Cast : Mizobata Junpei (sebagai Sato Junpei), Kiriyama Reika, Higashi Osamu, Yamashita Tatsuo, manager Junpei (OC)


Genre : romantis, SU


Note: FF ini murni fiksi. Jika ada kesamaan karakter atau alur cerita, bukanlah karena kesengajaan. Cerita ini murni karangan author.


Kiriyama Reika


Gerbong sudah nyaris kosong. Benar saja, ini sudah lewat pukul sebelas malam. Para pekerja yang baru pulang dari kantor berangsur makin berkurang. Hanya tinggal beberapa yang tampak terkantuk-kantuk, sebagian membaca buku dan sisanya yang lain masih asyik dengan ponsel di tangan.


Kecuali satu orang yang cukup menarik perhatian di ujung gerbong. Mulutnya setengah terbuka dengan mata terpejam dan kepala terkulai di sandaran kursi. Meski bukan pemandangan aneh menemukan orang yang tertidur karena terlalu keras bekerja—inemuri—di sini, tapi tetap saja itu selalu menarik perhatian.


Kuhentikan kebiasaan memerhatikan orang-orang di kereta dan menyandarkan kepala ke dinding kereta. Seharusnya aku juga sudah sampai di apartemen. Tapi langkah kakiku justru membuat berjalan sedikit lebih jauh dari biasanya.


“Jangan hubungi aku lagi,” pinta kekasihku Junpei-kun senja tadi dari seberang ponsel.


Aku kesal, benar-benar kesal. Beraninya dia mengatakan seperti ini padaku. Beraninya dia bersikap sekasar ini padaku. Tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Aku bukan siapa-siapa. Bahkan rumah kekasihku itu pun aku tidak tahu. Ah, pasti orang-orang beranggapan aku bodoh. Benar, aku mungkin bodoh.


Kekasihku itu, Sato Junpei, artis terkenal. Sementara aku hanya seorang asisten script-writer—penulis naskah—yang baru setahun belakangan bekerja di sebuah agensi. Pertemuan kami tidak terduga. Kalau biasanya seorang asisten script-writer sepertiku tidak pernah datang ke lokasi syuting, hari ini sutradara memintaku datang. Dia mengatakan kalau ada beberapa bagian yang harus kukonfirmasi dan kurevisi sebelum syuting dimulai. Aku yang masih baru pun menurut saja. Dan disana, tidak sengaja aku bertemu dengannya secara langsung. Aku mengenalnya, jelas, dia seorang aktor yang tengah naik daun. Sementara aku, bukan siapa-siapa.


Pengeras suara memberitahukan kalau stasiun tujuanku hampir tiba. Kuhapus lelehan yang nyaris jatuh di sudut mataku, “Tidak ada gunanya menyesal,” gumamku pelan.


***


Sato Junpei

Sudah nyaris sebulan sejak aku mengatakan itu padanya, jangan menghubungiku lagi. Ah, aku sadar benar, tidak seharusnya kukatakan itu padanya. Dia tidak salah. Keadaan pun tidak salah. Hanya waktu saja yang tidak tepat, arrgggghhh!!!


Ini kisah enam bulan silam. Namanya Kiriyama Reika, seorang asisten script-writer. Aku lebih suka menyebutnya takdir, karena asisten script-writer yang biasanya tidak muncul di lokasi syuting, hari itu tiba-tiba saja datang. Ia yang datang terburu-buru, menabrakku. Wajahnya yang berbeda membuatku terhenyak. Kulitnya tidak seputih kulit gadis Jepang pada umumnya. Pun matanya yang besar dengan lipatan mata yang tampak begitu jelas. Ia menunduk minta maaf setelah menabrakku lalu buru-buru pergi. Tapi sejurus kemudian ia kembali dan bertanya dimana bisa menemui Higashi Osamu-sensei, sutradara serial yang tengah kubintangi waktu itu. Dari Higashi-sensei, aku tahu namanya, dan kalau dia adalah seorang asisten script-writer.


Tapi sekarang, aku tidak yakin apa aku masih punya keberanian untuk menemuinya. Yang pasti, masih terlalu sulit menghilangkan dia dari pikiranku. Sementara disini, di depanku ada naskah yang harus kubaca. Naskah yang ditulis oleh Yamazaki Tatsuo-sensei dibantu Reika sebagai asistennya.


Di sampingku, tergeletak kertas lain. Dua bulan silam, aku mengunjungi dokter langgananku untuk check-up. Dan hasilnya benar-benar membuatku terhenyak. Aku tidak tahu apa yang tengah terjadi padaku. Tapi yang lebih sulit adalah mengatakannya pada kekasihku, Reika.


***


“Reika-chan?” suara seseorang dari seberang ponsel.


“Ya,” Reika masih belum membuka matanya penuh. Ia hanya meraba-raba mencari ponselnya tanpa sempat melihat siapa yang menghubunginya.


“Aku minta maaf, tidak bisa menepati janji. Aku hanya ingin pamit,” ujar suara itu lagi.


Mendengar suara yang sudah sangat dihapalnya, kesadaran Reika mendadak pulih, “Junpei-kun? Apa maksudmu?! Kau mau kemana?! Jawab aku!”


“Maaf,” Junpei pun memutus sambungan ponsel itu.


Reika memencet ulang nomer Junpei yang sudah sangat dihafalnya. Tapi berkali-kali nada terputus terdengar. Ia kalap. Reika gelagapan mencari nomer manager Junpei dan mencoba menghubunginya. Darinya Reika tahu kalau hari ini Junpei akan berangkat ke luar negeri.


Buru-buru Reika menyambar mantelnya dan hanya sempat melihat sekilas ke arah cermin untuk merapikan rambutnya. Reika bahkan tidak sempat memakai sarung tangannya. Hanya sepatu boot tipis yang menemaninya melewati salju senja itu. Turun dari apartemennya, Reika berlari ke arah jalan. Jarak yang sebenarnya tidak terlalu jauh kali ini terasa begitu menyiksa. Tapi Reika mengabaikan semua rasa dingin dan nyeri di kakinya yang berjalan nyaris telanjang dan hanya memakai sepatu seadanya itu.


Setelah dua belokan dan jalanan lurus, Reika menyetop taksi yang kebetulan melintas dan meminta si sopir membawanya ke bandara. Dari manager Junpei tadi, Reika tahu kalau Junpei mengalami kelainan jantung. Hal yang sama sekali tidak pernah dibahas Junpei selama ini. Ia pernah menjalani operasi saat berusai 15 tahun. Dan selama ini tidak ada masalah. Tapi sejak dua bulan silam, jantungnya kembali mengalami masalah. Karena itu ia harus kembali menjalani operasi yang sama, dengan resiko jauh lebih besar dibanding 9 tahun silam.


Sesekali Reika menyusut air matanya selama perjalanan. Ia juga meminta sopir taksi mempercepat perjalanan mereka. Tapi suasana malam Natal benar-benar membuat jalanan padat. Reika diberi tahu kalau penerbangan Junpei malam itu. Ia melirik jam di tangan kirinya. Merasa tidak punya banyak waktu, Reika meminta taksi yang ditumpanginya berhenti, membayar taksi dan berlari turun menuju bandara. Ia tidak lagi mempedulikan dinginnya salju malam itu.


Reika akhirnya sampai di bandara. Di sana ia hanya menemui manager Junpei. Rupanya Junpei sudah masuk ke terminal keberangkatan beberapa menit yang lalu. Reika memaksa untuk masuk, tapi dihadang oleh petugas keamanan bandara. Manager Junpei akhirnya bisa menenangkannya dan mengajaknya duduk di cafe. Manager prihatin melihat keadaan Reika. Ia pun memesankan coklat panas untuk gadis di depannya.


“Junpei-kun menitipkan ini untukmu. Dia tahu kalau kau pasti nekat menyusulnya kesini.”


Reika menerima surat yang diangsurkan manager Junpei itu, dan membukanya.


Kau janji kan tidak akan menangis saat tidak ada aku di sekitarmu?! Buru-buru Reika menyusut air mata yang mengambang di sudut matanya.


Maaf. Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya padamu. Aku juga tidak punya keberanian untuk memintamu menunggu. Aku yakin kau pasti sudah dengar semuanya tentangku. Aku sendiri tidak tahu, apa ini akan berhasil atau justru sebaliknya.


Aku tahu, aku bukan Shinichi—karakter yang sangat kau sukai itu—dan kau juga bukan Ran—karakter yang menurutmu paling menyedihkan—tapi, bolehkah aku minta sesuatu? Bisakah kau menungguku sebentar lagi?


Reika mengelap air mata yang sudah membasahi pipinya, “Aku bukan Ran, dan kau juga bukan Shinichi. Tapi aku akan menunggumu pulang. Pasti, aku menunggumu!” ujarnya mantap.


Tapi Reiji dan Junpei tidak tahu, kalau ini baru awalnya saja.


Kelana’s note :


Halo semua, kenal dengan tulisan ini? Iya, karena Kelana punya rencana untuk melanjutkannya, jadi ini adalah repost dari yang lama. semoga bisa konsisten menulis dan melanjutkannya ya hehehe


 
Bening Pertiwi 00.45.00
Read more ...

SINOPSIS dorama I'm Your Destiny episode 06 part 1. Upacara pensiun pesumo favorit Haruko, membuat Haruko dan Makoto makin dekat. Dan ciuman tidak sengaja yang terjadi di sore itu, setelah upacara pensiun sang pesumo, akan mengawali cerita baru.



Si botak tersenyum senang saat membaui aroma di lift pagi itu. Ia mengenalinya sebagai aroma parfum Mie. Tapi Makoto merusak kesenangan si botak dengan malam membahas Midori, satu-satunya karyawan wanita di kantor mereka. Makoto tahu benar kalau Midori suka pada si botak dan berusaha menyatukan keduanya.


Makoto terus saja curiga. Ia mengecek kaos kaki si botak dan menemukan kaos kaki itu berwarna merah bata. Ia menebak kalau ada yang terjadi antara si botak dengan Midori, kemarin.



Mie membantu Haruko memersiapkan meeting mereka pagi itu. Haruko sudah cerita soal upacara pensium kemarin. Ini membuat Mie curiga, karena Haruko malah menunda jawabannya pada Makoto. Mie menebak kalau kali ini Haruko tidak akan menolak lagi. Tapi Haruko masih tetap saja tidak mau mengakuinya.


Gantian Haruko yang menggoda Mie, karena ia tahu Mie pulang pagi. Mie mengelak kalau ia hanya tertidur akibat kebanyakan minum. Jelas Haruko tidak percaya hal itu sama sekali.



Suasana di kantor Makoto tidak terlalu baik hari itu. Dan Makoto pun diajak untuk minum malamnya. Cerita itu pun mengalir. Sekihara-san mengaku, saat ia lari pagi, ia membaui aroma yang sangat dikenalnya. Ia pun mengikuti aroma itu. Ternyata ia melihat Mie baru keluar dari sebuah apartemen dan ada seorang pria di belakangnya. Makoto kaget karena pria itu adalah Sadaoka. Ia mencoba menghibur, kalau mungkin saja mereka satu komplek apartemen. Tapi hiburan itu tidak mempan sama sekali.


Selesai minum, mereka masih belum puas. Sekarang giliran rumah Makoto yang mereka datangi. Makoto sempat khawatir, kalau di rumah ada si dewa. Tapi ternyata rumahnya kosong. Sekihara-san dan si botak masuk rumah dengan seenaknya. Mereka memutuskan akan menginap saja karena besoknya libur. Makoto mencoba menolak, tapi dua teman kerjanya ini sama sekalit tidak mengerti.


Si botak mulai mengoceh. Ia mengaku kalau dirinya dan Makoto pernah muncul di tv 2 tahun silam, saat ada pertandingan Jepang. Saat itu Jepang kalah. Makoto pun dipaksa untuk memutar kembali video mereka itu. Tapi bukan itu yang menarik perhatian Makoto. Ia justru tertarik pada sosok yang berjalan tidak jauh dari tempat mereka diwawancarai. Dia ... Haruko.



Haruko baru selesai mandai saat kemudian ia menyusul ibunya dan duduk di kursi meja makan. Haruko bertanya pada ibunya, kenapa ibunya memutuskan mau menikah dengan ayahnya. Nyonya Kogetsu sempat kaget, tapi kemudian ia mengatakan kalau tidak ada alasan khusus. Mereka akan tahu akan bertemu orang yang tepat begitu saja. Bersama saat sama-sama susah dan yakin kalau semua akan menjadi baik-baik saja saat dilalui bersama.



Hari sudah terang saat Sekihara-san menyerahkan kaos pinjaman dan pamit pulang. Setelah itu, dewa tiba-tiba mucul seperti biasa, membuat Makoto kaget.


Dewa sedikit protes, karena Makoto justru mengundang orang tua ke rumahnya, bukan wanita. Makoto mengelak kalau dia tidak mengundang Sekihara-san itu, melainkan ia datang sendiri. Dewa mengubah tema obrolan. Ia membahas soal Sadaoka yang ternyata bergerak cepat dan sudah berhasil membawa Mie datang ke rumahnya. Dewa kesal pada Makoto yang masih saja kalah langkah. Dewa terus saja mengkritik Makoto yang tidak punya daya tarik untuk membuat Haruko datang ke apartemennya.


Puas memaki-maki Makoto, dewa akhirnya memberikan saran. Untuk dapat membuat Haruko datang ke apartemennya itu, Makoto harus bicara singkat, cukup satu suku kata saja. Makoto menganggap itu ide absurd dan tidak masuk akal. Tapi menurut dewa, daripada kalimat panjang yang ribet, satu suku kata jauh lebih manjur untuk menarik perhatian.


Tapi Makoto tetap mengeluh kalau itu tidak mungkin. Dewa akhirnya mengalah dan menyuruh Makoto bicara dengan tiga kata, maksimal. Makoto harus menggunakan maksimal tiga kata saja saat bicara dengan Haruko.



Di hari lain, Makoto minum bersama Sadaoka. Dengan sedikit trik pancingan, Makoto pun berhasil membuatnya bercerita. Malam itu, Mie setuju datang ke apartemen Sadaoka karena Sadaoka bilang punya hewan peliharaan aneh. Mereka minum dan ngobrol. Tapi ternyata Mie tertidur sehingga Sadaoka tidak enak harus membangunkannya. Dan memang tidak ada yang terjadi malam itu. Dari gelagatnya, Sadaoka tertarik juga pada Mie. Tapi ia tidak ingin buru-buru. Ia ingin memerlakukan Mie dengan baik dan layak.


Ternyata Mie pun datang untuk minum bersama Haruko. Melihat Makoto dan Sadaoka, mereka pun mengajaknya bergabung. Haruko heran karena Makoto dan Sadaoka minum bersama. Dengan canggung, Makoto mencoba menjelaskannya dengan tiga kata saja, seperti saran dewa. Melihat Makoto canggung, Sadaoka pun membantunya menjelaskan lebih lengkap. Obrolan pun berlanjut. Dan cara Makoto bicara tetap saja seperti itu. Saat menjawab pertanyaan Haruko, Makoto hanya menggunakan tiga kata/kalimat singkat saja. Berbeda dengan saat Makoto bicara dengan Mie, yang lengkap dan panjang.


Saat akan membayar, Makoto melarang Sadaoka ikut bayar. Karena ia yang mengundang, maka Makoto yang berniat membayarnya. Sadaoka senang-senang saja. Saat itu Haruko mendekat dan ingin ikut membayar. Tapi Makoto kembali menolaknya. Ia tidak mau mengalah dan berkeras akan membayar semuanya, membuat Haruko keheranan.



Haruko pulang bersama Mie seperti biasa. Mie heran karena sikap Makoto tadi begitu aneh, sangat irit bicara dan canggung. Haruko juga tidak mengerti. Ia berpikir kalau Makoto marah padanya. Kali ini Mie setuju dengan dugaan Haruko. Ia mengingatkan Haruko kalau orang tidak bisa menunggu jawaban selamanya.


“Apa yang menahanmu bukan mantan pacarmu, Itu dirimu sendiri,” ujar Mie pula.


Mie meyakinkan Haruko untuk segera memberikan jawaban pada Makoto, jangan ditunda-tunda lagi.



Makoto pulang ke apartemennya dengan kesal. Ia bahkan berguling di lantai seperti anak kecil sambil berteriak. Makoto menyesal karena mengikuti saran dewa, untuk irit bicara saat bertemu Haruko tadi. Alih-alih mengejeknya, dewa justru memuji karena Makoto berhasil ‘irit bicara’ saat bersama Haruko tadi.


Tidak mau berlarut-larut, dewa kemudian menawari Makoto untuk melakukan misi baru, Mengukir sepotong 'Raja' shogi. Makoto tidak mengerti. Perdebatan mereka membuat semuanya jadi kacau. Intinya, dewa ingin agar Makoto menunjukkan kekuasaannya, ‘raja’, agar bisa mengajak Haruko datang ke apartemennya. Dewa bahkan berjanji akan membantu Makoto, memberinya ‘hadiah’, saat Makoto berhasil membawa Haruko ke tempat itu.


“Tidak ada keajaiban yang tidak bisa dicapai!”



Malam itu, orang tua Haruko tengah berdebat soal ukuran cap tangan sang pesumo, Daikaiyama-san. Kogetsu-san mengukurnya berulang kali untuk membuktikan kalau ukuran cap tangan itu berbeda. Nyonya Kogetsu bercerita kalau Haruko bertanya soal kenapa ibunya setuju menikah dengah ayahnya. Nyonya Kogetsu mengatakan tidak ada alasan khusus, hanya tepat, begitu saja. Keduanya tahu kalau anak perempuan mereka ini tengah galau dan hanya bisa berharap semuanya baik-baik saja.


Dimana Haruko? Di kamarnya Haruko terus memandangi ponselnya. Ia masih ragu untuk menghubungi Makoto. Haruko mengingat kisah tragisnya dua tahun silam. Malam itu, seharusnya jadi malam romantis karena sang pacar akan melamarnya. Tapi ternyata sang pacar justru mengaku kalau dirinya sebenarnya sudah menikah dan mengajak Haruko putus. Dan trauma itu masih terus memenjarakan hati Haruko.


BERSAMBUNG


Sampai jumpa di I'm Your Destiny episode 06 part 2.


Pictures and written by Kelana

Bening Pertiwi 06.00.00
Read more ...

(halo semua. Nggak keberatan kan, Kelana curhat sebentar? Ehe. Pertama, Kelana minta maaf karena update sinopsis satu ini terlalu lama. Alasannya? Seperti biasa lah. Rupanya manajemen waktu Na memang belum jitu. Ada pikiran untuk tidak melanjutkan sinopsis satu ini. Tapi kok rasanya seperti punya hutang jadinya. Nah, biar sama-sama nggak rugi terlalu banyak, Na memutuskan untuk melanjutkan sinopsis ini SECARA SINGKAT dan dengan pengaturan waktu yang agak berbeda. Sekali lagi Na mohon maaf, untuk yang sudah ngikutin sinopsis satu ini. Semoga nggak terlalu kecewa ya)



Makoto menonton acara di televisi yang menyajikan segmen sang pesumo, Daikaiyama-san. Aksisnya dengan tenaga yang luar biasa membuat nyali Makoto menciut. Saat itu dewa datang. Dewa menunjukkan artikel di koran, tentang bahaya meteor yang akan menghantam bumi 30 tahun lagi. Makoto awalnya tidak peduli. Tapi sang dewa dengan jeniusnya menghubungkan hal ini untuk menyemangati Makoto. Ia kembali meyakinkan Makoto, kalau ia tidak menyerah maka ia bisa meningkatkan peluangnya untuk mengalahkan sang pesumo dan mendapat perhatian Haruko.



Semangat Makoto kembali. Ia pun mulai berlatih. Malam itu Makoto berlatih beban sambil berlari. Di pagi hari, ia melatih beban di tangan kanannya sambil sarapan. Bahkan di kantor pun, Makoto terus melatih tangan kanannya sambil menelepon klien.


Makoto pun adu panco dengan rekan-rekan kantornya. Satu per satu mereka mencoba, dan ternyata semuanya kalah oleh Makoto. Jelas ini membuat kepercayaan diri Makoto makin naik. Terakhir adu panco si botak dengan satu-satunya karyawan wanita di kantor itu. Si karyawan wanitalah yang menang, dan mereka mendapat traktir makan siang dari si botak.



Haruko pergi makan malam bersama Mie. Ia bercerita kalau akan datang ke upacara pensiun sang pesumo bersama Makoto. Mie heran, kenapa Haruko mau datang dengan Makoto padahal ia bisa saja menolak. Dan Haruko tetap saja mengelak tiap kali ia diledek oleh Mie soal hubungannya dengan Makoto. Haruko mulai merasa nyaman karena Makoto tidak bersikap memaksa saat mendekatinya.


Mie pun kembali menyarankan Haruko untuk kencan saja dengan Makoto, yang jelas ditolak oleh Haruko. Mie menilai kalau Haruko perlahan-lahan berubah karena sikap Makoto itu. Dan saat ia tahu kalau tempat upacara pensiun sang pesumo adalah hotel, pikiran Mie sudah entah kemana.



Kemana Makoto? Ia berlatih ditemani Sadaoka di sebuah tempat gym. Beberapa alat digunakannya berlatih diiringi ucapan-ucapan penyemangat dari Sadaoka.


Latihan hari itu diakhiri dengan Sadaoka yang memberikan jimat pada Makoto. Ia meyakinkan Makoto kalau Makoto akan berhasil. Makoto tersentuh dengan sikap baik Sadaoka. Tapi Sadaoka mengatakan kalau itu Cuma semacam balas budi, lantaran dulu di SMA Makoto sudah memberikannya kemenangan.



Sejak makan malam bersama Haruko, Makoto memang tidak menghubungi karena ia sibuk dengan latihan. Malam itu, sambil mengompres tangannya, Makoto pun menghubungi Haruko dan memastikan undangan besok.


Makoto bertanya dimana mereka akan bertemu esok. Haruko menyerahkannya pada Makoto yang kemudian mengusulkan kalau mereka bertemu di stasiun dan kemudian naik taksi. Haruko setuju dengan usul Makoto itu.



Hari berikutnya, Makoto dan Haruko sudah berada di dalam taksi. Sopir taksi heran dengan pasangan ini yang tampak tegang dan diam saja di kursi penumpang. Makoto berusaha mencairkan suasana dengan obrolan ringan.


Saat tiba di hotel, suasana sudah ramai. Semuanya masih persis seperti saat pernikahan orang tua Haruko dulu. Di dalam ruangan, Haruko kembali dibuat takjub karena ternyata ada banyak pesumo lain yang juga datang.


Setelah acara sambutan, upacara pensiun dimulai dengan memotong rambut si pesumo. Haruko adalah salah satu yang diberi kesempatan memotong rambut sang pesumo. Setelah acara selesai, sekarang acara adu panco. Dengan percaya diri, Makoto pun menantang sang pesumo. Tapi ... dalam waktu yang sangat cepat ternyata Makoto sudah ditumbangkan oleh sang pesumo. Makoto kaget luar biasa. Gagal usahanya membuat Haruko terkesan. Bahkan saat ia meminta agar pertandingan diulang, sang pesumo menolak. Haruko hanya tersenyum geli melihat tingkat Makoto itu.



Hari sudah senja saat Makoto dan Haruko selesai dari upacara pensiun itu. Keduanya berjalan beriringan di sisi jembatan. Makoto masih tampak kecewa dengan kekalahannya tadi.


Saat itu ada mobil pengantin lewat. Sebuah mobil atap terbuka lengkap dengan kaleng yang diikatkan di belakangnya. Salah satu kaleng terlepas. Tapi, saat Haruko akan mengambil kaleng itu ada mobil lain yang mendekat. Melihat bahaya, Makoto pun berusaha menarik Haruko. Semuanya persis seperti latihannya selama ini. Hingga sebuah situasi membuat Haruko terjatuh di pelukan Makoto, persis bibir mereka saling bertemu.


Kaget dengan situasi tidak terduga ini, Haruko buru-buru mendorong Makoto menjauh. Makoto juga kaget dan buru-buru minta maaf, kalau ia tidak sengaja. Setelah mulai bisa menenangkan diri, Haruko berusaha menjelaskan pada Makoto kalau ini terlalu cepat. Makoto setuju, saat Haruko minta ia ingin menata hati dulu. Dan ... mereka sepakat dengan senyum terkembang.



Di apartemennya, Makoto tersenyum-senyum melihat kaleng dari mobil pengantin tadi sore. Tulisan di sana adalah ‘bahagia selamanya’.


Saat itu, dewa tiba-tiba datang. Alih-alih meledek Makoto, kali ini dewa menyemangati Makoto agar segera bertindak cepat, mengencani Haruko, karena waktu mereka tidak banyak.


Bagaimana kelanjutan kisah Makoto-Haruko? Apakah setelah ini langkah Makoto makin lancar untuk mendapatkan hati Haruko?


BERSAMBUNG


Sampai jumpa di I'm Your Destiny episode 06 part 1.


Pictures and written by Kelana

Bening Pertiwi 06.30.00
Read more ...

SINOPSIS dorama I'm Your Destiny episode 05 part 1. Haruko mengaku tidak membenci Makoto. Jelas ini membuat Makoto melambung. Malam itu mereka berpisah setelah Haruko mendapat tiga buah wortel dari Makoto. Bagaimana selanjutnya?



Ingat kalau Makoto pernah mengajak Haruko untuk makan malam di restoran salah satu rekannya? Akhirnya Haruko setuju untuk datang dan makan malam bersama Makoto.


“Ini enak,” komentar Haruko setelah mencicipi makanan di depannya.


“Sungguh? Syukurlah. Aku yakin Kamu pernah makan chanko di banyak restoran sebelumnya Jadi Aku khawatir tidak sesuai dengan seleramu,” ujar Makoto. Ia pun menceritakan soal pemilik restoran itu, Tomita-san, yang merupakan seorang kawan lamanya saat di tahun terakhir di SMA dan akhirnya menjadi pesumo.



Tapi tiba-tiba saja ekspresi Haruko berubah. Ia tampak kaget, histeris dan penasaran sekaligus. Makoto yang heran mencoba melihat ke arah pandangan Haruko, tapi dilarang oleh Haruko.


Sambil menyembunyikan diri dengan berpura-pura membaca daftar menu, Haruko pun bercerita, “Dia Daikaiyama Kei. Tetap tenang.”


“Tapi kamu penggemar beratnya bukan?” Makoto heran.


“Itulah sebabnya Aku tidak ingin mengganggu waktu pribadinya. Apakah kamu mengerti? Mari kita makan saja Seolah tidak terjadi apa-apa,” ujar Haruko memutuskan. Tapi Haruko tetap tidak bisa beralih dari rasa terkejut sekaligus senangnya sebagai seorang fans. Ia sempat melihat tanda tangan pesumo favoritnya itu di resto dan berpikir kalau ia benar-benar pernah datang. Dan ternyata ... ia benar datang. “Aku ingin tahu apakah dia berteman baik dengan Tomita-san.”


“Haruskah Aku bertanya?” Makoto menawarkan. Tapi ditolak dengan cepat oleh Haruko.


Selesai bicara dengan sang pesumo, Daikaiyama Kei, sang pemilik resto, Tomita-san menyapa Makoto dan Haruko. Melihat Haruko yang terus saja mencuri pandang ke arah pesumo favoritnya itu, akhirnya Makoto bertanya pada Tomita-san.


“Apa dia sering datang?” tanya Makoto sambil menunjuk ke arah Daikaiyama Kei.


Tomita-san mengerti, “Dia selalu mmenjagaku sejak Aku masih kecil.”


Obrolan itu akhirnya mencuri perhatian Haruko. Masih dengan sembunyi-sembunyi, Haruko ikut nimbrung. Dan dari sana, Makoto pun mengatakan kalau Haruko adalah penggemar berat Dai-san.


Haruko mengaku kalau ia juga punya cetak tangan sang pesumo di rumahnya. “Selama 12 tahun terakhir, sejak dia naik ke kelas satu Aku terus mendukungnya.”


“Kalau begitu, maukah kamu datang ke upacara pensiun?” Tomita-san menawarkan. Upacara itu diselenggarakan saat seorang pesumo akan berhenti.


Haruko langsung bersemangat. Meski sesaat kemudian ia bersikap seolah hanya menanggapi candaan saja. Tapi kemudian berubah bersemangat lagi. Sempat ragu-ragu, setelah dibujuk oleh Makoto, Haruko pun akhirnya setuju untuk datang ke upacara itu.



Makoto pulang ke apartemennya dan seperti biasa disambut oleh si dewa. Dewa memuji-muji Makoto karena pertemuan tadi dengan Haruko. Ditambah lagi, fakta kalau insiden kartu ATM ternyata memberi kesempatan Haruko untuk berfoto bersama sang pesumo, Dai-san. Makoto pun akhirnya mengerti. Yang dimaksud acara di hotel, adalah acara upacara pemotongan rambut untuk pensiun seorang pesumo.


“Haruko senang, bukan? Bagaimanapun dia akan menghadiri upacara pesumo yang selalu dikagumi. Haruko-san, atau mungkin Haruko-chan, oke! Baik. Tapi setelah penantian lama Kamu kencan pertama dengan Haruko-san, Memalukan sekali bukan?” dan seperti biasa, dewa kembali menghempaskan Makoto yang sudah terlanjur geer oleh pujiannya tadi.


“Memalukan? Apa?” Makoto heran.


“Tidak ada kemajuan di antara kalian berdua.”


Makoto tidak setuju, “Itu tidak benar. Bagaimanapun, dia benar-benar bahagia. Dia mengatakan bahwa dia sangat menghargai itu. Bertemu dengan seseorang yang Kamu kagumi, akan membuat seseorang bersemangat bukan? Dia bertemu dengannya karena dia pergi makan malam bersamaku.”


“Aku bisa mengerti bahwa Kamu ingin berpikir seperti itu tapi, Dia hampir tidak memiliki kenangan akan makanan yang dia makan bersamamu,” dewa kembali menabur garam.


“Tidak tidak tidak... itu tidak mungkin benar,” elak Makoto cepat.


“Pada malam dia bertemu dengan orang yang dikagumi selama ini, Kamu pikir dia akan mengingat pria yang tidak dibenci atau disukainya?” sindir dewa. Ia kemudian membahas menu makan malam Makoto tadi. Dan bukan menu itu yang diingat Haruko, melainkan pertemuannya dengan sang pesumo, Dai-san.



Haruko memamerkan fotonya bersama Dai-san pada kedua orangtuanya, “Setelah kami makan, tiba-tiba dia masuk. Kupikir hatiku akan berhenti.”


“Apakah Kamu mengatakan bahwa kita memiliki cetakan tangannya yang dipajang di rumah?” tanya orang tua Haruko.


“Ya, dia sangat senang. Dia bilang dia memberiku yang baru. Dia mengatakan bahwa, mengingat 10 tahun telah berlalu, ukurannya sudah berubah total,” cerita Haruko dengan begitu bersemangat.


Haruko juga menceritakan kalau Dai-san sang pesumo adalah pria yang sangat ramah dan hangat. Saat Haruko bercerita kalau ia diundang ke upacara pensiun sang pesumo, orang tua Haruko juga ikut senang.


“Dan terlebih lagi diizinkan untuk menggunting, Penggemar normal tidak akan pernah bisa melakukan itu,” tambah Haruko.


Obrolan beralih pada wortel yang ada di kulkas. Haruko mengaku kalau itu diberi. Dan orang tua Haruko baru menyadari kalau wortel itu adalah wortel nomer satu di Jepang.


“Wow, siapa yang memberikannya padamu?”


Haruko tidak yakin untuk memberikan jawaban, “Siapa? Seseorang dari kantor.” Haruko buru-buru beranjak pergi, tidak ingin ditanyai lebih lanjut.



Apa yang dilakukan dewa dan Makoto? Mereka bermain adu sumo dari kertas. Keduanya mengetuk-ngetuk sebuah kotak agar kertas berbentuk pesumo di atasnya bergerak. Yang kalah adalah yang jatuh lebih dulu.


“Aku masih pria yang tidak dibenci atau disukainya?” tanya Makoto.


“Hanya karena dia tidak membencimu kemudian dia bertemu denganmu, bukan begitu. Jadilah seperti apa adanya, perasaannya sekarang seharusnya Mulai bertunas sedikit?” ujar dewa. Tapi ucapannya kemudian yang bernada sindiran kembali membuat Makoto kesal. “Hanya karena perasaannya untukmu tidak nol. Jika Kamu bandingkan dengan bagaimana perasaannya terhadap Daikaiyama, jaraknya seperti jarak langit ke bumi.”


“Tapi perasaannya terhadapnya Bukan perasaan romantis, bukan,” elak Makoto.


“Hanya butuh beberapa saat untuk merubah kekaguman menjadi cinta.”


“Jadi Aku tidak bisa membiarkannya pergi ke upacara,” Makoto memutuskan.


“Begitulah cara seorang pecundang berpikir. Seorang pemenang akan melihat ini sebagai sebuah kesempatan. Jika Kamu bisa menunjukkan kepadanya bahwa Kamu bisa mengalahkannya, Hatinya akan berdetak untukmu,” saran dewa. Ia menyuruh Makoto untuk menantang Dai-san sang pesumo.


“Tapi tidak mungkin Aku bisa mengalahkan pesumo!” elak Makoto cepat.


Permainan berakhir. Kertas berbentuk pesumo milik Makoto roboh terlebih dahulu. Ia kalah.



“Aku bukan iblis, Aku adalah dewa!” dewa kemudian memberi saran agar Makoto menantang adu panco. Jelas ide ini ditolak oleh Makoto.


“Berbulan-blan sejak dia pensiun, dia belum berlatih sama sekali, Jadi kamu punya kesempatan,” dewa mencoba menghibur.


“Aku belum melakukan latihan apapun selama bertahun-tahun!” elak Makoto pula.


“Setiap hari, Kamu membawa botol air,” ujar dewa pula. Jelas ia ingin meyakinkan Makoto. “Aku mengira Kamu akan mengatakannya, jadi Aku sudah mempersiapkannya. Pelatih pribadi untukmu Mantan sainganmu Sadaoka-kun! Hah, ayolah..!” bujuk dewa lagi.


Dewa terus saja meyakinkan Makoto kalau ia bisa minta bantuan Sadaoka untuk melatihnya. Apalagi ternyata sebelum bekerja di perusahaan, Sadaoka pernah bekerja sebagai instruktur fitnes.


“Dia bukan lagi sainganmu. Dia sekarang dalam posisi untuk menyemangati kalian berdua,” ujar dewa pula. ”Dia tahu bahwa berdiri di sekitar tanpa melakukan apa-apa hanya membuang-buang waktu. Bukti untuk itu, sekarang juga Dia serius merayu target berikutnya. Dia benar-benar memiliki perubahan yang cepat. Kamu juga tidak punya waktu untuk sekedar diam. Jika Kamu berbuat konyol dunia akan hancur!” ancam dewa kali ini.


“Aku tahu itu. Aku tahu itu tapi...” Makoto masih ragu.


“Jika Kamu bisa mengalahkan Daikaiyama dalam panco, Statusmu akan dipromosikan dari strip daikon kering ke chanko! Kamu akan menjadi juaranya Haruko!”


“Jadi jika Aku benar-benar menang... Lalu, Akankah aku benar-benar membuat jantungnya berdebar?” tanya Makoto. Keyakinannya mulai goyah.


Dan dewa kembali berulah seperti biasa. Dia memeragakan gaya Kindaichi Hajime dalam serial Detektif Kindaichi. “Trik perbedaan waktu yang cerdik dengan teknik yang berani. Aluminium dan prisma matahari terbenam untuk melelehkan hati Haruko. Aku punya harapan tinggi untukmu! Atas nama Kakek! Sebuah slogan dari Kindaichi Case Files.” (betewe, Yamapi kan pernah memerankan karakter kakeknya Kindaichi dalam salah satu serial Kindaichi SP, kekekeke)


“Aku punya firasat buruk,” keluh Makoto.



Makoto berangkat ke kantor seperti biasa. Sambil menunggu dalam lift, ia menggerakkan tasnya naik turun dengan satu tangan, seolah sedang berlatih. Ternyata gerakannya itu disadari oleh rekannya, Sekihara-san.


“Ah, Sekihara-san, apa kamu pandai bergulat?”


“Apakah Kamu tahu film yang berjudul 'Over the Top?'” tanya Sekihara-san balik.


Makoto ragu, “Aku pernah mendengar namanya tapi...”


Sekihara-san tidak menunggu jawaban Makoto, “ Agar protagonis bisa menjadi juara panco Dia terus berlatih, bahkan di tempat kerja. Aku akan memperlihatkannya kapan saja. Ketika Aku di tahun pertama sekolah menengah, Aku mengaguminya. Saat Aku membawa meja, dan ember berisi air di dalamnya, Aku terus melatih otot lenganku. Jadi Kamu pasti baik-baik saja.” Sekihara-san pun menceritakan ulah konyolnya yang lain saat di sekolah. Termasuk alasan ia tidak lagi mau main adu panco.


Makoto pun hanya manggut-manggut mendengar cerita Sekihara-san itu.



Keluar dari lift, Sekihara-san berjalan bersama Makoto. Tapi mereka berhenti oleh sebuah suara yang memanggil Sekihara-san, suara Mie.


“Aku tidak bisa memberi kartu namaku waktu itu,” ujar Mie memberikan kartu namanya pada Sekihara-san dengan senyum terkembang. Setelahnya ia pun beranjak pergi.


Masih syok karena dipanggil oleh wanita idolanya, Sekihara-san tidak bergerak. “Terima kasih banyak.”


Dan cerita ini pun jadi cerita sepanjang hari di kantor. Teman Makoto yang botak pun terus membaui kartu nama milik Mie dan memegangnya dengan sarung tangan. Bersama Sekihara-san, mereka berdua ini adalah fans berat Mie. Pujian demi pujian pun keluar dari mulut mereka, karena Mie yang cantik dan cerdas. Tapi ternyata sikap ini membuat satu-satunya karyawan wanita di kantor itu kesal.



Selesai meeting, Haruko dan Mie tinggal di ruangan. Mie dibuat kaget karena ternyata Haruko menyukai sumo.


“Menjadi penggemar sumo bukanlah sesuatu yang harus Kamu sembunyikan,” ujar Mie.


“Kamu akan mengolok-olokku.”


“Aku tidak akan!” elak Mie cepat.


Tapi Haruko melirik sedikit ngambek, “Kamu mungkin sudah lupa ini tapi, di masa lalu Kamu telah mengatakan beberapa hal. Hal-hal yang diskriminatif tentang sumo jadi Aku tidak ingin mengatakan apapun.”


“Tidak mungkin Aku mengatakan hal seperti itu,” elak Mie tidak mau disalahkan.


Haruko melanjutkan ucapannya, “Kamu berkata 'Mengapa orang-orang begitu gemuk, meskipun mereka banyak berlatih.' Tidakkah Kamu ingat?”


“Apa yang diskriminatif tentang itu?” Mie heran.


“Adalah tugas mereka untuk makan dan membuat tubuh mereka besar. Dan juga, ini bukan 'berlatih' ini adalah 'latihan'. Dan caramu mengatakan 'orang-orang itu', Aku tidak bisa mengatakannya dengan tepat, tapi Aku benar-benar tidak menyukainya,” curhat Haruko akhirnya.


“Aku minta maaf tentang itu. Aku pastikan untuk berhati-hati mulai sekarang,” ujar Mie pula.


“Tidak, aku juga minta maaf. Kapanpun Aku berbicara tentang sumo, Aku menjadi seperti ini. Itu sebabnya aku tidak ingin mengatakan apapun.”


“Tapi bukankah itu hebat? Karena Kamu mengambil risiko dan berkencan dengan pria takdirmu, Kamu jadi bertemu dengan seseorang yang akan lama Kamu kagumi. Aku bertanya-tanya jika Kamu benar-benar menyebutnya kencan,” Mie mengubah topik obrolan.


“Ini menyebalkan, jadi tolong berhentilah!” pinta Haruko, tidak suka.


“Seorang pria dan wanita yang sedang minum bersama adalah kencan yang paling indah,” lanjut Mie, kembali meledek Haruko.


Tapi Haruko tidak mau kalah, “Sekarang kamu sebutkan itu, bukankah kamu dan Sadaoka-kun pergi minum bersama kemarin?”


“Bagaimana Kamu tahu itu?!” Mie kaget.


“Kadang Kamu menyembunyikan hal-hal juga!” protes Haruko.


“Aku tidak menyembunyikannya. Kamu tahu bar yang Kita bertiga kunjungi tempo hari? Aku pergi ke sana dan dia kebetulan berada di sana,” cerita Mie. Ia tetap menolak saat Haruko beranggapan kalau ia kencan dengan Sadaoka, hanya karena mereka minum bersama. Mie mengaku kalau mereka hanya tidak sengaja bertemu di bar dan akhirnya minum bersama.


“Tidak perlu menyangkal begitu keras. Aku selalu berpikir bahwa temperamen Kalian berdua Sangat cocok satu sama lain,” gantian Haruko yang meledek Mie.



Makoto minum bersama Sadaoka. Ia kemudian membahas soal Sadaoka yang pernah jadi instruktur gym. Sadaoka heran karena ia belum pernah cerita pada Makoto soal itu.  Jelas saja itu membuat Sadaoka makin bangga dengan dirinya.


“Jadi pertama, apa tujuan latihan Kamu? Bergantung pada itu, latihan akan sangat berbeda,” ujar Sadaoka saat ia akhirnya paham maksud Makoto.


“Ada seseorang yang harus Aku kalahkan saat adu panco.”


“Adu panco? Bukan olahraga spesialis lainnya,” Sadaoka tampak sedikit kaget.


“Tidak hanya itu, tapi lawanku bukanlah orang biasa.”


“Baik tidak peduli siapa mereka, Aku pikir Kamu bisa menang jika kita melakukan latihan yang sesuai,” Sadaoka mencoba meyakinkan Makoto.


“Sungguh? Lawanku Daikaiyama!” Makoto jadi bersemangat. “Erm... Apakah kamu tahu siapa dia?”


“Apakah seseorang yang Aku kenal?” Sadaoka heran.


“Dia adalah pesumo peringkat atas,” Makoto tampak sedikit kecewa. “Kamu tidak tahu?”


Obrolan bergeser pada nama Daikaiyama yang sebenarnya adalah nama daerah. Dan pemilik bar itu pun ikut nimbrung.


“Kamu tahu film 'Over the Top?'” tanya pemilik bar.


“Itu adalah kedua kalinya Aku mendengar namanya hari ini!” Makoto kaget.


“Itu difilmkan sangat dekat dengan tempat kami tinggal,” ujar pemilik bar yang mengaku pernah tinggal di California hingga usianya lima tahun. Obrolan pun bergeser soal film itu. Sayangnya, tetap tidak ada kesimpulan akhir, apakah si penantang akan menang adu panco atau tidak.



“Apakah benar ada... ada gunanya dalam hal ini?” Makoto bicara dengan nafas terengah. Ia tengah ikuat aerobik bersama Sadaoka.


“Pertama-tama, kita harus membangunkan otot-otot yang telah tertidur. Ini aerobik. Inilah saatnya untuk membangunkan otot-otot itu,” ujar Sadaoka masih terus bergerak dengan lincahnya.


Selesai aerobik, pelatihan berikutnya adalah squash. Keringat sudah berleleran di leher Makoto. Tapi Sadaoka lagi-lagi meyakinkan kalau latihan itu penting untuknya. Setelah melakukan latihan awalan itu, mereka pun akhirnya sampai pada latihan beban.


“Bawa kebahagiaan, seperti itu, lagi, ayo! Ayo kebahagiaan! Lakukan ini untuk menarik kebahagiaan terhadapmu, tarik ke dalam! Benar! Tarik masuk! Satu lagi... Benar! Senang! Ayo! Jangan biarkan kebahagiaan hilang. Jangan biarkan itu pergi. Jangan biarkan itu pergi! Jangan tarik wajah itu! Visualisasikan kebahagiaan. Tersenyum seperti malaikat. Hanya itu saja. Terus tersenyum, lagi! Ayolah! Senyum bahagia! Oke, bagus!” Sadaoka terus saja menyemangati Makoto yang tengah berlatih.



Makoto terengah-engah sambil memegangi tangannya yang kesakitan akibat latihan beban tadi.


Sadaoka mengulurkan botol minuman pada Makoto, “Kamu melakukannya dengan baik.”


“Ketika Aku meminta bantuan, Aku bertanya-tanya bagaimana jadinya. Suara penyemangatmu, itu sangat unik,” ujar Makoto. “Sepertinya aku kehilangan kekuatan.”


“Itu baik-baik saja. Kamu akan terbiasa dengan hal itu, dan itu akan menjadi kebiasaan,” Sadaoka kembali meyakinkan.


“Aku mengerti...”



Karena insiden pemberian kartu nama oleh Mie hari sebelumnya, Sekihara-san dan si botak jadi begitu bersemangat di kantor. Dan obrolan soal ‘cinta’ Mie ini pun jadi topik utama saat Makoto bersama si botak melakukan pengecekan stok air mereka.


“Sejak Kamu dipindahkan ke sini, Hal-hal secara bertahap menjadi semakin aneh,” ujar si botak.


“Aku yang salah? Tapi aku belum melakukan apapun!” protes Makoto.


“Karena Kamu mendapat kontrak dari perusahaan di sebelah, Poin kontrak sudah didirikan bukan.”


Sementara rekannya mencatat stok mereka, Makoto yang memindahkan air galon itu ke rak. Ia juga menggunakan kesempatan itu untuk berlatih beban.


Si botak pun curiga, kalau Makoto sudah menemukan wanita yang ia sukai.  “Ah! Aku tahu! Gadis itulah yang selalu bersama Mie! Yah, kurasa dia agak manis daripada rata-rata,” komentar si botak. “Dia mungkin agak polos tapi, dia tampak agak muram. Sekilas dia terlihat agak ceria, tapi rasanya agak lemah.”


Rupanya Makoto tidak terlalu suka dengan komentar si botak, “Kata-katamu sedikit kasar!” protesnya.



Bos Smile water datang ke kantor sebelah untuk mencari bos wanita kantor itu. Saat itu yang menyapanya adalah Haruko. Haruko mengatakan kalau bosnya saat ini sedang keluar.


“Baiklah, Aku akan datang lagi. Namaku Karasu, Aku dari perusahaan sebelah,” ujar sang bos.


“Haruskah Aku mencoba dan menghubunginya untukmu?” Haruko menawarkan.


“Tidak, itu tidak perlu. Tidak begitu penting, Aku akan datang lagi.” Karasu-san sudah akan berbalik saat ia kemudian mengenali wanita yang menyapanya ini. “Apakah Kamu mengambil kontrak dengan kami bulan lalu?”


“Ya, keluargaku melakukannya,” aku Haruko.


“Aku pikir Aku mengenali nama itu, Dan mungkin begitu. Terima kasih telah mengambil kontrak dengan kami,” komentar sang bos lagi.


Haruko kemudian mengatakan kalau ayahnya-lah yang mengenal Makoto dan dia juga yang mengurus semuanya untuk keluarga Haruko.



Kogetsu-san pulang dari kantor dan memberikan sebuah bungkusan untuk istrinya. “Kamu melihatnya di majalah dan mengatakan bahwa Kamu menyukainya.”


Nyonya Kogetsu heran, tapi kemudian membuka bungkusan itu. Ternyata isinya adalah sebuah tas model baru. Haruko yang juga ada di sana ikut memujinya.


“Besok ulang tahun pernikahan Kita bukan?” ujar Kogetsu-san pada istrinya.


Tahun itu adalah ulang tahun ke-30 mereka. Biasanya Kogetsu-san tidak memberikan hadiah. Tapi kali ini ia memberikan hadiah untuk istrinya.  Jelas ini membuat istrinya sangat gembira.


“Ya, tapi itu bagus, sangat cocok!” puji Haruko.


“Kamu bisa meminjamnya jika Kamu mau,” ibunya menawarkan, tapi ditolak oleh Haruko.


Obrolan pasangan Kogetsu ini pun bergeser tentang nostalgia pernikahan mereka sekian tahun silam. Tentang pakaian pernikahan, kue pengantin dan hal-hal lain yang hanya dipahami oleh keduanya.  Dan Haruko hanya bisa tersenyum melihat kemesraan kedua orang tuanya ini.



Haruko kemudian menceritakan kalau upacara pensiun sang pesumo favoritnya ternyata di Hotel Suncerity. Kedua orang tua Haruko kaget, karena tempat itu adalah tempat resepsi pernikahan mereka sekian puluh tahun silan.


“Daikaiyama akan datang dan pergi dengan gondola,” cerita Haruko. “Apakah kalian mengendarai gondola di pesta pernikahan?”


“Tidak. Ada pilihannya, tapi kami menolaknya,” ujar Kogetsu-san.


“Ayahmu berkata, 'tolong jangan itu!'” nyonya Kogetsu menimpali. “Jika Aku tidak keberatan, kami akan melakukannya,” bisiknya pada Haruko. Jelas ini membuat Kogetsu-san protes karena agak alay.


BERSAMBUNG


Sampai jumpa di I'm Your Destiny episode 05 part 2.


Pictures and written by Kelana

Bening Pertiwi 14.18.00
Read more ...

SINOPSIS dorama I'm Your Destiny episode 04 part 2. Makoto atau Sadaoka? Haruko menolak kedua pria yang mendekatinya itu. Sadaoka bisa menerima keputusan Haruko dan memilih menyerah. Tapi, Makoto tidak berpikir demikian. Makoto pun menggunakan strategi wortel. Apakah kali ini ia akan berhasil?



Sepulang kantor, Haruko melihat Sadaoka berjalan menuju arahnya. Haruko sempat ragu, sebelum akhirnya memberanikan diri untuk tidak menghindar lagi.


Sadaoka menyapa Haruko seperti biasanya, “Saya meminta Mie-san untuk memberimu pesan, apakah dia menyampaikannya?”


“Dia melakukanya,” ujar Haruko.


Keduanya kembali ke situasi canggung. Sadaoka kemudian mengajak Haruko bicara. Mereka duduk di taman, sambil minum bir kaleng.


“Aku tidak ingin Kamu marah saat mendengar ini. Itu adalah misteri bahkan bagiku juga kenapa aku melamarmu. Kita bertemu setelah sekian lama, dan Kita berdua bebas. Perusahaan Kita kebetulan dekat. Aku merasa seperti itu pasti berarti sesuatu. Aku tidak bisa dengan mudah mengatakannya tapi, aku merasa kita dalam situasi sangat mungkin untuk menikah. Aku memiliki keyakinan yang aneh bahwa "Entah bagaimana kita akan bersama." Jadi saat Kamu menolakku lebih dari sekadar shock. Aku terkejut bahwa hasilnya tidak seperti yang Aku pikirkan. Aku yakin ada makna kita dipertemukan kembali. Aku ingin tahu apa perasaan itu sebenarnya,” ujar Sadaoka panjang lebar.


“Ini mungkin membuatmu marah tapi, Aku merasakan hal yang sama dengan mantanku sebelumnya. Aku pikir dia akan melamarku, Tapi apa yang dia katakan adalah "Sebenarnya Aku sudah menikah." Entah bagaimana itu membuatku tertawa. Aku baru saja akan mengatakan 'Tidak, tidak, Kamu salah ketik.'” Curhat Haruko balik.


Situasi canggung di antara keduanya perlahan mencair. Sadaoka minta maaf, karena sudah meminta musik klasik sebagai latar belakang lamarannya pada Haruko waktu itu. Ia merasa sudah memainkan musik aneh.


“Itu melanggar peraturan! Aku tidak bisa menahan tawa,” ujar Haruko, lebih riang.



Makoto kembali mengajak sang bos makan. Kali ini di bar tempat ia dan teman-temannya berkumpul biasanya. Dan menu malam itu ... semuanya berasal dari wortel.


Sang bos tampak waspada, “Bisakah Aku mengatakan sesuatu? Membuat atasanmu makan sesuatu yang dia benci, IniTidak normal, kan.”


“Aku khawatir dengan keseimbangan gizi Anda.”


“Pernahkah Kamu mempertimbangkan bagaimana rasanya menerima hal-hal manis dari pegawai laki-lakimu, hari demi hari?” sang bos curiga. “Ini benar-benar sangat menakutkan kau tahu.”


“Tolong jangan salah paham!” potong Makoto cepat. “Yang saya inginkan adalah untuk Anda, menaklukan ketidaksukaan Anda terhadap wortel.”


Sang bos menarik nafas berat, “Apa yang Kamu lakukan adalah menjadi salesman yang memaksa. Hal yang sama seperti ketika seorang salesman memaksa pelanggan Untuk membeli sesuatu yang sama sekali tidak mereka minati. Penting untuk mendapatkan hasil, Tapi kupikir sama pentingnya mengetahui kapan harus menyerah.” Ujar sang bos, menasehati Makoto.


“Saya minta maaf,” ujar Makoto kemudian. “Jadi, misalnya saja, Saya mengejar seorang gadis, yang sama sekali tidak tertarik padaku, menyuruhnya untuk menyukaiku, Itu sama dengan salesman pemaksa?”


“Aku pikir begitu. Bagaimanapun, perasaan mereka terhadap kamu adalah nol, bukan. Tidak masalah seberapa besar angka yang kamu kalikan dengannya, Itu tetap nol Misalnya, jika nilai cinta Kamu adalah, Satu juta atau bahkan seratus juta, Hasilnya tidak berubah. Ah maaf, ini hanya membahas tentang saya yang dipaksa makan wortel. Jangan terlalu dipikirkan. Orang dan wortel berbeda,” ujar sang bos kemudian.


Makoto pulang ke rumah dalam keadaan mabok. Seperti biasa, dewa sudah menyambutnya di rumah, lengkap dengan apron di badan dan makan malam yang sudah disiapkan. Tapi Makoto tidak terlalu peduli lagi.


“Aku tidak berhasil membuat atasan saya makan wortel,” curhat Makoto yang sempoyongan menuju kursinya.


“Apa ini? Apakah kamu menyerah?”


“Yah, saya pikir saya harus menerima apa yang dia katakan. Apa yang telah Aku lakukan adalah salesman cinta pemaksa,” ujar Makoto lagi. “Jadi saya telah memutuskan untuk benar-benar menyerah padanya (Haruko).


“Hei! Jika Kamu tidak menyerah, sesuatu yang baik mungkin terjadi,” dewa mengingatkan.


“Tidak, saya sudah memutuskan.”


“Baiklah kalau begitu. Kata-kata siapa yang lebih penting. Aku atau bos anda?” tanya dewa.


“Bos saya. Jelas atasan saya,” ujar Makoto membuat dewa kaget sekaligus kesal.


Makoto lalu minta untuk diambilkan minuman. Tapi dewa memberi syarat, agar Makoto menelepon Haruko lebih dulu dan mengatakan kalau ia sudah menyerah.


“Tidak tidak. Dia tidak perlu mendengarnya,” elak Makoto.


“Untuk kebaikan kalian berdua, Kamu perlu untuk mengakhiri hal-hal dengan jelas.


“Aku tidak akan melakukannya,” tolak Makoto lagi.


“Aku mengerti. Kamu belum benar-benar menyerah,” komentar dewa dengan santainya.


“Apa? Aku sudah menyerah!”


“Bila besok datang, Kamu akan pura-pura tidak tahu, Dan kembali mengejarnya. Apa, Kenapa Kamu tidak mau menelponnya?” sindir dewa lagi.


“Oke AKu mengerti. Aku hanya perlu meneleponnya kan? Aku akan mengatakan kepadanya bahwa Aku telah benar-benar menyerah,” Makoto mengambil ponselnya dan memencet nomer Haruko. Ditunggu beberapa lama, tidak ada respon.


Haruko sudah pulang ke rumah. Saat ponselnya berbunyi, Haruko memeriksa untuk melihatnya. Tapi saat tahu itu dari Makoto, Haruko urung menjawab teleponnya. Haruko justru beranjak ke ranjangnya dan memeluk lutut. (suer deh, kalau jadi Haruko, gue juga kesel kali. Udah ditolak, masih aja rese gangguin!)


Pagi berikutnya, Makoto berangkat ke kantor seperti biasa. Keluar dari lift, ia berhenti sebentar dan memandang lift sebelah. Berharap keajaiban kembali terjadi, takdir yang memertemukannya dengan Haruko. Tapi ternyata yang keluar dari sana justru, bosnya Haruko.


“Kita jadi sering bertemu. Bagaimana kue itu? Itu kelas pertama bukan,” ujar sang bos wanita.


“Sebenarnya Aku membelinya untuk diberikan kepada bosku,” aku Makoto.


“Apa yang dia katakan?”


“Dia bilang itu enak sekali. Sebenarnya, bosku benci wortel. Aku telah mencoba segala cara untuk membuatnya bisa mengatasinya. Tapi Aku belum berhasil,” cerita Makoto.


“Ini terlalu dini untuk menyerah. Seorang kenalanku adalah petani wortel nomor 1 di Jepang. Pertanian Furukawa di Chiba. Kamu harus membuatnya memakan wortel tersebut. Meskipun Aku pikir itu mungkin tidak akan berhasil... Aku akan menelepon mereka, Kamu langsung menuju ke sana. Jika Kamu memberi mereka namaku, mereka akan dengan senang hati menerimamu,” ujar sang bos wanita itu lagi.


Makoto menuruti saran dari sang bos wanita itu. Ia mengunjungi pertanian wortel nomer satu di Jepang. Tapi, saat ditanyakan, sang pemilik pertanian mengaku tidak mengenal Hatozaki-san, sang bos wanita. Makoto sendiri heran. Tapi ia tidak menyerah.


“Sebenarnya, ada seseorang yang saya kenal yang membenci wortel. Kudengar kalau dia mencicipi wortel nomor 1 Jepang mungkin bisa mengatasi ketidaksukaannya,” ujar Makoto menyampaikan maksud kedatangannya.


“Itu tidak akan membuat perbedaan. Jika mereka tidak menyukai wortel, mereka tidak menyukainya,” ujar sang pemilik.


“Maaf? Aku pikir Anda akan mengatakan sesuatu seperti 'Jika mereka hanya mencicipi wortel kita, mereka akan bisa memakannya...' atau apalah. Anda mengatakan tidak seperti itu?” Makoto heran.


“AKu mengatakan itu tidak mungkin.”


“Permisi, tapi Anda adalah petani wortel nomor 1 di Jepang?” Makoto tetap tidak menyerah.


“Itu Cuma hal yang diributkan orang-orang.”


“Meski begitu, orang menghargai pekerjaan yang Anda kerjakan bukan? Saya membayangkan bahwa Anda akan memiliki Kebanggaan yang kuat dalam pekerjaan Anda atau sesuatu,” komentar Makoto.


“Aku tidak bangga dengan hal itu, sejak awal,” elak sang petani. “Bagaimanapun, Aku tidak memulai pekerjaan ini karena Aku menyukainya.”


Haruko makan siang bersama Mie seperti biasa. Dia bercerita soal Makoto yang masih terus menghubunginya, tetapi Haruko tidak punya minat untuk merima panggilan telepon dari Makoto itu.


“Apa kau benar-benar benci padanya?” tebak Mie.


“Aku Cuma tidak ingin dia salah paham. Kalau aku menanggapinya, dia nanti berpikir kalau aku memberinya kesempatan. Karenanya, lebih baik kalau kita menjaga jarak saja,” ujar Haruko.


“Aku tahu itu...Mati-matian menjaga jarak, Memastikan dia tidak bisa mendekatimu. Itu karena Kamu mencoba membencinya, yang berarti Kamu sedikit menyukainya.”


“Tidak, tidak, bukan begitu!” protes Haruko.


“Jadi, telepon dia sekarang juga, Dan katakan padanya untuk tidak mendekatimu lagi,” tantang Mie.


“Aku tidak bisa melakukannya sekarang,” elak Haruko. Tapi ia tidak mau mengatakan alasannya.


“Aku melihat dia berbeda dari Sadaoka-kun. Dia tidak mudah mengubah perasaannya dan tidak tahu kapan harus menyerah,” kali ini Mie seperti memuji Makoto.


“Kamu pikir itu adalah nilai lebih?” tanya Haruko, sarkas.


“Tentu dengan Kamu, dengan kepribadian bijaksana, Kalian memiliki takdir yang sama.”


Makoto telah kembali ke kantor. Ia membawa juga sekardus besar wortel, oleh-oleh dari perkebunan. Dan ternyata ... sang bos yang tadinya sangat membenci wortel, tengah mengunyah umbi itu dengan senangnya.


“Aku berfikir mengapa aku belum makan wortel sampai sekarang,” ujar sang bos sambil terus mengunyah.


Makoto mengomentari bos mereka, “Bahkan orang yang suka wortel, Biasanya tidak bisa memakannya seperti itu.”


Rekan Makoto yang botak, mengajaknya bicara agak menjauh. Sebelum ke-geeran Makoto makin meninggi, rekannya ini pun menjelaskan kalau sang bos mau makan wortel setelah tahu kalau wortel itu masuk kompetisi sebagai perwakilan dari Jepang. Dan bos mereka sangat mencintai semua barang perwakilan Jepang.


Hari sudah gelap. Tapi Haruko masih belum pulang. Ia sendirian di kantor sementara semua rekannya sudah pulang. Ponsel Haruko berbunyi, membuatnya kaget. Khawatir kalau itu panggilan dari Makoto lagi, Haruko sama sekali tidak mau menyentuh ponselnya. Ponsel itu terus berbunyi, membuat Haruko tergoda untuk mengambilnya. Pelan, tangannya terulur mengambil ponsel itu. Saat dilihat, ternyata itu dari ibunya.


“Apa yang kamu makan untuk makan malam nanti?” tanya nyonya Kogetsu-san dari seberang.


“Tidak apa-apa, aku akan makan dulu sebelum pulang,” ujar Haruko.


“Baiklah kalau begitu, hati-hati dalam perjalanan pulang.”


Haruko menghembuskan nafas lega.


Di sebelah, ternyata Makoto juga belum pulang. Dari ponselnya terdengar suara musik klasik yang dikenalnya. Makoto menebak judul lagu itu dengan mudah. Sampai ia sadar, kalau nada itu adalah nada yang khusus ia pasang untuk panggilan dari Haruko. Sadar siapa yang menelepon, Makoto buru-buru mengangkatnya.


“Kamu menelepon saya kemarin,” ujar Haruko saat akhirnya panggilan teleponnya diterima oleh Makoto.


“Maaf itu sudah larut malam. Apa yang bisa Aku bantu?”


Haruko terdiam sebentar, “Hmm, ini tentang... Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Erm... saat Aku meneleponmu tempo hari, Aku mengatakan bahwa jika Kamu baru mengenalku, Kamu akan datang untuk menyukaiku...”


“Itu... Aku minta maaf, izinkan Aku untuk mengambil kembali kalimat itu. Ini adalah cara berpikir yang keterlaluan. Aku sungguh minta maaf,” potong Makoto.


“Tidak masalah.”


Kali ini Makoto yang bicara lagi, “Hari ini Aku berbicara dengan petani wortel no.1 di Jepang dan Aku menyadari sesuatu. Ia hanya menjadi petani wortel, karena ia mewarisinya, Awalnya dia sama sekali tidak menyukainya. Bukankah itu mengejutkan? Meski dia tidak menyukainya, dia terus menumbuhkan wortel terbaik di Jepang. Tapi inilah yang dia katakan padaku. "Aku tidak suka menanam wortel, tapi Aku juga tidak membencinya. " "Jika Aku membencinya, Aku rasa Aku tidak bisa melanjutkannya. Dan baru-baru ini aku jadi menyukainya. " Dia tersenyum. Mendengar itu membuatku berpikir. Tidak apa-apa jika pada awalnya Kamu tidak mencintaiku. Jika Kamu tidak bisa mencintaiku, dan untuk alasan itu Kamu menjaga jarak dariku, haruskah kita mulai dari sesuatu yang tidak Kamu benci. Jadi, biar ku tanya satu hal saja. Apakah kamu... membenciku? Atau... Apakah kamu tidak membenciku?” Makoto harap-harap cemas.


Haruko sempat terdiam, “Aku... Tidak membencimu.”


“Sungguh?!” Makoto kaget karena Haruko ternyata menjawab seperti itu. “Apakah kamu benar-benar tidak membenciku?”


“Tidak, saya tidak membencimu,” Haruko meyakinkan.


“Terima kasih banyak. Itu membuatku sangat senang mendengar kata-kata tersebut.” Makoto mengangguk-angguk hingga wortel di tangannya pun ikut terayun.


“Erm... erm! Aku belum bilang aku menyukaimu atau apapun,” potong Haruko cepat. Ia tidak ingin Makoto salah paham.


“Tentu saja, tentu saja. Saya tidak salah paham sama sekali. Jika Kamu mengambil 'kebencian' sebagai nol, Itu berarti 'tidak benci' tidak nol. Sangat penting bagiku apakah itu nol atau tidak. Restoran yang seharusnya Kita kunjungi tempo hari, Jika Kamu tidak membenci ide itu maka mungkin kita bisa pergi bersama lain kali.” Tapi karena tidak ada respon dari Haruko, Makoto membatalkan tawaran ini.


“Tidak masalah.” Haruko geli sendiri, karena samar-samar suara histeris Makoto terdengar dari balik tembok pembatas kantor mereka.


Sementara itu, di lantai yang sama kantor seberang, Sadaoka telah selesai bekerja dan bersiap untuk pulang. Ia melihat ke arah kantor Haruko dan melihat Haruko serta Makoto seolah seperti tengah bicara.


“Keduanya ada di perusahaan berbeda bukan. Tidakkah terlihat seperti tidak ada dinding di antara mereka?” komentar seorang karyawan wanita yang memerhatikan kalau Sadaoka tengah melihat ke gedung sebelah.


“Tidak ada,” Sadaoka sepakat.


Haruko baru saja keluar dari kantornya saat Makoto ada di depan lift tengah memunguti wortel yang terjatuh dari kardus yang dibawanya. Keduanya sempat canggung. Tapi Haruko pun membantu Makoto memunguti wortel itu. Keduanya pun akhirnya masuk ke lift yang sama untuk turun.


“Ini adalah wortel yang Aku bicarakan tadi. Aku tahu aku menjatuhkan mereka tapi, Jika Kamu mau, tolong ambil beberapa,” Makoto menawarkan.


“Tidak, Aku baik-baik saja terima kasih,” tolak Haruko.


“Aku tidak bisa makan semuanya sendirian, Kumohon,” pinta Makoto lagi.


Haruko tidak enak dipaksa begitu. Ia pun menurut. “Baiklah jika begitu, hanya satu.” Lalu mengambil satu wortel dari kardus yang dibawa Makoto.


“Ah, ambil 3, masing-masing untuk orang tuamu,” Makoto meminta lagi. Makoto kemudian memilihkan wortel terbaik untuk Haruko. “Eh, apakah kamu sudah makan malam?”


“Tidak, belum.”


Makoto merasa ini kesempatannya, “Aku akan membawa ini ke restoran teman-temanku Jika Kamu tidak membenci ide itu, maukah Kamu ikut denganku?”


“Terima kasih banyak. Tapi mari kita lakukan lain kali.”


Kali ini Makoto tidak memaksa lagi. Keduanya berpisah di depan gedung. Makoto kemudian meletakkan kardus berisi wortelnya. Dengan kedua tangannya, ia melambai ke arah Haruko. Tanpa disangka, Haruko pun membalas lambaian Makoto itu dengan senyum terkembang.


Setelah mengantar wortel ke resto kawannya, Makoto pulang dengan perasaan gembira. Di rumah, ia sudah disambut dewa. Dan seperti biasa, mereka memperdebatkan hal-hal sepele tidak penting soal kantong kertas.


“Itu berjalan seperti yang Aku katakan bukan. Sudah kubilang kau harus meneleponnya,” komentar dewa.


“Jika Aku berbicara dengannya, semua akan berakhir bukan. Dia tidak menjawab semuanya sesuai rencana.”


Malam itu, saat Makoto menelepon jelas Haruko tidak menelepon balik. Tapi akhirnya Haruko menelepon balik di hari berikutnya.


“Tidak, tapi sungguh kau menakjubkan Makoto. Aku sangat tersentuh! Biasanya pria yang berusia hampir 30 tahun, tidak akan begitu bersemangat untuk diberi tahu bahwa dia tidak dibenci. Kamu benar-benar mengalahkanku?! Dan bukan itu saja, dia malah mengundangmu untuk makan malam,” puji dewa pula.


“Setelah itu, dia berbalik dan melambai padaku,” Makoto menambahi dengan gembira.


Tapi dewa tidak pernah memuji dengan gratis. Tiap kali Makoto ‘seolah’ berhasil, selalu ada saja yang membuatnya kembali ‘down’.


“Karena hadiah kecil seperti itu membuatmu sangat bahagia, Kamu punya jarak tempuh yang bagus, Kamu hemat energi! Para wanita dunia bahagia!”


Makoto memukul dewa, tapi tidak berhasil mengenai dewa sama sekali. Justru Makoto yang terjatuh di lantai.


“Hei sekarang, bagaimana jika kamu terluka! Kencan pertamamu yang sangat penting akan tiba!”


“Aku tidak percaya sepatah kata pun yang Kamu ucapkan,” elak Makoto.


“Kalian berdua pergi ke hotel. Bahu kalian bersentuhan. Proyek kerja gabungan pertamamu.”


Sebenarnya Makoto penasaran, tapi ia masih berusaha menahan diri, “Bisakah Kamu berhenti mengatakan hal-hal konyol seperti itu.”


“Itu bukan seperti apa yang Kamu bayangkan. Sebuah tepi yang tajam akan mengurangi perasaan enggan. Dia akan menangis. Jangan lupa saputangan!” dewa mengingatkan lagi.


BERSAMBUNG


Sampai jumpa di I'm Your Destiny episode 05 part 1.


Pictures and written by Kelana

Bening Pertiwi 13.45.00
Read more ...