Sinopsis My High School Business episode 01 part 2. Namanya Narumi Ryosuke (Sakurai Sho). Dia adalah karyawan di sebuah perusahaan eksport-import, Kashimatsu Bussan. Karirnya cemerlang saat menjadi kepala cabang. Ia pun berhasil menyelamatkan cabang perusahaan yang nyaris bangkrut. Sayangnya semua berubah.

Di hari pertamanya menjadi kepala sekolah, Narumi-sensei sudah dibuat pusing dengan respon para guru yang sama sekali tidak menganggapnya. Apalagi mereka tampak hanya menjalankan kewajiban mengajar saja, tapi tidak benar-benar sadar dengan situasi sekolah. Sebuah panggilan telepon berbunyi saat Narumi-sensei berada di ruang kesehatan, dari atasannya.


“Direktur senior Kagaya, saya Narumi,” sapa Narumi-sensei saat tiba kembali di kantor.


“Sungguh sayang, Narumi. Kalau kau memihakku daripada Yagi, ini mungkin tidak akan terjadi padamu. Aku yang memutuskan kau dikirim ke Keimeikan. Wajar, karena kau berhasil menyelamatkan cabang Hirosaki. Kita mungkin saingan, tapi aku mengakui hasil pekerjaanmu,” tapi kata-kata manis direktur Kagaya sama sekali jauh dari yang sebenarnya. Ia sama sekali tidak memuji Narumi-sensei.


Direktur Kagaya tampak tidak suka dengan Narumi. Apalagi dia memiliki prestasi menyelamatkan cabang Hirosaki. Divisi pendidikan adalah divisi yang sebenarnya ingin dihilangkan oleh direktur Kagaya. Tapi presdir memerindahkan akuisisi sekolah. Tujuan utama Direktur Kagaya sebenarnya adalah ingin membuat sekolah itu makin jauh terperosok hingga ia punya alasan untuk menghapuskan divisi pendidikan.


Dari direktur Kagaya ini juga, Narumi tahu kalau direktur Yagi (supervisor/atasannya sebelumnya) berada di rumah sakit. Dan dia juga sudah mundur dari proyek yang selama ini tengah dikerjakan.


“Reputasi sekolah berefek juga pada image perusahaan. Tidak diijinkan ada skandal! Bullying, pencurian dan perkelahian! Masalah apapun akan jadi tanggungjawabmu. Kau mengerti, kepala sekolah?!” ancam direktur Kagaya pada Narumi.


Narumi tidak benar-benar paham dengan tujuan sebenarnya atasan barunya ini. Keluar dari ruangan direktur Kagaya, Narumi bertemu dengan beberapa rekannya. Tapi respon mereka tidak terlalu baik. Seolah Narumi sudah bukan lagi bagian dari perusahaan. Tapi Narumi tidak terlalu menanggapinya. Ia pamit karena buru-buru ingin mengunjungi mantan atasannya di rumah sakit.

“Ah, Narumi-kun... kau tidak parlu datang,” ujar direktur Yagi saat tahu kalau Narumi-sensei yang berkunjung. “Aku tidak sengaja terjatuh dan tulang pevisku patah. Kalau aku berniat bunuh diri, aku pasti sudah terjun saat kereta datang,” ceritanya.


“Aku lega,” komentar Narumi-sensei.


“Bagaimana denganmu? Sekolah pasti berat.”


“Semuanya masih belum biasa. Masih sulit,” cerita Narumi-sensei.


“Aku yakin kau bisa melakukannya.”


“Aku tidak di sini karena berhasil menyelamatkan cabang Hirosaki. Aku dibuang di Keimeikan karena direktur senior Kagaya membenciku.”


Tapi direktur Yagi tidak berpikir begitu, “Aku pikir karena ada alasan lain. Kau ambil pelatihan mengajar di universitas dan bisa mengajar matematika kan?”


“Ah, itu asuransi kalau-kalau aku tidak mendapat pekerjaan. Aku tidak berniat menjadi guru,” ujar Narumi-sensei pula.


Direktur Yagi pun membahas soal ayah Narumi yang seorang guru dan meninggal saat Narumi masih SMA. Dia berpikir itu juga jadi alasan direktur Kagaya memilih Narumi sebagai kandidat terbaik untuk menangani Keimeikan.

Seperti biasa, Narumi-sensei memulai hari dengan diskusi bersama wakil kepsek Kashiwagi-sensei. Rencana untuk menambah jam pelajaran jelas—untuk meningkatkan kualitas sekolah—tidak disetujui arena akan mengurangi jam ekstrakurikuler. Belum lagi jam remidi untuk siswa yang belum lulus. Para guru jelas menolak ide ini.


“Para guru alergi kerja keras?!” Narumi-sensei tidak paham.


“Begini, kepsek. Guru-guru itu sibuk. Orang nomer satu di Keimeikan adalah kepala sekolah. lalu ada wakil kepsek yang juga mengurusi kesiswaan dan administrasi lainnya. Di bawahnya ada guru-guru, jenjang karir dan pengaturan data ... “ wakil kepsek Kashiwagi-sensei menjelaskan panjang lebar tugas-tugasnya.


Narumi-sensei mencoba memahaminya, “Jadi, menurutmu bagaimana situasi Keimeikan sekarang?”


“Tidak terlalu baik ... “


Obrolan mereka terhenti saat terdengar keributan di lorong depan kelas. Rupanya ada siswa yang berkelahi dan siswa lain yang mencoba menghentikan. Tapi tertanya situasi makin kacau, bahkan guru-guru yang mencoba menghentikan pun ikut terlibat.

Setelah perjuangan yang tidak mudah, akhirnya perkelahian itu pun berhasil dihentikan. Narumi-sensei dan Mashiba-sensei bicara di ruangan. Berdasarkan informasi, Mitaka mengaku kalau ia dipukul tiba-tiba. Padahal ia Cuma bertanya apakah ayah si pemukul (Kase) baik-baik saja. Di hari lain, ayah Mitaka yang sedang cek kesehatan di rumah sakit tidak sengaja melihat ayah Kase berada di kursi roda. Mitaka merasa khawatir dan ia Cuma bertanya soal keadaan ayah Kase. Tapi Kase malah memukulnya.


Narumi-sensei mulai mengomel. “Ini buruk! Kita tidak butuh skandal!” keluh Narumi-sensei.


“Kita harus mendengarkan dari kedua belah pihak. Anak SMA masih tetap anak. Kadang mereka sulit untuk mengekspresikan perasaannya,” ujar Mashiba-sensei menenangkan. “Serahkan padaku.”


“Apa masih sakit?” tanya Mashiba-sensei pada Kase-kun.


“Kau yang mulai perkelahian kan? Kenapa kau memukulnya?!” desak Narumi-sensei tidak sabar.


Tapi Mashiba-sensei melerainya, “Mitaka-kun bilang kalau dia khawatir soal ayahmu. Apa ayahmu terluka? Dan kau tidak ingin dia tahu?”


“Pendarahan otak,” ujar Kase. “Dia kolaps bulan lalu dan dokter berhasil menyelamatkannnya. Tapi dokter bilang, dia harus berhenti bekerja selama satu tahun. Tapi ... itu artinya aku harus melupakan soal universitas kan? Maksudku, kalau ayahnya tidak bisa bekerja selama satu tahun, aku tidak mungkin kuliah. Dia juga akan kehilangan pekerjaan.”


“Apa yang dikatakan ayahmu?” tanya Mashiba-sensei lagi.


“Aku masih belum bicara padanya,” aku Kase-kun lagi.


“Dan ibumu?”


“Dia bilang jangan khawatir dan memintaku untuk tetap kuliah. Tapi itu tidak mungkin kan? kami tidak punya pemasukan.”


Narumi-sensei perlahan mengerti. Ia meminta Kase-kun untuk tidak menyerah soal kuliah. Karena dia adalah salah satu siswa terbaik di kelas unggulan, tentu dia bisa kuliah. Narumi-sensei mengatakan kalau Kase bisa mengambil pinjaman siswa untuk kuliah.


“Jarang-jarang dapat telepon darimu, kakak,” ujar adik perempuan Narumi-sensei di seberang. (I love his interaction with his family)


“Orang dewasa yang baik juga harus telepon rumah,” ujar Narumi-sensei. Ia bertanya soal ibunya. Saat itu ibunya tengah bermain dengan cucunya, anak dari adik perempuan Narumi-sensei.


“Apa kau makan dengan benar? Makan makanan bergizi kan?” pertanyaan khas seorang ibu pada anaknya.


“Aku baik-baik saja.”


“Bagaimana pekerjaan? Sibuk?”


“Sibuk seperti biasa. Aku pindah departemen,” cerita Narumi-sensei pula.


“Aku tidak tahu banyak soal bisnis. Tapi jangan bekerja terlalu keras ya,” pesan ibunya.


“Saat SMA, aku memutuskan untuk kuliah kan?” tanya Narumi-sensei tiba-tiba.


“Nilaimu tidak terlalu buruk. Dan gurumu merekomendasikanmu untuk kuliah.”


“Guruku?” Narumi-sensei tidak yakin.


“Iya, gurumu. Kau pasti juga akan jadi guru yang maik seperti ayahmu. Meski kau tidak memilih jalan itu. Kenapa kau bertanya?” ibu Narumi-sensei heran.


Obrolan dengan ibunya itu rupanya memberikan ide pada Narumi-sensei. Pada hari berikutnya, ia mengumpulkan para guru. Tapi Narum-sensei dibuat kesal karena para guru terlambat datang dari jam yang telah ditentukan.


“Sudah kukatakan, para guru itu sibuk,” ujar wakil kepsek Kashiwagi.

Satu per satu para guru akhirnya datang. Mereka kemudian duduk di kursi yang telah disiapkan. Narumi-sensei belum memulai rapatnya. Tapi para guru sudah mulai mengeluh soal kesibukan dan minta agar rapat singkat saja. Dan seperti biasa, mereka berpikir kalau Narumi-sensei akan kembali bicara soal uang.


“Ini soal pinjaman siswa,” Narumi-sensei memulai rapatnya.

Narumi-sensei kemudian membahas obrolannya bersama Mashiba-sensei dan Kase yang kemarin berkelahi. Saat ini Kase tengah mengalami kesulitan keuangan karena ayahnya tidak bekerja padahal ia ingin masuk universitas. Narumi-sensei berpikir agar sekolah bisa membantu Kase-kun ini untuk mendapatkan pinjaman siswa.


“Pinjaman siswa berarti hutang. Ini harus dibayarkan setelah lulus nanti. Tapi kau tidak mengatakan pada Kase-kun, kemarin.”


Obrolan berputar soal uang. Jadi, di tahun sebelumnya dan sebelumnya lagi, sejumlah siswa juga sudah mendapatkan pinjaman siswa untuk masuk ke universitas. Tapi mereka tidak diberitahu kalau pinjaman itu artinya hutang yang harus mereka bayar setelah lulus nantinya. Dan sekolah tidak memberitahukan hal itu.


Narumi-sensei berpikir agar anak-anak yang akan mengambil pinjaman siswa ini juga diberitahu konsekuensinya karena ia berpikir untuk meningkatkan jumlah anak yang masuk universitas. Para guru setuju agar lebih banyak siswa Keimeikan masuk universitas. Tapi mereka tidak setuju dengan pemberitahuan konsekuensi pinjaman siswa, karena justru akan membuat siswa tidak berani mengambil pinjaman dan tidak masuk universitas. Jelas Narumi-sensei tidak sepakat dengan hal ini. Ia berpikir kalau anak-anak juga harus tahu realita di masyarakat dan masa depan mereka.


Tapi lagi-lagi para guru membawa-bawa soal perusahaan induk sekolah mereka. Narumi-sensei dianggap melakukan semua ini untuk sekolah, semata-mata karena bisnis.


“Kita harus mengembalikan keadaan Keimeikan dalam situasi finansial yang baik. Jika tidak, Kashimatsu Bussan (perusahaan induk mereka) akan menjual atau menutup sekolah. Aku ingin kalian memahami krisis ini juga ... “ keluh Narumi-sensei pula.


“Itu benar.”

“Aku tahu, ini tidak akan mudah untuk memperbaiki sekolah. Mengatasi masalah biaya saja belum cukup. Untuk mengubah sekolah, kita harus mengubah siswa. Dan untuk melakukan itu, lebih dulu kita harus mengubah para gurunya. Guru-lah masalah pertama yang harus diatasi dulu! Tolong lebih peduli soal siswa. Biaya sekolah siswa digunakan untuk membayar gaji guru. Tugas guru untuk menyiapkan siswa dengan baik agar siap ke dunia luar. Bagi guru, siswa adalah klien dan produk. Orang tualah yang membayar biaya sekolah siswa. Mereka pemilik saham. Sudah sewajarnya kita bertanggungjawab terhadap klien, produk dan pemilik saham. Tidak ada bedanya dengan perusahaan!”


Tapi ucapan Narumi-sensei ini justru membuat para guru makin kesal. Mereka tidak terima kalau sekolah dianggap seperti bisnis. Mereka juga berpikir kalau kedatangan Narumi-sensei ke Keimeikan sebenarnya hanya ingin mendapatkan evaluasi baik dari perusahaan. Karena itulah ia bersikap seperti ini.


“Itulah kenapa kau masih menggunakan pin perusahaan!” ujar Mashiba-sensei menunjuk sebuah pin kecil di kerah jas Narumi-sensei. “Kau Cuma memikirkan sekolah ini dari sisi bisnis saja!”


“Kau bisnisman dan kami guru! Permisi!”


Para guru yang terlanjur kesal itu pun bubar tanpa ada solusi apapun.


Rupanya anak-anak mendengarkan rapat guru dari lorong depan ruangan. Mereka buru-buru kabur saat tahu para guru keluar. Termasuk Kase-kun yang tengah mereka bahas. Narumi-sensei tinggal sendirian saat Kase-kun mendekat.


“Aku masuk universitas dengan pinjaman siswa. Ayahnya meninggal saat aku masih SMP. Keluarganya tidak punya uang. Tapi karena pinjaman itu, aku lulus. Tapi kemudian aku harus mulai membayarnya kembali. Aku berhasil masuk ke perusahaan tapi awalnya gajiku belum banyak. Hutangku 30.000. Aku masih membayarnya. Termasuk bunganya menjadi sekitar 6 juta. Butuh sekitar 10 tahun lagi untuk melunasinya. Tapi, aku tidak ingat ada yang memeringatkanku soal itu. Guru SMA-ku harusnya bilang kalau aku akan punya hutang dan harus berpikir dengan baik. Tapi tidak ada yang memberitahuku hal itu. Aku bisa membayarnya, tapi ada banyak orang yang kesulitan dengan ini. Orang yang lulus dari universitas dan bergabung dengan perusahaan lalu gagal. Membayar hhutang mereka, mereka tidak bisa menabung dan akhirnya tidak bisa menikah. Tapi Kase-kun, aku tidak mau kau menyerah soal universitas,” jar Narumi-sensei pada Kase.


Wajah anak itu berubah pucat, “Tapi pinjaman itu ... “


“Itu hutang yang besar. Itulah kenapa saat kau ke universitas, kau harus bekerja keras. Gunakan peluang apapun yang kau punya untuk mencari pekerjaan, lulus dalam 4 tahun dan dapatkan pekerjaan tetap. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Perusahaan nomer satu bisa saja gagal, berkurangnya jumlah kelahiran menjadi masalah masyarakat dan dunia bisa berubah dengan cepat. Banyak pekerjaan yang bisa digantikan robot. Mungkin saja itu masa depan yang menunggumu. Jadi, kau harus tahu keterampilan apa yang harus kau miliki untuk bertahan hidup. Kau harus punya kekuatan agar menjadi tak tergantikan. Jika kau siap, ambil pinjaman siswa dan masuklah ke kampus!”


Wajah Kase-kun makin pucat, “Kepsek ... aku harap kau tidak mengatakannya padaku. Aku harap kau tidak mengatakan hal menakutkan seperti ini! Aku tidak bisa memutuskan hal seperti ini!” Kase-kun berlari keluar kelas.


Narumi-sensei hanya terdiam kaget melihat reaksi siswanya ini. Ternyata Mashiba-sensei masih mendengarkan mereka dari luar kelas.


Dan saat Kase-kun keluar, Mashiba-sensei yang masuk menemui Narumi-sensei, “Sudah kukatakan. Mereka hanya anak SMA yang belum siap menerima kebenaran!”


BERSAMBUNG


Sampai jumpa di My High School Business 02 part 1.


Pictures and written by Kelana


 
Bening Pertiwi 14.24.00
Read more ...

Sinopsis My High School Business episode 01 part 1. Namanya Narumi Ryosuke (Sakurai Sho). Dia adalah karyawan di sebuah perusahaan eksport-import, Kashimatsu Bussan. Karirnya cemerlang saat menjadi kepala cabang. Ia pun berhasil menyelamatkan cabang perusahaan yang nyaris bangkrut. Sayangnya semua berubah.



Narumi kembali dipanggil ke kantor pusat  di Tokyo. Masalah yang terjadi pada atasan langsungnya membuatnya terseret pada strukturisasi perusahaan. Narumi pun dipindahkan untuk mengelola sebuah sekolah, yang merupakan bagian dari divisi pendidikan di perusahaan. Dan tugasnya sebagai kepala sekolah baru adalah ... menyelamatkan sekolah dari kebangkrutan.



Dan di hari pertama Narumi menjadi kepala sekolah, ia mewawancarai guru yang ada di sekolah itu. Kaimeikan koukou adalah sekolah swasta setingkat SMA dengan segudang masalah. Tetapi semua tampak baik-baik saja. Benarkah demikian?


Orang pertama yang ditemui Narumi adalah wakil kepala sekolah, Kashiwagi Fumio-san yang lebih suka mengaku dirinya sebagai manajer kantor. Wawancara selanjutnya adalah dengan guru matematika, Oikawa-sensei yang tampak tidak terlalu antusias. Lalu guru bahasa Inggris Shimazu Tomokazu-sensei yang tampak canggung dan pendiam.  Berikutnya adalah Yabe Hinako-sensei, guru musik yang masih berada di tahun pertamanya mengajar.


Guru botak berbadan besar adalah guru fisika, Gōhara Tatsuki-sensei. Lalu guru sastra klasik, Sugiyama Fumie-sensei yang sangat sensitif dengan pola kalimat. Ada juga guru berambut gondrong Kawarazaki Kōtarō-sensei yang mengajar biologi. Lalu duo sahabat, Ichimura Kaoru-sensei dan Mashiba Chihiro-sensei yang mengajar ilmu sosial.


Narumi mencoba menggali dan mencari tahu masalah yang ada di sekolah itu dengan mewawancarai para guru itu. Sayangnya, mereka kebanyakan tidak responsif dan berpikir kalau Narumi Cuma mengganggu saja. Apalagi saat Narumi bicara soal keuangan, para guru itu sudah langsung protes dan tidak mau tahu papun.  Mereka tidak mau tahu soal keuangan/bisnis di sekolah itu dan menyerahkan semuanya pada wakil kepala sekolah Kashiwagi-san.



Narumi pusing selesai mewawancarai para guru itu. Nilai rata-rata devaluasi sekolah adalah 44. Itu artinya, sekolah mereka bukan sekolah yang bagus dan banyak diminati. Tapi para guru rata-rata tidak benar-benar tahu apalagi peduli dengan situasi itu. Mereka hanya berpikir memenuhi kewajiban saja untuk mengajar.


“Bagaimana rasanya duduk di kursi kepala sekolah?” tanya Kashiwagi-san pada Narumi.


Ditanya seperti itu, Narumi tidak langsung memberikan jawaban. Ia tidak yakin, “Bagaimana rasanya ... “



Soal kepala sekolah baru jadi bahan obrolan paling hangat di ruang guru. Beberapa guru protes, karena usia Narumi yang masih terlalu muda, 35 tahun dan menjadi kepala sekolah. Padahal mereka yang lebih senior malah jadi bawahannya.


Obrolan pun beralih soal uang. Para guru ini mempermasalahkan Narumi yang tiba-tiba saja bicara soal keuangan. Belum lagi, mereka berpikir kalau Narumi sama sekali tidak punya pengalaman di bidang pendidikan, tapi malah jadi kepala sekolah.



Setelah memberitahukan anak-anak di kelas, para guru dan anak-anak itu sekarang berada di aula sekolah. Mereka ada upacara penyambutan kepala sekolah baru. Obrolan anak-anak kacau. Mereka heran karena kepala sekolah sebelumnya sudah ganti saja, padahal belum lama. Di kelas pun ponsel bertebaran digunakan dengan bebas oleh anak-anak. Mereka tidak mendengarkan larangan guru untuk menyimpan ponsel itu. Hal serupa juga terjadi saat mereka sudah berkumpul di aula. Anak-anak itu tetap sibuk dengan ponsel mereka dan semua kebisingan meski beberapa guru sudah menyuruh mereka untuk diam.


Tidak lama setelahnya, Narumi terlihat berjalan masuk bersama dengan wakil kepsek Kashiwagi-san. Penampilan Narumi yang tampak masih sangat muda benar-benar menarik perhatian anak-anak itu. Mereka mengeluarkan ponsel masing-masing dan mulai mengambil gambar.


Setelah diperkenalkan oleh wakil kepsek, Narumi pun naik ke atas mimbar dan mulai bicara. “Mulai sekarang, aku akan mengelola tempat ini. Aku bekerja di Kashimatsu Bussan. Aku tidak pernah bekerja di sekolah sebelumnya. Sebagai tambahan, aku mungkin kepala sekolah termuda di Jepang. Saat SMA, kupikir ‘Kepala sekolah bicara terlalu lama’. Jadi itu saja dariku. Ayo bekerja sama!” ujar Narumi menutup ucapannya.


Kontan itu membuat para guru berpaling dengan heran. Anak-anak yang biasanya tetap ribut saat kepsek bicara, berpaling ke arah Narumi. Mereka menganggap Narumi sebagai kepala sekolah yang cool. Ucapan Narumi yang Cuma sebentar itu pun jadi bahan obrolan hangat para guru.



Narumi makan malam bersama kekasihnya Satoko Matsubara (Mikako Tabe).


“Anak-anak SMA berderet di depanku. Itu benar-benar tidak nyata. Tidak ada yang bisa kukatakan. Lebih baik aku di cabang Aomori...,” curhat Narumi.


“Kenapa kau bilang seperti itu?” tanya Matsubara.


“Aku menunggu dua tahun ... “


“Bukan itu maksudku,” potong Matsubara cepat. “Tidakkah kau senang bisa bertemu denganku lagi?” Matsubara pura-pura ngambek.


“Tentu saja.”


“Aku tahu sulit berpindah tempat kerja. Aku akan dengar keluhanmu. Tapi saat ini ... “


“Aku tahu,” Narumi memotong ucapan Matsubara. “Hubungan jarak jauh juga sulit bagiku. Karirku berubah total. Aku yakin pengetahuan bisnis yang kupunya cukup untuk mengelola sekolah. Faktanya, aku sama sekali tidak terbiasa dengan dunia pendidikan dan itu sulit bagiku untuk mengubah mereka.”



Narumi-sensei (sekarang udah pakai sensei ya, hehe) dan Kashiwagi-sensei mendatangi sebuah bank. Mereka berniat meminjam uang dari bank karena sekarang sudah tidak ada support keuangan dari perusahaan.


Ada dua orang staf bank yang menerima mereka. Keuangan sekolah diperiksa. Dari sana diketahui kalau semua biaya berasal dari siswa dan dana kota. Tapi ternyata tidak banyak siswa yang mendaftar di sekolah mereka.


Melihat hal itu, Narumi-sensei berusaha menjelaskan—dari sisi bisnis—kalau mereka punya rencana untuk bisa berkembang dan mengubah semuanya menjadi keuntungan. Sayangnya beberapa ide yang disampaikan oleh Narumi malah ditertawakan oleh pegawai bank itu. Mereka menolak memberikan pinjaman dan malah menyarankan agar Keimeikan menarik lebih banyak lagi murid di tahun ajaran baru nanti.



Diskusi dilanjutkan di sekolah. Kali ini melibatkan juga Mashiba-sensei. Narumi-sensei mengusulkan agar mereka menaikan biaya sekolah siswa. Tapi jelas itu ditolak oleh Kashiwagi dan Mashiba-sensei, karena kenaikan biaya justru akan membuat siswa enggan bersekolah di Keimeikan.


“Bagaimana kita bisa menaikan jumlah siswa yang mendaftar? Kalau aku tahu, tidak akan sekacau ini,” keluh Narumi-sensei. Narumi-sensei pun mengusulkan kalau mereka perlu bekerjasama dengan sekolah les agar anak-anak mereka ikut tes masuk Keimeikan. Naluri sales Narumi-sensei pun langsung aktif.


Narumi-sensei ingin mengajak guru lain untuk ikut bersamanya mendatangi sekolah les. Tapi rata-rata dari mereka menolak dengan alasan ada kegiatan lain setelah jam sekolah selesai. Terakhir tinggal Mashiba-sensei yang sebenarnya juga menolak.


 “Anggap saja ini sebagai pekerjaan,” bujuk Narumi-sensei lagi.


“Setelah jam mengajar, aku masih punya aktivitas klub,” ujar Mashiba-sensei.


“Aktivitas klub?” Narumi-sensei heran.


“Mashiba-sensei jadi supervisor klub panahan,” ujar Kashiwagi-sensei, menjelaskan.


“Kau mengajar itu?” Narumi-sensei tidak percaya.


“Aku supervisor, bukan pelatih. Anak-anak berlatih sendiri. Ada anak kelas 3 dengan kemampuan di atas rata-rata. Dia sudah berlatih sejak kecil.”


“Kalau begitu mereka bisa berlatih tanpamu, kan?”



Mashiba-sensei akhirnya setuju ikut bersama Narumi-sensei. Mereka mendatangi sejumlah sekolah les. Narumi-sensei memperkenalkan diri sebagai kepala sekolah Keimeikan yang baru.


Dari semua sekolah les yang mereka datangi jawaban mereka hampir selalu sama. Mereka menolak merekomendasikan Keimeikan pada murid-murid mereka karena banyak alasan. Keimeikan tidak punya kerjasama dengan universitas manapun, jadi tidak ada jaminan pasti diterima di universitas. Karenanya, siswa lulusan Keimeikan akan masuk universitas dengan seleksi umum, dan ini sangat berat. Saat ini rata-rata nilai devaluasi Keimeikan adalah 44, dan mereka minta agar dinaikkan kalau ingin siswanya mendaftar di sana. Dan lagi, Keimeikan tidak populer. Dari lima kelas di tahun sebelumnya sekarang menjadi hanya tiga kelas saja. Mereka tidak punya alasan memilih Keimeikan.


Hari sudah gelap saat keduanya selesai mengunjungi sejumlah sekolah les. Narumi-sensei dibuat pusing sendiri menghadapi semua ini. “Mashiba-sensei! Anda kan mengajar kelas favorit. Tolong buat semua anak kelas favorit masuk universitas terbaik. Itu bisa membuat Keimeikan populer!” usul Narumi-sensei kemudian.


“Huh? Kalau bisa, tentu sudah kulakukan dari dulu! Jangan pikir itu gampang kalau kau tidak mengerti apapun!”



Hari berikutnya di sekolah ...


Narumi-sensei mendatangi satu per satu kelas di Keimeikan saat jam pelajaran. Pelajaran musik, matematika, sastra klasik dan lain-lain. Semuanya tampak baik-baik saja bagi Narumi-sensei. Meski sebenarnya ... semuanya kacau. Dan Narumi-sensei pun terdampar di ruang kesehatan.


“Anda kepala sekolah baru? Aku perawat sekolah, Ayano.”


“Obat sakit perut, tolong,” pinta Narumi-sensei.


“Maaf, tidak bisa.”


“Kenapa?” Narumi-sensei heran. “Ruang kesehatan tidak bisa memberikan obat?”


“Aturan kesehatan sekolah melarang perawat sekolah memberikan obat,” ujar perawat Ayano.  Alih-alih ia membuatkan secangkir teh. “Ini teh pepermin, bisa membantu masalah perut.”


Narumi-sensei pun meminum teh itu. Rasanya melegakan. “Terimakasih.”


“Sakit perut karena stres kan?” tebak perawat Ayano. “Kepala sekolah sebelumnya pingsan saat upacara penyambutan. Saat bicara dengan siswa, dia pingsan tiba-tiba. Serangan nervous. Melihat anak-anak itu membuatnya makin buruk.”


Pelan, perasaan Narumi-sensei makin membaik, “Ayano-sensei, bagaimana aku bisa menerapkan kemampuanku di sini?” curhatnya. “Aku tidak tahu apapun.”


Obrolan mereka terhenti saat ponsel Narumi-sensei berdering. Telepon dari kantor pusat. Ia pun pamit pergi.


BERSAMBUNG


Sampai jumpa di My High School Business 01 part 2.


Pictures and written by Kelana

Bening Pertiwi 12.30.00
Read more ...

Saatnya ... dorama. Yay! Kali ini Na muncul dengan drama yang lagi on going. Dari sekian banyak tema dorama yang ditawarkan musim dingin kali ini, Na kembali (merasa) terpanggil dengan drama tema sekolah. Entah kenapa, tema sekolah di dorama memang selalu menarik untuk disimak. Ehm ... kalau gitu, cek profilnya berikut ya.



 


My High School Business (English title)


(Saki ni Umareta Dake no Boku)


Sutradara : Nobuo Mizuta


Penulis : Yasushi Fukuda


Jaringan tayang : NTV


Mulai tayang : 14 October 2017


Waktu tayang : Sabtu pukul 22.00 waktu Jepang


Bahasa : Jepang


Negara : Jepang



Diperankan oleh personil Arashi, Rosuke Narumi (Sho Sakurai), My High School Business atau Saki ni Umareta Dake no Boku adalah dorama tentang kehidupan guru dan siswa di sekolah. Lalu apa perbedaannya dengan drama tema sekolah yang lain?


Narumi bekerja di perusahaan ekspor-import dan memiliki karir baik. Dia juga berkencan dengan rekan kantornya, Satoko Matsubara (Mikako Tabe). Perusahaan ini ternyata juga memiliki divisi yang mengurusi sebuah sekolah swasta, Kaimeikan Kou-kou atau SMA Kaimeikan. Masalah yang terjadi di sekolah tersebut membuat Narumi ditunjuk oleh perusahaan menjadi kepala sekolah di sana. Dalam waktu yang singkat pun, Narumi menemukan ada begitu banyak perbedaan antara lingkungan kerja di perusahaan dan di sekolah.


Sekolah terancam ditutup. Narumi pun berusaha untuk menyelamatkan sekolah dengan memotong anggaran keuangan. Jelas hal ini ditentang oleh semua guru di sekolah itu. Bagaimana Narumi akan melakukan rencananya untuk menyelamatkan sekolah?


Posting at www.elangkelana.net



Kelana’s note :


Hal pertama yang akan Na komentari adalah ... NTV. Yes, NTV again. Lagi-lagi, Na tergoda dan selalu tergoda untuk menonton drama keluaran NTV. Nggak Cuma genre detektif, tapi juga beragam genre lain. Well, itu selera sih ya.


Ini pertama kalinya Na nonton dramanya om Sakurai Sho. Tentu setelah nonton drama-drama personil Arashi yang lain. Kesimpulannya? Mereka semua keren. Meski nggak terlalu banyak paham soal dunia idol Jepang, tapi sedikit tahu kalau Arashi adalah salah satu idol papan atas di Jepang. Dengan begitu banyak kegiatan dan prestasi. Termasuk di bidang akting. Rata-rata dorama om-om Arashi ini sukses, itu bukti kalau mereka emang talented.


Ok, kembali ke drama. Baru episode awal Na tonton dorama ini. Dan ... suka dengan ceritanya. Mungkin sih ya, karena cerita di drama ini related banget dengan kehidupan sehari-hari Na. Tapi yang jelas, ada banyak hikmah yang bisa diambil dari cerita dorama ini.


Oh ya, di poster dan info pemeran, kan Tabe Mikako masuk deretan pemeran utama. Tapi kok di episode pertama, munculnya baru sedikit banget ya? Pun di episode berikutnya. Kesannya jadi kurang penting, karena nggak berhubungan langsung dengan sekolah. Tapi ditunggu aja dulu deh. Mungkin di episode-episode berikutnya akan ada lebih banyak cerita dari Tabe Mikako.


Na belum akan komentar banyak soal dorama ini. Yang jelas, ini dorama keren yang wajib ditonton. Terutama untuk guru-guru atau siapapun yang peduli soal pendidikan.


Btw, Na suka banget sama karakter yang dimainkan Seto Koji deh. Guru bahasa Inggris yang canggung di depan para guru lain, tapi berubah jadi super keren di depan siswanya. Dan bahasa Inggrisnya juga lumayan bagus lho. Tapi jawabannya soal ‘kenapa harus belajar?’-lah yang membuat Na paling suka sama karakter dia. Na juga berharap bisa menemukan hal yang sama untuk pelajaran lainnya. ups, malah curcol.


Ok, selamat menonton. Share juga ya, pendapat kamu

Bening Pertiwi 12.20.00
Read more ...

‘Kayaknya kenal sama judulnya nih?’ Ada yang berpikiran begitu? Bener banget. Movie yang akan Na bahas kali ini adalah movie adaptasi dari sebuah novel, yang juga ada versi bahasa Indonesianya. Judul aslinya novelnya di Jepang sana, Ankoku Joshi atau The Dark Maidens, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tapi tetap dengan judul dalam bahasa Inggris, Girl in The Dark, terbitan penerbit Haru. Ada yang udah pernah baca? Tahu dong ya ceritanya. Nah, sekarang saatnya review adaptasi filmnya.



The Dark Maidens (English title) / Girls in the Dark (literal title)


Romaji: Ankoku Joshi


Sutradara : Saiji Yakumo


Penulis : Rikako Akiyoshi (novel), Mari Okada


Produser : Hitoshi Matsumoto, Naomi Akashi


Sinematografer : Koichi Nakayama


Tanggal rilis : 1 April 2017


Durasi : 105 menit


Genre : Misteri / sekolah


Distributor : Toei, Showgate


Bahasa : Jepang


Negara : Jepang




Film ini adalah adaptasi dari novel ‘Ankoku Joshi’ yang ditulis oleh Rikako Akiyoshi-sensei dan pertama diterbitkan dari Desember 2012 hingga Maret 2013 di majalah novel mingguan Shoetu Suiri. Novel ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia lewat penerbit Haru dan terbit pada tahun 2014 dan juga merupakan salah satu buku best seller.


Cerita dimulai dari kematian Itsumi Shiraishi yang diperankan Marie Iitoyo. Seorang ‘putri’ dan ‘dewi’ di SMA Seibo Maria. Dia jatuh dari atap bangunan sekolah. itsumi adalah putri dari petinggi sekolah dan menjadi sumber iri bagi siswa yang lain. Apakah Itsumi bunuh diri atau dia terbunuh tidak sengaja, atau bahkan sengaja dibunuh?


Saat ditemukan, Itsumi memegang bunga lili. Rumor beredar kalau seseorang dari klub sastra membunuh Itsumi. Itsumi adalah presiden dari klub sastra. Sahabat dekat Itsumi, Sayuri yang diperankan oleh Fumika Shimizu, sekarang memegang posisi presiden dan mengadakan pertemuan klub rutin bersama anggota yang lain. Mereka bergantian membacakan cerita yang dibuat oleh masing-masing anggota, dengan tema pertemuan ‘Kematian Itsumi Shiraishi’.



Selain Itsumi dan Sayuri, ada juga peran lain seperti Hojo-sensei yang diperankan Yudai Chiba, Nana Seino sebagai Shiyo Takaoka, Yuna Taira sebagai Mirei Nitani, Tina Tamashiro sebagai Diana Dacheba dan Riria Kojima sebagai Akane Kominami.


Posting at www.elangkelana.net


Kelana’s note :


Selain Girl in The Dark, novel Rikako Akiyoshi-sensei yang lain juga sudah diterjemahkan dan diterbitkan oleh penerbit yang sama adalah Holy Mother dan The Dark Return . (si Na malah iklan buku, hehe)



Ok, jadi Na lebih dulu baca novelnya dibanding nonton filmnya. Dan seperti biasa, ekspektasi selalu tinggi. Film adaptasi Jepang pada umumnya banyak memuaskan penonton, karena memang dibuat semirip mungkin dengan deskripsi dalam buku.


Seperti bukuanya, bagian awal film ini juga sudah disuguhkan dengan tempat serta adegan yang berkesan gelap, dingin dan menyeramkan. Khas film seram Jepang. Secara keseluruhan, film ini memang benar-benar mengadaptasi apa yang ada di buku tetapi dalam bentuk visual. Meski memang ada beberapa detail yang dilewatkan, tapi secara keseluruhan, film ini sama sekali tidak mengubah cerita.


Yang agak buat kaget adalah peran Hojo-sensei yang dipercayakan pada Chiba Yudai. Makhluk imut satu ini masih cocok kok memerankan karakter anak SMA sekalipun. Meski di sini perannya jadi sensei, ternyata sangat cocok saat harus beradegan dengan sosok Itsumi yang masih SMA. Sosok Itsumi yang dideskripsikan sangat cantik dan anggun pun dibawakan dengan baik oleh Marie Iitoyo yang masih sangat muda. Dan peran penting dalam cerita ini, Sayuri pun diperankan secara misterius-annoying oleh Fumika Shimizu.


Yang agak disayangkan dari film ini adalah adegan saat di luar negeri. Sepertinya masih perlu untuk dirapikan lagi. Well, meski pakai cgv, sepertinya masih bisa lebih bagus lagi kan?


Seperti dalam novelnya, kekuatan film ini juga terletak pada jalan ceritanya yang rapi. Lupakan dulu beberapa tempat yang nggak sesuai saat adegan di luar negeri. Penonton maupun pembaca novelnya akan dibawa menebak-nebak siapa sosok ‘gelap’ yang sebenarnya dibalik kematian Itsumi. Dan yang terpenting adalah ‘gong’ di ending cerita yang sama sekali tidak terpikirkan oleh pembaca ataupun penonton.


Buat kamu yang mau nonton langsung, silahkan. Mau baca novelnya dulu juga boleh. Nggak banyak yang berbeda kok, jadi nggak akan kecewa. Keduanya tetap seru dan menarik untuk disimak.


Saatnya penilaian nih, Na kalih 9/10 deh. Kecuali untuk setting yang nggak rapi itu, hehehe. Selamat membaca dan menonton ya ... ^_^

Bening Pertiwi 15.26.00
Read more ...

Author: Elang Kelana


Rating: T


Genre: romance, SU


Main Cast:


- Sato Junpei


- Kiriyama Reika / Kirana Erika Putri (OCs)


Other casts:


Higashi Osamu – script writer senior. Reika menjadi asisten Osamu-sensei ini.


Yamashita Tatsuo – sutradara


Yamada Hikaru – sahabat sekaligus rekan kerja satu agensi Reika


Tatsumi Kanako – sahabat Reika di kampus


Profesor Matsushima – dosen Reika di kampus


Sato Kazuo – Manager Junpei


Note: FF ini murni fiksi. Jika ada kesamaan karakter atau alur cerita, bukanlah karena kesengajaan. Cerita ini murni karangan author.



Setahun silam ...


Sumimasen-permisi,” ujarku pelan para pria di hadapanku.


Pria bertopi itu tampak kaget. Ia menatapku dari balik kacamata hitam yang bertengger manis di hidungnya.


“Boleh saya duduk disini?” tanyaku dalam bahasa Inggris sambil menunjuk kursi kosong di sampingnya. Aku baru ingat kalau tidak lazim orang Jepang menggunakan bahasa Inggris.


Dia terdiam sebentar, tampak mencerna kalimatku, “Ah, dozo-silahkan,” ujarnya kemudian.


“Ah arigatougozaimasu-terimakasih,” kuhempaskan badan di kursi kosong di sebelah pria itu. Aku melihat sekeliling. Kulirik jam di tangan kiriku, sudah lewat pukul sepuluh malam, pantas sebagian besar isi gerbong sudah kosong. Perjalananku sekitar 30 menit, jadi masih ada sedikit waktu untukku menyandarkan kepala sekedar melepas penat. Kulirik pria di sebelahku itu. Tapi kaca mata hitam dan topi yang menutupi sebagian wajahnya membuatku tak leluasa melihat ekspresi wajahnya.


Rupanya ia sadar kalau kuperhatikan, “Ada apa?” tanyanya.


Aku salah tingkah, “Ah, tidak. Go-gomenasai-maaf,” ujarku terbata-bata. Bahasa Jepangku belum lancar.


Pria itu lalu melepas topi dan kaca mata hitamnya. Dia memajukan wajahnya di hadapanku, “Kau bukan orang Jepang?” tanyanya tiba-tiba.


Kaget melihat sikapnya, buru-buru membuatku menarik tubuh menjauh, “Ah, benar. Saya keturunan Jepang-Indonesia,” akuku kemudian.


Dia menarik tubuhnya dan kembali duduk seperti semula, “Ah, syukurlah. Jadi kau tidak mengenalku,” ujarnya pelan nyaris seperti gumaman.


Sumimasen?” ujarku heran.


“Ah jadi kau dari Indonesia. Siapa namamu?” tanyanya kemudian.


Watashimo Kiriyama Reika-desu, saya mahasiswi dari Indonesia,” ujarku mulai melunak.


Tapi sepertinya pertanyaan ini hanya basa-basi saja. Pria di sebelahku tadi tidak benar-benar mendengarkan ucapanku. Kuhembuskan nafas berat, “Memang tidak mudah tinggal di negeri orang,” rutukku dalam hati. Kurapatkan mantelku dan kembali bersandar ke dinding di belakangku, memejamkan mata sejenak.


***


Namaku Kiriyama Reika. Aku keturunan campuran Jepang-Indonesia. Nama ayahku Kiriyama Ren dan ibuku Larasati. Selain nama Jepang, aku juga punya nama Indonesia yang diberikan oleh nenek dari ibuku—yang selalu kupanggil yangti, Kirana Erika Putri. Hanya ibu dan yangti yang memanggilku dengan nama Indonesiaku, Ika.


Ayahku lebih banyak tinggal di Indonesia untuk menangani cabang perusahaan di Jakarta. Dan ibuku, dia adalah guru taman kanak-kanak. Jangan tanya bagaimana mereka bisa bertemu. Selama ini aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama ibuku. Sementara ayah sibuk dengan pekerjaannya. Aku punya seorang adik laki-laki bernama Rio Putra Dewanto, nama Jepangnya Kiriyama Ryo. Tapi dia lebih suka kupanggil dengan mana Indonesianya, Rio.


Meski lahir di Jepang, aku menghabiskan masa kecilku di negara bertabur sinar matahari itu. Baru setelah aku lulus SMA, ayah mengajak kami semua ke Jepang karena pekerjaannya menuntutnya untuk berada di kantor pusat. Dan seperti inilah aku sekarang. Meski ayah membiasakanku berbahasa Jepang selama di rumah, aku butuh satu tahun lebih untuk memperlancar bahasa Jepangku, sehingga aku masuk kuliah terlambat setahun. Di rumah, ibu tetap membuat aku dan adikku berbahasa Indonesia. Tidak ada perjanjian khusus soal ini, tapi sepertinya ayah dan ibu sepakat tidak membiarkan kami melupakan budaya asal kedua orang tua kami.


Berbeda dengan remaja Jepang pada umumnya, hingga tahun keduaku kuliah, aku masih tinggal bersama orang tuaku. Meski berada di Jepang, ibuku masih saja tetap mempertahankan budaya negeri asalnya. Ia tidak mengijinkanku sendirian di luar sana. Aku tidak pernah keberatan soal ini. Toh artinya aku tidak perlu repot memikirkan soal tempat tinggal dan makan sehari-hari.


***


Enam bulan silam


“Reika-san? Kau sudah bangun?” tanya suara di seberang.


 “Hmmm ... “ aku hanya bergumam tidak jelas. Kulirik jam di dinding kamarku, baru pukul enam pagi. Aku baru tidur jam empat tadi, setelah menyelesaikan tugas kuliahku dan juga mengedit naskah. Aku kuliah jurusan penulisan skenario dan bekerja magang di sebuah agensi. Dan tugasku setahun belakangan ini adalah menjadi asisten Higashi Osamu-sensei, script writer senior untuk melakukan editing penulisan dan finishing naskahnya.


“Ah maaf, sepertinya kau lembur lagi. Tapi ini gawat. Sutradara Yamashita Tatsuo-san meminta Osamu-sensei datang ke lokasi syuting. Tapi kau tahu kan kalau Osamu-sensei masih berada di Korea untuk konferensi. Jadi kau yang diminta datang,” mohon suara di seberang.


“Ah, Hikaru-san?” tebakku asal. Dia rekan satu agensiku yang bekerja sebagai sekretaris. “Kenapa aku harus datang? Bukankah jika naskah sudah jadi, script writer sudah tidak terlibat lagi?” Kupaksakan diriku bangun. Kulirik sekilas wajahku di cermin, berantakan. Benar-benar berantakan.


“Benar. Tapi ini benar-benar penting. Aku mohon. Asisten Yamashita Tatsuo-san mengatakan kalau ada beberapa hal yang perlu dikonfirmasi lagi,” suara sahabatku Yamada Hikaru itu semakin memelas.


“Ah, mau bagaimana lagi. Baiklah, aku akan datang. Tapi aku perlu mandi dan sarapan dulu sebelum berangkat. Emailkan saja alamat lokasi syutingnya, hm?” ujarku akhirnya.


Aku tidak dengar pasti yang digumamkan Hikaru selanjutnya. Tapi aku bisa menyimpulkan kalau ia terdengar sangat senang dan lega dengan keputusanku. Kuseret tubuhku ke kamar mandi, “Ah, mandi air hangat sebentar semoga bisa menghilangkan sedikit lingkaran hitam di mataku,” kuhembuskan nafas berat. “Padahal aku baru tidur dua jam!” umpatku kesal, akhirnya.


***


Masih enam bulan silam, beberapa jam kemudian ...


Aku tidak ingat ini hari apa. Yang pasti kuhapal adalah aku terpaksa berdesak-desakan di kereta dengan orang-orang yang akan berangkat ke kantor pagi ini. Dan yang paling kubenci, tubuhku yang lumayan mungil seringkali terdesak tanpa ampun. Tapi lagi-lagi aku tidak punya pilihan lain.


Turun dari stasiun, segera kuaktifkan gps ponselku. Aku belum pernah kesini sebelumnya, jadi daripada tersesat, lebih baik kupasrahkan saja arahku pada layanan satelit satu ini. Aku berjalan cepat diantara banyak orang berjalan tergesa pagi itu. Sesaat kulirik wajah mereka. Kebanyakan tampak serius dan tidak memperhatikan sekitarnya. Aku penasaran apa yang mereka pikirkan dalam balutan pakaian kerja rapi dan juga tas jinjing di tangan kiri serta ponsel di tangan kanan mereka.


Aku sampai di depan sebuah rumah. Kucek sekali lagi gps di ponselku yang arahnya berakhir disini, lalu email dari Haruka yang berisi alamat tujuanku. Sekilas kulihat beberapa orang yang sibuk dengan peralatan mereka, sepertinya kru serial ini. Lalu sebuah mobil sport biru yang datang dan berhenti tidak jauh dari tempatku berdiri. Seseorang dengan kaca mata hitam keluar tidak lama setelahnya. Tapi aku tidak punya banyak waktu untuk memperhatikan siapa orang ini.


Kucegat seorang kru yang berjalan keluar, “Sumimasen, saya Kiriyama Reika, asisten script writer Higashi Osamu-sensei. Saya ada janji bertemu sutradara Yamashita Tatsuo-san. Dimana saya bisa menemuinya?”


Pria yang kusapa itu terdiam sesaat. Ia memandangi penampilanku dari atas sampai bawah, tampak tidak yakin, “Sutradara belum datang. Mungkin sebentar lagi,” ujarnya lalu beranjak pergi.


Aku hanya melongo diperlakukan seperti ini. Tapi daripada menunggu di luar, kuputuskan untuk masuk ke rumah itu. Beberapa staf tampak sibuk dengan persiapan mereka. Dan aku pun diabaikan. Sepertinya mereka tidak peduli dengan kehadiranku, meski aku tidak menggunakan tanda pengenal staf ataupun guest-tamu.


Ponselku berdering, kulirik sekilas nama yang tertera disana. Nomer yang sangat kukenal dengan baik, “Reika-chan, dimana kau sekarang? Kau tidak lupa untuk mengumpulkan tugas hari ini kan? Profesor Matsushima hanya memberikan waktu sampai pukul sebelas hari ini,” ujar Kanako, teman kuliahku di jurusan yang sama.


“Apa?! Benarkah?!” kulirik jam di pergelangan tanganku yang sudah menunjukkan angka sembilan lewat dengan jarum panjang nyaris menyentuh angka enam. “Baiklah. Aku akan segera menyelesaikan urusanku.” Aku merutuki hari ini. Hari yang benar-benar payah.


Kulihat sekeliling, berharap sutradara Tatsuo-sensei sudah datang. Tapi aku tidak menemukannya. Kutanya beberapa staf yang ada disana, tapi tidak ada jawaban yang membuatku puas. Sampai tidak sengaja aku menabrak seseorang.


“Brug!” buku-buku yang kubawa dan beberapa naskah terjatuh.


“Kau baik-baik saja?” tanya seseorang yang kutabrak tadi. Seorang pria. Ia pun membantuku mengumpulkan kembali buku dan kertas-kertas itu. Tapi sayang, tatapannya dingin dan tampak tidak bersahabat. Seolah apa yang dilakukannya hanya sekedar ‘bersikap baik’ pada wanita.


“Maaf, permisi,” ujarku buru-buru pamit, karena tatapan tidak nyaman itu.


Baru beberapa langkah, aku berhenti. Aku baru ingat, kalau mengenal wajah tadi. Ya, dia Mizobata Junpei, “Ah mungkin aku bisa menanyakan dimana sutradara Yamashita-san padanya,” batinku memberanikan diri, karena tidak punya pilihan lain. Dan aku pun berbalik. Untung dia masih ada disana. “Sumimasen, ano ... watashimo Kiriyama Reika-desu, asisten script writer Higashi Osamu-sensei. Saya ingin menemui sutradara Yamashita Tatsuo-san. Apa dia sudah datang?”


“Oh, sutradara,” komentarnya dingin. “Tadi aku melihatnya ada di ruang depan. Aku mau kesana,” ujarnya kemudian.


Ha-i, arigatougozaimasu,” aku mengekor di belakangnya ke ruangan depan. Aku berharap ini segera selesai, dan aku bisa segera kembali ke kampus secepatnya.


***


Saat ini ...


Sudah dua bulan Junpei-kun kekasihku pergi ke Amerika. Kita tidak jadi putus karena peristiwa itu, “Ran saja bersabar menunggu Shinichi lebih dari 15 tahun, dan aku bukan Ran. Jadi tidak masalah aku menunggunya,” gumamku pelan. Kupandangi foto yang diambil tujuh bulan silam, saat kami baru saja resmi menjadi sepasang kekasih. Junpei-kun ada di Amerika untuk menjalani operasi jantungnya lagi. Meski ingin, aku tidak bisa menemaninya. Manager Sato hanya mengatakan kalau semua akan baik-baik saja, dan Junpei-kun tidak ingin membuatku khawatir.


Aku hanya berharap semua akan baik-baik saja. Entah itu Junpei sendiri, kuliah dan pekerjaanku, mimpiku lalu hubunganku dengan Junpei-kun, “Aku pasti menunggumu pulang, Junpei-kun!”


To be continue ...

Bening Pertiwi 15.11.00
Read more ...