SINOPSIS Himura and Arisugawa 07 part 1

SINOPSIS Criminologist Himura and Mystery Writer Arisugawa episode 07 part 1. Permintaan penyelidikan kasus yang diajukan oleh salah seorang mahasiswanya, Akemi, ternyata berbuntut panjang. Kasus ini berkaitan dengan kasus yang terjadi sebelumnya.


Telepon misterius di pagi buta sehari setelah Himura-sensei menerima permintaan investigasi dari Akemi, membawa Himura-sensei dan Alice untuk datang ke sebuah apartemen. Jasad korban, Yohei ditemukan di kamar mandi. Tapi tersangka utama terbebas dari tuduhan karena alibinya terbukti. Tetapi, kasus lain ternyata belum selesai.



Pagi berikutnya setelah Himura-sensei mendapat permohonan investigasi kasus dari Kijima Akemi untuk menyelidiki kasus 2 tahun silam, seseorang menghubungi di pagi buta. Mengikuti petunjuk itu, saat kami tiba di apartemen yang dimaksud, kamu menemukan jasad Yamauchi Yohei, paman dari Akemi.


Dari investigasi, ternyata ditemukan hubungan antara insiden ini dengan kasus pembunuhan tebing Twilight dan juga kasus kebakaran yang menyebabkan Akemi trauma dengan warna oranye. Apakah tiga insiden yang terjadi di sekitar Akemi ini saling berhubungan? Apakah tersangka adalah orang yang terlibat dalam insiden itu? Kami tidak punya pilihan selain datang langsung. Kami bermobil menuju tempat itu untuk menyelesaikan semuanya.



Selain Himura-sensei yang naik mobil bertiga dengan Alice dan Akemi, det.Ono dan det.Hisashi juga naik mobil lain bersama Sakashita.


“Aku mengerti jika Anda merasa kasihan pada det.Ogata. Tapi aku tidak yakin kalau kita harus datang ke tebing Twiling bahkan sebelum kasus kemarin berhasil diselesaikan,” protes det.Ono.


“Semua insiden ini saling terhubung. Itu yang dikatakan Himura-sensei,” det.Hisashi memandangi catatan milik rekannya det.Ogata yang dulu bertanggungjawab atas kasus tebing Twilight.



Dua tahun silam,


Det.Hisashi mengunjungi det.Ogata. Saat itu det.Ogata tengah melakukan investigasi terhadap kasus pembunuhan di tebing Twilight. Karena rumitnya, Det.Ogata mengaku berkali-kali datang ke TKP. Dan bahkan berniat datang lagi esok harinya.


Dua tahun yang lalu,


Akemi asyik bermain dengan kameranya. Ia merakam dirinya dan juga Yuko-sensei yang tengah asyik membaca di dekat tebing.


“Sensei, kau tidak takut terbakar matahari?”


Yuko-sensei tersenyum, “Tempat ini tidak masalah. Tapi matahari agak lebih panas hari ini.”


Keduanya tampak tertawa riang. Apalagi Akemi mengatakan kalau Yuko-sensei seperti matahari. Yuko-sensei pun membalas ucapan Akemi dengan setengah bercanda.



Himura-sensei bersama rombongannya dan polisi tiba di TKP. Mereka memandangi tebing tempat kejadian insiden pembunuhan itu. Angin laut sedang kencang-kencangnya ditambah ombak yang berdebur cukup tinggi di belakang mereka membuat suasana makin menegangkan.


Menurut laporan forensik, pelaku memukul kepala bagian belakang korban (Yuko-sensei) dengan potongan kayu lalu meletakkan tubuhnya embali ke kursi. Kemudian dia naik ke atas tebing dan menjatuhkan batu tepat ke kepala korban. Dengan kata lain, ada jeda waktu antara pembunuhan pertama dan ekdua. Tapi melihat kondisinya, akan sedikit sulit jika setelah memukul korban, pelaku langsung naik ke atas tebing yang curam. Pilihan lainnya adalah harus lewat jalan memutar yang lebih landai.


Det.Hisashi pun menyuruh Sakashita untuk benar-benar mempraktekkannya, naik ke atas tebing itu.


Perkiraan waktu kematian antara pukul 2 siang hingga 5 sore. Itulah kenapa det.Ogata dulu tidak berhasil menentukan pelakunya. Semua orang yang datang ke vila memiliki waktu kosong.



Menurut pengakuan tamu vila yang lain, Yuko sangat senang duduk di dekat tebing itu. Itu adalah tempat favoritnya.


“Tidak hanya dipukul hingga meninggal, tapi juga melemparkan batu ke bawah. Aku tidak mengerti pemikiran pelaku,” komentar det.Ono.


“Aku tidak tahu kenapa pelaku membunuhnya dua kali. Tapi aku mengerti pemikirkannya,” komentar Himura-sensei, membuat det.Ono heran. “Tidak peduli apapun alasannya, bukan hal aneh kalau seseorang membenci orang lain.”


“Maksudnya, kau berempati dengan pemikiran pelaku ini?” det.Ono tidak tahan lagi untuk protes.


“Empati? Kau tidak sepenuhnya salah.”


“Apa kau ingin membunuh?”


“Tentu saja,” ujar Himura-sensei dengan santainya. “Kau harusnya bisa berempati dengan pelaku jika pembunuhan yang pertama tidak terencana (spontanitas). Jika tidak, maka itu bohong. Setiap dari kita punya bibit pembunuh yang berasal dari kemarahan dan kebencian. Itu bukan kejahatan sendiri. Jika seseorang membuat boneka vodoo dan mencoba mengutuk seseorang, maka dia tiak bisa diadili!” Himura-sensei mencoba menjelaskan.


Alice merasa kalau kali ini sudah agak keterlaluan, “Hei Himura? Kenapa kau sangat bersemangat?” Alice mencoba mencairkan ketegangan antara polisi wanita dan Himura-sensei. Tapi tepukan tangan Alice di pundak Himura, ditepis oleh Himura.


“Himura, kau benar-benar ingin membunuh?” pertanyaan sarkas dari det.Ono.


“Kau tidak mendengarkan? Aku tidak benar-benar ingin membunuh. Tapi aku tidak mengingkari jika setiap orang punya bibit pembunuh. Karenanya, aku tidak memaafkan orang yang benar-benar mewujudkan bibit itu menjadi kenyataan.”


“Aku tidak mengerti yang kau katakan,” keluh det.Ono.


“Himura, mungkin teorimu terlalu sulit untuk dimengerti,” Alice mencoba menengahi lagi.


Himura yang kesal berbalik dan berjalan menjauh, “Aku tidak minta untuk dimengerti. Tidak ada yang bisa memahamiku,” gumamnya. Tapi pikirannya justru memunculkan sebuah nama, Moroboshi Sanae.



Polisi yang biasa menangani interogasi Moroboshi Sanae bertemu dengan polisi dari MPD Tokyo yang akan membawa Moroboshi-san untuk diadili pada esok harinya. Bukannya lega atau senang, polisi tua itu justru berubah pucat. Ia pun tidak fokus saat diminta untuk menandatangani berkas-berkas penyerahan tahanan. Ia teringat dengan ancaman Moroboshi yang mengatakan kalau istri dan putrinya sudah mereka culik.


“Bisakah aku ikut sampai dia tiba di pengadilan?” pinta polisi tua itu yang tentu saja disetujui polisi dari MPD tanpa banyak tanya.


Dan benar saja seperti yang dikatakan Moroboshi-san. Anak buahnya yang menyamar jadi kurir pengantar barang sudah menculik anak dan istri si polisi tua dan menyembunyikannya di dalam mobil mereka.



Di tempat lain, si anak SMA imut, Sakamata memeriksa fotonya bersama teman-teman SMA-nya. Di sana ia tampak sangat imut dan gembira. Tapi ternyata, di dunia maya namanya sudah berkali-kali disebut. Rumor soal pembunuhan beredar luas dengan pelaku adalah dirinya.


Puas memandangi foto, Sakamata melemparkan foto itu ke dalam laci. Ia pun mengambil pisau yang berada dalam laci yang sama lalu memasukkannya ke dalam tasnya. Ia pun beranjak pergi.



Himura-sensei dan yang lain mengunjungi seorang mantan polisi, Yoshimoto-san. Di sana mereka justru disuruh untuk memasukkan sejumlah barang-barnag furnitur ke dalam truk dan juga gudang. Yoshimoto-san ini adalah salah satu saksi insiden pembunuhan di tebing Twilight.


“Dimana Ogata?” tanya Yoshimoto-san karena tidak melihat detektif satu itu.


Det.Hisashi yang menjawabnya, “Ogata sudah meninggal karena sakit.”


“Hidup memang tidak adil. Orang berbakat biasanya berusia pendek,” komentar Yoshimoto-san kemudian. “Jadi, kalian ingin tahu soal batunya?” tanya Yoshimoto-san setelah barang-barangnya beres berkat bantuan para tamunya ini. “Aku masih ingat insiden itu dengan jelas.”



Yoshimoto-san membawa para tamunya ini ke dalam. Ia pun ditunjukkan foto batu yang dimaksud, “Dua tahun lalu, saat insiden itu, aku keluar dengan mobil di tempat biasa. Saat aku akan kembali, aku melihat batu yang sama di tempat yang sama juga, di samping mobil. Pelaku pasti menggunakan batu itu setelah aku pergi.”


“Saat anda melukis, apa tidak ada yang aneh?” tanya det.Ono.


“Kau sudah datang ke TKP kan? Itu tempat yang sepi. Orang asing ... ah, si pemancing. Dia ada di tempat itu sampai jam 4 sore,” Yoshimoto menunjukkan lukisan buatannya yang menunjukkan adanya seorang pemancing di dekat tebing.


Det.Hisashi mengecek catatannya, “Itu pasti Yamauchi Yohei (korban pembunuhan di apartemen). Dia bilang kalau dia memancing dari jam 1 siang sampai jam 4 siang.”


“Yuko terbunuh di bawah tebing saat kau melukis gambar cantik ini di atasnya.”


“Bisa kupinjam gambarnya?” pinta Himura-sensei kemudian.


Mereka pun bubar. Polisi mencari informasi lagi di sekitar TKP.



Sementara itu di kampus ...


Mahasiswa berisik di kelas. Ada isu kalau hari ini Himura-sensei pun tidak bisa mengajar. Tapi Himura-sensei mengirimkan seorang pengganti. Kedua teman Akemi menebak-nebak. Mereka mengira kalau penggantinya kali ini adalah si polisi muda yang mereka temui pada kencan buta, Sakashita atau jika tidak Alice.


Tapi seseorang tiba-tiba masuk kelas dan langung maju ke depan kelas. Dengan mic, ia mencoba bicara. Dia adalah si ahli forensik, Yasoda-san, “Hari ini aku akan menggantikan Himura mengajar.” Mic yang dipegangnya pun terjatuh menimbulkan suara denging keras.



Himura-sensei, Alice dan Akemi kembali datang ke vila yang sama seperti dua tahun silam. Dalam pandangan Akemi, dia disambut oleh orang-orang yang datang ke vila itu. Mereka bahkan memuji Akemi yang semakin cantik. Yuko-san pun menawarkan untuk memainkan piano bagi Akemi. Akemi sumringah melihat seorang orang yang dikenalnya ini.


Tapi, saat lamunannya berakhir, Akemi hanya melihat ruangan kosong yang sebagian furniturnya ditutup dengan kain. Wajah Akemi pun berubah kembali muram.



“Sepertinya waktumu terhenti pada dua tahun silam. Jika kau ingin waktumu kembali berjalan, kau harus menyelesaikan insiden ini,” ujar Himura-sensei yang menyusul masuk.


“Sensei, kau mengatakan kalau semua dari kita memiliki bibit pembunuh. Kupikir kau membaca pikiranku.”


“Akemi, kau ingin membunuh seseorang?” tanya Himura-sensei.


“Maaf, itu pertanyaan tidak peka,” Alice buru-buru menengahi situasi canggung itu.


Himura-sensei pun beranjak pada pertanyaan lain. Ia ingin memastikan soal mimpi buruk Akemi. Yang Akemi lihat adalah Yohei yang menuangkan minyak pada tubuh pamannya yang sudah terbakar.


“Ya, tapi itu hanya mimpi,” elak Akemi.


“Tolong dengarkanku sebagai konselormu. Jangan pikirkan ini bagian investigasi. Jika jauh dalam dirimu membuat mimpi buruk itu, apakah kau benci Yohei yang jadi tersangka dalam mimpimu?”


“Tidak!” elak Akemi cepat. “Sebenarnya, Yohei satu-satunya yang berpihak padaku.”


“Tampaknya seperti semua orang di sekitarmu adalah musuh, selain Yohei,” komentar Himura-sensei. Ia masih terus berusaha membuat Akemi mengatakan sesuatu yang belum dikatakan Akemi pada mereka.



“Bukan Yohei yang kubenci,” dan cerita itu pun mengalir dari bibir Akemi.


Bertahun silam, Yohei yang bangkrut tinggal bersama mereka di kediaman paman Shotaro (yang juga menampung Akemi). Paman Shotaro terus saja menyalahkan Yohei atas kegagalannya. Akemi merasa kalau hal yang sama juga dipikirkan paman Shotaro padanya, kalau Akemi selama ini hanya beban saja. Akemi merasa senasib dengan Yohei, karenanya ia mulai membenci paman Shotaro. Tapi Akemi sadar, seharusnya dia berterimakasih pada paman Shotaro karena mau menampungnya dan memperlakukannya seperti keluarga sendiri. Karena itu ia menutup rapat rasa bencinya pada paman Shotaro ini.


“Tidakkah kau memaksa dirimua untuk percaya kalau yang kau lihat adalah mimpi? Yohei sudah mewujudkan harapanmu. Dan karena kau merasa bersalah, kau memaksa dirimua untuk percaya kalau itu mimpi. Benar kan?” Himura-sensei menyimpulkan.


“Salah! Aku tidak pernah berharap hal buruk seperti itu!”Akemi terguncang dan nyaris menangis. Ia pun beranjak ke ruangan sebelah.


Alice yang paham situasi segera meminta Himura-sensei berhenti. Ia pun menenangkan Akemi di ruangan sebelah. “Kau konselor gagal!” ujar Alice pada Himura-sensei.


“Jika aku bisa menemukan yang hilang ini, tiga insiden bisa terhubung dengan jelas,” Himura-sensei lalu beranjak pergi.



Himura-sensei menemui tiga tamu lain, Masaaki dan ibunya (Machi-san) lalu Mutobe yang sempat jadi tersangka kasus sebelumnya. Machi-san tampak tidak suka dengan sambutan Himura-sensei yang tampak riang. Mereka heran karena ternyata Himura-sensei masih melakukan investigasi kasus ini.


“Aku menerima tantangan dari pelaku kemarin pagi. Aku minta kalian semua datang ke sini karena aku ingin menantangnya balik,” ujar Himura-sensei. “Aku memberikan tantangan pada pelaku yang ada di sini, bersama kita.”


Machi-san makin kesal, “Mengatakan pelaku sebenarnya ada bersama kita, seperti drama di TV. Apa ini menyenangkan bagimu?”


“Aku bersenang-senang. Aku menikmati situasi saat pelaku sebenarnya yang menerima tantanganku berada bersama kita di sini.”


“Aku mengerti. Kau menikmati suasana ini seolah permainan. Saat aku mendengar kalau Akemi meminta profesornya untuk membantu menyelesaikan kasus, aku tidak nyaman. Kau itu hanya orang aneh,” sindir Machi-san lagi.


Rasa tidak suka juga diungkapkan oleh Masaaki. Dan akhirnya, Machi-san makin menyalahkan Akemi karena sudah melibatkan Himura-sensei, dosennya ini, dalam masalah mereka semua.



Rupanya Akemi juga berada tidak jauh dari sana. Mendengar Machi-san terus menyalahkan Akemi, membuatnya makin kalut. Ia teringat saat upacara kematian paman Shotaro. Saat itu, Machi-san juga sudah menyalahkan Akemi karena datang dalam keluarga mereka.


“Sejak aku datang ... karena aku meminta bantuan Himura-sensei ... karena aku berharap paman Shotaro mati ... “ Akemi makin panik, ditambah suasana senja yang menghadirkan warna oranye pun tiba. Akemi pamik dan berteriak, ia ketakutan.



Di tempat lain ...


Tokie-san baru pulang berbelanja. Dia naik ke dalam bis. Karena penuh, Tokie-san berdiri sambil meraih pegangan di atas. Tapi seorang anak muda berdiri dan memberikan kursinya pada Tokie-san. Dia ... si imut Sakamata.


“Terimakasih,” ujar Tokie-san. Ia pun merogoh tempat penyimpanannya, “Kuberikan kau permen. Ambilah!”


“Terimakasih,” ujar Sakamata sambil memamerkan senyumnya.


“Kau mirip temanku,” puji Tokie-san. “Apa kau dalam perjalanan?” Tokie-san melirik tas yang dibawa Sakamata ini.


“Benar.”


“Semoga lancar!”


“Terimakasih,” Sakamata kembali tersenyum. Tapi sesaat kemudian senyum itu berubah menjadi seringai menakutkan.


Turun dari bis, Sakamata menuju sebuah tempat yang cukup ramai. Ia memandangi sekali lagi foto-nya bersama teman-temannya dalam balutan seragam. Entah apa yang ada dalam pikiran Sakamata, pun entah apa yang telah ia rencanakan dengan pisau dalam tasnya.



“Awalnya, dia adalah guru pianoku,” ujar Machi-san. Sekarang mereka semua berkumpul di villa. “Dan dia kemudian jadi dekat seperti keluarga. Aku yang paling sedih saat dia meninggal. Atau ... mungkin Masaaki,” Machi-san melirik ke arah putranya.


“Itu karena aku sangat menyukai Yuko saat itu. Tidak ada yang lebih menarik daripada Yuko,” cerita Masaaki. “Tapi Yuko menyukai Mutobe,” Masaaki melirik ke arah Mutobe yang sejak tadi diam saja.



“Kenapa kau bawa-bawa lagi cerita lama itu? Yuko Cuma ingin mempermainkanku,” tampak Mutobe dan Yuko sangat akrab dua tahun silam. “Karena jadi orang terakhir yang bertemu Yuko saat masih hidup, aku pun dicurigai oleh polisi. Aku Cuma mengucapkan selamat tinggal dan pergi.


Dua tahun lalu, ada rekaman yang diambil oleh Akemi.


“Hei Akemi, apa kau tahu kalau Mutobe menyukaimu?” tanya Yuko-sensei.


“Tida mungkin. Apa yang kau bicarakan?” Akemi mengelak. Ia tidak menganggap serius ucapan Yuko-sensei kala itu.


“Kalau begitu, aku akan mencurinya darimua,” ujar Yuko-sensei. Tapi wajah seriusnya berubah menjadi tersenyum. Ia menyembunyikan keseriusannya dalam canda.



Hari sudah gelap. Akemi sendirian berada di kamar. Ia masih saja memikirkan kasus ini. Akemi memikirkan semua yang diucapkan Himura-sensei padanya.


Mutobe yang khawatir mencoba memanggil Akemi, “Akemi, apa kau baik-baik saja?” ujarnya dari balik pintu kamar.


“Ya, aku baik saja,” ujar Akemi dari dalam.


Mendengar itu, Mutobe akhirnya memilih pergi.


Tapi ucapan Akemi tidak sama dengan kenyataannya. Ia justru makin ketakutan, mengingat semua momen yang terjadi dua tahun silam. Interaksinya dengan Yuko-sensei dan kematian Yuko-sensei. Lalu insiden enam tahun silam saat rumah pamannya, paman Shotaro terbakar.


BERSAMBUNG


Sampai jumpa di SINOPSIS Himura and Arisuga episode 07 part 2.


Pictures and written by Kelana


FP: elangkelanadotnet, twitter : @elangkelana_net

Tidak ada komentar: