Fan Fiction – Gara-Gara Selfie


Author: Elang Kelana


Rating: teen


Genre: friendship-love


Main Cast: Jung Yong-Hwa, Lee Jung-Shin, Nona Park, Kang Min-Hyuk, Lee Jong-Hyun, Jung Hae-In (cameo)


Nit nut nit, cklek. Terdengar suara pintu dibuka dari arah depan. Menyusul setelahnya seorang pria muda melepaskan sepatu di depan pintu lalu beranjak masuk. Mata sayu-nya nyaris sulit terbuka, lengkap membingkai wajahnya lelahnya lewat tengah malam ini.


“Ah, Hyong, kau sudah pulang?” Min-Hyuk melihat Yong-Hwa yang baru saja masuk.


“Ah, Min-Hyuk-ah,” Yong Hwa kelelahan usai syuting untuk dramanya, Samchongsa.


Min-Hyuk bangkit dan membawakan tas Yong-Hwa, “Apa kau sudah makan, Hyong? Masih ada makanan di dapur, mau aku panaskan untukmu?” tawarnya kemudian.


“Tidak, tidak,” elak Yong-Hwa cepat. “Aku lelah sekali. Setelah ini aku mau langsung tidur saja.” Yong-Hwa berusaha menyeret tubuhnya ke kamarnya. “Hyuk-ah, apa kau sendirian?” Yong-Hwa berhenti sebentar.


Min-Hyuk berbalik menatap hyong-nya itu, sebelum menjawab, “Iya, Jong-Hyun hyong dan Jung-Shin masih ada acara.”


Yong-Hwa tidak berkata apapun lagi. Ia kembali berjalan menuju kamarnya. Sementara Min-Hyuk kembali menghempaskan tubuhnya di sofa dan meraih remote TV. Barusan ada berita tentang liputan langsung acara Seoul fashion-week yang tengah berlangsung. Min-Hyuk mengecek akun instagramnya. Ada gambar yang cukup menarik perhatiannya. Jong-Hyun dan …


 lee-jonghyun-x-shinhye

Pagi berikutnya …


Yong-Hwa menggeliat pelan. Tangannya terulur menjangkau ponsel yang ia letakkan di meja samping tempat tidurnya. Meski semalam ia pulang nyaris pagi, hari ini ia tidak punya libur.


“Setengah delapan,” keluhnya, lalu ia lemparkan lagi ponsel itu di ranjang.


Yong-Hwa menyingkirkan selimut dari tubuhnya. Ia duduk di ujung ranjang, masih mengucek matanya, memaksanya membuka lebih lebar. Jangan tanya seperti apa bentuk rambut hitam yang biasanya ditata rapi itu. Rambutnya yang dibiarkan cukup panjang itu menutup pandangannya.


Tapi sesuatu tiba-tiba menarik perhatiannya. Ada kilatan ingatan yang mengganggunya. Yong-Hwa menjangkau lagi ponsel yang tadi ia lemparkan. Dibukanya aplikasi instagram yang ada di ponsel itu. Seperti halnya rekannya yang lain, ia juga punya akun di media share gambar satu itu. Hanya saja, ia masih enggan membagi ID akunnya itu pada public dan fansnya.


cnbluegt: With a friend I haven’t seen for a long time ?


At the fashion show.  http://instagram.com/p/uc7tq5lny1/        


Mata Yong-Hwa mendadak terbuka lebar, “Apa-apaan ini?” keluhnya. Yong-Hwa bangun dan beranjak ke pintu kamarnya. Ia harus menemukan Jong-Hyun dan memastikan apa yang terjadi.


“Ah, Hyong, kau sudah bangun?” sapa Jung-Shin yang tengah menata makanan untuk sarapan mereka pagi itu.


“Shin-ah, apa kau lihat Jong-Hyun?” Tanya Yong-Hwa masih menggenggam ponselnya erat.


Jung-Shin tampak berpikir, “Engngng … dia sudah berangkat ke studio tadi. Ada apa Hyong, kau mencarinya?”


Yong-Hwa menghembuskan nafas kecewa. Ia lalu beranjak dan menghempaskan tubuhnya ke sofa. Tapi, Yong-Hwa teringat sesuatu, “Jung-Shin-ah, semalam kau datang bersama Jong-Hyun kan, ke acara itu?”


Jung-Shin tampak berpikir, “Ah, maksudnya fashion show itu. Iya, memangnya kenapa?” Jung-Shin bingung.


“Tidak, hanya … “ Yong-Hwa tidak melanjutkan kata-katanya. Ia menghembuskan nafas berat. Setelahnya Yong-Hwa kembali ke kamar. Ia harus segera bersiap. Hari ini ia masih punya jadwal syuting untuk dramanya.


Sementara Jung-Shin melirik ke arah pintu kamar Yong-Hwa yang kembali tertutup rapat. Ia tersenyum. Sebuah senyum penuh arti, “Sepertinya akan ada hal menarik,” gumamnya pelan. Jung-Shin kembali disibukkan dengan menu makanan mereka pagi itu.


 fallen2-00257

Dua hari kemudian.


Setelah marathon syuting selama enam hari kemarin, hari ini Yong-Hwa punya satu hari libur. Terbangun karena alarm ponselnya—yang masih seperti biasa—ia setel pukul 8 pagi, membuatnya mau tidak mau harus membuka mata. Tadinya Yong-Hwa hendak bergegas. Tapi saat ingat jika ini libur, Yong-Hwa kembali menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Sayangnya, suara pintu yang terbuka di depan membuatnya urung kembali memejamkan mata. Yong-Hwa keluar dari kamar.


“Pagi, Hyong,” sapa Jong-Hyun yang melihat Yong-Hwa baru keluar dari kamarnya.


“Kau!” Yong-Hwa merenggut kerah baju Jong-Hyun. “Apa yang kau lakukan dengannya?”


Jong-Hyun yang kaget dengan sikap Yong-Hwa hanya mengangkat tangannya, “Hohoho, Hyong. Kau ini kenapa? Lihatlah!” pinta Jong-Hyun yang saat itu sudah tersudut di dinding. Matanya melihat ke arah lain, ke arah pintu masuk.


“Kau tampak menyedihkan,” sapanya cuek. Ia beranjak masuk ke ruangan apartemen itu.


Kaget saat melihat siapa yang datang, Yong-Hwa buru-buru melepaskan cengkeraman tangannya di baju Jong-Hyun. Ia pun merapikan rambutnya yang berantakan. Tidak lupa kaos putih yang ia kenakan saat tidur, “Kau?”


“Kenapa, apa aku tidak boleh datang kesini? Atau … jangan-jangan aku orang pertama yang datang ke apartemen ini,” Tanya wanita yang ternyata nona Park ini. “Atau kau tidak suka aku datang kesini?” tantangnya yakin.


Yong-Hwa speechless, salah tingkah. Sementara saat melihat ke arah rekan-rekannya yang lain, mereka justru bersikap seolah tidak tahu apapun. Belum lagi senyum di wajah mereka mengatakan aku tidak mau ikut campur.


Nona park menurunkan plastic besar yang dibawanya di meja ruang makan. Ia lalu mengambil dan mengenakan satu-satunya celemek warna pink yang tergantung tidak jauh dari lemari es. Kemudian ia mengambil alih sendok sayur yang tadi dipegang Jung-Shin, “Biar aku yang melanjutkan,” ujarnya.


Min-Hyuk melihat ke arah Jung-Shin dan Jong-Hyun. Mereka paham apa yang ada di dalam pikiran Min-Hyuk. Kedunya pun mengangguk setuju.


“Ah, sepertinya kita kehabisan susu. Kalau begitu aku keluar dulu. Park-noona, kau tidak keberatan kan melanjutkannya?” pamit Jung-Shin tanpa menunggu persetujuan nona Park.


“Ah, aku juga ada urusan sebentar,” pamit Min-Hyuk kemudian.


“Aku?” Jong-Hyun bingung mencari alasan. “Sepertinya aku juga tidak disini sebaiknya. Gunakan waktu kalian,” ujarnya menyusul Min-Hyuk dan Jung-Shin yang sudah lebih dulu keluar.


Yong-Hwa semakin salah tingkah. Sudah lama ia tidak bertemu dengan gadis di depannya itu. Bahkan karena sibuknya ia dengan drama barunya, Yong-Hwa jarang membalas pesan gadis itu.


“Sepertinya mereka sengaja,” komentar nona Park. Ia masih asyik dengan masakannya.


“Ah, itu … “ Yong-Hwa menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Ia bingung harus bicara atau bersikap apa. Tiba-tiba ia punya ide, “Ah, apa yang bisa kubantu?” tawarnya kemudian.


Nona Park berbalik. Ia menatap tajam ke arah Yong-Hwa, membuat si empunya semakin salah tingkah. “Bantu aku mencuci sayur-sayur itu,” pintanya sambil menunjuk ke setumpuk sayuran segar yang masih ada di kantong plastic yang tadi dibawanya.


Asyik dengan kesibukan masing-masing, kebekuan kembali tercipta diantara keduanya. Ya, entah dinding setinggi apa yang membatasi keduanya. Atau entah es setebal apa yang membuat keduanya tidak juga mulai bicara satu sama lain. Satu hal yang tidak berubah, hanya kekompakkan mereka menyiapkan sarapan. Hanya butuh isyarat tubuh, keduanya sudah saling mengerti apa yang harus dilakukan. Tidak butuh waktu lama sederet makanan pun sudah tertata rapi di atas meja makan.


Nona Park membuka celemeknya. Tapi rupanya ia kesulitan membuka ikatan paling atas yang ada di belakang lehernya. Ia salah mengikat tadi.


“Biar kubantu,” tawar Yong-Hwa. Ia mendekat dan mulai membuka ikatan itu. Semerbak aroma segar tercium dari leher gadis itu. Aroma yang sama, seperti berbulan-bulan yang lalu. Sebelum ia mulai kehilangan ingatan akan aroma itu, sejak tidak pernah lagi membauinya. Ada rasa tergelitik dalam pikirannya. Tapi Yong-Hwa buru-buru mengusir jauh-jauh pikiran itu.


“Kenapa? Apa yang kau pikirkan?” ledek Nona Park.


Yong-Hwa kembali salah tingkah. Ia memilih duduk di salah satu kursi di ruang makan itu, mengambil gelas, menuangkan air dan meminumnya.


Nona Park tersenyum. Senyum pertama yang ia pamerkan sejak pagi itu, “Sepertinya kau baik-baik saja,” nilainya. “Jung-Shin mengurus makananmu dengan baik,” komentarnya lagi.


“Aku pikir kau marah,” Yong-Hwa mulai berani bicara.


Senyum di wajah nona Park lenyap. Ia kembali memamerkan wajah seriusnya, “Menurut Hyuk-ah, kau yang kebakaran jenggot,” goda nona Park.


“Ah, itu … “ Yong-Hwa kembali speechless. “Lagipula, apa yang kau lakukan dengan Jong-Hyun? Kalian pamer foto seperti itu, sementara aku … “ ucapan Yong-Hwa terputus.


“Kau cemburu!” tembak nona Park. “Tapi tidak masalah. Itu artinya perasaanmu masih baik-baik saja.”


Keduanya saling pandang, terdiam dan … akhirnya tertawa bersama.


Yong-Hwa mengambil makanan di depannya dengan sumpit, “Ini enak,” komentarnya.


“Jong-Hyun yang punya ide itu. Katanya aku bisa menarik perhatianmu dengan ide selfie itu. Dan ternyata itu berhasil kan?” cerita nona Park. “Jangan lupa minta maaf pada Jong-Hyun atas sikapmu tadi.”


“Dan kalian membuatku benar-benar nyaris terbunuh di set, karena foto itu,” balas Yong-Hwa. Sementara tangannya masih asyik memasukkan satu per satu makanan di depannya ke dalam mulutnya.


“Benarkah?” cecar Nona Park


Yong-Hwa tertawa, “Tenang saja, aku masih hati-hati. Ada Hae-In-Hyong yang selalu menjagaku di set,” balasnya tidak mau kalah. (Hae In atau Jung Hae In adalah rekan Yong-Hwa yang berperan sebagai Ahn Min Seo di Three Musketeer)


“Bodoh,” nona Park manyun di depannya.


Yong-Hwa tertawa senang. Akhirnya mereka kembali bertemu setelah sekian lama. Akhirnya ia juga bisa mengobati kerinduannya lagi akan masakan gadis satu ini. Dan yang jelas, sekarang mereka berbaikan. Tapi momen langka ini buyar saat ponsel Yong-Hwa berbunyi.


“Ponselmu,” nona Park mengingatkan.


Yong-Hwa tampak tidak peduli, “Biarkah saja, hari ini aku libur. Paling Min-Hyuk dan yang lain,” jawab Yong-Hwa santai.


“Ayolah,” bujuk nona Park.


Yong-Hwa tidak berani membantah gadis di depannya itu. Ia pun beranjak mengambil ponselnya di kamar, lalu membawanya serta ke ruang makan. Ia menunjukkn nama Min-Hyuk tertera di layarnya, pada nona Park. “Benar kan?” ujarnya sebelum mengangkat panggilan itu.


“Ah, Hyong! Lama sekali! Kami sudah lapar, apa kalian melakukannya?” tembak Min-Hyuk dari seberang.


“Aish, kau ini! Cepat pulang! Aku tidak bisa menghabiskan semua makanan ini sendirian. Dan lagi, jangan berpikiran yang aneh-aneh!” teriak Yong-Hwa tidak mau kalah.


Kelana’s note :


Lama ya rasanya, terakhir kali Kelana buat FF. Kali ini Na lagi suka lihat wajah ‘patah hati’-nya Yong Hwa seperti di dramanya, The Three Musketeer a.k Samchongsa. Hehehe … mianheyo buat fans Yong Hwa.


Tadinya pengen buat sad-ending. Yong-Hwa patah hati. Tapi … akhirnya sang pangeran mendapatkan kembali sang putri. End … dilarang protes!


Na habis scrol-scrol forum Dooley couple di sompii yg super panjang. Dan sepertinya, selain masa pre-debut, Na akan memikirkan lebih banyak FF dari forum itu . . . hihihi, support buat Dooley couple selalu, Yong-Hwa dan nona Park. jadi ... FF ini pun keluar lebih cepat dari jadwal semua, hmmm. enjoy minna

Bening Pertiwi 13.07.00
Read more ...

Flash Fiction – Maaf, katamu?! (inspired from Apologize - Timbaland ft. One Republic)


“Halo?”


“Maaf. Kita putus,” ujarnya dari ujung telepon. Setelahnya terdengar bunyi klik telepon ditutup.


sorry_15

“Halo?! Halo?! Diana?!” Aldi memandang layar ponselnya, tapi tidak ada tanda-tanda teleponnya masih terhubung. “Bren***k!” geram Aldi lalu membanting ponselnya ke lantai.


Tangannya tergenggam, dan tembok di depannya menjadi sasaran pukulannya. Aldi menggeram marah. Yang benar saja. Berani-beraninya Diana, kekasihnya itu memutuskan hubungan mereka lewat ponsel. Bahkan tanpa membiarkan sedikitnya dirinya bicara. Apa maksudnya ini?


Dua hari yang lalu ….


“Hai, Di, udah lama ya nunggu? Sorry, tapi ada kuliah tambahan. Kamu udah makan duluan ya?” sapa Aldi sambil melepaskan tas gendongnya dan mendaratkan tubuhnya di kursi depan Diana.


Diana mendongak sejenak melihat kekasihnya yang baru datang itu. Bibirnya hanya tertarik sedikit ke samping. Tidak ada senyum terkembang dan tawa renyah yang selama ini dia sodorkan saat Aldi, kekasihnya datang. Ya, seperti biasa mereka makan siang di kafe ini sepulang kuliah. Tapi, berbeda dari biasanya, kali ini Diana datang lebih dulu.


“Kamu kenapa, Di? Tumben nggak ada suaranya gitu?” Aldi heran.


“Al, ada yang mau aku omongin sama kamu,” ujar Diana pelan.


“Huh?” Aldi heran.



Hari ini …


‘Gila, loe bener-bener gila, Di! Apa maksudnya ini! Loe pikir masalah bakalan selesai kalau gini caranya, huh!” Aldi masih terus memuntahkan sumpah serapahnya sambil memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Hujan deras yang mulai turun di awal November pun tak dihiraukannya.


Sesaat Aldi merasa ada getaran di saku jeans-nya, ponselnya! Entah dari siapa. Tapi Aldi memilih tidak peduli. Hal yang paling ingin ia lakukan saat ini adalah menemui kekasihnya—atau mantan kekasihnya—Diana.


Tapi rupanya takdir berkata lain. Jalanan yang baru saja tersapu hujan yang pertama, memaksa ban sepeda motor Aldi bekerja keras menahan gesekan antaranya. Dan di belokan terakhir nyaris rumah Diana … brak!!! Ponsel di saku Aldi terlempar, bersamaan dengan tubuhnya yang tinggal separuh nyawa.


From : Diana


Aldi, maafin aku ya. Nggak bisa bareng kamu lagi


Aku harus memilih. Bukan karena aku nggak sayang kamu


Hanya saja, …


Baterai ponsel itu padam, seiring hujan yang semakin deras, dan hembusan nafas yang hilang, selamanya.


Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari http://www.nulisbuku.com  di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Bening Pertiwi 05.09.00
Read more ...

Fan Fiction – Thanks, Oppa


Author: Elang Kelana


Rating: teen


Genre: friendship-love


Main Cast: CN Blue – Kang Min Hyuk and Kim Sa Rang (OCs)


“Apa aku boleh ke dapur? Aku ingin minum,” pintaku pada penjaga yang berdiri di depan pintu kamarku.


Pria berjas dan berkacamata hitam itu melihatku sebentar, “Biar saya panggilkan pelayan, Nona,” ujarnya.


Kuhembuskan nafas dengan keras, kesal. Jelas aku kesal. Bagaimana mungkin aku justru terpenjara di dalam rumahku sendiri. Penjaga itu memanggil pelayan dengan HT yang ada di balik saku jasnya. Rupanya tidak ada balasan dari seberang. Penjaga itu pun beranjak pergi, setelah memastikan jika aku tidak akan keluar dari kamarku ini.




[caption id="attachment_3437" align="aligncenter" width="300"]Fan Fiction - Thanks, Oppa Fan Fiction - Thanks, Oppa[/caption]

Sementara penjaga itu pergi, aku menyelinap keluar dari kamarku. Beberapa kali aku nyaris saja berpapasan dengan para pelayan atau penjaga yang berkeliaran di sepanjang lorong rumah besar ini. Belum lagi aku harus berjalan sambil menyeret gaun besar dan panjang ini.


Aku sampai di pintu dapur, tertutup. Tentu saja. Acara jamuan makan sudah dimulai sejak tadi, semua makanan sudah dikeluarkan dari dapur. Dan itu artinya hanya tinggal koki junior atau asisten chef yang masih ada di dapur. Entah mengerjakan pekerjaan aneh-aneh seperti menguliti udang atau sekedar duduk-duduk sambil bercengkrama menikmati anggur.


Aku menyelinap masuk dengan santainya. Spontan, sederat mata memandang heran ke arahku. Jelas mereka tahu siapa aku. Tapi, aku yakin, mereka tidak akan berani menegurku. Menegurku atau melaporkanku pada para penjaga atau Eomma-ku, mereka akan kehilangan pekerjaan dalam waktu kurang dari lima menit. Itu caraku mengancam mereka agar tidak mengusik kebebasanku. Meski memang, pada kenyatannya, belum pernah sekalipun aku membuktikan ancaman itu.


Kulangkahkan kakiku ke almari penyimpan bahan makanan. Masih banyak sayuran dan buah segar. Kuambil sebotol sari buah, yang entah apa isinya. Masih dengan cuek, kutuang sari buah itu pada gelas bertangkai yang tadi sempat kuambil. Masih tidak ada yang memprotesku. Atau lebih tepatnya mereka, para koki junior itu memilih menyingkir dan pura-pura tidak tahu dengan keberadaanku.


“Lagi-lagi kau disini,” tegur sebuah suara dari arah belakangku.


Aku pun berbalik, “Min-Hyuk Oppa! Kapan Oppa kembali dari Amerika? Kenapa Oppa tidak mengatakan apapun padaku? Aku kan bisa menjemputmu di bandara,” rengekku seperti gadis berusia lima tahun. Aku berdiri dan menghambur ke pelukan hangat Oppa-ku satu ini.


“Bagaimana kabarmu?” tanyanya setelah melepas pelukanku. “Hmmm … sepertinya lemak di pipimu bertambah,” komentarnya seperti biasa, menyebalkan.




[caption id="attachment_3436" align="aligncenter" width="300"]Fan Fiction - Thanks, Oppa Fan Fiction - Thanks, Oppa[/caption]

Wajahku merengut kesal, “Kapan kau berhenti menggodaku begitu!” tapi protesku hanya dijawab Min Hyuk Oppa dengan senyum imutnya. “Aku bosan di kamar, Oppa. Aku benci dengan semua peraturan Eomma. Dan aku benci rumah besar ini dengan pesta-pestanya,” curhatku kemudian, melupakan fakta jika orang yang ada di depanku ini adalah orang yang tidak kutemui sejak dua tahun belakangan.


Min Hyuk Oppa kemudian duduk di meja dapur, tepat di depan tempatku berdiri. “Kau sudah mengatakan itu berkali-kali, bahkan sejak lama,” ujar Min Hyuk dengan santainya. “Kim Sa Rang, kau itu bukan bocah kecil lagi. Usiamu sudah hampir 17 tahun.”


“Aku tahu,” ujarku sambil duduk di sebelahnya, mulai menyeruput sari buah dari gelas yang kupegang tadi. “Semakin lama, rumah ini benar-benar persis penjara. Lebih tepatnya sudah berubah menjadi penjara,” keluhku. “Oppa, kapan terakhir kali kau mengajakku keluar dan jalan-jalan ke pantai?”


Min Hyuk tampak berpikir, “Entahlah. Mungkin lima tahun yang lalu. Dan pulangnya, kita langsung dimarahi habis-habisan oleh Eomma-mu.”


“Ya, itu terakhir kali aku benar-benar bebas berkeliaran di luar. Menjadi putri perdana menteri memang menyebalkan. Mereka benar-benar merampas kebebasanku,” lanjutku.


Min Hyuk kembali memamerkan senyum imutnya. Senyum yang selalu menenangkan dan menguapkan marah dan kesalku. “Tapi Eomma-mu adalah wanita yang sangat berjasa bagi rakyat dan Negara ini. Kau lihat sendiri kan, bagaimana rakyat begitu menghormati dan mencintainya.”


Kuhembuskan nafas berat. Kupandang wajah Kang Min Hyuk Oppa, teman masa kecil sekaligus pelindungku ini. “Tapi mereka telah merampas Eomma-ku dariku, putrinya sendiri,” protesku lagi. Aku menunduk, menyembunyikan wajahku sambil menahan air mata yang nyaris tumpah untuk kesekian kalinya lagi.


Min Hyuk Oppa mengulurkan tangannya, lalu mengelus kepalaku lembut. Aku dan Min Hyuk Oppa telah saling mengenal sejak kami sama-sama masih kecil. Dia tiga tahun lebih tua dariku. Selama ini, dia sudah seolah-olah menjadi bagian hidupku. Menjadi teman sekaligus pelindungku. Ayah Min Hyuk Oppa adalah sekretaris Eomma-ku, sejak Eomma baru memulai karir politiknya sepuluh tahun silam, hingga sekarang Eomma menjabat sebagai perdana menteri.


“Mau ke pantai?” tawar Min Hyuk Oppa kemudian.


Kudongakkan kepalaku lalu menatap matanya tidak yakin, “Kau yakin?”


Min Hyuk Oppa kemudian memamerkan kunci mobil di depan mataku, “Tapi … “


“Tidah usah katakan apapun pada Eomma!” serobotku cepat sebelum Oppa-ku ini mengatakan lebih banyak hal lagi. “Ayo!” aku melompat turun dan langsung menggandeng tangan pria ini.


***


Min Hyuk berdiri di depan kamar Sa Rang. Ia pun menatap sekali lagi pesan di ponselnya sambil menunggu Sa Rang berganti pakaian.


Eomma minta bantuanmu. Hanya kamu yang Eomma percaya. Pulanglah, dan tolong ajak Sa Rang kemana dia mau. Hanya kamu yang Eomma percaya. Tolong jaga putri Eomma satu-satunya itu.


Min Hyuk tersenyum. Ia memang memanggil perdana menteri Kim dengan sebutan Eomma, sama seperti Sa Rang menyebut ibunya itu. Min Hyuk tahu, hubungan ibu dan anak itu memang tidak cukup baik, apalagi sejak Eomma berubah menjadi PM Kim.


Sa Rang keluar dari kamarnya.


Min Hyuk pun buru-buru memasukkan ponsel itu ke sakunya, “Kau sudah siap?” Tanya Min Hyuk yang dijawab Sa Rang dengan anggukan penuh binar bahagia.


“Kalaupun nanti saat pulang, Eomma akan marah lagi pada kita, aku tidak akan peduli,” ujar Sa Rang riang.


“Aku rasa kali ini Eommamu tidak akan marah,” balas Min Hyuk yakin.


Kelana’s note :


Maaf kalau plotnya terlalu simple dan sederhana. Entah kenapa ide ini yang terlintas di kepala Kelana baru saja. Ah, ini FF kedua yang membawa nama Min Hyuk, hehe. Semoga kalian suka.

Bening Pertiwi 12.39.00
Read more ...

Flash Fiction – Hukum Newton


Bisa move on dari sesuatu yang nggak pengen diulang atau diingat lagi adalah hal keren. Tapi masalahnya, buat bisa ‘graduate’ dari hukum I Newton yang terlanjur ‘nemplok’ dengan manisnya itu nggak mudah. Sebutan lainnya, udah terlanjur lembam, jadi mau move on susah.




[caption id="attachment_3426" align="aligncenter" width="300"]Flash Fiction - Hukum Newton Flash Fiction - Hukum Newton[/caption]

Mungkin benar adanya, perlu gaya lebih besar supaya bisa move on, itu versi hukum II Newton. Kalau gaya yang elo punya besar, maka percepatan move on elo pun semakin besar. Sayangnya meski gaya elo besar, kalau massa kenangan elo terlanjur besar, maka percepatan move on elo pun akan melambat dengan sendirinya. Artinya rasanya bakalan lebih sakit dan susah buat bisa move on.


Nah sekarang kalau elo udah move on. Ternyata semakin besar aksi elo buat bisa move on, itu akan memenuhi hukum III Newton. Dimana reaksi yang elo dapat pun akan besar. Sayangnya reaksi yang elo dapat itu arahnya berlawanan dengan aksi yang elo lakukan. Alhasil move on pun kembali tertunda.


Sejujurnya gue nggak ngerti, kenapa Newton dulu menciptakan ketiga hukum ini. Apakah dulu juga Newton sedang galau saat menciptakan hukum ini? Atau kegalauan Newton tidak berujung lantaran dia juga nggak bisa move dari ketiga hukum ini? Entahlah. Mungkin kalau gue ketemu, akan gue tanyakan langsung aja ya.


#kalau ada yang Tanya ini apa, ini adalah tulisan aplikasi hukum Newton dalam kehidupan cinta manusia. Jadi, kalau elo masih cinta masa depan elo, sebaiknya jangan pernah aplikasikan hukum Newton ini dalam kehidupan cinta elo. Salam #gurufisikagelo

Bening Pertiwi 12.20.00
Read more ...

Fan Fiction – Heart Song


Author: Elang Kelana


Rating: teen


Genre: love story-romance


Main Cast: CN Blue - Lee Jong Hyun and Kira (OCs)



Kira menatap layar di hadapannya, kosong dan masih putih bersih. Hanya kursor yang berkedip di tempat yang sama terus, sejak tadi. Ini hari ketiganya tinggal di apartemen baru. Ya, Kira terpaksa setuju saat kedua orang tuanya mengajak tinggal di apartemen di daerah Seoul lantaran ayahnya dipindah tugaskan.


Sebenarnya Kira lebih suka memilih tinggal di pinggiran, atau mungkin malah pedesaan. Tempat yang tenang dan tidak banyak kendaraan yang lewat, membuat udaranya masih segar dan selalu sejuk. Tapi, apa yang bisa dilakukannya sekarang.


Kira membuka jendela kamarnya yang menghadap jalan. Apartemennya ini ada di lantai tiga. Tidak terlalu buruk sebenarnya. Hanya saja udara Seoul membuatnya tidak bisa melihat bintang dengan bebas.


At night everything quiets down


Thinking of somebody


(Our time our time our time, it goes by)




[caption id="attachment_3421" align="aligncenter" width="300"]FF Heart Song FF Heart Song[/caption]

Just the ticking of the clock breaks silence (breaks silence)


Pushing me away


(Our time our time our time, it goes by)


Sayup-sayup terdengar petikan akustik lembut. Kira penasaran. Ia membuka lebih lebar lagi jendelanya. Telinganya ia julurkan, mencoba mendengar lebih jelas. Setelah intro, terdengar suara lembut kemudian.


Entah sihir apa yang membuat Kira bertahan. Dendang lagu itu terdengar lembut dan menenangkan. Tentang sebuah lagu, yang dinyanyikan untuk seseorang. Tentang sebuah kerinduan. Dan tentang ucapan selamat malam.


While you can get rest well, I think somebody


Just with my songs to be happy me, oh


Hey, listen to my heart song


Can you hear me? this song for you


Hey, listen to my heart song every time


(Hey, can you hear me?)


Listen to my love song


Can you feel me? this song for you


Hey, listen to my love song. It’s my heart


Kira berbalik menghadap laptopnya masih ditemani lagu itu. Mendadak tangannya beringas, jarinya menari cepat diantara huruf-huruf di atas keyboard. Entah ide dari mana yang tiba-tiba muncul, tapi tidak butuh waktu lama bagi Kira untuk memenuhi halaman putih di layarnya dengan deratan huruf dan rangkaian kata.


FF Heart Song

Kira tersenyum puas, setelah memenuhi targetnya malam ini. Ia bertekad untuk mencari tahu sumber petikan gitar dan suara lembut itu, lalu mengucapkan terimakasih karena telah menemani malannya.


***


Kira tersenyum sembari membuka lebar jendela kamarnya. Ia berharap masih bisa mendengar suara lembut itu menemani malamnya. Sayangnya, Kira cukup sedih. Lantaran ia tidak menemukan jawaban tentang pemilik suara itu. Pun saat ia bertanya pada ibunya, tidak ada jawaban yang memuaskan disana. Dan suara itu kembali terdengar, pelan, syahdu.


Pens and paper wait for quiet nights (quiet nights )


Till I come back again


(Come again come again come again for quiet night)


 


While you have a good night I think somebody


Every night again waiting for this song, oh


Dan seperti malam-malam lalu, Kira menghabiskan malam ini dengan mengisi setiap lembar halaman putih di laptopnya. Kira tidak butuh lagi kopi atau camilan malam untuk membuatnya bertahan terjaga. Pun kira tidak butuh apapun untuk mendapatkan inspirasi untuk tulisannya. Lagu ini sudah cukup memberikan inspirasi untuknya.


Liriknya yang sederhana, membawa orang yang mendengarkannya pada perasaan si penyanyi. Ketika kerinduan hanya bisa disampaikan lewat malam. Ketika rasa hampa tanpa kehadiran seseorang hanya bisa dituangkan dalam bait-bait lirik penuh harap.


Hey, listen to my heart song


Can you hear me? this song for you


Hey, listen to my heart song every time


 


(Hey, can you hear me?)


Listen to my love song


Can you feel me? this song for you


Hey, listen to my love song. It’s my heart


Lagu itu selesai. Tapi tidak pernah berakhir. Hanya dua bait yang didendangkan. Dan Kira tidak tahu alasannya apa. Kira membuka jendelanya lebih lebar, dan melompat ke balkon di depan kamarnya itu. Kira melihat ke apartemen sampingnya. Tampak jendelanya terbuka lebar, dan ada cahaya terang disana.


“Anyeonghaseo, apa kau yang menyanyikan lagu tadi?” Tanya Kira langsung. “Maaf kalau aku mengganggu. Aku Kira dan aku tinggal di apartemen sebelah. Sudah sejak minggu lalu, aku selalu mendengarkan petikan gitar dan suaramu. Itu … sangat keren. Terimakasih karena telah menemaniku tiap malam.”


Hening


Tidak ada jawaban. Bahkan lampu apartemen sebelah pun kemudian padam. Tidak lama juga terdengar suara jendela yang ditutup.


Kira bingung. Apa yang terjadi? Apa orang itu marah karena ia mengganggunya? Tapi itu artinya dia begitu sombong? Kira hanya membatin. Ia pun beranjak masuk ke kamarnya, menutup jendela dan mematikan lampu. Mood menulisnya mendadak hilang.


***


Seminggu setelahnya Kira tidak pernah lagi ditemani petikan gitar dan suara lembut itu. Tidak ada lagi malam-malam dengan mood menulis yang naik turun. Ya, Kira tidak butuh itu lagi. Sekarang mood menulisnya sungguh-sungguh baik. Atau mungkin itu lantaran date-line yang diberikan oleh editornya semakin dekat.


Meski begitu, ada ruang kosong yang dirasakan Kira, entah apa.


***


“Leganya!” seru kira riang. Ia membuka jendelanya lebar-lebar. Ini nyaris tengah malam. Tapi malam itu ia benar-benar senang. Tulisannya selesai tepat waktu. Editor dan agenya pun senang dengan hasil tulisan Kira yang semakin tajam. Dan malam ini, jadwal Kira adalah bersantai sejenak, melepaskan diri dari jadwal padat sebelumnya.


I will make you smile more


Can you hear me? My song for you


I will make you smile more every time


 


Listen to my love song


Can you feel me? this song for you


Hey, listen to my love song. It’s my heart


Kira tertegun. Petikan senar yang khas dan suara lembut itu kembali terdengar. Perhatiannya benar-benar tersita kali ini. Meski nyaris melupakannya, Kira akhirnya tidak tahan lagi untuk bicara.


“Hei, kau yang tidak sopan. Kenapa waktu itu kau pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun?” ujar Kira langsung. “Apa kau tuli dan bisu?”


Petikan gitar di seberang terhenti, “Menurutmu?” tanyanya.


“Suara pria itu ternyata tidak kalah lembut saat bicara,” batin kira. Tapi ia buru-buru menepis kekaguman itu, “Oh, jadi kau bisa bisa mendengar dan bicara?”


“Tentu saja. Aku kan bernyanyi.”


Ups. Kira buru-buru menutup mulutnya. Jelas saja pria itu bisa bicara dan pasti ia juga bisa mendengarnya. Kira menyadari sesuatu, “Apa selama ini kau juga mendengarnya? Hei, kalau diajak bicara, keluarlah!” protes Kira.


Pria itu lalu melangkah keluar dari kamarnya, “Sekarang bagaimana? Apa kau bisa melihatku?”


Kira mencoba melihat ke apartemen sebelah. Tapi cahaya terang dari kamar pria itu justru membuat wajahnya tampak gelap. Mata minus Kira pun tidak berhasil menangkap bayangan bentuk wajah pria itu.


“Mataku tidak terlalu baik melihatmu. Siapa kau sebenarnya?”


“Aku? Bukan siapa-siapa,” ujar pria itu kalem. “Tapi terimakasih. Suara berisikmu cukup mengganggu. Jadi lebih baik aku bermain gitar,” ujarnya sarkastik.


“Aku … ,” suara Kira tercekat. Ya, selama ini ia memang cukup berisik. Terutama saat mood menulisnya buruk, ia akan berdiri di balkon kamarnya, melihat langit sambil mengomel—bukan bicara sendiri. “Maaf, kalau aku mengganggumu,” sesal Kira kemudian.


“Kenapa namamu Kira?” Tanya pria itu kemudian.


“Kau mengingatnya? Ah itu … ayahku orang Jepang, dan ibuku orang Korea. Jadi aku menggunakan nama dari ayahku. Sebenarnya aku punya nama Korea, tapi aku lebih suka dipanggil Kira di rumah,” cerita Kira. Pria itu tersenyum, ah tepatnya samar-samar. Kira sendiri juga tidak yakin. Dan kenapa pula, ia bisa bebas bercerita pada orang yang justru tidak dikenalnya ini, “Siapa kau sebenarnya?!” desak Kira lagi.


“Sebut saja aku Oppa-tetangga,” ujar pria itu. Ia lalu beranjak masuk ke apartemennya.


I will make you smile more


Can you hear me? My song for you


Hey, I will make you


will make you


I will make you smile more


Kira mengalah. Ya, dia mengalah. Mungkin sebaiknya dia memanggil pria itu dengan Oppa-tetangga. Lagipula, tidak lama setelahnya petikan gitar dan suara lembut itu pun tidak pernah lagi terdengar sama sekali. Pun lampu apartemen sebelah, tidak pernah tampak menyala lagi. Kira hanya tahu dari pengurus apartemen, jika penghuni apartemen sebelah telah pindah.


***


Lima tahun kemudian …


Kira iseng datang ke sebuah toko CD. Ya, ia berniat mendengarkan beberapa lagu untuk mencari inspirasi tulisannya. Ia melihat sebuah CD dengan sampul bergambar empat orang pria di depannya. Kira memasangnya pada alat pemutar lagu, lalu mulai mendengarkannya. Lagu pertama, bertempo cepat. Lagu kedua pun tidak jauh berbeda. Tapi pada lagu ketiga …


“Lagu ini … “ tentu saja ia hapal lagu itu. Lagu dan suara lembut itu. Lagu yang menemani malam-malam panjangnya saat menulis dulu.


Kira mencari di sampul CD itu. Judul lagunya Heart Song, lalu composernya … Kira hapal persis gaya petikan gitarnya. Kira pun tidak pernah bisa lupa dengan suaranya. Bahkan mungkin, untuk pertama kalinya, Kira jatuh cinta pada seseorang hanya dengan mendengar suaranya saja, tanpa pernah melihat siapa dia. Dia yang Kira kenal dengan … Oppa-tetangga.


“Apa kau menyukainya?” Tanya seorang pria berkaca mata hitam dan mengenakan masker di samping Kira.


Kira kaget dan melangkah kebelakang.


Pria itu kemudian membuka kaca mata dan maskernya, “Kau masih ingat aku kan?”


FF Heart Song

“Kau … “ Kira tidak dapat mengucapkan sepatah katapun.


“Ya, aku Oppa-tetangga,” ujarnya santai.


“Tapi bagaimana … kau menemukanku?” Kira masih tidak yakin.


“Siapa yang tidak mengenal Kim Rae-Ah, atau Yamada Akira, novelis terkenal yang menulis kisah romantis tentang tetanggal sebelah?” tembak pria itu. “Sekarang aku tahu perasannmu sejak malam-malam itu. Karena lagu itu pun, tercipta untukmu,” akunya.


“Lee Jong Hyun, kau benar-benar … jahat! Kau membuatku menunggu selama ini!”


Kelana’s note ;


Maaf, kalau FF-nya nggak romantis. FF ini terinspirasi dari lagunya CN Blue yang Heart Song. Composer lagu romantis ini jelas bisa bisa ditebak dengan mudah, Lee Jong Hyun. Hehe … Kelana bingung mau nulis apa. Dan lagi nggak punya banyak ide nih. Tapi semoga kalian senang.

Bening Pertiwi 07.15.00
Read more ...