SINOPSIS dorama Married as Job episode 02 part 2. Halo semua. Duh, maaf banget ya, postingan kali ini agak terlambat. Kemarin ada kesibukan yang nggak bisa ditinggalkan. (sekarang juga masih juga sih), Tapi ini sudah nyempatkan buat nulis. Selamat membaca ^_^


Agar bisa tetap tinggal dan tidak ikut orang tuanya pindah ke pinggiran, Moriyama Mikuri mengusulkan nikah kontrak dengan bos-nya, Tsuzaki Hiramasa. Mereka menikah secara de facto. Meski yang diketahui kedua keluarga adalah pernikahan normal. Mereka memutuskan tidak akan mengadakan pesta pernikahan. Lalu,bagaimana kehidupan Mikuri setelah menikah dan resmi pindah ke apartemen Hiramasa?



“Bagaimana? Minggu kedua pernikahanmu,” tanya Kazami-san.


Hiramasa berpikir. Dua minggu ini mereka ... makan pagi bersama. Dibuatkan bekal makan oleh Mikuri. Semuanya normal. “Aku masih merasa sedikit gugup, tetapi anehnya terasa normal. Jika melihat ke belakang, aku bersyukur aku terlalu lelah, dan bisa tidur tanpa memikirkan apa pun.”


Pertanyaan soal pernikahan pun kembali mampir pada Kazami-san. Apakah sekarang ia ingin menikah? Tapi Kazami-san tetap saja masih belum berminat menikah.



Sementara itu, Hino-san justru merumpikan soal pernikahan Hiramasa, bersama Numata-san. Numata-san berpikir kalau pernikahan itu Cuma pernikahan bohongan saja.


Hino-san pun berpikir ulang. Ia ingat kalau Hiramasa pernah bilang, menikah adalah hal yang mustahil baginya. Tapi sekarang Hiramasa justru menikah. Dan pasangannya sepuluh tahun lebih muda darinya. Hino-san pun pernah meminta agar Hiramasa memberikannya foto bersama istrinya, tapi Hiramasa menolak. Ini membuat kedua rekan kerjanya itu makin curiga.



Hino-san dan Numata-san pun berpikir akan datang ke rumah Hiramasa. Ide yang langsung ditolak oleh Hiramasa.


“Aku mau melihatmu malu-malu di depan istrimu...” goda Hino-san


“Aku tidak begitu, dan itu tidak akan mungkin terjadi!” elak Hiramasa cepat.


“Itu menjelaskan segalanya. Istrimu tak pernah ada. Semuanya hanya khayalannya. Kenyataannya, dia tidak ada,” serobot Numata-san, menarik kesimpulan. Mereka pun langsung berimajinasi aneh-aneh soal Hiramasa.


“Kalian salah paham! Dia ada. Secara fisik dia nyata!” Hiramasa berusaha menegaskan.


“Dalam bentuk tiga dimensi?”


“Tiga dimensi. Dia juga bisa bicara.”


“Pepper?”


”Bukan Pepper. Dia manusia biasa!” Hiramasa mencoba menegaskan lagi.


“Tapi kau tidak seperti pengantin baru,” desak Hinio-san lagi.


Setelah terus menerus didesak dan dipojokkan, Hiramasa pun tidak punya pilihan. Ia akhirnya setuju, kalau rekan-rekan kerjanya ini datang berkunjung ke apartemennya. Hanya Hino-san dan keluarganya saja. Hiramasa tidak mau ambil resiko mengajak Numata-san dan Kazami-san juga.



Hiramasa pulang ke rumahnya dan mengatakan rencana berkunjung rekan kerjanya ini pada Mikuri, Sabtu jam 5 sore. “Maaf mengambil hari liburmu. Akan kuberikan uang lembur. Namun, aku harus terus mengawasi Numata.”


Mikuri mengerti, “Dia orang yang jeli, ya.”


“Aku belum memastikannya sendiri, tetapi orang-orang berkata Numata itu gay.”


“Oh, Sudut pandang laki-laki dan perempuan,” sambung Mikuri.


“Kupikir dia sangat jeli karena dia memiliki keduanya. Hmm, tetapi aku bertanya-tanya kenapa dia sangat curiga. Dia bilang aku tidak terlihat sedang jatuh cinta. Aku tidak jatuh cinta, jadi tentu saja tak terlihat seperti itu. Jadi bantahanku tepat sasaran. Jika pasangan yang menikah terlihat bahagia setiap hari, itu akan menghambat kehidupan mereka, dan tidak ada hal yang lebih buruk dari hal itu untuk tubuh.”


Mikuri menganggguk-angguk mengerti, “Oh, aku jadi ingat. Kau bilang sebelumnya... Apa itu lajang profesional?”


Hiramasa membenarkan letak kacamatanya, “Sejujurnya, ketenteraman. Tidak lebih dan tidak kurang dari itu.”


Tapi Mikuri tidak benar-benar paham, “Ketenteraman. Kedengarannya bagus.”



Ketenteraman. Memilih ketenteraman daripada hasrat. Ini adalah rahasia menjadi lajang profesional. Memiliki Mikuri sebagai pekerja inap, adalah keputusan sangat ekstrem yang kuambil. Akan tetapi, dia pekerja yang baik. Terima kasih atas perhatiannya pada nutrisi, kulitku berada dalam kondisi yang baik. Aku juga benar-benar terbebas dari hal-hal seperti pekerjaan rumah tangga dan belanja. Dan aku bisa menghabiskan waktuku melakukan hal yang kusukai. Ini benar-benar efisien.


Hari Sabtu, nyaris jam lima sore. Hiramasa sudah selesai bersiap. Sementara Mikuri masih sibuk menyiapkan makanan untuk tamu mereka.


“Aku akan menjemput Keluarga Hino,” pamit Hiramsa kemudian.



Setiap hari stabil dan memuaskan. Tenteram setiap hari. Ini tepat seperti... Hiramasa menunggu di tempat janjian bertemu. Tapi ternyata yang muncul adalah ... Kazami-san dan Numata-san.


“Salah satu anak Hino sakit, jadi dia tidak bisa datang. Dia tidak enak jika mendadak membatalkan, jadi dia meminta kami untuk menggantikannya. Dia belum memberitahukanmu?” ujar Kazami-san.


“Aku bilang padanya aku tidak punya waktu, tetapi dia memohon padaku,” sambung Numata-san.


Syok dan panik karena situasi tidak terduga, Hiramasa lalu mengeluarkan ponselnya. Ia mengirimkan alamat apartemennya pada Numata-san dan Kazami-san lalu ... kabur duluan. “Silakan gunakan waktu sebanyak yang kalian butuhkan!”


Hiramasa berlari menuju apartemennya. Sampai di rumah, ia panik memberi tahu Mikuri kalau Numata-san yang akan datang. Mikuri pun ikutan panik.


“Orang dengan intuisi bagus yang tadi kuceritakan. Kita setidaknya harus menyembunyikan barang-barang yang mencurigakan. Sembunyikan surat-surat dengan nama Moriyama!” ujar Hiramasa.


Mereka berdua pun bahu membahu membereskan barang-barang yang mungkin mencurigakan. Sampai kemudian pada ... futon tidur Mikuri yang ada di lantai. Tadinya Mikuri berpikir itu dibiarkan di sana saja, agar anak-anak Hino-san yang datang bisa berbaring di sana. Tetapi karena sekarang tamu mereka berubah, maka futon itu harus segera disembunyikan. Bagaimanapun akan bahaya kalau para tamu itu tahu Hiramasa dan Mikuri tidur terpisah. Heboh, keduanya pun berusaha menyembunyikan futon di dalam lemari perlengkapan.



Tepat ketika semua selesai, bel berbunyi. Dan Numata-san datang bersama Kazami-san, terengah-engah. Rupanya mereka mengikuti Hiramasa yang juga berlari puluang duluan.


“Selamat datang! Aku istri Tsuzaki, Mikuri. Silakan masuk,” sapa Mikuri.


Numata-san membawakan mereka anggur. Keduanya pun dipersilahkan masuk.


“Jadi ini rumah satu kamar. Dan ini kamar tidurnya, ya. Bagaimana kalau aku mengintip?” Numata-san keburu penasaran.


Tapi Mikuri sigap menghalanginya hingga Numata-san pun batal melihat masuk.



“Wah, kau memasak banyak sekali!” puji Kazami.


“Ini hanya masakan sederhana,” elak Mikuri.


“Kau benar, ini masakan sederhana. Ini dari Cookpad, 'kan?” ujar Numata-san setelah memerhatikan masakan Mikuri. Ia pun memunculkan aplikasi cookpad pada ponselnya. “Tada! Cookpad. Catatan masakanku.”


Mikuri memerhatikan dan akhrinya paham, “Anda... Heartful Baldie?”


“Benar. Cookpad itu hebat, ya?”


“Oh, Anda sudah memasak banyak!” puji Mikuri.


“Mudah dan enak, itu yang terbaik,” sambung Numata-san lagi. Tanpa terduga keduanya pun nyambung karena aplikasi resep masakan di ponsel.


“Aku tidak tahu apa cocok dengan selera Anda.”



Setelah makan-makan, Mikuri masih melanjutkan menu sebelumnya ditemani Kazami-san. Sementara itu Hiramasa menemani Numata-san minum di sofa.


“Jadi dia hidup. Dia bukan Pepper. Jadi dia yang berkata "Kalau begitu, kenapa tidak menikahiku?" 'kan?” pertanyaan Numata-san yang diiyakan oleh Hiramasa. “Lamaran terbalik. Seperti khayalan.”


“Hubungan kami seperti hubungan bisnis karena mencocokkan penawaran dan permintaan,” ujar Hiramasa-san, nyaris membuka rahasianya.


Tadinya Numata-san bingung, tapi akhirnya ia pun memahaminya, “Singkatnya, kalian saling membutuhkan. Itu bagus. Meski aku sedikit menyesalkannya.”


“Kenapa?” Hiramasa heran.


“Karena aku tertarik padamu,” ujar Numata-san. Tapi melihat wajah kaget Hiramasa, Numata-san buru-buru meralat ucapannya, “Bercanda, hanya bercanda.”



“Kalau begitu, Kazami-san, kau tidak akan pernah menikah?” Mikuri masih melanjutkan membuat makanan penutup, ditemani Kazami-san.


“Saat ini aku tidak menginginkannya. Merepotkan. Membagi waktumu dengan orang lain itu menyebalkan. Singkatnya, aku egois,” Kazami-san mengatakannya dengan sangat enteng.


Membagi waktumu...Mungkin bagi Anda, perasaan pasanganmu penting juga? Karena Anda menghormatinya, tidak hanya untuk Anda, dengan cara yang sama Anda tidak mau mengambil waktunya. Kedengarannya egois, tetapi mungkin saja sebenarnya Anda bermaksud baik. Oh, maaf, aku terbiasa mempelajari psikologi,” Mikuri sadar sudah terlalu banyak bicara.


“Tak apa-apa. Sangat menarik. Tidakkah itu membuatmu khawatir? Setelah menikah Anda mempunyai lebih sedikit waktu pribadi, 'kan?”


Mikuri tidak terlalu serius menanggapinya, “Kami sangat jelas dalam hal waktu. Makanya aku harus bekerja keras supaya sepadan dengan gajiku.” Tapi ia kemudian sadar kalau ucapannya ini akan membuat salah paham. Mikuri pun meluruskan maksudnya, “Itu kiasan. Dalam kasus kami, jika masing-masing sudah selesai melaksanakan tugas, kami bebas melakukan apa yang kami inginkan. Tugasku adalah bersih-bersih. Aku tidak ikut campur atau melarang-larangnya.”


Bicara dengan Mikuri membuat Kazami tanpa sadar memberikan pujian pada Mikuri, membuat wajah Mikuri pun bersemu merah.



Makanan penutup selesai disajikan. Numata-san mengomentarinya dengan mengatakan kelihatannya enak. Ia pun menggoda Hiramasa dan mengatakan kalau Hiramasa cemburu lantaran Mikuri mengobrol dengan Kazami-san.


“Aku tidak cemburu,” elak Hiramasa cepat. Tapi ini justru membuat Numata-san dan Kazami makin curiga. Ia pun buru-buru meralat ucapannya. Tidak punya alasan bicara lain, Hiramasa pun mengalihkan isi pembicaraan, masih dengan canggung, “Ini sudah cukup malam, jadi silakan bawa pulang kue-kue ini. Sampai di sini saja, ya.”


Tapi di luar, hujan turun dengan derasnya. Lengkap dengan petir yang menyambar.



Sementara itu, Yuri-san menikmati malam minggu sendirian di apartemennya. Di tangan, ia menggenggam gelas berisi anggur sambil memandangi petir yang berkilatan di luar.


“Cantik sekali!”



Hujan deras disertai petir turun malam itu. Numata-san menarik kakinya ke atas kursi dan bergumam tidak jelas. Ia kemudian punya ide agar dirinya dan Kazami menginap saja di apartemen Hiramasa.


“Tidak apa-apa, 'kan?” bujuk Numta-san lagi.


Kazami-san tidak bisa mengatakan apapun lagi. Dan ini adalah masalah besar bagi Mikuri dan Hiramasa. Bagaimana mereka tidur malam itu?



Hiramasa lalu menyeret Mikuri masuk ke dalam kamarnya.


“Mereka kita persilahkan tidur di ruang tamu, dan kita tidur berdua di kamar ini...” usul Mikuri.


Tapi Hiramasa mengelak dengan cepat. Masalah mereka bukan soal kamar, tapi ranjang di dalam kamar itu yang Cuma ada satu.


“Apa kau mau mencobanya?” usul Mikuri. Maksudnya, tidur bersama di satu ranjang.


Hiramasa kaget. Mikuri buru-buru meralatnya dan mengatakan hanya bercanda. Ia pun mengusulkan agar dia saja yang tidur di lantai, sementara itu Hiramasa tidur di kasur. Tapi Hiramasa tidak setuju. Mereka justru berdebat soal hal tidak penting ini.


“Aku seharusnya menyembunyikan kasurku di sini!” keluh Mikuri.


Tapi Hiramasa tiba-tiba ingat sesuatu, “Numata! Bisa gawat jika kita membiarkannya dengan Kazami sendirian. Di mana-mana ada masalah!”



“Kenapa kau tidak tidur dengan istrimu?” tanya Numata-san saat melihat Hiramasa sudah bersiap tidur. Mereka bertiga pun tidur di ruang tamu.


“Yah, kupikir sesekali akan menyenangkan bisa ngobrol antar sesama laki-laki,” Hiramasa pun melepas kaca matanya, bersiap tidur.


Numata-san setuju dengan usul Hiramasa. Tapi belum mulai ngobrol, Hiramasa sudah tertidur lebih dulu.


“Aku bingung kenapa dia di sini,” komentar Kazami-san.


“Dia khawatir aku akan melakukan sesuatu yang buruk padamu. Dia pikir aku mengejar siapa pun asal dia laki-laki. Jika kau menyerang seseorang yang tidak memiliki niat demikian, itu termasuk kejahatan, tanpa pandang jenis kelamin. Benar, 'kan? Enaknya menjadi seseorang yang mencintai secara normal,” curhat Numata-san akhirnya.


“Aku normal, tetapi aku tidak melakukannya, kau tahu,” komentar Kazami-san lagi. Ia pun lalu mengambil tempat di sebelah Hiramasa.


Tidak tahu itu menakutkan. Sejauh ini, sudah berapa orang yang kusakiti, dan seberapa dalam aku menyakiti mereka. Bahkan mungkin Mikuri, setelah terluka karena kata-kata dan perbuatan sembronoku, mungkin menyembunyikan perasaannya. Ingin mengatakannya tetapi tidak bisa. Hiramasa belum benar-benar tertidur. Ia justru memikirkan Mikuri.



Sementara itu, dalam kamar.


Mikuri tidur di ranjang Hiramasa. Tapi, rupanya Mikuri kesulitan tertidur. Tiap kali membuka mata, Mikuri merasa melihat seseorang di sampingnya, di ranjang itu. Dan Mikuri pun terus memikirkannya.



Malam berikutnya ...


Mikuri dan Hiramasa makan bersama seperti biasa. Tapi kali ini mereka merasa ini berbeda. Lantaran kemarin Numata-san dan Kazami-san bertamu cukup lama, karena menginap juga.


“Ini sup miso sisa sarapan buatan Numata. Dan pasta yang dia buat saat makan siang. Saus telur ikan kod dengan wasabi itu enak,” ujar Mikuri.


Hiramasa sepakat dengan apa yang dikatakan Mikuri, “Jika dia memasak makan malam juga,dia akan benar-benar memenangkan perutku, dan aku akan membiarkannya menginap untuk dua malam.”


“Aku mau tidur nyenyak malam ini,” ujar Mikuri, gembira.


“Kau tidak bisa tidur semalam? Apa ada yang mendengkur?” Hiramasa tampak khawatir.


“Tidak, tak ada yang khusus,” Mikuri urung menceritakannya.


“Apa kau mengkhawatirkan sesuatu dan tidak bisa tidur?” tanya Hiramsa lagi.


“Tolong jangan memikirkannya,” elak Mikuri cepat.


Hiramasa pun meletakkan sumpitnya untuk bicara serius, “Mikuri, aku memikirkan kejadian semalam. Ada hal yang tak bisa dipecahkan jika aku tak tahu. Aku harus lebih memperhatikan sekelilingku. Tempat kerja tidak dibangun dari kerja keras pekerja saja. Seorang atasan juga harus bekerja keras. Sebagai atasan, aku mau menciptakan lingkungan kerja yang memudahkan pekerjaanmu, Mikuri. Jika ada yang mengganggu pikiranmu, jangan sungkan dan katakan semuanya padaku.”


Mikuri tersenyum mendengar ucapan Hiramasa, “Terima kasih banyak. Tapi, alasan aku tidak bisa tidur adalah karena aku minum terlalu banyak kopi. Maaf telah membuatmu khawatir.”



Numata-san dan Kazami-san nongkrong di bar, “Kita sudah bersama selama tiga puluh jam.”


“Ya, memangnya ada masalah?” Kazami-san tidak menanggapinya dengan serius.


“Hidup hanyalah sebuah cara kuno untuk menghabiskan waktu. Dan saat aku menghabiskan waktu, aku melihatnya, saat kita mau pulang. Di kamar tidur di rumah Tsuzaki...” sebelum benar-benar pulang, Numata sempat mengintip ke kamar Hiramasa dan menemukan kalau di kamar itu Cuma ada ranjang tunggal dan bantal tunggal. “Mereka sepertinya tidak tidur bersama di sana. Aku bertanya-tanya apakah mereka benar-benar suami-istri?”



Hiramasa kembali ke kamarnya. Sementara itu Mikuri menggelar futonnya seperti biasa di ruang tamu.


Aku tidak bisa mengatakannya. Aku benar-benar tidak bisa mengatakannya. Aku tidak akan mengatakannya. Semalam, Saat aku pikir itu adalah ranjang tempat Hiramasa tidur setiap malam, kehadirannya, Aku seperti dipeluk olehnya. Seakan-akan dia tidur di sebelahku.


Jadi alasan sebenarnya Mikuri tidak bisa tidur kemarin malam adalah, karena ia seolah melihat Hiramasa ada di sebelahnya.



Sementara itu, di kamar. Hiramasa ...


Baunya harum. Oh, iya! Mikuri tidur di sini semalam. Seakan-akan Mikuri ada di dekatku.... Seakan-akan dia tidur di sebelahku ...


Dan saat Hiramasa melihat ke sebelah, ia seolah melihat Mikuri tidur di sampingnya. Hiramasa kaget. Ia pun buru-buru bangun, mencoba menghilangkan aroma wangi dengan penghilang debu. Dan itu hanya sia-sia. Hiramasa mencoba meyakinkan dirinya kalau ia hanya aroma saja dan mencoba kembali terpejam. Tapi lagi-lagi itu juga gagal.


Sementara itu di ruangan sebelah. Di balik futonnya sendiri, Mikuri juga mencoba untuk tidur. “Kasurku sendiri....Terasa nyaman....”


Hanya hari itu aku tidak sadar, bahwa aku lupa mengganti seprai Hiramasa. Dan fakta bahwa rasa tidak nyamannya berlanjut sepanjang malam, aku sama sekali tidak menyadarinya. Namun aku tidak tahu, kalau hal ini akan menjadi masalah besar!


BERSAMBUNG


Pictures and written by Kelana


Kelana’s note :


Drama ini sudah tayang sampai episode delapan, sodara-sodara. Sabar ya, menunggu sinopsisnya, #ehe. Dan makin banyak episodenya, Hiramasa ini alias om Gen, makin lovable banget. Meski dia nggak cakep2 amat, tapi senang aja ngelihatnya. Nggak bikin bosan. Mungkin kalau di korea, ala-ala om Cha Tae Hyun ya. Nggak cakep2 amat, tapi nggak bikin bosen. #kemudianNaDilemparSendalFans kekekeke. Dan lagi, ternyata lagu-lagunya om Gen lumayan enak lho. hehe

Bening Pertiwi 12.26.00
Read more ...

SINOPSIS dorama Married as Job episode 02 part 1. Moriyama Mikuri, 25 tahun. Lulusan S2 jurusan psikologi klinis, tetapi selalu gagal mencari pekerjaan. Ia akhirnya bekerja menjadi pekerja rumah tangga. Tidak ingin ikut keluarganya pindah, Mikuri pun akhirnya setuju untuk melakukan kawin kontrak dengan bosnya, Tsuzaki Hiramasa.



Gagal dalam pencarian kerja, Mikuri akhirnya bekerja paruh waktu sebagai pekerja rumah tangga di apartemen Tsuzaki Hiramasa. Karena tidak mau ikut keluarganya pindah, Mikuri mengajukan diri menjadi pekerja inap. Tapi akhirnya, berakhir menjadi pernikahan kontrak. Bos Mikuri, Hiramasa setuju dengan ide itu karena menganggap mempekerjakan Mikuri sebagai istri kontrak menguntungkan baginya.


Dan sekarang aku resmi bekerja sebagai ibu rumah tangga.


Pernikahan de facto yang disebutkan sebelumnya, terjadi saat surat pernikahan tidak didaftarkan, Keduanya tinggal bersama dan hidup dari mata pencaharian yang sama. Jumlah pernikahan de facto meningkat, karena untuk alasan tertentu tidak mendaftarkan surat pernikahan, atau tidak ingin terkekang oleh peraturan.


Hal ini ternyata populer di Prancis. Tetapi masih sulit diterima di Jepang. Akhirnya, Mikuri dan Hiramasa sepakat untuk memperlihatkannya seperti pernikahan normal ke orang lain. Mereka sepakat kalau kontrak pernikahan itu hanya akan jadi rahasia berdua saja.



Mikuri akan bekerja tujuh jam sehari dengan jam kerja fleksibel. Bekerja dari Senin hingga Jumat, dan libur pada akhir pekan dan hari libur nasional. Permintaan penggantian hari libur diperbolehkan. Biaya hidup ditanggung berdua, dan akan dipotong dari gaji bulanan. Gaji akan diberikan tunai di akhir bulan. Hiramasa menyerahkan berkas-berkas kesepakatan pernikahan kontraknya dengan Mikuri dan memintanya mempelajarinya di rumah.


Obrolan bergeser tentang resepsi pernikahan. Baik orang tua Hiramasa maupun Mikuri (yang tidak tahu soal kontrak pernikahan), berpikir kalau mereka akan melakukan resepsi pernikahan.


“Aku sebisa mungkin ingin menghindari upacara pernikahan atau resepsi. Aku tidak bisa menerima ucapan selamat mereka. Bahkan di kantor mereka terus saja bertanya apa aku akan mengadakan resepsi,” cerita Hiramasa.



Di kantor, pembicaraan soal resepsi ini juga dilakukan. Hino-san (40 tahun dan menikah), berpikir kalau resepsi itu adalah hal penting. Karena pada saat resepsi, pengantin akan jadi bintang dalam sehari.


Pendapat kedua dari Kazami-san (32 tahun dan belum menikah). Sejak awal, ia berpikir kalau menikah adalah hal yang sia-sia. “Resepsi pernikahan hanya untuk kepuasan pribadi. Mereka hanya ingin memamerkan kebahagiaan mereka. Lakukan jika kalian memang menginginkannya.”


Pendapat ketiga dari Numata-san. Pria berumur yang diisukan gay dan kadang agak ekstrem. “Menurutku resepsi pernikahan adalah suatu "pengumuman," dengan menunjukkan wajah langsung ke masyarakat dan mengucapkan "kami akan menikah." Karena saat mereka sudah mengumumkannya, mereka tidak bisa menariknya kembali dengan mudah dan menciptakan resolusi.”



Meminta pendapat pada ketiga orang tadi, tidak menyelesaikan masalah.


“Sebaliknya jika kita tidak mengadakan resepsi pernikahan, kita perlu menunjukkan kesungguhan niat kita,” ujar Mikuri.


“Saat makan siang, aku akan bertindak sebagai pemimpin dan mengalirkan pembicaraan,” Hiramasa memberikan saran.


“Jika tidak, kupikir Ayah tidak akan merestuinya,” Mikuri ragu.


Hiramasa dan Mikuri sepakat untuk mencari cara, meyakinkan orang tua mereka kalau mereka tidak akan mengadakan resepsi. Tapi, masih ada satu hal lagi yang akan sulit, Yuri, tantenya Mikuri.



Hari pertemuan kedua keluarga.


Mikuri dan Hiramasa menunggu tamu mereka di lorong. Saat itu Yuri yang datang lebih dulu. Yuri minta maaf pada Hiramasa soal pertemuan pertama mereka. Saat itu Yuri nyaris mencekek Hiramasa saking kagetnya oleh keputusan pernikahan Mikuri dan Hiramasa.


“Itu tidak masalah. Yuri ... “ Hiramasa ragu. Tapi kemudian Mikuri memintanya untuk memanggil dengan menambahkan kata –san.


“Maaf, aku benar-benar tante yang merepotkan,” ujar Yuri.


“Wajar jika Anda dan orangtuanya ingin melindunginya, Yuri-san,” Hiramasa mengerti.


Tapi Yuri dibuat heran karena ternyata Mikuri dan Hiramasa saling memanggil dengan nama keluarga, bukan nama diri. (di Jepang, memanggil dengan nama keluarga artinya tidak terlalu dekat. Orang dekat biasanya saling memanggil dengan nama diri)


Mikuri dan Hiramasa kaget dan baru menyadarinya, “Kami menggunakan nama diri saat kami berduaan,” ujar Mikuri menyelamatkan keadaan.


Yuri bertanya soal Chigaya. Mikuri mengatakan kalau Chigaya akan datang juga hari itu. Tahu demikian, Yuri pun pamit pergi berniat memperbaiki dandanannya lagi.



Hiramasa heran soal Chigaya. Mikuri lalu menjelaskan kalau Chigaya adalah kakak laki-lakinya. Dulu, saat masih kelas 1SD, Chigaya pernah berkata kalau Yuri tidak akan bisa menikah. Makannya sekarang pun, Yuri tidak mau kalah dengan keponakannya itu.


“Ada yang lebih penting, nama panggilan! Kita kecolongan. Ayo latihan. Mulai sekarang kita akan memanggil dengan nama depan kita,” usul Mikuri. Ia pun meminta Hiramasa memanggil ‘Mikuri’.


Hiramasa canggung menyebut kata itu. Akhirnya ia minta izin pada Mikuri untuk memanggilnya Mikuri-san, Mikuri setuju saja. Sebaliknya, Mikuri juga belajar memanggil Hiramasa dengan nama dirinya, juga lengkap dengan akhiran –san di belakangnya.



Tidak lama setelahnya keluarga Mikuri dan juga keluarga kakak laki-lakinya datang. Menyusul kemudian keluarga Hiramasa. Mikuri memperkenalkan diri pada keluarga Hiramasa.


Pertemuan kedua keluarga akhirnya dimulai. Kerja sama pertama kami. Kami akan melewatinya, bagaimanapun caranya!


Acara selanjutnya adalah obrolan antar orang tua.


“Apa yang kau suka dari Hiramasa, Mikuri?” tanya ibu Hiramasa.


Mikuri berpikir sebentar. Ia mengingat momennya bersama Hiramasa selama ini, “Arahannya sangat jelas dan spesifik. Tidak ada detail yang tidak perlu. Lalu....Bahkan terhadap gagasan gila sekalipun, dia akan mencari solusi realistisnya. Dia benar-benar mudah disukai.”


“Kau seperti memuji atasanmu,” sela kakak Mikuri, Chigaya.


Mikuri merasa tidak enak dengan jawabannya, “Aku merasa dia sangat terpercaya dan bisa diandalkan,” tambahnya lagi.


Sekarang giliran Hiramasa yang mendapat pertanyaan. Dia pun ditanyai hal yang sama.


“Mikuri bisa melakukan apa pun,” ujar Hiramasa, singkat dan padat.


Obrolan berikutnya masih seputar orang tua. Soal kebanggaan akan anak-anak masing-masing.



Obrolan pun bergeser soal pesta pernikahan. Mereka bertanya, jika Mikuri akan memilih baju pengantin atau memakai kimono ala pernikahan tradisional Jepang. Kedua keluarga juga bersemangat, karena acara pesta bisa dilakukan dua kali. Satu di tempat orang tua Mikuri dan yang satu lagi di kediaman orang tua Hiramasa.


Hiramasa dan Mikuri belum mengatakan apapun. Tapi justru orang lain yang sudah lebih dulu ribut. Yuri ikutan ribut, pun Chigaya, Kakak Mikuri.



“Kami tidak akan mengadakan pesta pernikahan,” ujar Hiramasa kemudian.


“Kami berdua memutuskannya demikian,” sambung Mikuri.


Keputusan itu akhirnya disebutkan juga.


“Bagi kami yang terpenting adalah tinggal dan hidup bersama. Hanya itu. Acara formal seperti upacara dan resepsi pernikahan dan tidak diperlukan,” lanjut Hiramasa.


“Kami berdua memutuskannya demikian,” ujar Mikuri pula.


Tapi para orang tua protes. Karena itu adalah pernikahan pertama bagi keduanya. Pun soal Mikuri, yang tentu saja ingin mengenakan baju pengantin.


Tapi lagi-lagi Hiramasa mencoba memberikan penjelasan logis, “Daripada menghabiskan uang untuk upacara dan resepsi pernikahan, lebih baik uangnya ditabung.”


“Jika ini tentang uang... aku bisa membantumu sedikit,” bisik ayah Mikuri.


“Ayah menggunakan uang pensiun Ayah untuk membayar rumah, 'kan?” elak Mikuri.


“Sebagai awal kehidupan baru kami sebagai pasangan, kami tidak ada niat untuk bergantung pada uang orangtua kami,” ujar Hiramasa lagi.


Keduanya masih saja berusaha meyakinkan kedua keluarga soal tidak perlu ada pesta pernikahan. Bahkan saat dikatakan, kalau pesta diadakan untuk mengundang kenalan dan teman. Tapi Mikuri dan Hiramasa tetap mengatakan kalau mereka tidak masalah dengan itu, dan itu gaya hidup mereka.


Situasi berubah benar-benar canggung. Tapi karena tidak bisa memaksa Mikuri atau Hiramasa, kedua ibu mereka pun menyerah. Mereka akhirnya sepakat untuk tidak memaksakan pesta pernikahan.



Acara makan bersama pun selesai. Mikuri mengantarkan Yuri di luar. “Terima kasih karena telah menyetujuinya.”


Yuri meremas kepala Mikuri, “Aku akan sangat kesepian. Kita tak bisa lagi bertemu setiap saat.”


“Kenapa tidak? Seperti biasanya,” Mikuri heran.


Tapi Yuri justru menasehatinya, “Tidak bisa begitu saat kau sudah menikah. Mikuri, pernikahan adalah awal hidup barumu, oke? Semangat!”



Setelah Yuri pergi, giliran ibu Mikuri yang memeluk putrinya itu, “Ayahmu kecewa.” Ibu Mikuri menunjuk ayahnya yang tengah duduk membelakangi mereka. “Dia pikir dia akan menuntunmu ke altar. Bahkan dia sudah berlatih di koridor rumah baru kami. Aku tidak pernah berpikir kau akan menikah secepat ini.”


“Ibu melahirkanku saat berumur 23 tahun, 'kan? Dua tahun lebih muda dari umurku sekarang,” elak Mikuri.


“Itu benar, tetapi....Kau selalu menjadi anak yangingin bekerja dengan giat daripada menikah, benar 'kan?”


“Menurutku bekerja juga suatu bentuk kebahagiaan,” sambung Mikuri.


“Namun aku bahagia saat kau berkata kau akan menikah. Berbahagialah, oke?” ibu Mikuri pun memeluk putrinya. Kemudian ayah Mikuri yang bergabung memeluk putri bungsu mereka itu. (Mikuri dikelilingi orang-orang yang menyayanginya ya)



Hiramasa juga mengantar kedua orang tuanya keluar. Ibu Hiramasa pamit ke toilet sebentar, dan meninggalkan Hiramasa bicara berdua dengan ayahnya.


“Maaf mengganggu waktu kerja Ayah,” ujar Hiramasa.


“Dia muda, tetapi bisa diandalkan, ya? Hampir terlalu muda,” komentar ayah Hiramasa.


“Jiwanya dewasa. Dia mengatakannya sendiri,” balas Hiramasa.


“Buat seorang laki-laki, berumah tangga itu adalah untuk memikul semua beban dan tanggung jawab. Kupikir kau bisa melakukannya.”


Hiramasa dibuat tertegun dengan ucapan ayahnya itu. Sepertinya hubungan ayah dan anak ini tidak benar-benar dekat. Hingga Hiramasa tidak menyangka ayahnya akan bicara seperti itu.



Mikuri berjalan pulang bersama Hiramasa setelah acara makan bersama itu. Keduanya mengungkapkan kelegaan masing-masing karena hari itu bisa mereka lalui dengan baik. Bahkan meski pernikahan itu hanya pura-pura, tapi bisa membuat keluarga bahagia itu yang utama.


“Aku tak tahu apa yang akan kulakukan jika kau menyesalinya. Dan berbohong itu tidak benar, kupikir aku membuatmu melakukan sesuatu yang tak baik. Karena aku tidak percaya diri untuk meyakinkan orang di sekitarku, bahwa pernikahan kita pernikahan normal,” ujar Mikuri. “Kalau aku bisa bilang, ini pelarian.”


“Tak apa-apa 'kan jika ini pelarian? Di Hungaria, ada pepatah yang artinya seperti ini: "Melarikan diri itu memalukan, tetapi membantu." Mengambil pilihan pesimis tidak apa-apa, 'kan? Bahkan jika melarikan diri itu memalukan, bisa bertahan itu penting. Aku tak akan menerima tanggapan atau bantahan tentang hal itu,” garis bibir Hiramasa tertarik sedikit.


Mikuri mengerti, “Anda benar. Meskipun ini pelarian, mari bertahan. Kita tidak dalam posisi bisa mengajukan keberatan.” Keduanya tersenyum bersama.



Kau juga seperti ayahmu, Hiramasa. Aku tak jadi mengatakannya. Aku tak seharusnya ikut campur sejauh itu. Kami bukan suami-istri ataupun kekasih, bahkan bukan teman. Hubungan kami adalah hubungan majikan dan pekerja.


Mikuri dan Hiramasa tiba kembali di apartemen. Setelah mengucapkan selamat malam, Hiramasa masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan Mikuri tertegun di ruang tengah.



Hiramasa tidur di kamar sebelah. Apa aku merasa tegang? Atau tidak? Kenapa tidak? Kami tinggal seatap, tetapi aku merasa aman. Ah! Apa karena dia tipe herbivor? Tidak. Orang itu...Dia bukan tipe yang menentang permintaan orang lain, karena itu aku bisa berpikir demikian.


Mikuri telah berganti pakaian, menggelar futon-nya dan seger menyusup di balik selimut. Tapi ia belum langsung tertidur. Mikuri masih memikirkan soal kehidupan barunya sebagai pekerja rumah tangga. Dan juga soal ucapan Hiramasa tadi.



Di kamar sebelah, Moriyama--Mikuri tidur. Dia orang yang aneh. Apa dia tidak merasa bahaya meski kami tinggal bersama? Apa dia pikir aku bukanlah ancaman? Memang bukan, sih. Pada dasarnya aku tak suka ada orang lain di rumahku atau terikat denganku. Namun dia memahami bagaimana cara menjaga jarak.


Di kamarnya, Hiramasa juga masih belum bisa tertidur. Ia memikirkan ucapan Mikuri saat perjalanan tadi. Hiramasa juga memikirkan fakta bahwa sekarang ia tinggal satu atap bersama seorang wanita.


BERSAMBUNG


Pictures and written by Kelana


Kelana’s note :


Hai, hai ... bagaimana episode 1-nya? Seru ya. #ehe. Iya, karena ternyata ceritanya seru dan banyak yang suka serta baca, jadi Na memutuskan untuk lanjut menulisnya. Ya meski harus cari-cari waktu sambil mengerjakan naskah yang lain. Semoga semuanya beres deh.


Oh ya, sebenarnya kan Na ngerjain naskah ini dengan Jimi ni Sugoi, dan diposting gantian. Tapi berhubung Jimi ni Sugoi agak lambat subtitle-nya, jadi Na mendahulukan yang ini. Semoga nggak pada kecewa ya. Selamat membaca.

Bening Pertiwi 12.34.00
Read more ...

SINOPSIS dorama Married as Job episode 01 part 2. Akibat kesalahan sistem, tim programmer harus menulis ulang program yang biasanya dilakukan selama satu bulan, hanya dalam waktu beberapa hari saja. Setelah membuat list hal-hal yang harus dikerjakan, semua orang mulai mengerjakan bagian masing-masing.



Hari pertama. Semua orang masih bekerja keras. Bahkan Kazami-san masih sempat membelikan makan siang untuk semuanya. Hiramasa masih fokus di mejanya untuk bekerja.


Hari kedua. Keadaan mulai kacau. Wajah-wajah kusut mulai muncul. Tapi Hiramasa masih serius dan fokus di mejanya. Hino-san mulai kacau. Ia bahkan membuat kesalahan yang akhirnya berhasil diperbaiki oleh Hiramasa.


“Hino, tolong pulang ke rumah dan tidur sebentar,” saran Hiramasa kemudian.



Hari dateline pekerjaan. Nyaris seluruh tim sudah terkapar. Sebagian tertidur di meja masing-masing, yang lain bahkan tertidur di lantai. Tapi Hiramasa masih fokus di mejanya. Bahkan saat Kazami-san membawakan sarapan, hanya tinggal Hiramasa yang membalas sapaannya.


Satu per satu list pekerjaan akhirnya selesai. Kini akhirnya bagian terakhir, uji coba program yang telah mereka susun ulang. Dan ... kali ini pekerjaan mereka berhasil dengan baik. Semua orang puas dengan hasilnya. Setelah berhari-hari fokus pada pekerjaan, akhirnya Hiramasa mulai tampak kacau.



Hari Jumat. Mikuri datang ke apartemen Hiramasa seperti biasa. Setelah memencet bel beberapa kali, ternyata Hiramasa tidak keluar. Mikuri tidak langsung pulang. Ia justru melamun sambil bergumam sendirian di teras.


“Yah, sepertinya karena gagasan anehku minggu lalu, aku dipecat. Aku ingin menyelesaikan pekerjaanku dengan baik dua kali lagi, dan menciptakan mahakarya terakhir. Aku tidak pernah berpikir akan berakhir seperti ini. Namun, aku belajar banyak dari pengalaman ini. Sejak saat ini pun...”


Tapi terdengar suara pintu terbuka. Hiramasa membukakan pintu, masih dalam piyama-nya. “Maaf, aku sedang sakit.”


“Anda baik-baik saja? Demam, ya?” Mikuri khawatir.


“Aku terlalu memaksakan diri. Aku tidak bekerja hari ini.”


“Aku bisa membantumu,” tawar Mikuri.


Tapi Hiramasa menolak. Ia pun memberikan gaji Mikuri. Tadinya Mikuri menolaknya, tapi Hiramasa memaksa. Mikuri akhirnya mengalah. Ia pun pulang lagi karena Hiramasa ingin istirahat saja hari itu.



Mikuri pulang ke rumahnya. Kedua orangtuanya masih beres-beres sebelum pindah. Yuri heran karena Mikuri pulang cepat. Tapi Mikuri mengatakan kalau hari itu ia tidak bekerja.


Kedua orang tua Mikuri asyik beres-beres. Mereka benar-benar menikmati waktu berdua. Sementara itu Mikuri dan Yuri hanya menyaksikan keduanya sambil minum teh di meja makan. Orang tua Mikuri seperti pasangan yang baru saja menikah.


“Apa mereka melupakanmu?” sindir Yuri.


“Aku hanya tambahan,” ujar Mikuri. “Bahwa hanya ada satu orang untuk mereka berdua. Bukankah itu lebih menyenangkan daripada hidup tanpa seorang pun yang memilihmu?”



Yuri mengangkut sebagian barang-barangnya ke dalam mobil. Mikuri pun mengekor untuk membantu.


“Ibu selalu iri padamu, kau tahu, Yuri? Yuri yang sukses, memiliki pekerjaan impiannya dan cantik.”


“Aku tahu. Dia meminta terlalu banyak. Bagaimana dengan kerjaanmu?” Yuri sengaja mengalihkan pembicaraan.


“Dia sedang sakit, jadi hari ini libur,” ujar Mikuri.


“Kau meninggalkannya sendirian?” Yuri heran.


“Yah, kalau majikanku memintaku pulang, kupikir aku harus mematuhinya sebagai anak buah.”


“Kau penurut untuk hal yang salah. Kenapa tidak coba meng-SMS-nya? Tidak mudah saat sakit jika kau sendiri. Kau tidak bisa berbelanja dan lain-lain,” saran Yuri. Ia pun menyusup ke balik kemudi dan beranjak pergi.



Baru saja Mikuri mengeluarkan ponsel, sudah ada pesan masuk dari Hiramasa. Ia minta tolong untuk dibelikan obat demam dan juga es krim. Tanpa pikir panjang, Mikuri pun langsung menyanggupinya. Ia berkali-kali memencet bel apartemen Hiramasa, tapi tidak ada jawaban. Mikuri pun akhirnya masuk karena pintu ternyata tidak dikunci.


Mikuri menemukan Hiramasa tengkurap di lantai masih memagang ponselnya. Ia basah kuyup oleh keringat. Mikuri pun segera membantu Hiramasa bangun lalu memberikan minuman elektrolit pada Hiramasa. Ia kemudian menyiapkan baju ganti dan meminta Hiramasa ganti baju terlebih dahulu.


Dibantu Mikuri, Hiramasa minum obat demam lalu makan eskrim. Ia pun kemudian tidur di ranjangnya. Hiramasa mempersilahkan Mikuri untuk mengambil uang pengganti belanjaannya. Mikuri mengiyakan saja, dan membiarkan Hiramasa istirahat.


Mikuri menutup pintu kamar Hiramasa, “Melihat laki-laki yang biasanya tenang ada dalam kesusahan. Aku suka.” Mikuri lalu beranjak ke dapur dan mulai mempersiapkan makanan.


Setelah selesai memasak, Mikuri membangunkan Hiramasa dan membiarkannya makan.



Hari sudah gelap saat Mikuri memeriksa suhu tubuh Hiramasa, yang ternyata sudah turun. Setelah memastikan Hiramasa sudah baikan, Mikuri pamit untuk pulang.


“Bagaimana dengan uang lembur?”


“Aku tidak memerlukannya. Aku hanya memasak makan malam,” tolak Mikuri.


Tapi Hiramasa menghentikan Mikuri, “Menurutku kau bisa menikah. Kau pintar bersih-bersih, dan masakanmu enak. Dan kupikir kau orang yang benar-benar bisa mengurus seseorang.”


“Aku merasa baru mendapatkan pujian untuk seumur hidup.”


“Bahkan jika saat ini kau tidak punya pacar...” Hiramasa ragu sebentar. “Maaf jika kau punya Kau masih muda. Hal-hal seperti pesta percomblangan atau perjodohan. Hal-hal seperti itu, yang mereka sebut "perburuan nikah"? Jika kau melakukan hal-hal itu, Bukankah kau bisa menikah jika kau menginginkannya?”


Mikuri batal pergi. Ia justru duduk di depan Hiramasa, “Anda salah sangka. Bukannya aku ingin menikah.” Mikuri mencoba menjelaskan. “Begini, Aku benar-benar gagal dalam pencarian kerja. Saat aku menjadi sarjana, dan saat aku meraih gelar magister, di kedua waktu itu, bahkan ketika aku bekerja sebagai pekerja sementara, saat mereka harus memilih antara aku dan orang lain, sekali lagi aku tidak dipilih. Bahkan saat tidak ada seorang pun yang mengakuiku, aku harus terus melakukan yang terbaik. Makanya, saat Anda sadar kawat nyamuk itu dibersihkan, dan berkata Anda bersyukur telah mempekerjakanku, Saat Anda berkata Anda berharap aku bisa bekerja lebih lama di sini. Aku pikir "Wah, ini dia!" Aku benar-benar bahagia dengan sesuatu seperti itu. Maaf sudah mengucapkan sesuatu yang tidak masuk akal. Ini keturunan. Turunan ayahku. Tolong lupakan hal itu.” pinta Mikuri. Aku mau seseorang. Aku mau seseorang memilihku. Berkata "Syukurlah ada kau di sini." Aku mau diterima. Apakah itu suatu kemewahan?


Mikuri lalu pamit pergi.



Numata-san seperti biasa nongkrong di bar.


“Kau lagi-lagi menunggu?” tanya si bartender.


“Aku dicampakkan lagi,” curhat Numata-san.


 


Selamat tinggal... pengalaman yang menyenangkan. Setiap orang ingin diinginkan oleh seseorang. Namun, tidak berjalan lancar. Sedikit demi sedikit menyerah pada berbagai emosi. Tertawa saat mau menangis. Mungkin begitulah, kehidupanku.


Jumat berikutnya, Mikuri kembali datang ke apartemen Hiramasa. Tapi kali ini ia tidak membawa alat kebesihan apapun. Ia justru membawakan bungkusan untuk Hiramasa, yang dikatakan dari ayahnya. “Dia berkata "Meski aku memaksamu mempekerjakan putriku," kami sekarang malah pindah. Aku benar-benar minta maaf." Terima kasih banyak untuk satu setengah bulan ini.”


Alih-alih menerima pemberikan Mikuri, Hiramasa justru meminta Mikuri untuk duduk. “Ini gajimu untuk hari ini.” Hiramasa kemudian menunjukkan sejumlah berkas. “Aku membuat simulasi hitungan. Ini besarnya jika kita membagi dua biaya sewa, air, listrik, dan biaya hidup lainnya. Perbandingan jika memasak dan makan di luar. Perbandingan jika menyewa pekerja rumah tangga atau tidak. Lalu, berdasarkan metode OC, jumlah waktu tak berbayar ibu rumah tangga adalah 2.199 jam per tahun. Jika dikonversikan ke gaji tahunan...”


“Jadi 3.041.000 yen,” sambung Mikuri.


“Betul. Dari itu, aku menghitung gaji per jam. Jika diasumsikan dalam sehari bekerja tujuh jam, ini gaji bulanannya. Dikurangi biaya hidup, gaji bersihnya sebesar ini. Aku juga membuat simulasi hitungan jika asuransi kesehatan dan bonus diberikan. Ini proposal saya untuk pernikahan de facto. (Jika pencatatan pernikahan tidak didaftarkan. Jika hidup bersama dan memiliki pekerjaan yang sama. Hanya sertifikat tempat tinggal yang berubah (istri tak terdaftar)).


“Pernikahan de facto?” Mikuri meyakinkan.


“Kartu keluarga tidak akan berubah. Dengan kata lain, kita hanya mengubah alamatmu, tanpa memasukkanmu ke kartu keluargaku. Tentu saja, kita perlu membahas syarat dan ketentuannya. Namun berdasarkan simulasi hitunganku, membiarkanmu tinggal di sini dalam bentuk pernikahan de facto, membayar gaji dan menyewamu sebagai istri, juga menguntungkan untukku. Tentu saja, ini semua tergantung padamu, Moriyama...”


“Aku bersedia! Tolong pekerjakan saya!” Mikuri langsung memberikan jawaban tanpa banyak pertimbangan lagi.


Tapi, Mikuri teringat sesuatu.



Hari itu, hari kepindahan keluarga Mikuri. Jadi, barang-barang Mikuri sudah di packing dan siap diangkut. Mikuri mencoba menelepon ibunya, sayangnya ibunya tidak mendengar dering telepon karena masih sibuk beres-beres. Tidak punya pilihan lain, Mikuri pun mengajak serta Hiramasa untuk datang ke rumah orang tuanya.


“Ada jalan pintas,” ujar Hiramasa.


“Bagaimana dengan pekerjaanmu?” Mikuri khawatir.


“Jam kerjaku fleksibel.”


Keduanya pun berlarian menuju pemberhentian bus.



“Kita entah bagaimana bisa sejauh ini, tetapi, Ayahmu, Pak Moriyama, Apa yang harus kukatakan padanya?” tanya Hiramasa saat keduanya duduk berdampingan dalam bus.


Mikuri berpikir sejenak, “Tolong berikan, putrimu padaku.” Situasi mendadak canggung. “Oh... aku hanya bercanda. Kita harus jujur dan berkata ini pernikahan de facto. Apakah mereka akan merestuinya?” usul Mikuri.


“Orangtuaku sepertinya mudah berkompromi, tetapi pemikiran mereka kuno untuk hal seperti ini,” ujar Hiramasa.


“Orangtuaku juga. Pilihan satu-satunya mungkin apa yang kita bilang pernikahan normal,” ujar Mikuri.


Hiramasa mencoba kembali ucapan Mikuri tadi, tapi ia masih kesulitan. Keduanya merasa kalimat itu terlalu kuno dan mulai berpikir kalimat yang sekarang lazim digunakan. Belum selesai membahas soal kalimat lamaran, Mikuri membahas hal lain.


“Jika kita hidup bersama, bagaimana dengan malam hari? Maksudku, bagaimana pengaturan kamar tidurnya?”


Hiramasa sedikit kaget, “Tenang saja, kita tidur terpisah. Karena aku lajang profesional.”


“Lajang... profesional?” Mikuri bingung.



Turun dari bus, Mikuri dan Hiramasa langsung menuju kediaman keluarga Mikuri. Tampak pekerja jasa pindahan tengah mengangkut sejumlah barang ke dalam mobil.


“Mikuri! Bukannya kau akan langsung ke sana dari tempat kerja?” tanya ibunya.


“Keadaan berubah....” Mikuri ragu untuk bicara.


Hiramasa lalu menyapa kedua orang tua Mikuri. Ia minta maaf karena baru sempat menyapa. Hiramasa pun mulai bicara ... niat hati ingin mengatakan lamaran. Kedua orang tua Mikuri pun sudah sangat penasaran. Tapi ternyata ia hanya mengucapkan terimakasih karena sudah membiarkan Mikuri bekerja di apartemennya.


Melihat Hiramasa kesulitan, Mikuri pun mengambil alih. “Kami akan menikah. Menikah. Aku dan Hiramasa. Jadi aku tidak pindah ke Tateyama. Aku akan pindah dengan ... “



Tapi situasi mendadak kacau karena ... Yuri. Mendengar kata menikah, Yuri naik pitam. Ia pun nyaris mencekek Hiramasa. “Menikah? Kau siapa?! Siapa orang ini? Dia orang asing. Apa kau bisa membuat Mikuri bahagia?!”


Melihat kekacauan ini, Mikuri dan ibunya mencoba menghentikan Yuri. “Tsuzaki adalah orang yang serius. Orang yang serius tidak akan menyentuh pekerjanya!”


Yuri dan kedua orang tua Mikuri bingung.


Mikuri meralatnya, “Dia melakukannya. Tentu saja dia melakukannya.”


Tapi situasi makin kacau, “Jangan-jangan, hamil di luar nikah?!” Yuri dan orang tua Mikuri kaget.


“Mana mungkin!” elak Mikuri cepat.


“Maafkan aku,” Hiramasa buru-buru minta maaf.


Situasi makin kacau, “Meminta maaf hanya akan membuatnya tambah mencurigakan,” ujar Mikuri pada Hiramasa.



Mikuri lalu berusaha menjelaskan semuanya lagi, “Aku tidak hamil atau apa pun, oke? Maafkan aku. Yuri! Ayah dan ibu juga, jangan menyalahkan Hiramasa. Aku bilang aku ingin bekerja di rumah Hiramasa. Aku bilang aku mau kami menikah, dan Hiramasa menerimanya. Jadi, tolong restui kami!”


Tidak hanya Mikuri saja, Hiramasa pun kemudian menunduk, meminta restu pada orang tua Mikuri dan juga Yuri.


Mobil keluarga Mikuri beranjak pergi. Diikuti oleh mobil yang membawa barang-barang mereka.


Dan begitulah. Dengan membawa sesedikit mungkin, barang keperluan sehari-hariku.


 


Kami tidak akan mengadakan resepsi. Kami akan menghadapi banyak rintangan bersama.


Dalam pertemuan kedua keluarga, Mikuri dan Hiramasa mengatakan tidak akan menyelenggarakan resepsi pernikahan. Ini membuat kedua keluarga kaget.


Tidak hanya itu, situasi kantor Hiramasa juga jadi kacau. Rekan-rekan kerjanya kaget karena mendapat kabar kalau Hiramasa menikah. Padahal dulu ia pernah bilang, tidak akan pernah menikah. Orang-orang pun kemdian menebak-nebak apa yang terjadi.


Karena pernikahan mereka tidak didaftarkan, Mikuri hanya mendaftarkan asuransi kesehatan dan perubahan alamat tinggal saja. Statusnya ... istri (tidak terdaftar)


Aku secara resmi direkrut sebagai ibu rumah tangga. Ibu Rumah Tangga


BERSAMBUNG


Pictures and written by Kelana


Kelana’s note :


Gak kebayang aja, tetiba tinggal satu atap sama orang yang baru dikenal dengan status ... istri. Ya meski Cuma istri kontrak aja sih. Tapi kan ya ... apartemen orang Jepang modelnya LDK aja.


Tapi serius kok, ceritanya makin ke belakang makin seru. Suka aja lihat Hiramasa yang biasanya tenang dan cool, tetiba jadi aneh dan salah tingkah. Sementara Mikuri yang ‘normal’ soal hubungan, justru kelihatan gak peka. Hehe


Na lagi nunggu episode 6 nih. Hubungan mereka ada perkembangan. Hasyeeeek!


Minggu-minggu ini jadwal anak-anak UAS, jadi Na akan agak sibuk nih. Semoga masih ada waktu buat nulis sinopsis ya. Doakan kepala Na bisa diajak kompromi, dan penyakit ngantukan sementara nggak kumat. #ehe

Bening Pertiwi 13.03.00
Read more ...