan bisnis. Berkumpul dengan karyawan kantor sebelah. Seperti yang kalian ketahui, mulai bulan ini mereka telah mengambil sebuah kontrak dengan kita. Atas nama persahabatan, untuk saat ini kita akan minum bersama.”


Tapi reaksi anak buahnya beragam. Ada yang berpikir kalau itu tidak ada gunanya. Tapi karyawan lain yang ngefans pada Mie, jelas bersemangat karena mereka akan punya kesempatan bertemu Mie.


“Partisipasi tidak diwajibkan, Tolong datang jika kamu mau. Terima kasih!” ujar sang atasan lagi.


Karyawan fans Mie bersemangat. Mereka sudah berpikir bagaimana caranya, agar Mie nanti duduk di antara mereka. Mereka berpikir kalau pengaturan tempat duduk sangat penting.



Malam yang direncanakan pun tiba. Seluruh anggota Welcome water lengkap datang. Tapi ... dari kantor sebelah yang datang ternyata hanya sang bos wanita. Ia tampak tidak nyaman dengan situasi itu. Tapi ia berusaha kerasa menutupinya.


Sementara itu, dua orang fans Mie menarik sang bos sedikit menjauh. Mereka protes karena situasinya justru kacau seperti ini. Dan mereka curiga kalau karyawan lainnya memang tidak akan datang.


Sementara itu, Makoto yang sejak tadi menahan nafas akhirnya justru bisa bernafas lega. Ia lega. Kalau karyawan itu tidak datang, artinya ia juga tidak akan bertemu Haruko. Situasi antara mereka masih canggung karena insiden kemarin.



Setelah memastikan tidak ada orang lain lagi yang datang, acara minum bersama pun dimulai. Karena hanya sedikit orang, mereka pun berbagi meja lebih longgar. Makoto pun pindah ke meja seberang.


“Bolehkah Aku bertanya sesuatu yang sedikit aneh?” tanya si karyawan wanita pada Makoto. “Apakah Kamu percaya pada takdir?”


Makoto kaget ditanya seperti itu, “Takdir? Aku kira Aku percaya.”


“Sungguh?!” si karyawan wanita makin bersemangat. “Sebenarnya Aku pikir takdir itu menarikku ke arah seseorang. Seperti yang kamu tahu, warna kesukaanku adalah merah gelap. Orang ini memakai kaus kaki merah gelap setiap hari.”


“Kaus kaki merah gelap ...” Makoto berpikir dan mencari. Dan ia menemukan kalau si pemakai kaos kaki merah gelap adalah rekannya yang botak.


“Dia memiliki nama yang sama dengan Anjing orangtuaku,” lanjut si karyawan wanita. “Restoran kari favorit kami sama. Ulang tahun kami hanya berbeda dua hari. Ponsel kami berbeda warnanya tapi modelnya sama. Aku golongan darah A dan dia O, yang merupakan kompatibilitas terbaik.”


“Karena ini takdir, maka aku mendukungmu!” ujar Makoto kemudian.


BERSAMBUNG


Sampai jumpa di I'm Your Destiny episode 03 part 2.


Pictures and written by Kelana

Bening Pertiwi 13.16.00
Read more ...

SINOPSIS dorama I'm Your Destiny episode 02 part 2. Masaki Makoto—30 tahun—sering gagal soal cinta. Dan atas saran seorang pria yang mengaku dewa, ia mengejar wanita yang dikatakan sebagai takdirnya, Kogetsu Haruko. Tapi, alih-alih mendekati Haruko, Makoto justru sibuk dengan ayah Haruko.



Makoto sudah nyaris emosi saat Dewa mengatakan kalau saat itu Sadaoka tengah tertidur di samping Haruko. Padahal maksudnya, Sadaoka dan Haruko minum bersama di bar, dan Sadaoka nyaris tertidur di sana.


“Tapi memang benar begitu, mereka minum bersama, dan sangat dekat. Dan biasanya dia akan langsung pulang ke rumah, Jarang sekali dia keluar begitu telat.”


“Ngomong-ngomong kau ada di pihak siapa?” Makoto kesal lagi.


“Emm... 6:4 untukmu kukira,” aku dewa lagi, justru membuat Makoto makin dongkol.


Entah serius atau bercanda, yang jelas dewa mengatakan kalau Makoto tidak perlu terlalu terburu-buru. Kedekatan Makoto sekarang dengan ayah Haruko juga ada untungnya.


“Tapi yang penting bukan apakah ayahnya menyukaiku, tapi apakah dia menyukaiku, benarkan?” pertanyaan sarkas Makoto.


“Tujuannya bukanlah untuk berkencan dengannya, tapi untuk menikah, memiliki anak dan menyelamatkan bumi,” elak dewa lagi.



Haruko baru tiba di rumah dan menemukan ayahnya tertidur di meja makan. Ia terpekik karena terkejut saat melihat kartu nama Makoto ada di meja, depan ayahnya. Ini membuat ayahnya terbangun. Ibu Haruko yang baru selesai mandi pun ikut bergabung.


“Kau cukup telat ya,” komentarnya melihat Haruko baru pulang.


“Ya, aku ngorbol dengan Mie,” aku Haruko.


Ibunya pun menawari Haruko teh. Tapi Haruko menolak dan mengatakan akan membuatnya sendiri.



Hari berikutnya. Haruko menunjukkan kartu nama Makoto dan bertanya apa maksudnya dan kenapa benda itu ada di rumahnya.


Makoto tidak tampak kaget sama sekali. Dia justru mencoba menjelaskannya dengan tenang, “Aku sedang melakukan sales trip dan aku juga terkejut nama di kartu bisnis yang diberikan padaku adalah Kogetsu (ayah Haruko). Aku bertanya-tanya apakah dia ayahmu.”


“Benarkah itu kebetulan?”


“Apakah kau kira bahwa aku pergi menemui ayahmu, karena aku sengaja?! Bukankah itu menguntit?” pertanyaan sarkas dari Makoto. Tapi ia kemudian kembali membahas soal takdir, kalau mereka memang selalu dipertemukan oleh takdir.


“Bahkan jika itu benar-benar kebetulan. Tolong jangan bicara tentang takdir,” protes Haruko.


“Ini benar-benar hanya berbicara tentang kemungkinan. Apakah kebetulan benar-benar datang? Satu demi satu seperti ini?”


Kali ini giliran Makoto bertanya soal konser musik klasik. Ia penasaran kenapa Haruko berdiri. Haruko mengaku kalau ada temannya yang bermain dalam konser itu. Itu jelas berbeda dengan alasan Makoto. Saat mendengar musik itu, Makoto kemudian teringat di masa SMA-nya. Saat itu Makoto yang kalah pada pertandingan penentuan bisball tengah tertunduk sedih sambil menutupi wajahnya dengan topi, dan ternyata Haruko-lah orang yang menyemangatinya. Tadinya Makoto berpikir kalau Haruko berdiri karena alasan yang sama dengannya.


“Apakah tidak biasa bertepuk tangan? Di akhir pertunjukan? Tidak ada situasi seperti itu yang bisa dianggap takdir,” elak Haruko.



Tapi Makoto tidak menyerah. “Saat sesuatu yang misterius terjadi, untuk menyangkalnya dan kau menemuiku? Apakah itu menyenangkan? Bila sesuatu yang tidak dapat kau perhitungkan terjadi apa kau benar-benar merasa cemas? Ketika aku berumur 5 tahun... Saat pertama aku bertemu denganmu. Ada sebuah pelangi besar dilangit. Kau menunjuk ke pelangi dan berkata. 'Aku akan menikahi orang pertama yang lewat ke bawah pelangi.' Makanya setelah itu, setiap ada pelangi muncul, aku akan berlari. Bahkan jika aku sedang bermain dengan teman, atau belanja dengan ibuku Ketika pelangi muncul, aku akan berlari sekuat tenaga. Aku bertekad untuk menjadi orang pertama yang lewat di bawahnya. Yah, tentu saja begitu aku mulai berlari, aku kehilangan pandangannya. Aku tidak pernah meragukan kata-katamu sedikit pun. Bahkan sekarang, aku masih sedikit percaya. Bagaimanapun, ini membuat hidup sedikit lebih menyenangkan.”


Tapi usaha Makoto belum benar-benar membuahkan hasil. Haruko memang ingat dengan kenangan masa kecilnya, saat bermain pasir di pantai. “Tidak apa-apa menikmati sendiri. Aku hanya bilang, jangan melibatkanku. Permisi,” ia pun memilih beranjak pergi.



Suasana makan malam keluarga Kogetsu. Kogetsu-san meminta istrinya memersiapkan cangkir untuknya. Ia mengaku butuh itu, karena di kantornya baru saja memasang ‘penyedia air’. Kogetsu-san pun menceritakan kalau mereka bisa membuat apa saja, seperti teh atau sup miso.


“Kita bisa menggunakan salah satu untuk di rumah. Mau punya satu?” Kogetsu-san menawarkan pada istrinya.


Haruko yang dari tadi hanya menyimak pembicaraan orangtuanya akhirnya buka mulut, “Kita tidak membutuhkannya, kita punya pemurni air.”


Tapi Kogetsu-san masih belum menyerah untuk promosi. Ia mengaku senang, karena saat mengambil air dari galon, maka akan muncul suara glug glug seperti bernafas.


Haruko lama-lama kesal dengan obrolan orang tuanya. Selesai makan, ia pun beranjak lebih dulu. Ibunya bertanya soal makan malam besok. Tapi Haruko mengatakan kalau ia punya rencana makan di luar. Mendengar jawaban putri mereka, Kogetsu-san mengusulkan kalau ia dan istrinya juga makan di luar saja besok.



Malam itu Makoto belum pulang. Ia memandangi kertas di mejanya. Ada banyak coretan di sana. Beberapa perusahaan yang sudah menolak tawarannya. Dan beberapa yang lain masih memertimbangkannya. Lalu Cuma ada satu yang sudah positif menerima tawarannya.


Makoto menghela nafas berat. Ia memandangi pengumuman soal bonus yang tertempel di dinding, “Apa yang sedang kulakukan!”



Hari berikutnya. Makoto sudah memersiapkan peralatan dan juga memasangkan galon dari perusahaannya ke kantor Kogetsu-san. Tampak Kogetsu-san begitu puas setelah mencoba minum dari sana, dingin maupun panas. Karyawan yang lain juga tampak antusias. Setelahnya Makoto juga memasang beberapa galon lain di kantor itu.


“Terima kasih sudah menggunakan jasa kami,” ujar Makoto pada Kogetsu-san.


“Aku mungkin bertanya lagi secara pribadi,” Kogetsu-san berbisik ke telinga Makoto. “Istriku, dia ingin satu juga. Jadi kami mempertimbangkannya untuk di rumah. Tapi kami hanya mempertimbangkannya, tolong jangan berharap terlalu banyak.”


Tapi diberitahu seperti itu saja, Makoto sudah sumringah, “Silakan hubungiku, jika kau memutuskan.”



Keberuntungan Makoto masih berlanjut hari itu. Setelah mengantar barang ke kantor Kogetsu-san, kontrak berikutnya datang dari kantor sebelah, tempat Haruko bekerja. Mereka yang tadinya baru mencoba selama satu bulan, akhirnya menandatangani kontrak langganan air minum dari perusahaan Makoto. Bos Haruko tampak sangat bersemangat saat menceritakan kalau karyawannya ternyata juga suka dengan air minum dari tempat Makoto.


“Aku membeli teh lezat pada waktu makan siang. Kau mau? Aku punya kue juga?”


“Ah, tidak tidak, teh saja cukup,” tolak Makoto.


“Aku membelinya terlalu banyak, jadi jangan sungkan. Itu karena salah satu karyawan kami ulang tahun hari ini,” ujar sang bos lagi.


Dan saat mereka berpaling, tampak para karyawan wanita itu tengah memberikan hadiah dan ucapan pada Haruko yang hari itu tengah berulang tahun. Makoto tertegun mengetahuinya. Ia teringat dengan ucapan dewa, kalau uang kali ini bisa jadi senjata ampuh untuk memenangkan hati Haruko.



“Apa rencanamu hari ini? Haruskah kita pergi makan enak? kita bisa mengundang Sadaoka-kun juga,” ujar Mie yang sengajat mendekat ke meja Haruko.


“Tidak ada rencana khusus. Tolong jangan, itu memalukan. Aku terlalu tua untuk merayakan ulang tahun,” tolak Haruko.


“Dan kupikir aku akan mentraktirmu.”


“Aku punya hadiah dan pikiran itu lebih dari cukup,” ujar Haruko lagi. “Perasaanmu sangat dihargai.”



Sementara itu, Makoto juga diberi ucapan selamat dari rekan-rekannya. Ternyata ia berhasil mendapatkan 10 kontrak baru yang paling bagus. Sang bos pun memberikan amplop bonusnya.


Tapi dasar teman-temannya tidak peka. Mereka sudah buru-buru mengusulkan ide kalau mereka akan makan BBQ malam itu. Padahal meski Makoto mengaku kalau ia sudah punya rencana soal uang bonus itu, mereka tidak mendengarkan. Mereka tetap berkeras, kalau kebahagiaan dibagi bersama. Artinya, Makoto harus menraktir teman-temannya. (ini toh alasan salah satu rekan Makoto malas mencari kontrak baru, soalnya pasti ditodong macam-macam gini ya)


Bukan Cuma tidak mendengarkan protes Makoto, mereka bahkan sudah bertindak cepat. Saat Makoto mengecek amplopnya, ternyata sudah kosong. Karena mereka sudah memesan tempat di salah satu resto BBQ yang bagus. Makoto benar-benar spechless dan tidak bisa berbuat atau berkomentar apa-apa lagi.



Malam itu, mereka benar-benar makan BBQ. Sementara rekan-rekannya yang lain sumringah menunggu daging dimasak, Makoto hanya bisa terdiam di mejanya. Ia beberapa kali meneguk minuman, tidak bisa berbuat apapun. Dan semua komentar rekan-rekannya benar-benar membuat Makoto dongkol dalam hati.


Tidak bisa berbuat apapun lagi, Makoto akhirnya menghembuskan nafas berat, “Baiklah, pakailah semua!”


Dan pesta berlanjut.



Kemana Haruko malam itu? Menolak tawaran Mie untuk makan malam bersama, Haruko justru datang ke sebuah resto sendirian. Ia tampak begitu menginginkan makanan di sana. Setelah memesan, Haruko pun mengambil tempat duduk. Setelah pesanan datang, Haruko masih sempat memotret makanan itu dan baru mulai makan.


Selesai makan, Haruko pun datang ke bar tempat ia biasa minum bersama Mie dan yang lain. Pemilik bar heran karena Haruko datang sendiri. Tapi Haruko memang ingin minum sendiri malam itu. Selesai minum, Haruko berjalan pulang sendirian. Di jalan, ia melihat sejumlah bunga. Haruko melirik bunga yang juga didapatnya dari teman-teman kantornya tadi. Hingga ...



Hujan tiba-tiba turun. Haruko pun bergegas mencari tempat berteduh. Ia baru saja membuka ponselnya saat dari seberang seseorang memanggil namanya. Ada Makoto juga juga ternyata sudah selesai pesta BBQ. Melihat Haruko berteduh, Makoto pun langsung punya ide. Makoto berlari ke supermarket terdekat dan membeli sebuah benda.


“Silakan,” Makoto menyodorkan payung pada Haruko. “Ah, aku harus mentraktir BBQ untuk orang. Jadi aku hanya punya sedikit kembalian. Sebenarnya, aku ingin memberimu sesuatu yang lebih baik. Hari ini ulang tahunmu, kan? Aku mengunjungi kantormu saat makan siang dan...” tapi Haruko buru-buru pergi. “Eh, tunggu. Tolong gunakan ini.”



Langkah Haruko terhenti. Ia menoleh ke belakang. DI seberang jalan, ternyata ada sekelompok atlet tengah merayakan ulang tahun salah satu rekan mereka, namanya Haruo. Sementara itu, Makoto berdiri di samping Haruko dengan payung terbuka.


“Itu kebetulan juga, kan?” tanya Haruko.


“Ya, itu kebetulan saja. Terkadang terjadi hal itu pada hari ulang tahun seseorang kau kebetulan mendengar seseorang dengan nama yang sama menyanyikan lagu 'Selamat Ulang Tahun.' Itu kebetulan yang kadang terjadi. Sungguh aneh ya?” komentar Makoto pula.



Haruko melihat taksi mendekat. Ia pun segera pergi untuk mencegatnya. Makoto pun ikut memayungi Haruko hingga ia membuka pintu taksi.


“Terima kasih untuk payungnya. Aku akan pulang kerumah,” ujar Haruko, berusaha sopan. “Selamat malam.”


Ditinggal Haruko seperti itu, Makoto tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia hanya bisa melambaikan tangan, melepas kepergian Haruko.


Sementara itu, taksi baru saja berjalan belum jauh saat Haruko meminta si sopir untuk berhenti. Haruko melihat ke arah luar. Ternyata supermarket tempat Makoto tadi membelikannya payung, memiliki gambar pelangi di atas pintunya dan bernama ‘Rainbow’. Haruko kaget, sekaligus tertawa geli sendiri, membuat sang sopir heran. Tapi Haruko kemudian meminta sopir berjalan lagi.



Makoto pulang ke rumah dengan sumringah. Ia menemukan dewa tengah menghias rumahnya. Makoto kesal karena si dewa ini bersikap seenaknya saja dan mulai mencopoti hiasan-hiasan di sana.


“Jika itu akan berubah seperti itu, aku lebih suka kau memberi tahuku sebelumnya. Itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan uang,” curhat Makoto.


“Jika aku sudah memberitahumu sebelumnya, itu tidak akan berhasil seperti itu. Takdir ini menjadi kenyataan, karena usaha yang kau lakukan.”


“Jadi begitu. Tapi pada akhirnya, dia sepertinya terlihat senang,” ujar Makoto lagi.


“Maukah aku memberitahumu sesuatu? sebagai hadiah atas kerja kerasmu? Didalam taksi, dia mendapat email ulang tahun dari Sadaoka-kun. Sainganmu bisa menghubungi dia kapan pun dia mau. Kau bahkan tidak memiliki kontaknya. Dengan kata lain, ini bukan waktunya kau untuk duduk diatas kemenanganmu,” dewa membuat kebahagiaan Makoto hancur seketika.


Dalam taksi, Haruko benar mendapat pesan dari Sadaoka. Di sana ada foto Sadaoka dengan gitar dan kaca mata. Lalu di bawah gambar itu pada pesan berisi lirik lagu yang diminta oleh Haruko bersama ucapan ulang tahun. Dan Haruko pun tersenyum senang mendapatkan hadiah seperti itu.


“Hadiah yang kau berikan padanya tidaklah buruk, tapi apa yang akan diingatnya sebelum dia tidur malam ini adalah hadiah yang diberikan Sadaoka padanya. Itu sayang sekali ya,” lanjut dewa lagi.


Dan malam itu, Haruko memang benar mendendangkan lagu yang diberikan oleh Sadaoka tadi saat ia mandi.



Pagi berikutnya. Sadaoka tiba-tiba mendatangi Makoto di depan gedung dan menyapanya.


“Apakah kau ingin datang untuk minum malam ini?” tawar Sadaoka.


“Eh, kenapa?” Makoto heran.


“Kita pernah berjanji sebelumnya, kan?”


“Ah, benar. Aku pikir tidak apa-apa,” Makoto pun setuju.


“Jika jadi pergi, bisakah aku mendapatkan nomormu? Aku akan mengundang Haruko juga. Sampa ketemu,” lanjut Sadaoka sebelum beranjak pergi.


Apa kau tahu mengapa dia saingan yang tangguh? Musim semi ini, dia menuju menjadi yang paling populer yang pernah dia alami dalam hidupnya. Bahkan saat biasa, dia 3 kali lebih populer darimu. Kau mengerti, jika kau berusaha setengah-setengah, kau tidak memiliki kesempatan. Hati-hati ya.


BERSAMBUNG


Sampai jumpa di I'm Your Destiny episode 03 part 1.


Pictures and written by Kelana

Bening Pertiwi 13.28.00
Read more ...