SINOPSIS dorama I'm Your Destiny episode 04 part 1. Makoto akhirnya berhasil mendapatkan nomer telepon Haruko. Ia bahkan mengajak Haruko untuk makan malam di resto kenalannya. Haruko setuju. Tapi, Makoto tidak tahu apa sebenarnya isi hati Haruko saat itu.
Hari berikutnya, Makoto datang ke resto yang sudah dijanjikan. Ternyata di sana justru hanya ada Mie, tidak ada Haruko. Lebih kaget lagi Makoto, karena Sadaoka pun ikut bergabung bersama mereka.
“Izinkan Aku untuk meminta maaf kepada kalian berdua atas nama Haruko. Aku sangat menyesal hari ini tidak seperti yang Kalian harapkan,” ujar Mie pada kedua pria itu. “Tidak ada gunanya memaksa Haruko untuk datang.”
Kemana Haruko? Ia nongkrong sendirian di bioskop yang gelap dan sepi.
Pada kunjungan tahun baru ini, Aku meletakkan kedua tanganku dan berdoa kepada Tuhan. Bahwa Aku akan menikahi orang yang keluar/kencan denganku selanjutnya.
Haruko ingat saat Sadaoka mengungkapkan perasaannya di halaman sekolah dan menawarinya menikah. Saat itu terdengar musik klasik pengiring pernikahan. Haruko berpikir itu kebetulan. Tapi ternyata Sadaoka sudah memersiapkan itu semua. Sayangnya, Haruko ternyata menolak tawaran Sadaoka.
Seperti kata Mie, sebagai calon pasangan pernikahan, Sadaoka ideal. Tapi, aku tidak bisa memaksa diriku untuk mencintainya.
Haruko juga mengingat semua momennya dengan Makoto. Semua kebetulan demi kebetulan yang terjadi antara mereka, memang tidak bisa ia hindari. “Semua kejadian dengan Makoto membuatku merasakan kegembiraan menyukai seseorang untuk pertama kali. Jika aku masih diriku yang dulu, pasti aku sudah jatuh cinta dengannya. Tapi setelah bicara dengannya di telepon, aku tiba-tiba berpikir ‘apakah dia benar-benar untukku?’ Kebetulan yang luar biasa terjadi, satu demi satu. Nomor ponselnya dikomunikasikan melalui papan skor baseball. Semakin Aku memikirkannya, memilikinya sebagai pasangan pernikahan, membuatku cemas Kupikir, bagaimana ini akan terjadi pacaran dengannya seperti ini? Aku menemukan satu kelemahan setelah yang lain. Jadi, Aku membiarkan kesempatan lain untuk jatuh cinta menjauh dariku lagi. Karena aku, itu menjadi seperti ini... Itu bukan kesalahanmu, Itu kesalahanku. Ini bukan kesalahan Makoto. Akulah yang tidak mampu berpikir dengan cara lain.” (intinya sih, Haruko masih galau. Ia takut jatuh cinta lagi, karena pengalaman buruknya soal pria)
Cerita galau Haruko pun disampaikan Mie pada Sadaoka dan Makoto. “Dia ingin memberitahumu sendiri, bahwa dia tidak berniat terlibat denganmu tapi, kupikir jika Dia berhadapan muka denganmu, dia tidak bisa mengatakannya dengan jelas.”
Dari sana, Sadaoka pun akhirnya tahu kalau Makoto juga menyukai Haruko. Makoto pun minta maaf karena tidak cerita apapun.
“Ah, jangan khawatir. Aku menyadari bahwa Aku bukan orangnya. Jadi Aku benar-benar menyerah,” ujar Sadaoka, menanggapi cerita Mie padanya soal Haruko.
Makoto heran karena Sadaoka begitu cepat menyerah. Tapi Sadaoka mengatakan kalau dirinya memang cepat move on. Bahkan setelah baseball di SMA, ia dengan mudah berganti jenis olahraga saat di universitas.
“Jadi, bisakah kamu memberi tahu Haruko, Tidak perlu merasa tidak nyaman saat kita bertemu nanti,” ujar Sadaoka pada Mie.
Sementara itu, respon Makoto berbeda, “Aku tidak berniat menyerah dulu.”
Mie menasehati Makoto untuk menyerah saja, daripada terjadi hal buruk. Sejumlah pria juga pernah mendekati Haruko, tapi itu sia-sia saja. Tapi Makoto tetap berkeras, ia tidak akan menyerah untuk mendapatkan hati Haruko.
Makoto pulang sendirian. Ia menatap langit dan berdoa, kemudian mengeluarkan ponselnya. Makoto memencet nomer milik Haruko.
“Ini Makoto. Maaf telah menelponmu tiba-tiba.”
“Aku minta maaf tentang hari ini,” ujar Haruko di seberang.
“Tidak! Tolong jangan khawatir tentang itu. Mie-san menceritakan semuanya padaku. Aku benar-benar mengerti apa yang kamu rasakan. Tapi bukankah terlalu dini untuk sampai pada kesimpulan? Jika Kamu mengenal orang seperti apa Aku, Aku yakin bahwa Kamu akan menyukaiku.”
Haruko sedikit kesal, “Aku minta maaf. Aku tidak bisa mengubah perasaanku lagi.” Ia pun menutup teleponnya.
(Sebagai penonton, jelas sih kalau kita berharap Makoto jangan menyerah mengejar Haruko. Tapi, kalau di posisi Haruko gini, rasanya tuh emang sebel banget dan keganggu kalau ada cowok udah ditolak masih ngejar terus.)
Makoto pulang ke rumah dengan lemas. Tapi dia disambut oleh si dewa yang memakai apron dan tengah membuat tahu rebus. Dewa menawari Makoto untuk mandi dulu atau langsung makan. Makoto Cuma heran dan kesal dengan perubahan sikap si dewa yang mendadak baik ini.
“Kamu sudah bekerja keras hari ini. Sayang hasilnya mengecewakan. Aku pikir Kamu telah mencoba yang terbaik untuk menyelamatkan dunia dalam 30 tahun dari sekarang. Untuk melakukan yang terbaik untuk masa depan umat manusia, terima kasih banyak.”
“Aku tidak peduli dengan menyelamatkan dunia. Aku benar-benar jatuh cinta padanya,” elak Makoto.
“Tapi dia menolakmu sekarang juga,” dewa mengingatkan.
“Ini belum berakhir,” elak Makoto.
“Tidak, sudah berakhir bukan.”
Makoto tersenyum sinis, “Kamu menyebut dirimu dewa, tapi Kamu benar-benar tidak mengerti bagaimana orang bekerja, bukan! Kamu tidak bisa berhenti mencintai seseorang sesederhana itu. Perasaan bahwa Kamu tidak bisa menyerah, bahkan saat Kamu ditolak Itulah cinta. Bisa tolong mempelajarinya sedikit lagi?”
“Terima kasih atas kata-kata bijak itu. Tepuk tangan! Tapi bagaimanapun, Aku yakin mendengar Kamu tidak menyerah. Selama Kamu merasa seperti itu, tidak peduli seberapa besar Kamu dibenci Ada kemungkinan dia akan mencintaimu.”
“Apakah dia sangat membenciku? Aku pikir dia menanggapiku dengan cukup baik,” ujar Makoto tidak yakin.
“Baik. Pertanyaan! Makanan apa yang dibenci bosmu?” tanya dewa yang dijawab ‘wortel’ oleh Makoto. “Ajak dia untuk makan itu. Kalau kamu bisa mengatasi rasa benci bosmu pada wortel, kamu juga bisa membuat Haruko menyukaimu?”
“Ah, jadi kalau aku bisa membuat bos makan wortel, Haruko akan mencintaiku?” Makoto menyimpulkan.
Dewa menghembuskan napas kekecewaan, “Apakah Kamu benar-benar berpikir sesederhana itu? Aku sudah memberimu saran ini. Setidaknya kau harus paham maksudnya. Membuat Haruko menjadi milikmu musim semi ini, dengan strategi wortel.”
Makoto berangkat ke kantor seperti biasa. Keluar dari lift, ia berhenti sebentar. Berharap takdir membawanya untuk bertemu Haruko yang juga keluar dari lift sebelah, pagi itu. Sayangnya, yang muncul bukan Haruko, tapi bos Haruko.
“Minum-minum kemarin menyenangkan!” ujar sang bos wanita. “Apakah atasanmu mengatakan sesuatu?”
Makoto mencoba mengingat, “Tidak juga.” Meski ia tidak benar-benar yakin.
“Aku mengerti, katakan padanya terima kasih dariku,” ujar si bos wanita lagi.
Pagi berikutnya.
“Sadaoka-kun ingin aku menyampaikan sebuah pesan untukmu. Dia bilang dia ingin Kamu memperlakukannya sebagai teman, sama seperti biasanya,” ujar Mie pada Haruko
“Aku akan mencoba,” Haruko tampak tidak yakin.
“Tapi Aku tidak tahu tentang nasib pria takdirmu. Aku punya perasaan bahwa dia belum sepenuhnya menyerah,” lanjut Mie.
“Dia meneleponku kemarin malam,” cerita Haruko. Ia mulai membolak-balik berkas di depannya.
“Dia benar-benar tidak menyerah.”
“Tapi tidak masalah, Aku menolaknya.”
Pagi itu, Makoto juga mulai menjalankan rencananya. Ia mendekati sang bos. Ia memulainya dengan menyapa dan memberikan salam, basa basi. “Erm Bos, maukah Anda makan siang bersamaku hari ini?”
“Um, tentu, ayo kita lakukan.”
Siangnya, mereka berdua makan siang bersama. Keduanya memesan menu stik daging. Dan seperti sudah diketahui, sang bos yang sangat membenci wortel mulai menyingkirkan yang ada di dalam menunya.
“Bos, saya ingin meminta bantuan besar. Maukah Anda makan wortel itu untukku?” pinta Makoto.
“Itu tidak mungkin,” elak sang bos cepat.
Makoto kemudian mencoba memakan wortel di piringnya sendiri dan mengatakan kalau itu enak, berharap sang bos mau mencoba. Tapi, sang bos tetap saja menolak mencoba. Sang bos berpikir, kalau melihat seseorang makan dengan enak, belum tentu bisa membuatnya berubah pikiran. Sang bos berkeras, tidak akan mencoba meski dengan alasan apapun.
“Ada beberapa hal yang tidak bisa diterima. Mari kita makan dagingnya,” ajak sang bos pula.
Makoto pulang kantor dengan lemas. Ia berhenti di depan sebuah tempat yang mengatakan ‘bisa membuat benci jadi cinta, 98% berhasil’, saat ia dipergoki oleh salah satu rekan kerjanya, sang sales senior, Sekihara-san. Makoto dan Sekihara-san ini pun kemudian duduk dan mengobrol di sisi taman.
“Bagi Kita salesman, tidak peduli ke mana kita pergi kita dibenci pada awalnya. Dari sudut pandang pelanggan kita hanya merusak pemandangan. Jadi, maukah kamu membeli sesuatu dari seseorang yang kamu benci?”
“Tidak,” ujar Makoto.
“Pertama, salah untuk berpikir Seseorang yang tidak suka padamu akan tiba-tiba membeli darimu. Pada hari pertama, mintalah mereka mengingat wajahmu.” Sekihara-san menceritakan strategi penjualannya. Ia datang ke sebuah perusahaan calon klien dan hanya berdiri di sana setor muka saja. “Pada hari kedua, mintalah mereka untuk mengingat suaramu, Dan pada hari ke 3, mereka akan mengingat namamu. Sampai saat itu, jangan tawarkan apapun dulu. Pastikan mereka menyadari keberadaan kita dulu, sebagai sebuah eksistensi. Tapi mereka akan bertanya-tanya mengapa Kamu datang bukan? Tunggu dengan sabar sampai mereka mengucapkan kata-kata itu.” Setelah pertanyaan terakhir ini muncul, barulah salesmen menunjukkan penawaran mereka pada calon klien. “Dan itu adalah pertama kalinya kamu menyebutkan produk kita.”
Perlahan Makoto mulai memahami hal itu. Ia kemudian membahas soal bos mereka yang sangat benci dengan wortel.
“Wortel dalam kari, Dia tidak akan menaruh satu pun di mulutnya dia meninggalkan mereka semua. Meski begitu, dia mencintai kari. Dia adalah pria yang paling merepotkan,” komentar Sekihara-san.
“Sekihara-san, sebagai salesman spesialis, bagaimana Anda membuatnya menyukai wortel?”
“Apakah kamu mendengarkan semua yang telah Aku katakan? Kamu tidak bisa tiba-tiba mengubah ketidaksukaan menjadi suka. Pertama Kamu harus menunggu ada kemungkinan. Dan kemudian ketika mereka menunjukkan minat ingin tahu. Maka giliran kita,” ujar Sekihara-san lagi.
Pulang kerja, Makoto menuju sebuah toko kue. Ia sengaja mencari kue dengan kandungan wortel di dalamnya. Makoto pun membeli salah satu kue itu.
Hari berikutnya, Makoto kembali mendekati bosnya, “ Bos, apakah Anda menyukai hal-hal yang manis?”
“Ya...”
“Akankah Anda menyukai ini? Mereka terkenal karena kelezatannya,” Makoto menyerahkan sebungkus kue pada bosnya.
“Sungguh, Terima kasih.”
Rupanya sikap Makoto kali ini membuat rekannya yang botak curiga. Makoto hanya saling berpandangan serius dengan Sekihara-san, tetapi tidak mau cerita apapun pada rekannya yang botak.
Sore ini, Makoto kembali mendatangi toko kue. Ia langsung menuju tempat kue dengan kandungan wortel di dalamnya. Hari itu sepertinya ramai, karena kue yang tersisa tinggal satu. Ternyata ia mengambilnya bersamaan dengan bos wanita kantor sebelah.
“Silakan duluan,” ujar Makoto, mengalah.
“Tidak apa-apa. Aku selalu makan mereka jadi tidak masalah. Kalau begitu, jika Anda tidak keberatan,” sang bos wanita itu menyerahkannya kembali pada Makoto. Lebih lanjut lagi, sang bos wanita mengatakan kalau kue itu sangat enak.
Hari berikutnya, Makoto kembali menemui bosnya. Ia bertanya soal kue kemarin. Sang bos mengatakan kalau kue kemarin sangat enak. Makoto lalu memberikan satu kue lagi pada sang bos. Kue dari tempat yang sama, tapi beda varian. Berbeda dengan respon kemarin, kali ini sang bos tidak tampak antusias. Makoto jadi khawatir. Sikap Makoto yang saling berpandangan dengan Sekihara-san, kembali membuat si botak curiga.
Haruko makan malam seperti biasa bersama keluarganya. Kogetsu-san memberitahu Haruko kalau Daikaniyama—pesumo favorit Haruko—akan melakukan upacara pemotongan jambul bulan depan. Ritual pensiun pesumo. Haruko sudah tahu itu, dan ia tidak tampak antusias sama sekali.
Obrolan beralih pada apa yang dikatakan Haruko sebelumnya. Ibunya khawatir soal ucapan Haruko, yang mengatakan kalau ia tidak bisa menikah. Tapi Kogetsu-san membeli putrinya itu. Ia berpikir kalau Haruko sebaiknya melakukan apapun yang ia suka saja.
“Bukannya saya tidak mau menikah. Hanya saja rasanya tidak mungkin,” komentar Haruko.
“Kamu tidak pernah tahu apa yang ada di sekitarmu,” lanjut ibu Haruko lagi.
“Tolong jangan berharap,” Mood Haruko benar-benar jadi buruk.
Nyonya Kogetsu kemudian ingat sesuatu. Ia mengeluarkan map berwarna biru dari laci, “Ah iya, maukah kamu mengembalikan ini ke Masaki-san untukku? Perusahaanmu bersebelahan dengannya bukan?”
“Bukankah itu bagian dari dokumentasi 'water server'.”
“Kupikir juga begitu awalnya. Tapi kalau ini memang untuk pelanggan, pasti ada label yang jelas. Nah, apapun, bisakah Kamu mengembalikannya untukku,” bujuk nyonya Kogetsu lagi.
Haruko menghela nafas. Ia tidak punya pilihan. Ia pun tidak bisa menolak permintaan ibunya itu.
Pagi berikutnya, kantor Makoto dibuat heboh oleh kedatangan Yotsuya Mie. Para karyawan pria langsung heboh. Sementara itu, Mie diterima oleh si karyawan wanita dengan wajah jutek.
“Maukah Anda menyerahkan map ini pada Makoto-san? Haruko dari perusahaan kami baru-baru ini menandatangani kontrak dengan Anda dan ini tertinggal,” ujar Mie.
Si karyawan wanita menanggapi itu dengan wajah ditekuk. Ia mengambil map biru itu dari tangan Mie dan menghempaskannya begitu saja di meja Makoto. Saat itu Makoto sedang pergi keluar.
Sementara itu, para karyawan pria langsung menyerbu Mie. Mereka bahkan berebut memberikan kartu nama. Sayangnya, Mie tidak membawa kartu namanya. Bahkan setelah Mie pergi, mereka masih berebut aroma parfum yang ditinggalkan Mie.
Mie kembali ke kantornya dan bercerita pada Haruko, kalau Makoto tidak ada, sehingga ia menitipkan map itu pada karyawan lain. Haruko mengucapkan terimakasih atas bantuan Mie itu.
“Kalian berdua benar-benar menakjubkan. Kursi Kalian menghadap ke dinding. Tahukah Kamu, kalian duduk saling membelakangi?” komentar Mie kemudian. Ia mengamati kalau tempat kerja Haruko dan Makoto saling membelakangi dan hanya berbatasan dinding.
“Tidak mungkin?!” Haruko tidak percaya.
“Itu benar. Kamu tidak pernah berpikir dia duduk di sisi lain dinding, bukan.”
“Hentikan itu, rasanya menyeramkan,” Haruko merinding sendiri.
“Ah, takdir adalah hal yang menyeramkan.”
Makoto baru saja kembali ke kantor saat si karyawan wanita, Midori menyampaikan map yang tadi diantarkan oleh Mie. Makoto tampak kecewa, karena yang mengembalikan ternyata bukan Haruko langsung.
“Saat Mie datang ke sini, Kazuo-san dan Sekihara-san membuat keributan,” curhat Midori kemudian. Tapi ia tidak bicara panjang lagi soal itu. Ia kemudian beralih pada takdirnya, “Hari ini saya membuat penemuan lain, pasti itu takdir. Aku melihat catatan medisnya (si botak, Kazuo) dan, Kadar asam laktat dan kadar hemoglobinnya Sama persis dengan milikku! Bukankah itu menakjubkan?”
“Kamu menakjubkan untuk menemukan catatan itu,” komentar Makoto. Sebenarnya ia tidak benar-benar paham, kenapa hal ini penting bagi Midori.
Sang bos tiba-tiba saja memanggil Makoto, “Bisakah Kamu menyusun rencana penjualan untuk stan even berikutnya, pada akhir minggu?”
“Tentu saja,” ujar Makoto mengiyakan. Ia melirik ke meja sang bos dan melihat bungkus kue yang diberikannya tadi pagi sudah kosong, artinya kue itu sudah dimakan.
“Ah, kue itu enak sekali. Terima kasih,” komentar sang bos kemudian. Ngomong-ngomong, Makoto, kenapa kamu memberiku makanan manis akhir-akhir ini?” tanya sang bos.
Makoto terhenyak. Ia merasa strateginya membuahkan hasil. Ia ingat trik yang diajarkan oleh Sekihara-san, sang salesman senior. “Bos, sebenarnya, Kedua kue yang Anda makan hari ini dan tempo hari, Sejumlah Wortel telah dicampur ke dalam adonan.”
“Benarkah, benarkah begitu ?! Aku sama sekali tidak memperhatikannya!” sang bos heran.
“Apakah Anda punya waktu setelah bekerja?” ajak Makoto kemudian.
BERSAMBUNG
Sampai jumpa di I'm Your Destiny episode 04 part 2.
Pictures and written by Kelana