Setelah mengantar Yuri yang mau pulang ke pintu, Mikuri kembali masuk. Keduanya berniat bicara. Tapi masih sempat berdebat soal tempat duduk antara bos dan bawahan.
“Kalau begitu selain pelukan, bagaimana kalau kita menyediakan "waktu kencan"?” usul Mikuri.
Sebagai kekasih, keduanya sepakat kalau posisi mereka setara. Jadi, keduanya bisa duduk bersebelahan di sofa dan bahkan nonton tv bersama.
Mikuri melanjutkan ucapannya, “Yuri itu tipe orang yang tak percaya perkataan orang lain. Apa yang dia lihat dan rasakan itu mutlak. Apa pun yang kita katakan, dia akan bilang "Kau berbohong, 'kan?" Jika bukan cerita yang persuasif, kita takkan bisa meyakinkannya.”
Hiramasa dan Mikuri kemudian sepakat akan melakukan berbagai cara untuk bisa meyakinkan Yuri, kalau mereka benar pasangan. Kalau mereka baik-baik saja.
Kazami menyapa Yuri di depan gedung. Saat itu ia sudah mau akan pulang. Sementara Yuri baru saja datang bekerja di hari libur untuk mengganti jam kerja yang ditinggalkannya kemarin.
Yuri masih tampak kesal pada Kazami, “Waktu itu kau benar-benar lihai melarikan diri. Kalau kau hanya menyewa Mikuri untuk bersih-bersih dan tak merasa bersalah sedikit pun, kau bisa saja langsung cerita.”
“Kalau kau bilang begitu... aku memang merasa bersalah. Karena aku suka Mikuri,” ujar Kazami-san, lalu pamit pergi.
Mikuri dan Hiramasa juga sudah sampai di gedung mereka. Keduanya mengintip dari sudut gedung. Di dalam, Yuri yang baru datang tengah menunggu pintu lift terbuka. Setelah memastikan Yuri masuk, Mikuri dan Hiramasa pun beranjak ke taman yang ada di depan gedung.
Mikuri menatap karpet dan bekal makan mereka, “Godard Japan ada di lantai 19 Dia pernah mengatakannya. Sembari menunggu kopinya jadi, melihat taman hijau adalah hiburannya saat bekerja. Yuri adalah pecinta kopi, jadi kupikir kita punya tiga kesempatan di sore hari saja.”
Sementara itu Hiramasa menggunakan teropong. Ia melihat tempat yang ditunjuk oleh Mikuri, “Apa dia bisa melihatnya dari atas sana?”
“Karpet ini adalah oleh-oleh Yuri dari Turki untukku. Tidak ada yang lain yang bermotif seperti ini. Dia seharusnya langsung tahu saat melihatnya. Ayo kita bersikap seperti pasangan mesra!”
Dari tempat kerja Yuri, memang tampak di bawah ada pasangan tengah duduk di atas karpet. Sayangnya, Yuri menjatuhkan sesuatu hingga ia pun kehilangan momen melihat Hiramasa dan Mikuri di bawah sana. Bisakah Mikuri dan Hiramasa kali ini berhasil?
Setelah menggelar karpet dan makanan piknik, Hiramasa dan Mikuri duduk bersebelahan. Suasana begitu tenang di hari libur.
“Dulu keluargaku sering pergi piknik juga berkemah. Belakangan ini hanya aku yang tidak ikut, sih,” cerita Mikuri.
“Aku hanya pernah satu kali piknik. Saat aku kelas 3 SD. Ayahku bekerja di pabrik dan jarang mendapat hari libur,” ujar Hiramasa.
“Saat itu pasti kenangan membahagiakan bagi Anda.”
Tapi wajah Hiramasa menunjukkan keraguan, “Ibuku membuat soba genting untuk bekal makan siang. Itu makanan khas Yamaguchi. Di restoran, mereka akan menggunakan genting, genting untuk atap, menaruh soba di atas genting yang sangat panas bersama potongan telur dadar dan daging sapi asin-manis di atasnya. Ibuku...membawa soba untuk bekal makan siang sebagai kejutan. Namun ayahku marah dan berkata "Kenapa kita harus makan soba yang sudah apak di luar ruangan?" Dan ini bukan soba teh.”
“Jadi seharusnya menggunakan soba teh?”
“Ya. Ibuku dari Kagoshima, jadi dia tidak kenal betul masakan itu. Ayahku adalah orang yang tidak bisa berkompromi saat sedang marah, jadi dia berkata "Aku tak mau memakannya". Tak ada yang bisa kulakukan, jadi aku terus saja berkata "enak, enak" sendirian dan mati-matian memakan soba dari kotak bekal bertumpuk itu. Kenangan hari itu bagai neraka. Sejak saat itu, aku belum bisa lagi makan soba genting. Sebagai seorang anak aku penasaran kenapa ibuku tidak menceraikan ayahku. Maaf menceritakan cerita sedih seperti ini.”
Mikuri menyimak cerita Hiramasa dengan tenang, “Tidak, ini malah membuatku bahagia.”
“Cerita dari neraka ini?”
“Maksudku, aku bahagia karena bisa mendengar cerita Anda,” Mikuri buru-buru meralatnya. “Saat aku bertemu orangtua Anda, kupikir mereka menyenangkan. Mereka serasi.”
“Oh, ya? Zaman dulu bercerai tidak semudah sekarang. Mereka tidak bisa berpisah karena mereka punya anak, aku,” lanjut Hiramasa.
“Kalau begitu, itu hasil yang sangat baik. Putra yang menyelamatkan orangtuanya dari perpisahan,” komentar Mikuri.
“Bukan putra yang menahan ibunya?”
“Jika akhirnya mereka tidak berpisah, bukankah itu lebih baik? Tak apa-apa untukku jika dia bahagia.
Tiba-tiba Hiramasa ingat kalau hari itu hari ulang tahun ibunya. Mikuri pun menyarankan agar Hiramasa menelepon an memberikan ucapan selamat.
“Aku tak pernah melakukannya,” elak Hiramasa.
Tapi Mikuri memaksanya. Mikuri pun mengecek ponselnya sendiri. Ternyata ada panggilan tak terjawab dari kawannya, Yassan.
“Kau sebaiknya menelepon dia kembali, 'kan?” saran Hiramasa kemudian.
“Anda benar. Anda juga jangan lupa meneleponnya, ya,” Mikuri lalu berdiri dan agak menjauh untuk kembali menghubungi Yassan.
Menuruti saran Mikuri, Hirasama pun menelepon ibunya. Di seberang, ibunya tergopoh-gopoh mengangkat telepon. Hal yang tidak biasa dari putranya.
“Hari ini...hari ulang tahun Ibu, 'kan? Selamat ulang tahun,” ujar Hiramasa ragu.
Ibu Hiramasa kaget tapi kemudian tersenyum, “Mikuri pasti memintamu meneleponku. Kau memang berubah setelah menikah....Mikuri ada di situ?”
“Ya. Dia sekarang sedang menelepon. Kami ada di taman,” aku Hiramasa.
“Piknik?”
“Sepertinya begitu,” Hiramasa kemudian sadar sesuatu. Saat itu ia melihat ada bayangan di jendela, tempat kantor Yuri berada. Ia berusaha memanggil Mikuri, tetapi Mikuri tengah asyik menelepon. Akhirnya bayangan di atas pun pergi. Dan Hiramasa yang sempat tidak fokus, kembali mendengarkan ucapan ibunya di seberang.
“Apa kau ingat saat kita bertiga pergi piknik?” tanya ibu Hiramasa. Ayah Hiramasa sempat menegurnya, karena membahas hal-hal lama. Tapi Ibu Hiramasa tidak peduli dan terus bicara pada putranya itu. “Saat kita makan soba genting di perjalanan pulang.”
“Di perjalanan pulang?” Hiramasa heran.
Setelah agak jauh dari Hiramasa, Mikuri pun menelepon Yassan. Meski sempat ragu, Yassan akhirnya mengangkat telepon Mikuri. Mikuri sempat khawatir karena Yassan tadi tidak segera menjawab teleponnya.
Setelah didesak Mikuri, akhirnya Yassan pun bicara, “Sebenarnya bukan urusan, tetapi... aku baru saja memasukkannya ke kantor pemerintah. Formulir cerai. Itu saja. Aku ingin mendiskusikannya denganmu saat kita bertemu, tetapi aku tak mau merusak suasana. Jadi aku tak mengatakannya.”
“Seharusnya kau mengatakannya!” potong Mikuri.
Yassan menahan tangis sambil berjongkok dan memandangi putri kecilnya, Hirari, “Aku terus saja mengatakan hal-hal tak berguna. Bahkan orangtuaku dan orang-orang di sekelilingku benar-benar menentang perceraian. “Apa yang kaupikirkan saat kau sudah punya anak? Itu hanya perselingkuhan. Maafkan dan lupakan." Namun, aku tak bisa begitu saja memaafkannya. Aku bahkan tak tahan memandang wajahnya. Apa menurutmu aku salah? Apa kaupikir aku berpikiran sempit? Apa kaupikir... aku harus bertahan demi anakku? Apa kaupikir perselingkuhan itu salahku? Membesarkan Hirari... mengurus rumah. Aku berniat melakukan yang terbaik. Namun, apa salahku?” tangis Yassan akhirnya pecah. Hirari seperti tahu suasana hati ibunya pun ikut menangis.
Mikuri menarik nafas sebelum bicara, “Kau tak melakukan kesalahan apa pun. Yassan, kau melakukannya dengan baik.”
“Apa kaupikir aku membuat Hirari tak bahagia?”
“Itu tidak benar!” elak Mikuri cepat. “Dan bagi Hirari, senyumanmu akan membuatnya lebih bahagia. Kau tidak salah, Yassan. Aku di pihakmu, oke? Tak peduli apa yang orang lain katakan, aku selalu di pihakmu, oke?” Mikuri berusaha menghibur.
Selesai menelepon, Mikuri kembali menemui Hiramasa. Ia menceritakan soal Yassan. Saat seseorang sudah punya anak, maka keputusan diambil tidak hanya untuk diri sendiri lagi. Tapi dalam situasi Yassan, perceraian bukan pilihan yang buruk. “Jadi dia melakukannya... bercerai. Maaf, aku mengatakan hal yang sangat berbeda dengan yang tadi kukatakan.”
“Alasan ibuku tidak bercerai mungkin bukan hanya karena anaknya. Tadi di telepon kami membicarakan piknik itu. Tampaknya di perjalanan pulang dari neraka...kami makan soba genting.”
Jadi setelah pulang piknik itu, ayah Hiramasa mengajak istri dan anaknya mampir ke restoran yang menyajikan soba genting. Tapi saat itu Hiramasa tertidur, sehingga ia tidak ingat. Dan momen itu ternyata jadi momen yang menyenangkan bagi ibu Hiramasa.
“Bagiku itu kenangan terburuk, tetapi bagi ibuku, itu adalah soba terlezat seumur hidupnya. Mungkin ada cerita lain yang aku tak tahu,” Hiramasa menutup ceritanya.
“Mungkin Yassan dan suaminya... tidak punya banyak kenangan seperti itu. Aku ingin mereka berdua bahagia. Aku bilang pada Yassan bahwa aku di pihaknya. Itu saja yang bisa kukatakan,” ujar Mikuri kemudian.
“Di masa sulit, memiliki seseorang yang mendukungmu bisa membantu,” sambung Hiramasa. “Aku tak pernah punya seseorang seperti itu,” dan Hiramasa ingat kalau Numata-san juga pernah mengatakan hal seperti itu padanya. Tapi Hiramasa yakin kalau Numata-san pasti salah paham seperti biasanya.
“Bagiku, orang itu Yuri,” ujar Mikuri.
“Kalian berdua dekat.”
“Ya. Aku selalu menjadi kesayangannya.”
Keduanya pun baru ingat lagi soal Yuri. Hiramasa menggunakan teropongnya untuk melihat ke tempat kerja Yuri. Tapi ternyata lampu sudah dipadamkan. Apakah kali ini mereka gagal lagi menunjukkan kemesraan di depan Yuri?
Mikuri berpikir kalau mereka perlu ke lobi untuk mencegat Yuri dan pura-pura berlari mendekat lalu berpelukan. Hiramasa pun setuju dengan ide itu.
“Itu atau ... Kita katakan yang sejujurnya pada Yuri. Kita mencoba melakukan semua ini untuk memperdaya Yuri. Tak baik, 'kan? Seperti mengkhianatinya. Setelah semua ini. Maafkan aku. Aku membuat Anda menemaniku, bahkan mengambil hari libur Anda yang berharga. Bahkan membuat Anda mengusulkan sesuatu yang tak biasa, yaitu berpelukan di lobi,” sesal Mikuri tiba-tiba.
“Aku samar-samar menyadari kekonyolan rencana ini, tetapi... Jika kau mengatakan yang sebenarnya pada Yuri, mungkin akan jadi lebih mudah untukmu, tetapi, apa tidak akan lebih berat untuk Yuri? Kalau Yuri tahu kebenarannya, dia harus membohongi adiknya, Sakura (ibu Mikuri). Berarti, Yuri akan menanggung perasaan bersalah kita. Perasaan bersalah kita seharusnya hanya ditanggung oleh kita sendiri, 'kan? Oleh kita berdua,” ujar Hiramasa. Ia menolak ide Mikuri untuk bicara jujur pada Yuri.
Mikuri merasa kali ini Hiramasa benar-benar berbeda. “Hiramasa, Bolehkah aku memeluk Anda? Dengan semua rasa terima kasihku.”
“Hari ini bukan hari Selasa,” elak Hiramasa.
“Tolong, di muka,” pinta Mikuri lagi.
Hiramasa pun mengijinkan Mikuri untuk memeluknya. Tidak lupa ia juga mengelus kepala Mikuri dengan sayang.
“Jika sesuatu terjadi, Hiramasa... Aku di pihak Anda,” bisik Mikuri.
Keasyikan berpelukan membuat Mikuri dan Hiramasa tidak sadar ada yang mendekat dan memerhatikan mereka.
“Apa yang kalian lakukan?” sapa Yuri-san tidak jauh dari sana. “Sepertinya aku melihat karpet yang kukenal...dan ternyata kalian sedang berduaan di taman.”
Kaget, Mikuri dan Hiramasa langsung melepaskan pelukan mereka. Keduanya mencoba menjelaskan. Tapi Yuri sudah keburu pergi dan mengatakan tidak akan mengganggu mereka. Bahkan mengucapkan selamat bersenang-senang.
Tadinya Hiramasa berniat mengejar Yuri untuk menjelaskan semuanya. Tapi Mikuri melarangnya dan mengatakan kalau percobaan mereka kali ini ... berhasil. (yeaaaaay ... pelukan yang so sweet)
“Aku tak seharusnya mengganggu pengantin baru, ini konyol,” curhat Yuri pada bartender.
Saat itu Numata-san baru saja datang dan kemudian menyapa Yuri. Ia pun duduk di sebelah Yuri. Si bartender baru tahu kalau mereka berdua saling kenal. Kali ini Numata-san datang sendirian, tidak bersama Kazami-san.
Yuri bersyukur tidak perlu bertemu Kazami. Tampak kalau Yuri sangat membenci Kazami. “Kau harus waspada di dekatnya!”
Sementara itu, Numata-san mengirimkan pesan pada Kazami. Aku tak sengaja bertemu Yuri, kami sekarang minum bersama. Apa yang kaukatakan padanya? Dia sangat marah!
Mendapat pesan seperti itu dari Numata-san, Kazami-san hanya tersenyum.
Terima kasih, ya. Aku dan Hirari akan berjuang!
Mikuri mendapatkan pesan dari Yassan. Ada gambar Yassan dan Hirari bersama simbol love di depannya. Mereka tampak tersenyum. Melihat hal itu, Mikuri juga lega. Paling tidak, ia bisa sedikit membantu temannya ini untuk lebih tenang menghadapi masalah yang tengah dihadapinya.
Malam itu Hiramasa membantu Mikuri mempersiapkan makan malam. Setelah menuangkan air rebusan mie, uapnya membuat kaca mata Hiramasa berembun sehingga tidak terlihat. Mikuri hanya tersenyum kemudian membantu Hiramasa membersihkan embun di kaca matanya itu.
Mikuri pun melanjutkan persiapan makan malam. Selain mempersiapkan mie, keduanya juga mempersiapkan pelengkap lain. Mikuri tengah memotong-motong telur dadar tipis-tipis. Ini menyenangkan. Rasanya seperti menghapus semua rasa bersalah, sangat menyenangkan Kalau setiap minggu hari liburku seperti ini, bukankah cukup untuk membuatku bahagia?
Yuri-san melanjutkan obrolan malam itu bersama Numata-san dan bartender. Setelah Yuri yang curhat, sekarang giliran sang bartender yang curhat.
Numata-san sudah hafal saat sang bartender mulai bercerita. Itu pasti tentang mantan istrinya. Cerita yang sama, lagi dan lagi.
Menu makan malam mereka sudah jadi. Mie dengan potongan telur dadar dan daging di atasnya. (Na nggak yakin sih, ini mie biasa. Atau malah soba? Ya intinya, gitu lah)
“Enak!” seru Mikuri dan Hiramasa bersamaan.
Kami bukan suami-istri ataupun teman. Ini hanya hubungan kerja, ditambah kekasih untuk dipeluk tiap Selasa. Bagi kami ini menyenangkan karena tidak pasti.
Akan tetapi, kenapa...jadi seperti ini?
Mikuri dan Hiramasa tidur satu ranjang? Apa yang terjadi?!
BERSAMBUNG – sampai jumpai minggu depan ya #ehe
Pictures and written by Kelana
Kelana’s note :
Hahahaha ... ada yang kena spoiler? Atau tergoda nonton langsung?
Dorama satu ini rating tiap episodenya selalu naik lho. Sepertinya nggak Cuma i-fans aja yang suka, karena j-fans pun suka dorama satu ini. Pasangan yang lucu dan menggemaskan. Yang Na suka dari mereka adalah, perubahan sikap dan pertambahan kedewasaan yang nggak lebay dan natural banget. Jadi, mereka sama-sama berubah jadi lebih baik. Hmmmm ... baru setengah jalan sih ya. Masih ada banyak lagi kejadian lucu bin menggemaskan antara pasangan ini.
Jadi orang tua itu nggak mudah lho. Bahkan Yassan yang mantan yankee aja pusing. Mungkin itu pesan yang ingin disampaikan drama ini. Kalau jadi orang dewasa, terutama jadi orang tua itu adalah tanggung jawab besar. Nggak semua orang punya kesempatan jadi orang tua. hmmmm .... Na jadi kepikiran kapan kejombloan ini berakhir #eh #curcol
Hiramasaaaa eh, om Hoshino Gen ... daku padamu! #eaaaaa
OH YA, SELAMAT HARI IBU
UNTUK SELURUH IBU YANG ADA DI DUNIA INI ^_^ WE LOVE U
Tidak ada komentar: