SINOPSIS dorama Married as Job episode 04 part 1. Mikuri, Hiramasa, Yuri-san, Numata-san dan Kazami-san menghabiskan akhir pekan dengan datang dan memetik buah anggur. Sebenarnya ini ide Hino-san. Tapi ia kembali membatalkan acara karena anaknya sakit. Dan (lagi) Numata-san serta Kazami-san yang datang untuk menggantikan.



Alih-alih duduk-duduk, Hiramasa memilih jalan-jalan keliling area kebun anggur dan kuil. Mikuri juga menyusulnya. Dan mereka pun duduk di dalam kuil.


“Aku tetap paling menyukaimu, Hiramasa,” ujar Mikuri.


Pada saat itu, Aku merasa hidupku selama 35 tahun terbayar dalam sekejap. Bahkan jika itu tak lebih dari rasa hormat kepada atasan/bos.



Hiramasa bangun pagi seperti biasa di kamarnya. Saat keluar kamar, ia melihat Mikuri tengah asyik di dapur mempersiapkan sarapan. Setelah Hiramasa ganti baju dan bersiap, mereka berdua pun makan bersama.


Mikuri minta maaf karena ternyata ada masakannya yang sedikit gosong. Tapi Hiramasa tidak mempermasalahkannya dan tetap memakannya.


Aku belum mengatakannya pada Mikuri meski sudah setengah bulan.



Dan pertanyaan itu kembali mengganggu Hiramasa.


“Menurutku, kau dan Mikuri mempunyai hubungan yang ideal. Kawin kontrak, 'kan? Kau menggajinya,” tembak Kazami-san.


Hiramasa kaget bukan main. Ia tidak menyangka kalau rahasianya ternyata dengan mudah ditebak oleh Kazami-san. “I-ini bukan sesuatu untuk dibicarakan di tempat kerja.”


Kazami-san tersenyum lega. Ia pun mengajak Hiramasa untuk bertemu dan bicara lagi di tempat lain, malam itu.


Sementara Hiramasa galau sendiri. Ia tidak menyangka akan seperti ini. Dan lagi, kenapa ia tidak menyangkal sama sekali tadi saat dituduh begitu oleh Kazami-san. Lalu sekarang, Kazami-san mengajaknya bertemu sepulang bekerja.



Tepat jam enam, Hiramasa langsung mematikan komputernya dan kabur pulang. Hal ini membuat rekan-rekan kerjanya heran, karena biasanya Hiramasa bahkan sering lembur. Tapi di lorong, ia bertemu dengan Hino-san dan Numata-san. Hino-san minta maaf karena kembali membatalkan acara mereka. Sebagai ganti, Hino-san mengajak Hiramasa untuk kemping keluarga. Tapi Hiramasa yang sedang buru-buru tidak benar-benar menanggapinya. Saat Numata-san datang, Hiramasa melihat peluang melarikan diri dan buru-buru pergi.


Keluar dari mulut harimau, disambut mulut buaya. Lolos dari Numata-san dan Hino-san, Hiramasa justru bertemu Kazami-san. Ia sudah menunggu di lorong. Tidak punya pilihan, Hiramasa pun ikut saja saat diseret oleh Kazami-san.


Hino-san dan Numata-san masih tetap mengejar. Tapi mereka kehilangan jejak Hiramasa. Hino-san mulai curiga, apakah Hiramasa benar-benar benci dengan kemping. Numata-san pun menambahi teori lain. Mungkin saja Hiramasa pernah punya pengalaman buruk saat kemping. Membawa beras tapi lupa membawa peralatan masak, misalnya.



Hiramasa pun menceritakan semuanya pada Kazami-san. Mereka minum di sebuah kedai minum.


“Oh, jadi begitu...Sebenarnya aku hanya bercanda denganmu. Aku tak benar-benar berpikir hubungan kalian hanya hubungan kerja,” ujar Kazami-san.


Hiramasa membenarkan letak kaca matanya, tidak nyaman, “Benar-benar tak apa-apa. Kami hanya menyembunyikannya karena waktu yang dibutuhkan jika harus menjelaskannya kepada semua orang. Bisa dibilang, ini versi sederhana dari sharehouse.”


“Jadi kalian berbagi rumah dan tugas?”


“Dengan uang sebagai penengah, posisi kami lebih jelas. Kami juga bisa menjaga satu sama lain dan menciptakan lingkungan yang lebih baik,” ujar Hiramasa lagi.


Kazami pun menanyakan soal ‘perasaan’. Dan Hiramasa dengan tegas kalau ia tidak punya perasaan apapun pada Mikuri. Hubungan mereka jelas, hanya atasan dan bawahan saja.


“Makin lama makin terdengar sebagai seperti hubungan ideal,” komentar Kazami-san lagi.


“Kurasa hanya kau yang akan berpikir seperti itu.”


Kazami akhirnya mengatakan idenya, “Aku ingin Mikuri bekerja di rumahku juga.” Melihat Hiramasa yang kaget, Kazami-san pun melanjutkan. “Oh, bukan, aku bukannya ingin mengambil tempatmu. Aku belum pernah menyewa jasa pembersih rumah sebelumnya, jadi aku mau tahu rasanya. Apa tidak boleh bekerja sambilan?”


“Tidak, kami tidak ada peraturan seperti itu...”


“Cukup seminggu sekali, tolong bagi Mikuri denganku,” pinta Kazami-san lagi.


“Aku tak bisa memutuskan hal itu,” elak Hiramasa.


“Kalau begitu, bisakah kau menanyakannya untukku?”



Berbagi itu memiliki konotasi yang buruk. Kata "berbagi" digunakan untuk benda atau makanan.


Pagi itu Mikuri makan bersama Hiramasa seperti biasa, “Belakangan ini terkenal, ya? Berbagi. Maksudku sharehouse. Seorang teman kuliahku merenovasi rumahnya dan menjalankan usaha sharehouse sebagai orangtua dan anak. Untuk mereka yang berlibur ke luar negeri.”


Tiap kali mendengar kata ‘share’ atau berbagi, Hiramasa mendadak salah tingkah, “Bukankah itu... rumah tamu?”


“Oh! Jadi itu rumah tamu! Kamarnya masing-masing, tetapi dapurnya satu untuk semua. Kurasa di tempat seperti itu, untuk makanan mereka akan berbagi 'kan, ya?” Mikuri terus saja memancing Hiramasa dengan kata-kata berbagi.


Bahkan saat aku terang-terangan membahas hal ini kenapa dia tetap tak mengatakannya?


Mikuri teringat pertemuannya dengan Kazami-san beberapa hari yang lalu. Lalu soal kesepakatan Kazami dan Hiramasa untuk berbagi Mikuri. Menurut Kazami-san, Hiramasa sudah tahu. Tapi ternyata Hiramasa belum juga menceritakan apapun pada Mikuri.



Apakah Kazami bercanda atau dia salah paham tentang sesuatu dia jelas-jelas terganggu dengan kata "berbagi". BER-B-A-G-I. Waaa, berbagi! Apa itu "berbagi"? Dia bilang "berbagi"... tetapi aku 'kan bukan benda atau makanan. Apa dia tidak menghormati pendapat pekerjanya? Bahkan jika dia atasanku, apa dia pikir boleh-boleh saja memutuskan hal itu sendirian?


Bahkan hingga sarapan selesai, tidak ada satupun hal soal berbagi yang diceritakan oleh Hiramasa. Mikuri kesal sendiri. Imajinasinya meliar. Muncul sosok mungil Mikuri dengan pakaian cheerleader sambil meneriakkan kata ‘berbagi’. Hari itu Mikuri melepas Hiramasa dengan perasaan kesal.



Aku penasaran apakah seperti ini rasanya menjadi istri yang tahu tentang perselingkuhan suaminya tetapi tak berani bertanya? Bagaimana caranya menghilangkan perasaan ini, ya?


Setelah Hiramasa pergi, Mikuri kembali masuk ke rumah. Ia ingat kalau menyimpan anggur kemarin dalam lemari es dan mengambilnya. Sayangnya, setelah satu gigitan saja, Mikuri kesakitan. Rupanya giginya bermasalah.


Tidak punya pilihan, Mikuri pun datang ke dokter gigi. Giginya diperiksa. Mikuri merasa kesakitan saat giginya ditangani dokter, tapi hanya bisa mengerang sambil mengangkat tangannya saja.



Mikuri makan siang bersama Yuri-san. Ia curhat soal kedatangannya tadi ke dokter gigi. “Gigi mahal ya. Aku ingin memukul diriku enam bulan yang lalu. Seharusnya gigiku dirawat saat itu, tetapi sakitnya hilang setelah meminum obat, jadi kubiarkan saja. Sekarang sudah separah ini!”


“Jadi, berapa harganya?”


Mikuri menunjuk brosur jenis tambalan gigi, “Yang paling murah, dari perak, 3.000 yen dengan asuransi. Kalau di tempat yang terlihat, perak kurang cocok, 'kan? Kalau plastik kuat, 47.000 yen tanpa asuransi. Warna plastik akan memudar dalam lima tahun. Keramik satu-satunya pilihan! Keramik 95.000 yen. Dan keramik zirkonia 150.000 yen! Aku tak punya uang sebanyak itu. Aku menghabiskan semua gaji pekerjaan sebelumnya untuk melunasi biaya kuliah.”


“Kau bisa minta orangtuamu membayarnya,” saran Yuri-san.


“Aku tak mau mereka membayar biaya kuliah magisterku. Kupikir aku bisa langsung mendapat kerja dan segera melunasinya. Aku mau memukul diriku yang dulu. Belakangan ini biaya kuliah benar-benar mahal, 'kan? Biusnya belum sepenuhnya hilang,” Mikuri memegangi pipinya.


“Apa Hiramasa... pelit?” Yuri-san pensaran. “Bisakah dia setidaknya membayarkan biaya rawat gigi?”


Mikuri berpikir. Lalu muncul Mikuri mungil berkostum cheerleader sambil meneriakkan OKANE-uang! “Wooo... tolong...beri aku uang!”



Bahkan jika aku menghindarinya dengan angan-angan indah, tetap tak ada gunanya. Pembukuan rumah tangga juga negatif.


Stres Mikuri belum selesai. Sampai di rumah, saat menghitung pengeluaran bulanan, Mikuri menemukan kalau bulan ini minus. Mikuri makin pusing.


Saat Hiramasa pulang, Mikuri pun menceritakan soal pengeluaran bulanan yang minus pada Hiramasa. Ia pun mengatakan kalau minus itu diganti dari uangnya sendiri. Mikuri menyesal karena ada beberapa pengeluaran besar tidak terduga. Termasuk saat ada tamu yang datang ke rumah. Mikuri juga menyesal karena sudah memaksa membeli penanak nasi.


Tapi Hiramasa menanggapinya dengan bijak. Ia menolak saat Mikuri mengganti minus anggran keuangan bulan itu. Ia tidak mau menyusahkan bawahannya dengan beban seperti itu. Karena pekerjaan saja sudah cukup berat. “Lain kali, kita akan mengumpulkan uang sisa di bulan lain dan menggunakannya untuk mengganti kerugian.”


“Aku akan membuat anggaran terpisah untuk wisata khusus,” ujar Mikuri lega sekaligus minta maaf. “Saat kupikir aku hampir tak punya pekerjaan atau tempat tinggal, Anda mengizinkanku bekerja di lingkungan yang baik ini.”


“Saat bekerja, kau tak seharusnya merendah,” elak Hiramasa. “Jangan pendam sendiri. Lain kali, tolong lebih banyak berdiskusi denganku.”


“Kalau saja aku orang Amerika. Aku bisa memelukmu di saat seperti ini, 'kan? Saat kau senang atau ingin menunjukkan rasa sayang, mereka berpelukan, 'kan? Aku benar-benar ingin melakukannya sekarang. Bodoh. Sayang sekali ini Jepang,” Mikuri mengomel sendiri.


Hiramasa dibuat kaget dengan ide Mikuri yang tiba-tiba itu, “Aku senang sekali ini Jepang. Bagaimanapun, aku lebih tua darimu dan juga atasanmu.”



Mikuri sudah memutuskan. Ia akan menanyakannya. Mikuri pun duduk di lantai, “Boleh aku bertanya? Apa itu berbagi? Apa maksudnya Anda akan membagiku dengan Kazami? Aku dengar ketika tak sengaja bertemu Kazami. Aku benar-benar penasaran, penasaran apa yang dia bicarakan... sampai-sampai menjadi pemandu sorak... Hanya angan-angan. Aku selalu melakukannya. Namun bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah... berbagi.”


Hiramasa tidak punya pilihan. Mau tidak mau ia harus menceritakannya. “Akan kujelaskan. Ada tiga hal utama. Satu, dari kata-kata dan perilaku kita, Kazami melihat bahwa hubungan kita adalah kawin kontrak, dan aku menggajimu. Berikutnya, Kazami bilang dia ingin menyewamu. Dia bilang cukup seminggu sekali, apa bisa kau melakukan pekerjaan rumah tangga untuknya. Terakhir, dan yang terpenting, Semuanya terserah padamu. Bagiku... Aku tidak memedulikan apa yang kau kerjakan di luar jam kerja. Aku mau menghormati niatmu dan Kazami. Jadi, jika kau akan menolaknya bukanlah masa—“


Belum selesai Hiramasa bicara, Mikuri sudah menyambarnya, “Aku akan melakukannya! Izinkan aku bekerja sambilan.”



Pada hari yang disepakati, Mikuri pun datang ke apartemen baru Kazami-san. Tempatnya memang tampak lebih luas dan agak sedikit mewah. Saat itu Kazami-san sedang beres-beres. Ia tengah membuka kardus barang-barang-nya dan menatanya.


Kazami merasa menyesal karena sudah lebih dulu memberitahu Mikuri soal rencana kerja mereka. Padahal harusnya Hiramasa yang lebih dulu memberitahu Mikuri soal itu.


Kazami-san merasa sangat penasaran dengan kehidupan Mikuri dan Hiramasa. Terutama soal perasaan mereka. Tapi Mikuri tidak benar-benar menanggapinya. Bahkan Kazami justru berpikir kalau Mikuri dan Hiramasa adalah dua orang yang menarik.


“Yah, umumnya orang tidak melakukan hal seperti ini,” ujar Mikuri.


“Oh, apa Yuri tahu?” tanya Kazami-san kemudian.


“Tidak. Aku tak bisa mengatakannya. Yuri itu sangat, sangat kolot. Dia lebih mungkin membunuh Hiramasa daripada aku. Kau harus merahasiakannya,” pinta Mikuri.


“Aku mengerti. Ini rahasia antara kita bertiga.”



Saat di kantor, Yuri-san bertemu teman kuliahnya yang sempat minum bersama. Ia minta maaf pada Yuri soal sikapnya saat mereka minum saat itu. Ia berdalih tidak berniat jelek dan hanya ingin mengingat masa lalu. Tapi Yuri-san tidak benar-benar mempedulikannya. Ia hanya menjawab sekedarnya lalu beranjak pergi.


Saat itu dua bawahan Yuri-san lewat. Mereka heran melihat sikap Yuri-san yang tidak seperti biasanya. Ia agak ... kesal. Tapi Yuri-san buru-buru menyemangati dirinya sendiri untuk kembali ceria dan bekerja lagi.



“Aku memutuskan akan bekerja di rumah Kazami setiap Senin dan Kamis. Pekerjaan utamaku adalah memasak makan malam dan bersih-bersih. Tentu saja, aku akan memastikan hal itu tak mempengaruhi kerjaku di sini. Lalu ... “ Mikuri bercerita pada Hiramasa.


Tapi Hiramasa buru-buru memotong ucapan Mikuri, “Kau tak perlu melapor. Kau punya kontrak dengan Kazami di sana. Hal itu tak ada hubungannya denganku. Tolong jangan bahas tentang kita juga di sana.”


“Tentu saja, aku akan menjaga privasi Anda. Itu saja.”



Dengan gaji tambahan dari bekerja di rumah Kazami-san, Mikuri memutuskan datang lagi ke klinik gigi, “Tolong yang keramik. Dibayar dengan cicilan, ya.”


Aku takkan mundur. Ini untuk gigiku, untuk perawatan tanpa asuransiku. Aku akan mengambil semua kesempatan untuk menghasilkan uang. Aku akan bekerja jika harus.



Vlog Mikuri.


Mikuri membagai tugas-tugas pekerjaannya dalam bagan berbentuk lingkaran. Dari tidur, tugas pagi, mempersiapkan makan siang, perjalanan ke rumah Kazami-san, bekerja di rumah Kazami-san, pulang, tugas malam, waktu bebas, mandi dan waktu bebas lainnya.


“Seperti inilah jadwalku dalam sehari. Aku melakukan hal ini seminggu dua kali. Karena waktu kerja di rumah Tsuzaki berkurang, aku menggantinya di akhir pekan.”


Mikuri pergi berbelanja seperti biasa. Tapi karena harus memasak untuk dua tempat, Mikuri memisahkan uang di dua dompet berbeda. Ia pun berbelanja sayuran yang berbeda.


Aku tak ingin mereka berpikir aku mengambil jalan pintas hanya karena aku punya dua pekerjaan, jadi aku memikirkan baik-baik menu yang kumasak. Di rumah Kazami aku membuat tiga masakan sekaligus. Aku mencoba memvariasikannya, jadi tidak menjadi masakan yang sama. Hal yang penting adalah apakah untuk disimpan atau tidak.



“Ini sup lobak dan daging sapi. Di Cookpad kelihatannya mudah, jadi aku mencobanya,” ujar Mikuri. Saat itu mereka akan makan malam.


Aku mau bercerita. Aku mau bercerita pada Hiramasa, “Hari ini aku masak sup lobak dan daging sapi di rumah Kazami. Namun aku gagal. Rasa jahenya terlalu kuat, aku tak tahu bagaimana menguranginya. Jadi aku menggunakan trik terlarang. Aku lari ke supermarket dan membeli bumbu kari. Aku masukkan ke dalam sup dan mengubahnya menjadi kari.”


Ekspresi Hiramasa ternyata tidak sedingin biasanya, “Itu licik.”


“Itu adalah solusi paling bodoh,” ujar Mikuri.


“Namun, semua beres berkat kecepatanmu berpikir, jadi kupikir aku bisa memberimu pujian,” ujar Hiramasa pula.


“Terima kasih,” Mikuri tersenyum lebar. Aku ingin percakapan seperti itu. Namun karena dia memberitahuku untuk tidak membahas hal-hal di rumah Kazami Apa yang harus kulakukan di situasi seperti ini? Sayangnya semua obrolan tadi hanya ada dalam pikiran Mikuri saja. Yang sebenarnya, mereka berdua hanya diam sambil menikmati makan malam.



Sebelum tidur, Mikuri mengecek halaman cookpad. Ia senyum-senyum sendiri memandangi menu-menu masakan yang ada di sana. Sementara itu si pemilik salah satu akun di cookpad sedang menyombongkan diri di bar. Dia adalah Numata-san, sang Heartful Baldie. Hampir tiap hari Numata-san mengunggah resep baru.


Mikuri ingat cerita dari Numata-san. Soal roti dan rempah-rempah yang semuanya buatan rumah. Rupanya memang ada beberapa orang yang menanam sendiri di rumah dalam kotak dan pot. Numata-san juga bisa membuat roti sendiridari beras.


“Terima kasih, Numata. Karena dirimu, aku bisa sedikit mengurangi ketegangan di tempat kerja. Aku selalu membaca resepmu. Semuanya enak,” komentar Mikuri di halaman akun milik Numata-san.


Di bar, Numata-san memamerkan komentar itu pada sang pemilik bar. Si pemilik bar langsung mengerti, kalau yang dimaksud oleh Numata ini adalah istri dari pasangan yang hanya berstatus suami-istri di atas kertas saja.


“Tentang itu, sekali lagi intuisiku bekerja.” Numata, sekali lagi mulai berimajinasi. Belakangan, ia mengamati kalau Hiramasa sering tampak tegang kalau melihat Kazami-san. Dan Numata langsung berpikir kalau mereka berdua sama dengannya (gay). Lalu sikap mereka itu adalah tanda kalau mereka berdua saling jatuh cinta?



Yuri-san minum bersama kedua bawahannya. Setengah mabuk, ia minta agar obrolan mereka berubah topik, karena sudah dua jam dan mereka hanya bicara soal pekerjaan saja. Topik mereka berikutnya adalah ‘cinta yang disesali’. Yuri-san mengaku ia sedikit menyesal soal cinta lamanya.


“Apa kau pernah benar-benar mencintai seseorang, dan mengejarnya dengan sepenuh hati? Beberapa orang tidak bisa melakukan hal itu dengan baik...”


“Tidak bisa begitu! Kalau kau mencintainya, perjuangkan!” tanggapan si bawahan pria kali ini agak terlalu bersemangat. Ia mengak kalau sedikit frustasi juga, kalau sudah urusan cinta.


“Mencintai seseorang itu...membuatmu gelisah. Kau mulai merasa bukan dirimu sendiri. Langkahmu goyah. Saat kau tak bisa mendedikasikan diri kepadanya, kau tak bisa pergi ke mana-mana.”


BERSAMBUNG


Pictures and written by Kelana


Kelana’s note :


Jadi ceritanya, si Hiramasa ini belum sadar juga kalau dia udah mulai jatuh cinta ya? Dan si Mikuri ini, kayak nggak ‘ngeh’ sama sikap Hiramasa. Duh, dua orang ini emang masih belum bisa jujur sama perasaan masing-masing ya. Ditambah Kazami. Tapi orang kayak Kazami ini emang diperlukan sih. Ibarat katalisator, Kazami ini bertugas membuat Hiramasa dan Mikuri untuk mulai menyadari perasaan masing-masing. #ehe (kemudian Kelana dinggap juhud sama Kazami)


Betewe, ternyata yang jadi Kazami ini beberapa kali pernah main drama di korea ya. Justru drama ini adalah drama jepang pertamanya. Dan semua drama korea-nya Na tonton sih. Tapi nggak nyadar, hehehehehe

Bening Pertiwi 14.24.00
Read more ...

SINOPSIS dorama Married as Job episode 03 part 2.  Awalnya kehidupan Hiramasa dengan Mikuri yang berstatus istri tetapi sebenarnya adalah karyawan rumah, baik-baik saja. Tapi situasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dan Hiramasa mulai tidak nyaman. Ia pun memutuskan kalau mereka perlu apartemen baru dengan dua kamar tidur.



Mikuri menemani Hiramasa berkeliling mencari apartemen. Beberapa tempat sudah mereka singgahi. Semua ada lebih dan kurangnya. Termasuk biaya sewa yang berbeda, dibanding apartemen satu kamar seperti tempat tinggal mereka sekarang ini.


Hiramasa mendapat telepon dari kantor. Rupanya ia buru-buru harus kembali ke kantor. Ia pun ingin menyerahkan pencarian apartemen itu pada Mikuri.


Tapi Mikuri menahannya, “Apa pindah... benar-benar harus saat ini? Bukan untukku, apa benar-benar untuk diri Anda sendiri? Hiramasa...apa aku...mengganggu? Ada orang lain tinggal di rumahmu... membuatmu sulit bersantai, 'kan? Padahal tujuan utama kontrakku adalah membuat hidup Anda lebih mudah. Jika aku mengganggu, kupikir kita melupakan prioritas kita. Apa tujuan Anda membayarku?”


Hiramasa kaget dicecar seperti itu oleh Mikuri, “Tidak, bukan begitu. Ini bukan salahmu.”


“Kalau begitu, Hiramasa. Jika ada masalah, tolong beritahuku. Anda dulu berkata begitu, 'kan? Katakan semuanya padaku. Aku merasakan hal yang sama. Jika ada masalah, mari kita bahas dan cari solusinya.”



Acara hari Minggu yang tadinya nyaris batal, ternyata jadi dilakukan. Tapi Hino-san lagi-lagi membatalkan keikutsertaannya karena anaknya sakit. Dan sebagai penggantinya adalah ... Kazami-san dan Numata-san.


Hiramasa masih agak syok saat tahu yang jadi pengganti Hino-san dan keluarganya adalah dua orang ini. Tapi Mikuri menyapa mereka dengan ramah. Ia memperkenalkan diri dan juga tantenya, Yuri-san.


Tapi Yuri-san yang sudah buru-buru curiga, menarik Mikuri. Ia berpikir kalau Kazami-san dan Numata-san sedang membicarakannya. Tapi Mikuri mengelak dan mengatakan kalau mereka justru memujinya.


“Apa? Laki-laki ganteng memang selalu begini,” keluh Yuri-san.


“Apa ada yang terjadi dengan laki-laki ganteng?” Mikuri heran.


Yuri-san mencoba mencari kata-kata yang tepat, “Tidak, tetapi aku selalu sangat benci bagaimana laki-laki ganteng tenang setiap saat.”



Mereka berlima pun naik mobil milik Yuri-san. Sementara Yuri-san menyetir, Mikuri menemani di depan. Lalu Hiramasa duduk di belakang, diapit oleh kedua rekannya itu.


“Hiramasa,bagaimana hidup barumu setelah menikah?”


Pertanyaan soal kehidupan pernikahan Hiramasa dan Mikuri masih berlanjut. Dari pajak dan biaya hidup yang lebih murah, tentang makanan yang lebih murah dan bergizi, panerimaan paket dan transaksi perbankan. Khawatir kalau rahasia mereka akan terbongkar, Mikuri pun mencoba membantu Hiramasa.


Obrolan akhirnya justru bergeser pada anggaran bulanan serta data bulanan. Bukan pembicaraan hangat soal keluarga atau teman, tapi lebih mirip pembicaraan bisnis.



Mereka pun tiba di kebun anggur. Dengan gunting, masing-masing dari mereka memetik langsung anggur-anggur matang yang tergantung di atas. (serius, ini tempatnya keren beuuuuud. Perlu banget ya, masuk list tempat yang harus dikunjungi waktu ke Jepang)


Yuri-san memetik anggur warna hijau dan langsung mencicipinya, “Hmm! Manis sekali! Ini enak! Oi...” ia berbalik ingin menunjukkan pada Mikuri. Tapi kemudian sadar kalau Mikuri sudah tidak ada di sampingnya. Alih-alih justru Kazami-san yang tersenyum padanya.


Yuri-san pun buru-buru lari mencari Mikuri. Ia kesal karena Mikuri tidak ada di dekatnya. “Kau di mana sih? Menyebalkan! Dia menertawai nona tua yang gembira karena anggur,” gerutu Yuri-san, menunjuk pada Kazami-san.


Mikuri melirik sekilas, “Tidak. Kazami itu ganteng, tetapi dia laki-laki ganteng yang baik. Apa yang terjadi denganmu dan laki-laki ganteng?”


“Tak ada apa-apa, benar.”


Mikuri pun mengalihkan pembicaraan, “Anggur benar-benar enak saat dimakan beku. Kau petik satu persatu, masukkan ke kantong kedap dan bekukan, dengan kulitnya. Kulitnya mudah dikupas jika ditaruh di bawah air lebih dulu sebelum dimakan,” sarannya pada Yuri-san.



Puas memetik anggur, mereka duduk-duduk di kursi yang juga ada di bawah kebun anggur itu. yuri-san menunjukkan gambar sebuah apartemen pada Mikuri dan Hiramasa. Rupanya ia tahu kalau Hiramasa tengah mencari apartemen baru.


“Ini milik temanku, mereka sedang mencari penyewa. Lima menit dari stasiun dan dekat dengan tempatku juga. Karena tidak melalui agen, harga sewanya 70% harga pasaran. Mereka tidak mau menyewakan pada orang aneh, tetapi kau 'kan punya pemasukan stabil mestinya mereka tak keberatan,” ujar Yuri-san.


“Berapa kamar?” tanya Hiramasa.


“Satu kamar.”


“Maaf, aku mencari yang dua kamar,” Hiramasa langsung menolak. Ia berkeras tetap mencari yang dua kamar.


Situasi menjadi tidak terlalu baik. Kazami-san mengalihkan pembicaraan dan menyelamatkan keadaan. Ia ikut nimbrung melihat foto yang ditunjukkan oleh Yuri-san itu.


“Waaa... ini apartemen yang bagus, lho. Aku mau tinggal di sana. Aku juga berpikir ingin segera pindah ke tempat yang lebih besar. Aku laki-laki terpercaya dari kantor yang sama dengan Hiramasa,” ujar Kazami-san.


“Kau bisa berkata demikian tentang dirimu sendiri?” sindir Yuri-san.


“Yuri, Kazami itu orang baik, lho! Tampangnya memang seperti ini, tetapi dia orang yang memikirkan sekelilingnya,” bela Mikuri. “Kazami ganteng tetapi baik.”


Kazami-san tertawa dibicarakan seperti itu, “Aku tidak seganteng ataupun sebaik itu.”


“Lihat? Orang jahat tidak akan berkata hal seperti itu, 'kan?” ujar Mikuri lagi.


“Bukannya malah lebih mencurigakan?”


Sementara itu, Hiramasa justru sibuk dengan pikirannya sendiri. Kenapa aku bergumul dengan rasa minder? Kenapa aku picik sekali?



Hanya Yuri-san, Numata-san dan Kazami-san yang memilih duduk-duduk dan mengobrol. Kali ini mereka pindah ke tempat lain, di dalam ruangan.


Rupanya mereka tengah minum anggur. Jadi, kebun anggur itu sebenarnya milik kuil. Tapi pendeta dan keluarga di situ juga mengolahnya jadi minuman. Karena menyetir, hanya Yuri-san yang tidak ikutan minum anggur itu dan minum jus. Obrolan mereka bergeser soal status sosial.


“Yah, saat kau bertambah tua ada banyak kesempatan kau merasa kosong, tetapi kau ingat banyak kesenangan juga,” curhat Yuri-san.


“Aku paham. Untuk hidup yang kaya seperti anggur yang enak... bersulang!” ajak Numata-san.


“Ikutkan aku, dong!” sambar Kazami-san.


“Menurutku kau masih terlalu dini. Berapa umurmu?” tanya Yuri-san kemudian.


“Tiga puluh dua.”


“Ya, 'kan! Kau hampir bisa jadi anakku,” kali ini Yuri-san menanggapinya dengan tertawa saja.


“Hah? Tidak mungkin, 'kan?” Kazami-san tidak percaya.


Senyum di wajah Yuri-san makin lebar, “Itu mungkin jika aku melahirkanmu pada umur 17 tahun. Jangan dihitung!” perintahnya cepat.


Obrolan pun beralih pada Hiramasa dan Mikuri. Tidak hanya Numata-san saja yang merasakannya. Tapi Yuri-san juga merasa kalau ada jarak antara Mikuri dan Hiramasa yang tidak mereka mengerti.



Rupanya Hiramasa tengah berjalan-jalan di area kuil. Mikuri yang mencarinya ikut bergabung saat melihat Hiramasa berdiri di depan sebuah bangunan.


“Maaf. Apa aku mengganggu?”


“Tidak,” Hiramasa sadar kalau yang menyapanya adalah Mikuri.


Bangunan yang ada di depan mereka itu adalah bangunan tertua di Yamanashi, dan harta karun nasional yang sangat berharga. Mereka berdua pun memutuskan untuk masuk ke dalam.



Curhatan Yuri-san pun masih berlanjut, “Kau tahu, mereka tidak mengadakan pesta pernikahan, dan juga tak memakai cincin pernikahan. Untuk rumah baru, kenapa dia menuntut harus berkamar dua?”


“Sekarang setelah kau menyinggungnya, bagaimana mereka berdua bertemu?” Kazami-san penasaran.


“Mikuri adalah pekerja rumah tangga di rumah Tsuzaki,” ujar Yuri-san.


Kazami-san pun ingat sesuatu. Ia pernah mengobrolkan hal itu saat di rumah Hiramasa. Mikuri pernah bicara soal gaji, tapi kemudian buru-buru meralatnya. Kazami-san curiga sesuatu.



Hiramasa dan Mikuri pun jalan-jalan ke dalam kuil tua itu.


“Saat aku mengunjungi tempat seperti ini... aku merasa mereka bisa melihat semua kebohongan dan ketamakanku,” ujar Hiramasa.


“Kita tidak bisa berbohong di sini, 'kan?”


Setelah puas jalan-jalan, keduanya pun duduk menghadap altar.


“Anda cocok. Hal-hal seperti patung Buddha dan kuil, bersungguh-sungguh dan tenang. Orang kota seperti Kazami-san, dia keren ya? Akan tetapi aku tetap paling menyukaimu, Hiramasa. Bersungguh-sungguh, kepala dingin, dan tenang,” sadar ucapannya mungkin akan salah ditafsirkan, Mikuri buru-buru meralatnya. “Aku tak ada maksud apa-apa dengan "suka". Alih-alih gemerlapnya kota, aku lebih memilih yang lebih tenang. Maaf, aku tak tahu apa yang kukatakan.”


Dan ternyata itu memang berefek pada Hiramasa. Ada satu sisi hatinya yang tersentuh oleh ucapan Mikuri, “Terimakasih.” Hidupku mungkin akan berakhir tanpa pernah benar-benar menikah. Jadi, meski nantinya kau akan menikahi orang lain, Mikuri, aku akan senang jika kau datang membersihkan rumahku beberapa kali seminggu.”



Hari sudah sore, saat mereka berlima beranjak pulang. Saat itu mereka berada di tempat yang agak tinggi, seperti bukit.


Ini mungkin pujian terbaik yang pernah kuterima sebagai pekerja. Namun... kenapa, ya? Kata-kata itu membuatku merasa kesepian....Apa arti perasaan ini?!


Ini membuat Mikuri ingin berteriak. Ia pun kemudian meneriakkan sesuatu di sana, membuat orang lain heran dan menganggapnya aneh. Tapi Mikuri mengatakan kalau ini menyenangkan. “Benar, tetapi aku merasa jauh lebih baik. Aku bisa bekerja keras lagi besok. Kalian cobalah!”


Yuri-san pun tadinya tidak yakin. Ia ia juga ikutan mencoba, “ Kau idiot ganteng!” tapi Yuri-san buru-buru meralat ucapannya. “Idiot yang dulunya ganteng!”


Setelah Yuri-san, sekarang giliran Numata-san, “Aku ingin bahagia!”


Lalu Hiramasa. Tadinya ia enggan melakukan ini. Tapi kemudian juga mencoba, “Pengaruhmu bukan main!!!”


Sayangnya tidak ada yang benar-benar mengerti apa yang diucapkan oleh Hiramasa. Hanya Kazami-san yang tidak berteriak, karena ia memang sedang tidak ingin berteriak. Mereka pun berjalan menuruni bukit itu.



Aku tetap paling menyukaimu, Hiramasa.


Kekuatan pengaruh kata-kata tersebut bukan main. Kata-kata itu menyusup ke hatiku yang kering seperti sihir. Bahkan jika kata "suka" itu tak lebih dari rasa hormat kepada atasan.


Rupanya yang dimaksud oleh Hiramasa adalah kata-kata Mikuri selama mereka ada di kuil.



Pagi berikutnya


Seperti biasa Mikuri menyiapkan sarapan untuk Hiramasa. Ia mengingatkan untuk membawa anggur yang dibeli kemarin ke kantor.


“Aku membelinya untukmu. Karena kau selalu merawatku. Meskipun hanya seadanya,” elak Hiramasa.


“Terima kasih atas perhatian Anda,” senyum di wajah Mikuri pun makin lebar.


“Bisakah kau memasak nasi berbumbu lagi untukku? Yang waktu itu benar-benar enak,” pinta Hiramasa kemudian.


“Oke!”



Yuri-san berangkat ke kantor seperti biasa. Tidak disangka, ternyata ia bertemu dengan Kazami-san di lobby. Yuri-san baru tahu kalau mereka ternyata bekerja di gedung yang sama.


“Ya, dan juga Hiramasa. “


Mereka saling sapa pagi itu dengan ramah. Kazami-san juga mengatakan soal apartemen yang sempat disebutkan oleh Yuri-san kemarin di kebun anggur. Ia mengatakan kalau serius dan minta tolong untuk dikatakan pada pemiliknya. Yuri-san setuju saja.


Setelah Kazami-san pamit pergi duluan, dua bawahan Yuri-san datang.


“Itu 'kan dia, laki-laki yang memutuskan pacarnya saat makan siang,” ujar si karyawan wanita.


Yuri-san pun ingat soal laki-laki menyebalkan yang memutuskan pacarnya di restoran waktu itu. “Jadi dia lelaki ganteng yang tidak baik!” keluh Yuri-san akhirnya.



“Kau tidak jadi pindah?” Kazami-san menyapa Hiramasa di tempat duduknya.


“Mungkin nanti, tetapi tak ada gunanya buru-buru. Mungkin bisa dibilang tujuannya sudah ditentukan atau aku menyadari apa yang seharusnya kulakukan. Kekuatan kata-kata memang hebat, ya,” ujar Hiramasa, tidak curiga sama sekali.


“Menurutku, kau dan Mikuri mempunyai hubungan yang ideal. Kawin kontrak, 'kan? Kau menggajinya,” tembak Kazami-san.


Dan Hiramasa tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Ia berpaling melihat ke arah Kazami-san dengan serius.



Beberapa hari kemudian.


Hiramasa menyapa Mikuri yang baru pergi. Ternyata Mikuri baru berbelanja. Mikuri juga membahas soal apartemen yang sempat ditawarkan oleh Yuri-san. Menurut Yuri-san, pemiliknya langsung menyukai Kazami-san.


“Karena itu, aku pindah ke sana minggu depan.”


“Keuntungan orang ganteng, ya?” komentar Mikuri.


“Jadi, kapan kau akan datang? Ke tempatku,” tanya Kazami-san. Melihat wajah Mikuri yang bingung, Kazami pun melanjutkan ucapannya. “Hiramasa belum memberitahumu? Hiramasa dan aku akan berbagi dirimu, Mikuri.”


“Berbagi?” Mikuri benar-benar bingung.


“Jadi, minggu depan Mikuri akan...”


Kata-kata ‘berbagi’ melayang-layang di kepala Mikuri. “Aku Mikuri. Kazami bilang kalian akan berbagi diriku. Karena Hiramasa sudah memberi izin. Pada saat itu, aku merasa seperti mengejar kucing liar yang makan ikan. Jadi minggu depan, kita mulai berbagi. Apa itu berbagi? Aku terlalu sering bertemu kata "bagi" terlalu sering!”


BERSAMBUNG


Pictures and written by Kelana


Kelana’s note :


Uwaaaaa ... kasian si Mikuri. Dia nggak ngerti arti kata berbagi. Dan menurut Na, kata ini emang agak terlalu kasar, kalau itu untuk manusia. Tapi Hiramasa mulai kelihatan ada rasa. Ia sebenarnya kesal dengan permintaan Kazami-san ini. Tapi juga nggak punya pilihan. Logikanya jauh lebih jalan dibanding perasaannya sih.

Bening Pertiwi 14.18.00
Read more ...

SINOPSIS dorama Married as Job episode 03 part 1. Cobaan pertama kehidupan Mikuri sebagai pekerja rumah tangga di tempat Hiramasa, yakni kedatangan Numata-san dan Kazami-san, berhasil dilewati dengan baik. Tapi ini belum selesai.



Mikuri dan Hiramasa makan pagi seperti biasa.


“Hiramasa-san, aku mau beli penanak nasi dengan uang kita. Saat ini aku memakai alat yang harus dimasukkan ke dalam microwave. Aku membawanya dari rumahku. Aku memakainya untuk memasak nasi, tetapi benda itu terlalu kecil, dan hanya bisa memasak nasi putih.”


“Apa yang mau kaumasak selain nasi putih?” tanya Hiramasa masih tetap sibuk dengan nasinya.


Mikuri berpikir sebentar, “Misalnya nasi merah atau nasi dengan biji-bijian.... Atau nasi berbumbu! Bisakah Anda mempertimbangkan untuk membelinya?”


Alih-alih menanggapinya dengan hangat, Hiramasa justru tiba-tiba menyelesaikan makannya. Padahal nasinya masih belum habis. “Tentang penanak nasi, lakukan apa yang kau mau.” Hiramasa pun beranjak dan masuk kembali ke kamarnya.




Mikuri heran dengan sikap Hiramasa yang tiba-tiba berubah tanpa arah seperti ini. Pada malam sebelumnya, Hiramasa mengatakan kalau ia ingin menciptakan lingkungan kerja yang menyenangkan untuk Mikuri dan meminta Mikuri bicara apapun padanya. Tapi pagi ini, ternyata itu tidak terjadi. Sikap Hiramasa yang hangat pada malam sebelumnya, hilang entah kemana. Bahkan meski Mikuri berusaha untuk bicara cukup banyak, respon Hiramasa hanya satu dua kata saja.


Hiramasa, yang pernah membuatku tersentuh, dengan kata-katanya yang tegas. Apa yang terjadi?


Percakapan tak berjalan, tak peduli apa pun yang Mikuri tanyakan. Dia tidak menatapnya apa pun pertanyaannya. Bahkan pantulan kacamatanya, seperti membuat suasana di rumah ini menjadi tegang.



Mikuri melepas kepergian Hiramasa untuk bekerja seperti biasa. Ia tetap menunjukkan wajah tersenyum. Tapi setelah Hiramasa pergi, kepura-puraan Mikuri terasa berat.


Bekerja di sini sangat sulit. Kenapa jadi begini? Kalau dipikir-pikir, pada malam Numata dan Kazami menginap, aku memang membayangkan sesuatu yang tak pantas. Namun, selama Hiramasa tidak punya kekuatan super, tidak mungkin dia tahu apa yang kubayangkan. Berarti.... tetapi Mikuri tetap tidak berhasil menyimpulkan apapun.


Di awal minggu ini aku menemukan celana dalam Hiramasa dalam tumpukan cucian kotor. Dia belum pernah membiarkanku mencucinya sebelumnya. Hore! Akhirnya aku cukup dipercaya untuk mencuci celana dalamnya. Aku mencuci dengan semangat. Tapi saat Hiramasa baru pulang dan melihat Mikuri tengah melipat celana dalamnya, ia buru-buru merebutnya dan minta maaf pada Mikuri. Bahkan meski Mikuri mengatakan tidak masalah mencuci itu, Hiramasa merasa tidak enak.



Pada akhirnya Mikuri pusing sendiri dengan sikap Hiramasa yang menurutnya berubah-ubah belakangan ini. Mikuri sama sekali tidak mengerti apa yang dipikirkan atau diinginkan oleh Hiramasa.


Tiba-tiba pintu depan terbuka. Hiramasa kembali. “Ayo pindah. Ayo kita pindah ke rumah dua kamar!” Hiramasa menegaskan lagi.


Mikuri bingung.


Hiramasa lalu mengambil kertas dan menulis daftar list, “Ini kondisi rumah yang kita cari. Bisakah kau mencarikannya untukku?”


“Kenapa tiba-tiba?” Mikuri heran.


Hiramasa membenarkan letak kaca matanya, “Kau juga mau kamar sendiri, 'kan? Aku selalu berpikir rumah satu kamar terlalu sempit. “


“Biaya sewanya lebih mahal 20.000 yen dari yang sekarang. Kira-kira segitu harga sewa rumah dua kamar di pasaran. Jadi kalau dibagi dua, jadi tambah 10.000 yen per orang,” elak Mikuri.


“Aku akan membayarnya,” tegas Hiramasa. “Karena ini kemauanku. Dan satu hal lagi. Aku menyadari kita tidak punya klausa tentang kekasih di kontrak kerja kita. Antara kau dan aku, hubungan kita tidak lebih dari majikan dan pekerja. Sejak saat ini, ada kemungkinan kita berdua mulai menyukai orang lain.”


Mikuri berpikir, “Benar, Kalau itu terjadi, bagaimana dengan kesepakatan kita?”


“Aku akan menulis rancangannya. Kalau begitu, aku pergi kerja dulu,” ujar Hiramasa kemudian pergi lagi.


Untuk alasan tertentu, dengan kekuatan yang mengejutkan dia menutup pintu hatinya.



Karyawan bagian promosi meminta Hiramasa kerja lembur. Dan Hiramasa langsung mengiyakan saja tanpa protes. Meski ia pengantin baru, Hiramasa sama sekali tidak protes.


Rupanya ini diperhatikan oleh Kazami-san. Ia teringat obrolan dengan Numata-san di bar. Numata-san mengaku sempat mengintip kamar tidur di apartemen Hiramasa, dan menemukan ranjang serta bantalnya di sana hanya tunggal. Numata-san curiga, kalau Hiramasa dan Mikuri tidak benar-benar suami istri.



Kazami-san juga masih mendengarkan rumpian Numata-san dan Hino-san. Numata-san masih berpikir kalau pernikahan Hiramasa dan Mikuri adalah palsu. Numata bahkan berpikir kalau Hiramasa juga sama seperti dirinya, yang sama menyukai laki-laki. Tapi Hino-san tidak benar-benar menanggapinya. Ia berpikir itu Cuma lelucon saja.


Hiramasa pun bergabung untuk makan siang. Ia membuka makanan bekal yang dibuatkan oleh Mikuri untuknya.


“Bagaimana kalau kita pergi memetik anggur. Kau, istrimu dan keluargaku?” usul Hino-san pada Hiramasa. “Aku belum bertemu istrimu.”


“Tidak terimakasih,” tolak Hiramasa cepat.


“Kenapa? Kau tahu, anak-anak selalu terkena flu. Dua anakku terkena flu secara bergilir, tak ada jedanya. Apa kau tahu beratnya hal itu?” curhat Hino-san.


Kali ini Numata-san ikut nimbrung. Numata-san mengatakan kalau Mikuri adalah istri yang sempurna. Ditambah lagi dia cukup manis. Ini membuat Hino-san makin penasaran. Dan seperti biasa, Hiramasa mengelak habis-habisan.



“Rasanya tidak buruk, tetapi tidak terlalu enak juga. Sulit dikomentari,” komentar Yassan atas makanan bekalnya sendiri.


“Kau bisa saja memakannya sendiri, lalu apa masalahnya?”


Yassan pun mulai curhatnya. Ia sudah masak makan malam yang enak. Tetapi suaminya pulang tengah malam dan bilang kalau makanan itu tidak enak. Yassan benar-benar kesal dibuatnya. Tapi ia mengingatkan diri kalau suaminya itu bekerja untuknya dan putri mereka. “Aku tidak bisa mengeluh seperti ini. Lalu dia... selingkuh.”


“Itu baru perasaanmu, 'kan? Dia hanya berjalan bersama seorang gadis.”


“Tidak, dia sangat mencurigakan sampai-sampai membuatnya bersalah. Benar-benar bersalah!” Yassan mengingat-ingat masa sebelum ia menikah dan akhirnya menikah lalu punya anak. “Aku seharusnya tidak menyembunyikan fakta bahwa aku dulunya anak nakal (yankee). Kalau saja aku menakutinya dengan mendorongnya ke tembok, mungkin dia tak akan selingkuh.”



Ponsel Mikuri berbunyi. Ternyata dari ibu Hiramasa.


“Mikuri? Aku menerima plum dari orangtuamu. Aku mau berterima kasih pada mereka, tetapi baiknya apa, ya? Mereka bilang bisa memetik plum di kebun rumah mereka. Saat aku bilang aku iri, mereka mengirimkannya padaku,” ujar ibu mertuanya itu.


Mikuri heran, “Kapan?”


“Apa ada yang tidak disukai orangtuamu?”


Mikuri berpikir sebentar, “Tidak, tak ada yang khusus.”


“Terima kasih atas informasinya. Apa kau akur dengan Hiramasa?” sang ibu mertua pun penasaran.


“Ya, sangat akur.”


“Dia mungkin bukan orang paling peka, tetapi dia anak yang baik, jadi tolong jaga dia, ya. Dia selalu menjadi pelajar yang baik dan kurang luwes dengan perempuan. Kupikir dia akan menua tanpa pernah pacaran sekali pun. Aku benar-benar khawatir!” pesan sang ibu mertua lagi.



Seperti rencanya, Mikuri datang ke supermarket untuk mencari penanak nasi. Ia memilih beberapa penanak nasi yang dipajang di sana.


Kapasitas masak tiga gelas. Lima setengah gelas. Tak pernah pacaran selama 35 tahun. Panci tekan dan mengukus. Pot penanak nasi Binchotan. Tak pernah pacaran selama 35 tahun. Alih-alih benar-benar mencari penanak nasi, Mikuri justru memikirkan ucapan ibu mertuanya tadi, soal Hiramasa yang belum pernah pacaran selama 35 tahun.


Kalau dia benar-benar belum pernah berpacaran selama 35 tahun, kupikir Hiramasa tidak akan mendekati seorang gadis dengan perasaan hangat. Karena dia tipe orang yang memastikan semuanya sebelum bertindak, kupikir untuk saat ini dia tidak akan mendekatiku. Kurasa itu mungkin, bahwa dia tak berpengalaman.


Apa pendapatmu tentang perjaka dewasa? Menurutmu apa alasannya? Apa menurutmu dia pilih-pilih? Bagaimana dengan perempuan?


Tidak apa-apa, 'kan? Masing-masing orang berbeda. Menurutku itu tergantung orangnya, tetapi... Belakangan ini ada banyak juga orang dengan pendidikan yang bagus, gaji tinggi, dan tampang lumayan. Orang seperti itu mungkin terlalu sombong. Atau... mereka tidak mau mengambil langkah pertama. Karena mereka takut ditolak. Salah satu kenalanku, punya sisi kolot dalam dirinya. Dia bilang dia melindungi dan melindungi dirinya sendiri hingga 49 tahun. Dia sudah kehilangan momentum untuk mengatasinya.



Yuri-san ngamuk-ngamuk di kantornya. Salah satu proyeknya dalam masalah dan sekarang mereka harus membayar ganti rugi cukup besar. Saat itu salah satu perwakilan dari partner kerja yang mengurusi masalah itu datang.


“Aku kepala departemen, Tajima,” ujar pria itu.


Yuri-san yang tadinya hampir marah-marah akhirnya batal marah saat kenal dengan orang di depannya ini. Kereka ternyata teman semasa kuliah dan bergabung dalam klub yang sama juga. Alih-alih saling menyalahkan, pertemuan keduanya justru seperti reuni.


Tapi Yuri-san kembali ke mode kerjanya, “Tunggu sebentar. Apa kau mencoba lepas dari masalah ini karena kita kenal satu sama lain? Aku tak akan membayar sepeser pun!”



Hari sudah gelap saat Mikuri keluar dari supermarket dan membawa penanak nasi yang ia cari. Saat itu Kazami-san melihatnya dan menyapa Mikuri.


“Tsuzaki masih lembur,” ujar Kazami-san.


“Ya. Dia memberitahuku akan pulang telat,” Mikuri maklum.


Keduanya malah terlibat obrolan soal penanak nasi yang dicari Mikuri. Dari soal harga murah hingga pekerja asing.


Sementara itu, Hiramasa masih terus tekun di depan komputernya. Pekerjaanku hari ini akan selesai sebentar lagi. Sejak hari itu pikiranku tidak bisa tenang. Akan kuhapus. Akan kuhapus mimpi tak pantasku semalam. Hiramasa pun menghapus file di depannya. Tapi karena sambil melamun, yang terhapus ternyata terlalu banyak.


Tak lama lagi aku akan pindah ke tempat yang lebih besar dan menciptakan jarak antara Mikuri dan aku. Barulah aku bisa tenang. Masalahnya adalah bagaimana aku menghabiskan waktu sampai saat itu? Atau haruskah aku mengikutinya, dan menikmati kisah cinta palsu ini? Karena hal ini sebenarnya tidak akan pernah terjadi. Aku akan maju, dengan niat untuk menjadi pacarnya.



Hiramasa pulang terlambat. Tapi Mikuri sudah menyiapkan makan malam, dan mereka makan bersama. Mikuri pamer kalau ia sudah membeli penanak nasi yang dicarinya. Ia juga sudah menggunakannya untuk menanak nasi berbumbu. Mikuri mengatakan kalau ia fokus mencari yang sesuai fungsinya.


“Aku membahas itu juga dengan Kazami hari ini. Kami tak sengaja bertemu. Dia membantu membawakan penanak nasi. Dia ternyata enak diajak ngobrol, ya. Dia orang yang baik. Kazami bilang dia hanya memikirkan dirinya sendiri, tetapi kupikir alasannya anti pernikahan adalah karena dia tulus. Dia jadi begitu karena dia populer,” curhat Mikuri.


Tapi sepertinya Hiramasa tidak terlalu suka, “Kazami, kau terus membicarakannya. Terimakasih atas makanannya.” Hiramasa pun mengakhiri makan dan beranjak ke kamar.


Aku kelepasan. Aku sangat senang dia mengajakku bicara. Aku berlebihan. Mikuri menyesal sendiri.


Hiramasa juga merasakan hal yang serupa. Ia termenung di kamarnya. Saat aku mencoba mendengarkan seperti seorang pacar, aku tak tahan. Aku tidak bisa menikmati kisah cinta palsu atau apa pun. Tentu saja seseorang tanpa pengalaman apa-apa sepertiku tak bisa santai. Jika kau membandingkanku dengan orang yang populer, aku tak punya peluang.


Hiramasa pun menyalakan komputernya dan mulai menulis. Klausa 9: Jika Menemukan Kekasih (Atau Orang yang Disukai)


Namun kau tak bisa membandingkan kami. Bahkan jika Mikuri suatu saat mengundurkan diri dan menikah benar-benar dengan orang lain aku mungkin akan tetap sendiri.



Yuri-san minum bersama teman kuliahnya, Tsuchiya di bar. Ia terkejut saat tahu kalau Tsuchiya ini ternyata juga masih sendiri. Dan sekarang mereka bertemu sebagai kepala departemen. Mereka bicara soal pekerjaan dan soal hanya sedikit saja wanita yang bisa memiliki jabatan tinggi di perusahaan.


Obrolan mereka pun beranjak pada hal-hal lain. Yuri-san tampak nyaman bicara dan minum bersama Tsuchiya-san. Tapi semuanya berubah saat Yuri-san merasakan tangan Tsuchiya-san meraba pahanya. Ia paham maksud tanda itu. Tanpa banyak bicara, Yuri-san pun meletakkan minumannya lalu beranjak pergi.



Mikuri membaca pesan dari Yuri-san yang mengajaknya jalan-jalan di hari Minggu. Tapi Yuri-san mengirim pesan lagi dan mengatakan batal, karena ia baru ingat Mikuri masih pengantin baru.


Saat itu Hiramasa keluar dari kamarnya, “Hari Minggu ini, Hino, yang tak bisa datang waktu itu, ingin tahu apa kita bisa ikut keluarganya memetik anggur. Aku akan memberi uang lembur. Bagaimana?”


Tanpa banyak bicara, Mikuri langsung setuju saja, karena ia tidak jadi keluar bersama Yuri-san.


“Kalau begitu kau ikut, ya. Dia selalu memintaku untuk mempertemukannya denganmu, aku tidak bisa menyelesaikan pekerjaan. Lalu, ini klausa tambahan dari kontrak kerja kita,” Hiramasa menyerahkan hasil ketikkannya tadi.


Jika menemukan kekasih (atau orang yang disukai), Untuk menjaga citra di publik, interaksi dengan kekasih sebaiknya tidak ketahuan. Interaksi dengan kekasih sebisa mungkin dilakukan di tempat yang tak terlihat, untuk menghormati kedua belah pihak. Kedua pihak boleh memberitahukan kondisi kerja ini pada sang kekasih, asal dilakukan dengan persetujuan kedua pihak. Jika ingin menikah dengan sang kekasih kontrak kerja ini akan langsung dibatalkan. Mikuri membaca tambahan klausa dalam kontrakanya dengan serius.


Mikuri menyerahkan kembali pada Hiramasa dan mengatakan tidak masalah. Hiramasa lega dan berjanji akan menambahkannya dalam kontrak kerja mereka.


“Lalu, tentang pindah rumah... Aku memilih beberapa dari Internet,” Mikuri menyerahkan hasil pencariannya.


“Hari Senin aku akan mencari di agen perumahan untuk pilihan yang lebih baik,” ujar Mikuri lagi.


“Aku akan pergi besok. Karena besok Sabtu,” ujar Hiramasa.


“Kalau begitu... Aku ikut. Meski besok libur dan di luar jam kerja, tetapi aku penasaran dengan tempat kerja baruku. Dapur misalnya. Bahkan jika hanya proses pindah rumah, kupikir lebih baik kita pergi berdua!” bujuk Mikuri lagi.


BERSAMBUNG


Pictures and written by Kelana


Kelana’s note :


Mereka berdua ini, Mikuri dan Hiramasa kebanyakan berpikir dan menebak-nebak isi pikiran satu sama lain. Dan pada akhirnya rawan salah paham. Tapi untungnya, Mikuri pengertian banget sama Hiramasa. Ya meski kadang oon-nya juga kumat.


Drama satu ini emang keren abis sih. Nggak heran, rating-nya dari pekan ke pekan terus saja naik. Uuuuu ... Hiramasa itu kalau senyum lumayan manis lho, macam om-om manis. #ehe

Bening Pertiwi 14.16.00
Read more ...

SINOPSIS dorama Married as Job episode 02 part 2. Halo semua. Duh, maaf banget ya, postingan kali ini agak terlambat. Kemarin ada kesibukan yang nggak bisa ditinggalkan. (sekarang juga masih juga sih), Tapi ini sudah nyempatkan buat nulis. Selamat membaca ^_^


Agar bisa tetap tinggal dan tidak ikut orang tuanya pindah ke pinggiran, Moriyama Mikuri mengusulkan nikah kontrak dengan bos-nya, Tsuzaki Hiramasa. Mereka menikah secara de facto. Meski yang diketahui kedua keluarga adalah pernikahan normal. Mereka memutuskan tidak akan mengadakan pesta pernikahan. Lalu,bagaimana kehidupan Mikuri setelah menikah dan resmi pindah ke apartemen Hiramasa?



“Bagaimana? Minggu kedua pernikahanmu,” tanya Kazami-san.


Hiramasa berpikir. Dua minggu ini mereka ... makan pagi bersama. Dibuatkan bekal makan oleh Mikuri. Semuanya normal. “Aku masih merasa sedikit gugup, tetapi anehnya terasa normal. Jika melihat ke belakang, aku bersyukur aku terlalu lelah, dan bisa tidur tanpa memikirkan apa pun.”


Pertanyaan soal pernikahan pun kembali mampir pada Kazami-san. Apakah sekarang ia ingin menikah? Tapi Kazami-san tetap saja masih belum berminat menikah.



Sementara itu, Hino-san justru merumpikan soal pernikahan Hiramasa, bersama Numata-san. Numata-san berpikir kalau pernikahan itu Cuma pernikahan bohongan saja.


Hino-san pun berpikir ulang. Ia ingat kalau Hiramasa pernah bilang, menikah adalah hal yang mustahil baginya. Tapi sekarang Hiramasa justru menikah. Dan pasangannya sepuluh tahun lebih muda darinya. Hino-san pun pernah meminta agar Hiramasa memberikannya foto bersama istrinya, tapi Hiramasa menolak. Ini membuat kedua rekan kerjanya itu makin curiga.



Hino-san dan Numata-san pun berpikir akan datang ke rumah Hiramasa. Ide yang langsung ditolak oleh Hiramasa.


“Aku mau melihatmu malu-malu di depan istrimu...” goda Hino-san


“Aku tidak begitu, dan itu tidak akan mungkin terjadi!” elak Hiramasa cepat.


“Itu menjelaskan segalanya. Istrimu tak pernah ada. Semuanya hanya khayalannya. Kenyataannya, dia tidak ada,” serobot Numata-san, menarik kesimpulan. Mereka pun langsung berimajinasi aneh-aneh soal Hiramasa.


“Kalian salah paham! Dia ada. Secara fisik dia nyata!” Hiramasa berusaha menegaskan.


“Dalam bentuk tiga dimensi?”


“Tiga dimensi. Dia juga bisa bicara.”


“Pepper?”


”Bukan Pepper. Dia manusia biasa!” Hiramasa mencoba menegaskan lagi.


“Tapi kau tidak seperti pengantin baru,” desak Hinio-san lagi.


Setelah terus menerus didesak dan dipojokkan, Hiramasa pun tidak punya pilihan. Ia akhirnya setuju, kalau rekan-rekan kerjanya ini datang berkunjung ke apartemennya. Hanya Hino-san dan keluarganya saja. Hiramasa tidak mau ambil resiko mengajak Numata-san dan Kazami-san juga.



Hiramasa pulang ke rumahnya dan mengatakan rencana berkunjung rekan kerjanya ini pada Mikuri, Sabtu jam 5 sore. “Maaf mengambil hari liburmu. Akan kuberikan uang lembur. Namun, aku harus terus mengawasi Numata.”


Mikuri mengerti, “Dia orang yang jeli, ya.”


“Aku belum memastikannya sendiri, tetapi orang-orang berkata Numata itu gay.”


“Oh, Sudut pandang laki-laki dan perempuan,” sambung Mikuri.


“Kupikir dia sangat jeli karena dia memiliki keduanya. Hmm, tetapi aku bertanya-tanya kenapa dia sangat curiga. Dia bilang aku tidak terlihat sedang jatuh cinta. Aku tidak jatuh cinta, jadi tentu saja tak terlihat seperti itu. Jadi bantahanku tepat sasaran. Jika pasangan yang menikah terlihat bahagia setiap hari, itu akan menghambat kehidupan mereka, dan tidak ada hal yang lebih buruk dari hal itu untuk tubuh.”


Mikuri menganggguk-angguk mengerti, “Oh, aku jadi ingat. Kau bilang sebelumnya... Apa itu lajang profesional?”


Hiramasa membenarkan letak kacamatanya, “Sejujurnya, ketenteraman. Tidak lebih dan tidak kurang dari itu.”


Tapi Mikuri tidak benar-benar paham, “Ketenteraman. Kedengarannya bagus.”



Ketenteraman. Memilih ketenteraman daripada hasrat. Ini adalah rahasia menjadi lajang profesional. Memiliki Mikuri sebagai pekerja inap, adalah keputusan sangat ekstrem yang kuambil. Akan tetapi, dia pekerja yang baik. Terima kasih atas perhatiannya pada nutrisi, kulitku berada dalam kondisi yang baik. Aku juga benar-benar terbebas dari hal-hal seperti pekerjaan rumah tangga dan belanja. Dan aku bisa menghabiskan waktuku melakukan hal yang kusukai. Ini benar-benar efisien.


Hari Sabtu, nyaris jam lima sore. Hiramasa sudah selesai bersiap. Sementara Mikuri masih sibuk menyiapkan makanan untuk tamu mereka.


“Aku akan menjemput Keluarga Hino,” pamit Hiramsa kemudian.



Setiap hari stabil dan memuaskan. Tenteram setiap hari. Ini tepat seperti... Hiramasa menunggu di tempat janjian bertemu. Tapi ternyata yang muncul adalah ... Kazami-san dan Numata-san.


“Salah satu anak Hino sakit, jadi dia tidak bisa datang. Dia tidak enak jika mendadak membatalkan, jadi dia meminta kami untuk menggantikannya. Dia belum memberitahukanmu?” ujar Kazami-san.


“Aku bilang padanya aku tidak punya waktu, tetapi dia memohon padaku,” sambung Numata-san.


Syok dan panik karena situasi tidak terduga, Hiramasa lalu mengeluarkan ponselnya. Ia mengirimkan alamat apartemennya pada Numata-san dan Kazami-san lalu ... kabur duluan. “Silakan gunakan waktu sebanyak yang kalian butuhkan!”


Hiramasa berlari menuju apartemennya. Sampai di rumah, ia panik memberi tahu Mikuri kalau Numata-san yang akan datang. Mikuri pun ikutan panik.


“Orang dengan intuisi bagus yang tadi kuceritakan. Kita setidaknya harus menyembunyikan barang-barang yang mencurigakan. Sembunyikan surat-surat dengan nama Moriyama!” ujar Hiramasa.


Mereka berdua pun bahu membahu membereskan barang-barang yang mungkin mencurigakan. Sampai kemudian pada ... futon tidur Mikuri yang ada di lantai. Tadinya Mikuri berpikir itu dibiarkan di sana saja, agar anak-anak Hino-san yang datang bisa berbaring di sana. Tetapi karena sekarang tamu mereka berubah, maka futon itu harus segera disembunyikan. Bagaimanapun akan bahaya kalau para tamu itu tahu Hiramasa dan Mikuri tidur terpisah. Heboh, keduanya pun berusaha menyembunyikan futon di dalam lemari perlengkapan.



Tepat ketika semua selesai, bel berbunyi. Dan Numata-san datang bersama Kazami-san, terengah-engah. Rupanya mereka mengikuti Hiramasa yang juga berlari puluang duluan.


“Selamat datang! Aku istri Tsuzaki, Mikuri. Silakan masuk,” sapa Mikuri.


Numata-san membawakan mereka anggur. Keduanya pun dipersilahkan masuk.


“Jadi ini rumah satu kamar. Dan ini kamar tidurnya, ya. Bagaimana kalau aku mengintip?” Numata-san keburu penasaran.


Tapi Mikuri sigap menghalanginya hingga Numata-san pun batal melihat masuk.



“Wah, kau memasak banyak sekali!” puji Kazami.


“Ini hanya masakan sederhana,” elak Mikuri.


“Kau benar, ini masakan sederhana. Ini dari Cookpad, 'kan?” ujar Numata-san setelah memerhatikan masakan Mikuri. Ia pun memunculkan aplikasi cookpad pada ponselnya. “Tada! Cookpad. Catatan masakanku.”


Mikuri memerhatikan dan akhrinya paham, “Anda... Heartful Baldie?”


“Benar. Cookpad itu hebat, ya?”


“Oh, Anda sudah memasak banyak!” puji Mikuri.


“Mudah dan enak, itu yang terbaik,” sambung Numata-san lagi. Tanpa terduga keduanya pun nyambung karena aplikasi resep masakan di ponsel.


“Aku tidak tahu apa cocok dengan selera Anda.”



Setelah makan-makan, Mikuri masih melanjutkan menu sebelumnya ditemani Kazami-san. Sementara itu Hiramasa menemani Numata-san minum di sofa.


“Jadi dia hidup. Dia bukan Pepper. Jadi dia yang berkata "Kalau begitu, kenapa tidak menikahiku?" 'kan?” pertanyaan Numata-san yang diiyakan oleh Hiramasa. “Lamaran terbalik. Seperti khayalan.”


“Hubungan kami seperti hubungan bisnis karena mencocokkan penawaran dan permintaan,” ujar Hiramasa-san, nyaris membuka rahasianya.


Tadinya Numata-san bingung, tapi akhirnya ia pun memahaminya, “Singkatnya, kalian saling membutuhkan. Itu bagus. Meski aku sedikit menyesalkannya.”


“Kenapa?” Hiramasa heran.


“Karena aku tertarik padamu,” ujar Numata-san. Tapi melihat wajah kaget Hiramasa, Numata-san buru-buru meralat ucapannya, “Bercanda, hanya bercanda.”



“Kalau begitu, Kazami-san, kau tidak akan pernah menikah?” Mikuri masih melanjutkan membuat makanan penutup, ditemani Kazami-san.


“Saat ini aku tidak menginginkannya. Merepotkan. Membagi waktumu dengan orang lain itu menyebalkan. Singkatnya, aku egois,” Kazami-san mengatakannya dengan sangat enteng.


Membagi waktumu...Mungkin bagi Anda, perasaan pasanganmu penting juga? Karena Anda menghormatinya, tidak hanya untuk Anda, dengan cara yang sama Anda tidak mau mengambil waktunya. Kedengarannya egois, tetapi mungkin saja sebenarnya Anda bermaksud baik. Oh, maaf, aku terbiasa mempelajari psikologi,” Mikuri sadar sudah terlalu banyak bicara.


“Tak apa-apa. Sangat menarik. Tidakkah itu membuatmu khawatir? Setelah menikah Anda mempunyai lebih sedikit waktu pribadi, 'kan?”


Mikuri tidak terlalu serius menanggapinya, “Kami sangat jelas dalam hal waktu. Makanya aku harus bekerja keras supaya sepadan dengan gajiku.” Tapi ia kemudian sadar kalau ucapannya ini akan membuat salah paham. Mikuri pun meluruskan maksudnya, “Itu kiasan. Dalam kasus kami, jika masing-masing sudah selesai melaksanakan tugas, kami bebas melakukan apa yang kami inginkan. Tugasku adalah bersih-bersih. Aku tidak ikut campur atau melarang-larangnya.”


Bicara dengan Mikuri membuat Kazami tanpa sadar memberikan pujian pada Mikuri, membuat wajah Mikuri pun bersemu merah.



Makanan penutup selesai disajikan. Numata-san mengomentarinya dengan mengatakan kelihatannya enak. Ia pun menggoda Hiramasa dan mengatakan kalau Hiramasa cemburu lantaran Mikuri mengobrol dengan Kazami-san.


“Aku tidak cemburu,” elak Hiramasa cepat. Tapi ini justru membuat Numata-san dan Kazami makin curiga. Ia pun buru-buru meralat ucapannya. Tidak punya alasan bicara lain, Hiramasa pun mengalihkan isi pembicaraan, masih dengan canggung, “Ini sudah cukup malam, jadi silakan bawa pulang kue-kue ini. Sampai di sini saja, ya.”


Tapi di luar, hujan turun dengan derasnya. Lengkap dengan petir yang menyambar.



Sementara itu, Yuri-san menikmati malam minggu sendirian di apartemennya. Di tangan, ia menggenggam gelas berisi anggur sambil memandangi petir yang berkilatan di luar.


“Cantik sekali!”



Hujan deras disertai petir turun malam itu. Numata-san menarik kakinya ke atas kursi dan bergumam tidak jelas. Ia kemudian punya ide agar dirinya dan Kazami menginap saja di apartemen Hiramasa.


“Tidak apa-apa, 'kan?” bujuk Numta-san lagi.


Kazami-san tidak bisa mengatakan apapun lagi. Dan ini adalah masalah besar bagi Mikuri dan Hiramasa. Bagaimana mereka tidur malam itu?



Hiramasa lalu menyeret Mikuri masuk ke dalam kamarnya.


“Mereka kita persilahkan tidur di ruang tamu, dan kita tidur berdua di kamar ini...” usul Mikuri.


Tapi Hiramasa mengelak dengan cepat. Masalah mereka bukan soal kamar, tapi ranjang di dalam kamar itu yang Cuma ada satu.


“Apa kau mau mencobanya?” usul Mikuri. Maksudnya, tidur bersama di satu ranjang.


Hiramasa kaget. Mikuri buru-buru meralatnya dan mengatakan hanya bercanda. Ia pun mengusulkan agar dia saja yang tidur di lantai, sementara itu Hiramasa tidur di kasur. Tapi Hiramasa tidak setuju. Mereka justru berdebat soal hal tidak penting ini.


“Aku seharusnya menyembunyikan kasurku di sini!” keluh Mikuri.


Tapi Hiramasa tiba-tiba ingat sesuatu, “Numata! Bisa gawat jika kita membiarkannya dengan Kazami sendirian. Di mana-mana ada masalah!”



“Kenapa kau tidak tidur dengan istrimu?” tanya Numata-san saat melihat Hiramasa sudah bersiap tidur. Mereka bertiga pun tidur di ruang tamu.


“Yah, kupikir sesekali akan menyenangkan bisa ngobrol antar sesama laki-laki,” Hiramasa pun melepas kaca matanya, bersiap tidur.


Numata-san setuju dengan usul Hiramasa. Tapi belum mulai ngobrol, Hiramasa sudah tertidur lebih dulu.


“Aku bingung kenapa dia di sini,” komentar Kazami-san.


“Dia khawatir aku akan melakukan sesuatu yang buruk padamu. Dia pikir aku mengejar siapa pun asal dia laki-laki. Jika kau menyerang seseorang yang tidak memiliki niat demikian, itu termasuk kejahatan, tanpa pandang jenis kelamin. Benar, 'kan? Enaknya menjadi seseorang yang mencintai secara normal,” curhat Numata-san akhirnya.


“Aku normal, tetapi aku tidak melakukannya, kau tahu,” komentar Kazami-san lagi. Ia pun lalu mengambil tempat di sebelah Hiramasa.


Tidak tahu itu menakutkan. Sejauh ini, sudah berapa orang yang kusakiti, dan seberapa dalam aku menyakiti mereka. Bahkan mungkin Mikuri, setelah terluka karena kata-kata dan perbuatan sembronoku, mungkin menyembunyikan perasaannya. Ingin mengatakannya tetapi tidak bisa. Hiramasa belum benar-benar tertidur. Ia justru memikirkan Mikuri.



Sementara itu, dalam kamar.


Mikuri tidur di ranjang Hiramasa. Tapi, rupanya Mikuri kesulitan tertidur. Tiap kali membuka mata, Mikuri merasa melihat seseorang di sampingnya, di ranjang itu. Dan Mikuri pun terus memikirkannya.



Malam berikutnya ...


Mikuri dan Hiramasa makan bersama seperti biasa. Tapi kali ini mereka merasa ini berbeda. Lantaran kemarin Numata-san dan Kazami-san bertamu cukup lama, karena menginap juga.


“Ini sup miso sisa sarapan buatan Numata. Dan pasta yang dia buat saat makan siang. Saus telur ikan kod dengan wasabi itu enak,” ujar Mikuri.


Hiramasa sepakat dengan apa yang dikatakan Mikuri, “Jika dia memasak makan malam juga,dia akan benar-benar memenangkan perutku, dan aku akan membiarkannya menginap untuk dua malam.”


“Aku mau tidur nyenyak malam ini,” ujar Mikuri, gembira.


“Kau tidak bisa tidur semalam? Apa ada yang mendengkur?” Hiramasa tampak khawatir.


“Tidak, tak ada yang khusus,” Mikuri urung menceritakannya.


“Apa kau mengkhawatirkan sesuatu dan tidak bisa tidur?” tanya Hiramsa lagi.


“Tolong jangan memikirkannya,” elak Mikuri cepat.


Hiramasa pun meletakkan sumpitnya untuk bicara serius, “Mikuri, aku memikirkan kejadian semalam. Ada hal yang tak bisa dipecahkan jika aku tak tahu. Aku harus lebih memperhatikan sekelilingku. Tempat kerja tidak dibangun dari kerja keras pekerja saja. Seorang atasan juga harus bekerja keras. Sebagai atasan, aku mau menciptakan lingkungan kerja yang memudahkan pekerjaanmu, Mikuri. Jika ada yang mengganggu pikiranmu, jangan sungkan dan katakan semuanya padaku.”


Mikuri tersenyum mendengar ucapan Hiramasa, “Terima kasih banyak. Tapi, alasan aku tidak bisa tidur adalah karena aku minum terlalu banyak kopi. Maaf telah membuatmu khawatir.”



Numata-san dan Kazami-san nongkrong di bar, “Kita sudah bersama selama tiga puluh jam.”


“Ya, memangnya ada masalah?” Kazami-san tidak menanggapinya dengan serius.


“Hidup hanyalah sebuah cara kuno untuk menghabiskan waktu. Dan saat aku menghabiskan waktu, aku melihatnya, saat kita mau pulang. Di kamar tidur di rumah Tsuzaki...” sebelum benar-benar pulang, Numata sempat mengintip ke kamar Hiramasa dan menemukan kalau di kamar itu Cuma ada ranjang tunggal dan bantal tunggal. “Mereka sepertinya tidak tidur bersama di sana. Aku bertanya-tanya apakah mereka benar-benar suami-istri?”



Hiramasa kembali ke kamarnya. Sementara itu Mikuri menggelar futonnya seperti biasa di ruang tamu.


Aku tidak bisa mengatakannya. Aku benar-benar tidak bisa mengatakannya. Aku tidak akan mengatakannya. Semalam, Saat aku pikir itu adalah ranjang tempat Hiramasa tidur setiap malam, kehadirannya, Aku seperti dipeluk olehnya. Seakan-akan dia tidur di sebelahku.


Jadi alasan sebenarnya Mikuri tidak bisa tidur kemarin malam adalah, karena ia seolah melihat Hiramasa ada di sebelahnya.



Sementara itu, di kamar. Hiramasa ...


Baunya harum. Oh, iya! Mikuri tidur di sini semalam. Seakan-akan Mikuri ada di dekatku.... Seakan-akan dia tidur di sebelahku ...


Dan saat Hiramasa melihat ke sebelah, ia seolah melihat Mikuri tidur di sampingnya. Hiramasa kaget. Ia pun buru-buru bangun, mencoba menghilangkan aroma wangi dengan penghilang debu. Dan itu hanya sia-sia. Hiramasa mencoba meyakinkan dirinya kalau ia hanya aroma saja dan mencoba kembali terpejam. Tapi lagi-lagi itu juga gagal.


Sementara itu di ruangan sebelah. Di balik futonnya sendiri, Mikuri juga mencoba untuk tidur. “Kasurku sendiri....Terasa nyaman....”


Hanya hari itu aku tidak sadar, bahwa aku lupa mengganti seprai Hiramasa. Dan fakta bahwa rasa tidak nyamannya berlanjut sepanjang malam, aku sama sekali tidak menyadarinya. Namun aku tidak tahu, kalau hal ini akan menjadi masalah besar!


BERSAMBUNG


Pictures and written by Kelana


Kelana’s note :


Drama ini sudah tayang sampai episode delapan, sodara-sodara. Sabar ya, menunggu sinopsisnya, #ehe. Dan makin banyak episodenya, Hiramasa ini alias om Gen, makin lovable banget. Meski dia nggak cakep2 amat, tapi senang aja ngelihatnya. Nggak bikin bosan. Mungkin kalau di korea, ala-ala om Cha Tae Hyun ya. Nggak cakep2 amat, tapi nggak bikin bosen. #kemudianNaDilemparSendalFans kekekeke. Dan lagi, ternyata lagu-lagunya om Gen lumayan enak lho. hehe

Bening Pertiwi 12.26.00
Read more ...